close

07/10/2013

Energi

Konservasi Penting untuk Pengembangan Energi Terbarukan

Konservasi hutan dan lingkungan penting untuk pengembangan energi terbarukan. Tanpa sumber daya alam yang mendukung, pengembangan energi terbarukan sendiri akan menemui hambatan.

Fabby Tumiwa, Direktur Institute for Essential Services Reform (IESR), dalam diskusi “Quo Vadis Kebijakan Energi Nasional”, Selasa (16/4/2013) di Jakarta, mengungkapkan, “Kalau permasalahan lingkungan tidak diatasi, sumber daya alam yang mendukung energi terbarukan tidak ada.”

Fabby mencontohkan upaya pemerintah mengembangkan energi panas bumi. Pengembangan panas bumi membutuhkan tangkapan air. Namun, upaya konservasi air masih minim. Aktivitas tambang misalnya, dibiarkan walaupun merusak sumber daya air.

“Di sini letak tidak konsistennya pemerintah. Pemerintah punya target 6000 MW tahun 2020 dari panas Bumi. Tetapi daerah tangkapan air yang begruna untuk panas bumi tidak dipelihara,” ungkap Fabby.

Menurut Fabby, masih banyak pekerjaan rumah yang harus dibenahi. Ia mengungkapkan, masalah konservasi air misalnya, tidak hanya terkait dengan pengembangan panas bumi, tetapi juga energi terbarukan lain seperti biomassa.

Saat ini, Kebijakan Energi Nasional yang disusun oleh Dewan Energi Nasional tengah dibahas di Kelompok Kerja di Komisi VIII DPR. Kebijakan akan dituangkan menjadi Peraturan Pemerintah yang sangat menentukan pemenuhan energi di masa depan.

Faby menuturkan, ada target cukup ambisius dalam pemakaian energi terbarukan dalam draft. Pada tahun 2025, diharapkan pemakaian energi terbarukan mencapai 25 persen. Diharapkan pula, penggunaan batu bara dan gas bisa turun.

Kebutuhan energi Indonesia pada tahun 2025 mencapai 400 juta ton oil equivalent. Sementara pada tahun 2050 mencapai 1000 juta ton oil equivalent. Upaya konservasi sumber daya alam adalah salah satu kunci memenuhi kebutuhan energi tersebut dari sumber yang terbarukan.[Yunanto Wiji Utomo]

Sumber: kompas.com

read more
Ragam

Polusi Menurunkan Kelahiran Anak Laki-Laki?

Polusi udara dapat menyebabkan penyakit pernafasan, kesehatan jantung yang buruk, dan kanker tertentu. Baru-baru ini, para peneliti telah menemukan berbagai efek reproduksi termasuk berat badan lahir rendah, keguguran, kelahiran prematur, dan penurunan kualitas sperma. Para peneliti di jurnal BMJ Open melihat efek dari polusi udara pada rasio anak perempuan terhadap kelahiran anak laki-laki  di Sao Paulo, Brasil.

Peneliti membagi daerah Sao Paulo dalam kategori yang berbeda berdasarkan konsentrasi partikel udara ambien mereka (PM10) konsentrasi terus dari waktu ke waktu. Tingkat PM10 digunakan sebagai penanda tingkat polusi udara. Jumlah kelahiran antara tahun 2000 dan 2007 dikumpulkan dengan rasio laki-laki terhadap kelahiran perempuan dihitung selama sebulan. Sebuah korelasi langsung antara pertumbuhan polusi dan berkurangnya kelahiran anak laki-laki adalah ditemukan lebih dari 1 persen kelahiran anak laki-laki lebih sdeikit daripada kelahiran anak perempuan selama periode waktu keadaan udara tercemar polusi paling parah. Para peneliti memperkirakan ada hampir 31.000 kelahiran laki-laki yang berkurang selama masa studi akibat polusi.

Studi mengatakan bahwa polusi memiliki efek pada kesehatan telur dan sperma. Tingkat hormon dalam ayah dan ibu juga dipengaruhi oleh polusi dan perubahan ini dapat tercermin dalam perbedaan jenis kelamin keturunannya.

Sumber: infokesehatanalami

read more
Sains

Sikat Ini Bikin Gigi Bersih dalam Waktu 6 Detik

Jakarta –  Tim dokter gigi yang berasal dari Perusahaan Blizzident berhasil menciptakan sikat gigi yang mampu membersihkan seluruh gigi hanya dalam waktu enam detik. Bagaimana bisa?

Melansir Tech Spot, 4 Oktober 2013, Blizzident mengklaim sikat gigi teknologi terbaru ini mampu menghilangkan kesalahan dalam menyikat gigi, serta mampu menjangkau seluruh bagian gigi yang tidak bisa dilakukan oleh sikat gigi biasa.

Sikat gigi ini dirancang dari hasil scan model gigi seseorang yang dilakukan oleh dokter gigi ketika akan memasang kawat gigi. Lalu, hasil scan tersebut dijadikan model 3D untuk membuat sikat gigi yang ukurannya sangat presisi dan akurat.

“Sikat gigi ini berbentuk gumshield—semacam alat pelindung mulut yang menutupi gusi dan gigi yang dipakai oleh para petinju,” tulis Blizzident di situs resminya.

Setiap gumshield terdiri dari 400 sikat lembut yang bekerja secara elektrik, sehingga mampu membersihkan gigi dengan baik dan tepat.

“Dalam penggunaan sikat gigi tradisional, sering sekali terjadi kesalahan penyikatan gigi dan mengakibatkan luka pada gusi. Namun, dengan sikat gigi teknologi terbaru ini Anda dapat membersihkan gigi dengan sempurna,” klaim Blizzident.

Namun, untuk mendapatkan sikat gigi canggih ini, Anda harus merogoh kocek lebih dalam, karena alat unik ini dibanderol dengan harga £250, setara Rp4,6 juta. Dan, satu sikat gigi hanya mampu bekerja selama 12 bulan. Setelah itu, Anda harus menggantinya dengan yang baru. Mau pesan? Anda bisa mengunjungi websitenya di tautan ini. (umi)

Sumber: viva.co.id

read more
Hutan

Takdir Hutan Aceh di Bawah Hukum yang Lemah

“Kita harus bergerak bersama untuk menganalisis  apa yang akan terjadi terhadap pengelolaan hutan. Ada dilema antara kebijakan pemerintah dengan fakta yang tercermin dalam tata kelola hutan”. Pernyataan ini disampaikan oleh aktivis lingkungan, Afrizal Akmal.

Afrizal Akmal juga mengatakan bahwa pemerintah terlibat langsung dalam tata kelola hutan yang tidak terkontrol hampir di seluruh Negara. Bahkan, pembalakan liar terjadi karena gagalnya pemerintah pusat memfasilitasi perusahaan-perusahaan hingga mereka beroperasi secara illegal. Dalam kasus ini, tidak adanya proses pengecekan secara akurat data yang bersangkutan serta tidak adanya regulasi yang mengatur tentang biaya izin penebangan.

Peraturan dan penegakan hukum semakin membingungkan saat Badan Pertanahan Nasional Propinsi Aceh tetap melanjutkan izin konsesi pembukaan lahan tanpa pengecekan yang akurat. Sayangnya, banyak lahan yang mendapatkan izin konsesi terbengkalai setelah penebangan usai.

Afrizal Akmal menekankan bahwa misi pengelolaan hutan harus ditetapkan dan ditempatkan pada salah satu lembaga untuk pengaturan yang efektif. Kebijakan pemetaan hutan, izin konsesi, pengaturan pemukiman harus dikelola dibawah satu badan.

“ Kami menemukan fakta bahwa sistem data base geografi yang telah dirumuskan menyalahi peraturan. Hasilnya, data yang diterbitkan oleh Badan Pertanahan Nasional palsu. Selain itu, mekanisme sewa lahan dan pelanggaran batas tanah juga tidak jelas dan tidak disosialisasikan kepada publik. Tampaknya instansi pemerintah telah bermain-main dengan kebijakan hutan dan mereka pembohong,” kata Afrizal.

Afrizal Akmal menyebutkan bahwa Pemerintah Aceh mencanangkan misi “Green Project” sebagai resolusi masalah kehutanan. Yang pada kenyataannya, hal tersebut tidak menjadi solusi.

Setelah Aceh mendapatkan otonomi khusus dibawah NKRI, pemerintah Aceh mengatur kebijakan lahan dan hutannya sendiri, hal ini sesuai untuk pemerintahan otonom. Namun, ada kesalahan yang terjadi terkait penyalahgunaan kekuasaan oleh Pemerintah Aceh. Tak pelak lagi, izin konsesi pertambangan dan perkebunan yang diberikan mengarahkan pada perambahan dan penghancuran hutan.

Mengacu ke data Kantor Administrasi Izin Propinsi Aceh, pada tahun 2008, 201 perusahaan mendapatkan hak menggunakan lahan dan tanaman perkebunan. Areal konsesi mencakup 540,839,955 hektar atau 9,42% dari total hutan Aceh. Bahkan, banyak perusahaan telah mendapatkan izin untuk bisnis kehutanan seperti perkebunan sawit, coklat, kopi, karet, pisang, kedelai, peternakan, perikanan dan perkebunan. Semua lahan perkebunan tersebar di sepanjang wilayah Propinsi Aceh.

Izin penggunaan lahan begitu mudah diberikan di era desentralisasi. Hal ini terlihat dari pemerintah daerah yang langsung dapat memberikan izin kepada perusahaan melalui satu pintu. Pemerintah pusat di Jakarta hanya memverifikasi dan menyetujui saja izin untuk kawasan tertentu. Namun, masih tersisa persoalan seperti pelanggaran hukum oleh perusahaan sawit yang telah dan masih beroperasi seperti di kawasan lahan gambut Rawa Tripa.

Belakangan ini, hutan rawa gambut ditargetkan menjadi area bisnis perkebunan sawit. Misalnya saja yang terjadi pada hutan gambut Rawa Tripa sedang mengalami perambahan meskipun terletak di Kawasan Ekosistem Leuser (KEL). Sekalipun terletak di KEL namun tidak menjamin mendapatkan pengamanan yang layak. Kelemahan pengamanan mengakibatkan perusahaan yang mendapatkan izin konsesi mengambil keuntungan atas lahan tersebut. Meskipun dibeberapa area yang sudah mendapatkan izin konsesi belum ditanami kelapa sawit, namun pembukaan lahan terus berlangsung.

Terkait hal tersebut, WALHI Aceh menuntut pemerintah Aceh untuk menghentikan izin konsesi terhadap investor baru yang akan membuka perkebunan. Serta menuntut segera diadakannya pemeriksaan terhadap kinerja perusahaan yang telah mendapatkan izin sebelumnya. Selain itu, perlu dilakukan upaya pengembalian hak kepemilikan lahan masyarakat adat,  menghentikan sementara proses penebangan hutan, tidak memberikan izin baru, dan merevitalisasi hutan yang telah terdegradasi.

Menurut Yayasan Leuser Internasional dan Flora Fauna Indonesia, kerusakan hutan Aceh terjadi sejak tahun 2006-2012. Angka rata-rata setiap tahunnya mencapai 23,124,41 hektar. Hutan di Kota Subulussalam telah hancur sekitar 3,946 hektar, Kabupaten Nagan Raya 2,581,90 hektar, dan Kabupaten Gaayo Lues mencakup 2,064 hektar. Seluruh area tersebut merupakan kawasan hutan yang terletak di daerah otonom, yang merupakan kawasan yang dilindungi. Namun sayangnya, pemerintah daerah dengan mudahnya mengeluarkan izin.

“Jika kerusakan terus berlanjut maka akan berdampak pada bencana alam yang lebih besar dimasa akan datang. Bahkan, Badan PBB yang mengurusi program lingkungan (UNEP) mengatakan jika dalam lima belas tahun ke depan hutan Sumatera dan Kalimantan terus dirusak maka habitat Orang Utan akan punah,” ujar Deputi Direktur Walhi Aceh, Muhammad Nizar Abdurrani, mengomentari proyeksi UNEP yang sangat mengkhawatirkan tersebut.

Selain itu, Deputi Direktur WALHI Aceh juga menekankan bahwa ada ketidakpastian definisi  pengelolaan hutan dalam berbagai peraturan. Misalnya melalui dokumen tertentu No.41/2009, peraturan pemerintah No.44/2004 dan SK Kementrian Kehutanan No. 32/2001 serta Peraturan Kementrian Kehutanan No.50/2009. Ke semua aturan tersebut menjelaskan tentang kewenangan pemerintah pusat dan pemerintah daerah dalam mengembangkan kawasan hutan. Namun kenyataan di lapangan, ada banyak tumpang tindih aturan yang memberikan celah bagi pihak tertentu untuk melanggarnya.

Aktivis lingkungan lainnya, Dewa Gumay mengungkapkan bahwa adanya tumpang tindih wilayah penebangan kayu di Provinsi Aceh. Ini terjadi karena perbedaan sudut pandang antar kementrian kehutanan, kementrian pertanian, kementrian pertambangan dan kementrian lainnya. Berdasarkan asumsi, bagian kawasan hutan yang dimaksud terlihat berbeda secara faktual. Persoalan penebangan hutan, sepenuhnya tanggungjawab kementrian kehutanan selaku penanggungjawab keselamatan hutan. Kementrian pertambangan bertanggungjawab terhadap geologi kawasan pertambangan melalui pemetaan kawasan tambang dan pemukiman. Meskipun begitu, banyak perusahaan yang memperoleh izin dengan proses yang tidak jelas daan tumpang tindih tanpa proses pengecekan yang tuntas.

Terkait kasus hutan gambut Rawa Tripa yang melibatkan PT Kalista Alam selaku perusahaan yang telah mendapatkan izin membuka lahan perkebunan, berbagai instansi pemerintah yang terkait seperti kementrian perkebunan dan kementrian kehutanan, mempunyai pendapat yang berbeda satu sama lainnya. Menurut kementrian kehutanan, lahan konsesi tidak terletak dikawasan hutan, sementara itu, kementrian kehutanan menyebutkan bahwa lahan konsesi tersebut merupakan hutan konservasi. Peraturan yang tidak jelas antar pihak terkait ini menjadikan celah keuntungan bagi perusahaan untuk melnggar hukum.

Dari aspek ekonomi, degradasi hutan telah menyebabkan kerusakan sumber daya alam, termasuk kapasitas hutan sebagai habitat tanaman dan hewan. Hal tersebut secara langsung juga berimplikasi pada ekonomi masyarakat setempat yang mencari nafkah dari hasil hutan.

Meskipun, degradasi hutan yang telah rusak tidak bisa disebutkan secara resmi, namun dari assessment awal yang telah dilakukan dapat diperkirakan jumlah lahan dan hutan yang telah dirambah, penebangan kayu, restorasi hutan, infrastruktur dan berapa yang digunakan untuk wisata. Sebenarnya, ada biaya yang tak ternilai untuk semua degradasi hutan setiap tahunnya.

Ada beberapa tantangan bagi pemerintah Aceh sebagai daerah otonom dalam menghadapi persoalan ini. Tentu saja untuk pemanfaatan sumber daya alam yang berkeadilan dan berkelanjutan dibutuhkan perencanaan pembangunan yang terukur. Bukan hanya keuntungan sesaat dari investor, perlahan-lahan sumber daya alam akan rusak dan tercemar di lahan konsesi, akan memicu perubahan iklim serta konflik lahan yang tidak berkesudahan. Untuk itu Pemerintah Aceh harus meninjau ulang dan mempertimbangkan kembali kebijakan dan aturan  terkait pembangunan.

Dr. M. Nasir, dosen Fakultas Ilmu Ekonomi Lingkungan, Universitas Syiah Kuala Aceh menyebutkan bahwa investasi dibidang tananaman sedang tumbuh. Perhatian terhadap pertumbuhan investasi saja akan berakibat negatif terhadap lingkungan. Yang harus diperhatikan dalam pembangunan adalah adanya keseimbangan antara ekonomi dan lingkungan serta pengembangan ekonomi masyarakat dan kesejahteraan. Karena masyarakat setempat berdomisili dan bermata pencaharian dihutan setempat. Jika investasi tersebut membahayakan dan dapat merusak, maka secara langsung akan merusak ekonomi setempat.

Sayangnya, lahan Aceh yang subur, tempat dimana kerajaan nenek moyang pernah berdiri megah dan tempat mencari nafkah masyarakat Aceh, dihadapkan pada tantangan invasi besar-besaran bisnis kayu sebagaimana yang terjadi juga pada Negara-negara berkembang lainnya di dunia. Ditengah permintaan konsumen dan tidak adanya standar regulasi, lemahnya penegakan hukum, hutan dan lahan telah dirusak dan pemiliknya direlokasi, serta terjadinya persoalan social dan lingkungan. Secara khusus, hutn hujan tropis yang dibanggakan pemerintah Indonesia sebagai paru-paru dunia sedang menghadapi rakusnya investor kapitalis. [Ruayrin Pedsalabkaew]

Penulis, Ruayrin Pedsalabkaew, fellow pada Asian Public Intellectual (API), Reporter Deep South Watch yang telah melakukan penelitian tentang isu-isu perampasan lahan oleh perusahaan multinasional di Aceh: Dampaknya terhadap Hak Asasi Manusia dan Kearifan Lokal. Pendapat penulis tidak menggambarkan pandangan API Fellowships Program, The Nippon Foundation, the Coordinating Institution, dan/atau lembaga partner.

sumber: www.theglobejournal.com

read more