close

08/10/2013

Kebijakan Lingkungan

KTT Hukum Rakyat Tonggak Menata Masa Depan Indonesia

[Cibubur, 8 Oktober 2013] “Hukum rakyat seharusnya menjadi jawaban dari kebuntuan sistem hukum Negara dalam menyediakan keadilan bagi rakyat. Sudah saatnya hukum dikembalikan kepada rakyat dan bekerja di bawah panji cita-cita bangsa Indonesia yaitu masyarakat yang adil dan makmur,” ungkap Andiko, Direktur Eksekutif HuMa dalam Pembukaan Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) Hukum Rakyat yang dilaksanakan pada 8 Oktober 2013.

KTT Hukum Rakyat ini dilaksanakan di Cibubur pada 8 – 10 Oktober 2013 dengan mengusung tema “Hukum Rakyat, Menata Masa Depan Indonesia”. Konferensi ini dihadiri ratusan Pendamping Hukum Rakyat (PHR) dari berbagai pelosok Nusantara.

Sementara itu, Chalid Muhammad, Ketua Badan Pengurus HuMa menjelaskan, “Ditengah keterpurukan negeri ini akibat prilaku elit yang jauh dari rasa keadilan mayoritas bangsa, masih terdapat banyak rakyat Indonesia yang berbuat dengan tulus dan tanpa pamrih untuk menyelamatkan negeri ini. Mereka terus membangun solidaritas serta tanpa kenal lelah mempromosikan hukum rakyat demi terwujudnya pembaruan hukum yang berkeadilan di Indonesia. KTT Hukum Rakyat ini diharapkan menjadi tonggak bagi gerakan hukum rakyat dalam mengambil peran utama dalam menata masa depan Indonesia.”

Myrna Safitri, Direktur Eksekutif Epistema Institute menambahkan bahwa perlu adanya upaya pembaruan hukum, dimana Pendamping Hukum Rakyat (PHR) dapat membantu negara dengan menempatkan orang yang tepat di posisi yang strategis, serta melakukan koreksi terhadap negara yang abai memberi pengakuan, lalai memberi perlindungan, absen menyelesaikan konflik dan royal memberi izin eksploitasi.

HuMa sendiri telah lebih dari satu dekade melalui Pendamping Hukum Rakyat (PHR) mendorong hukum rakyat dapat melengkapi proses penegakan hukum di Indonesia. HuMa memiliki keyakinan bahwa bila hukum rakyat ditempatkan dengan tegas sebagai bagian integratif dari sistem hukum nasional, maka tatanan hukum Indonesia tidak akan stagnan.

Saat ini Huma telah melatih lebih dari 1.000 Pendamping Hukum Rakyat (PHR) di seluruh nusantara menjadi actor pembaharuan hukum bersama rakyat untuk melakukan advokasi bersama masyarakat adat/lokal.

KTT Hukum Rakyat ini dibuka dengan orasi dari beberapa tokoh nasional, seperti Prof. Dr. Jimly Asshiddiqie, S.H, mantan Ketua Mahkamah Konstitusi, Ibrahim, S.H., M.H., LLM, wakil dari Komisi Yudisial, Gubernur DKI Jakarta Joko Widodo, Anis Baswedan, Myrna Safitri dan Andiko.

Pada KTT ini para Pendamping Hukum Rakyat (PHR ) juga akan mendiskusikan beberapa topik seperti Sistem Peradilan Indonesia, Hukum dan Kebijakan Sumber Daya Alam, Konflik Sumber Daya Alam serta RUU Desa dan RUU Pengakuan dan Perlindungan Masyarakat Adat.

Dan pada tanggal 10 Oktober 2013 HuMa dan PHR akan melakukan Dialog Nasional dengan Mahmakah Agung dengan topik “Merumuskan Kedudukan Peradilan Adat dalam Sistem Peradilan Nasional”. [ ]

read more
Tajuk Lingkungan

Jangan Cuma Pandai Menanam Saja

Beberapa hari belakangan ini Indonesia, termasuk di Aceh, menjadi meriah dengan berbagai kegiatan penghijauan. Kegiatan penanaman pohon, terutama pohon Trembesi menjadi trend, berkat Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) terlibat langsung. Pak SBY dengan program ambisiusnya menanam 1 miliar pohon serta merta diikuti oleh jajaran pemerintahan yang lain.

Ada hal yang menarik ketika SBY melaksanakan penanaman pohon di Waduk Jatiluhur, Purwakarta Jawa Barat pada hari Minggu (28/11) kemarin. Dalam acara yang disiarkan secara langsung oleh televisi pemerintah tersebut beliau mengecam kegiatan penebangan liar yang dilakukan pihak-pihak tidak bertanggung jawab, termasuk yang mengatasnamakan industri. Menurutnya pembangunan tidak seharusnya merusak alam.

“Saya ingin menyampaikan kepada mereka yang tidak bertanggung jawab. Yang kegemarannya merusak hutan dan lingkungan, membabat pohon untuk motif pribadi, karena kepentingan industri pertambangan yang tidak dikelola dengan baik,”kata Presiden SBY, sebagaimana dikutip oleh media massa.

Putra kelahiran Pacitan ini menambahkan bahwa sekarang bukan saatnya lagi berbicara soal pelestarian alam. Saat ini justru saatnya untuk bertindak menanam pohon untuk menyelamatkan lingkungan. Suatu pernyataan yang secara sekilas tampak menarik. Tapi jika ditilik lebih jauh, tentu tidak sesederhana itu. Menanam saja tanpa ada pengawasan dan kebijakan yang pro-lingkungan akan tidak efektif.

Menanam pohon tentu saja baik apalagi dilakukan sampai 1 miliar pohon. Seandainya penanaman ini benar-benar dilakukan sebanyak  jumlah tersebut dan semua pohon tersebut dapat tumbuh, bisa dibayangkan berapa luas hutan di Indonesia bisa bertambah. Namun seperti yang sudah-sudah, menanam pohon tak lebih dari sekedar upacara seremonial, yang hanya ramai diawal tetapi sepi di akhir. Penanaman yang dihadiri oleh puluhan pejabat sipil dan militer, melibatkan ratusan orang pada hari H-nya. Beberapa waktu kemudian tempat tersebut akan sepi kembali, termasuk tidak ada perawatan yang memadai.

Menjadi pertanyaan kita apakah penanaman pohon efektif untuk mencegah laju kerusakan hutan? Ataukah sebanding jumlah pohon yang ditanam dengan jumlah pohon yang ditebang? Penyebutan angka “1 miliar” lebih terdengar iming-iming daripada upaya nyata pencegahan penggundulan hutan ataupun alih lahan. Angka ini seperti membuai publik bahwa jumlah pohon yang ditanam sudah lebih dari cukup untuk mengganti pohon yang hilang.

Kerusakan Hutan Aceh

Antara satu data dengan data lain banyak terjadi perbedaan tentang berapa sebenarnya luas hutan Aceh yang telah rusak. Data dari WALHI Aceh sendiri menunjukkan dalam sepuluh tahun terakhir (1998-2008), luas hutan di Aceh berkurang hingga 914.222 hektare. Itu artinya setiap tahun hutan di berkurang rata-rata sekitar 32.657 hektare. Data ini menjadi polemik oleh banyak pihak, hal yang wajar mengingat perbedaan metode menghitung dan sebagainya.

Namun hal sangat penting yang ingin disampaikan adalah sudah berapa banyak pohon yang hilang akibat kerusakan hutan tersebut. Apalagi pohon-pohon yang hilang tersebut berada dalam suatu kesatuan wilayah makhluk hidup yang saling terkait atau yang biasa disebut dengan ekosistem. Hilangnya sebuah ekosistem akan menimbulkan bencana ekologi bagi makhluk sekitarnya terutama manusia yang paling merasakan dampak buruknya.

Apakah penanaman pohon dapat menggantikan hutan yang hilang tersebut? Program penanaman pohon yang dilakukan biasanya berada dalam wilayah yang terpisah-terpisah, dalam situs-situs kecil yang belum memiliki ekosistem tersendiri. Belum lagi jika penanaman pohon tersebut tidak diikuti dengan perawatan sehingga banyak pohon yang gagal tumbuh. Sama sekali tidak sebanding dengan jumlah pohon yang hilang ditebang oleh pembalak liar ataupun pihak-pihak yang berdalih untuk kepentingan pembangunan.

Menanam pohon tentu saja penting namun ada yang jauh lebih penting dalam skala luas yaitu membuat kebijakan dan mengawasi kebijakan tersebut. Sebuah kebijakan yang pro-lingkungan akan dapat melindungi miliaran pohon dari kehancuran dan menumbukan pohon. Sebuah kebijakan yang baik tentu akan dibarengi dengan pengawasan. Kebijakan ditingkat nasional akan melindungi lingkungan hidup diseluruh Indonesia. Begitu juga dengan kebijakan propinsi.
Bagaimana dengan kebijakan Moratorium Logging  beserta program Aceh Green di propinsi Aceh? Kebijakan ini tampak bagus secara konsep namun masih lemah dalam penerapan dan pengawasannya.

Kebijakan Moratorium Logging tidak disertai dengan aturan bagaimana menyediakan kayu halal ditengah permintaan pasokan kayu yang terus meningkat. Namanya juga pasar, jika kayu “halal’ tidak ada maka kayu “haram” akan menjadi sasaran. Akibatnya pembalakan liar menjadi meningkat secara status. Karena bisa saja orang yang dulu membalak secara sah kini karena tidak diperbolehkan lagi, sedangkan permintaan tetap banyak, akan tetap saja memotong kayu. Ibarat ban dalam yang banyak lubang bocor, ketika satu lubang ditutup maka angin akan menekan kencang pada lubang yang lain.

Kembali lagi ke pernyataan SBY bahwa kini saatnya menanam pohon, bukan bicara tentang pelestarian alam. Sepertinya presiden mendapat konsultasi yang salah dari para ahlinya bahwa menanam lebih penting daripada melestarikan. Menanam tanpa melestarikan adalah sebuah kemubaziran semata. Seharusnya kita menanam sambil melestarikan lingkungan.

Program penanaman 1 miliar pohon jangan sampai menjadi “proyek pengadaan 1 miliar pohon”. Kedua hal ini mempunyai konotasi yang berbeda. Yang pertama untuk menyelamatkan lingkungan, yang kedua untuk memperkaya oknum atas nama lingkungan. Pohon yang telah ditanam jangan sampai dibiarkan mati, harus dirawat. Buatlah kebijakan yang pro lingkungan dan laksanakan kebijakan tersebut dengan sepenuh hati dan lakukan pengawasan. Jangan sampai kita dikatakan cuma pandai menanam saja.[m.nizar abdurrani]

read more
Green Style

Beware of Using Plastic Containers

Everyday, we use plastic as container either for food or beverages. In my home, I have many plastics such as cup, dish, bottle and we use them regularly. I used to carry water in plastic bottle whenever I went. It’s simple and easy to replace it and I was not afraid if my bottle disappears or damage. After using plastics, I could throw out them into trash bin soon, not necessary to clean them. It was very efficient and cheap. But as I know how danger plastic container for food and beverages, I stop refilling my bottle. From some articles, I read each kind of plastic has different level of danger for human body health. If we are able to identify them, we can minimize negative impacts of plastic.

Danger level of plastic is represented by number and symbol. The Numbers and symbols are to express what material product may harm you. By knowing the number or symbol, you can choose safer material for your health. For instance you can see the number and symbol usually on the bottom of container. If you have drinking bottle now, please see the bottom.

Consider this.  At the bottom, like this bottle, it is added on number and symbol, in this case number…. and PET symbol. This number means bottle recommend for one time only, do not refill it. Symbol PET means this material not recommended for warm and hot water. Of course, question rising, why?

Much plastic material contains toxic chemical that may harm your body. One of the cruelest substances is DIOXIN. Dioxin inside plastic while meet hot food or beverage will release out bit by bit. Imagine, you eat hot food every day use plastic dish. You eat food plus dioxin as well. Accumulation dioxin in your body for many years will cause cancer and other critical diseases.

One important thing, never ever use plastic for cooking in your microwave especially for fatty food. Combination among fat, high temperature and plastic dispense dioxin into the food and your body finally. So, in case you want to heat up food in microwave, please use corning ware, Pyrex or ceramic. It’s still available many options.

You can not heat up food with plastic material in microwave but you still use plastic container for other purposes. We still apply plastic for food or beverage. Look at the bottom of plastic and select number 4 and 5 along symbol PP. These numbers mean plastic not toxic, can be refilled, and recycle friendly. Plastic with these numbers do not contain dioxin. Researcher already determined 4 and 5 as representation safer plastic material and government have validated them with regulation.

In fact we still find many plastics material without number and symbol in market, mostly made in Indonesian.  It is a must for all material add on number symbol and Indonesian government obligates it. Doing smart shopping in case you need plastic. Choose plastic number four and five for better life and apply appropriate material for cooking.[m.nizar abdurrani]

read more
Kebijakan Lingkungan

Advokasi Lingkungan Untuk Siapa ?

Pasca tsunami dan perjanjian damai Helsinki, Aceh menjadi daerah yang berkembang pesat baik secara perekonomian maupun dalam jumlah penduduk (4,3 juta jiwa saat ini). Pertumbuhan ini mempunyai implikasi tekanan terhadap lingkungan juga menjadi semakin besar. Tak pelak lagi, tekanan lingkungan yang semakin besar menyebabkan isu-isu atau kasus lingkungan juga menjadi mencuat lebih banyak. Mulai dari isu moratorium logging atau jeda penebangan legal, kasus penambangan mineral yang banyak merusak alam serta kasus pengambil alihan paksa lahan.

Mungkin ini sudah menjadi rahmat dari Allah SWT bahwa selain Aceh kaya dengan sumber daya alam, daerah Serambi Mekkah juga kaya dengan berbagai persoalan lingkungan. Hal-hal yang dulu tidak menjadi masalah di Aceh seperti penambangan, kini menjadi isu yang sangat ‘seksi’. Konon lagi pemerintah Aceh sangat doyan mengundang investor asing untuk menanamkam modal sembari ‘melubangkan’ bumi Aceh melalui sektor pertambangan ataupun sektor lain yang merusak lingkungan.

Masyarakat sekitar lokasi menjadi penerima kerugian utama dari dampak kerusakan lingkungan yang muncul. Sebut saja berbagai kasus yang merusak lingkungan: kasus penambangan PT Lhoong Setia Mining di Lhoong Aceh Besar, Penambangan PT Pinang Sejati Utama di Manggamat Aceh Selatan, penambangan rakyat yang tidak terkendali di Gunong Ujeun-Aceh Jaya dan Sawang-Aceh Selatan, pencemaran yang dilakukan oleh PT SAI, pembangunan embung (semacam waduk) Lambadeuk Aceh Besar, pengalihan lahan masyarakat menjadi kebun sawit di Sinabang dan masih banyak lagi yang jika kita sebut satu persatu tidak akan muat halaman koran ini. Semua kasus-kasus ini sangat merugikan masyarakat dan mereka pun terus berjuang agar para perusak lingkungan menghentikan kegiatan mereka dan memberikan kompensasi yang layak atas bencana yang mereka timbulkan.

Masyarakat dalam memperjuangkan tuntutannya bahu membahu dengan berbagai lembaga yang peduli dengan lingkungan. Warga pun biasanya didampingi untuk mendirikan organisasi masyarakat sehingga perjuangan menjadi lebih teratur dan terarah. Perjuangan membela kepentingan masyarakat banyak sering diistilahkan sebagai “advokasi” dalam ranah lembaga Organisasi Masyarakat Sipil (OMS). Menjadi pertanyaan, sampai kapankah advokasi itu dapat dijalankan? Siapa yang paling bertanggung jawab dalam menjalankan advokasi? Bagaimana suatu advokasi dapat dikatakan berhasil? Apakah advokasi tetap berjalan pada tuntutan awal atau jangan-jangan sering mengalami ‘penyesuaian’ akibat upaya orang-orang tertentu?

Pertanyaan seperti ini sering mengemuka dalam internal organisasi pembela lingkungan. Wajar pertanyaan ini muncul mengingat semakin hari semakin banyak kasus kerusakan lingkungan muncul. Sebagai conth, belum selesai memperjuangkan kasus pencemaran udara yang dilakukan PT Arun, muncul lagi kasus kebocoran amonia dari PT PIM. Atau advokasi terhadap pencemaran yang dilakukan PT SAI selama bertahun-tahun belum juga tuntas bahkan isunya terkadang dibelokkan oleh pihak-pihak tertentu. Perjuangan advokasi sering menjadi perjuangan ‘abadi’ alias perjuangan tanpa henti. Hanya saja OMS dibelahan dunia manapun tetap saja mempunyai prioritas dalam gerakannya. Semua ini tak lain agar perjuangan melestarikan lingkungan dapat berjalan fokus, tidak ‘lari’ kemana-mana.

Sebelumnya mari kita lihat terlebih dahulu pengertian advokasi menurut para ahli. Topatimasang (2000) mengatakan advokasi adalah upaya untuk memperbaiki, membela (confirmatio) dan mengubah (policy reform) kebijakan sesuai dengan kepentingan prinsip-prinsip keadilan.  Sedangkan dalam buku terbitan Insist Pers (2002) yang berjudul “Kisah-kisah advokasi di Indonesia” secara eksplisit membenarkan pengertian advokasi sebagai aksi-aksi sosial, politik dan kultural yang dilakukan secara sistematis, terencana dan dilakukan secara kolektif, melibatkan berbagai strategi termasuk lobby, kampanye, bangun koalisi, tekanan aksi massa serta penelitian yang ditujukan untuk mengubah kebijakan dalam rangka melindungi hak-hak rakyat dan menghindari bencana buatan manusia.

Ada banyak pengertian advokasi menurut para ahli namun dari kesemuanya itu pada dasarnya advokasi mempunyai kesamaan yaitu sebuah gerakan bersama yang disusun secara sistematis untuk merubah kebijakan. Ada dua unsur penting disini yaitu bersama-sama dan sistematis. Ini artinya sebuah gerakan yang dijalankan secara individual baik perorangan maupun individual organisasi serta dilakukan sembarangan alias tidak sistematis, tidak layak dikatakan sebagai sebuah gerakan advokasi.  Prinsip-prinsip ini kalau kita lihat dalam konteks Aceh, memang sudah dilaksanakan oleh sebagian besar organisasi lingkungan.
Gerakan bersama yang direncanakan secara sistematis terkadang dirusak oleh berbagai persoalan internal yang sering tidak ada hubungannya sama sekali dengan tujuan perjuangan. Ada beberapa gerakan advokasi yang tidak ketahuan ujung pangkalnya akibat terjadi perpecahan di antara komponen anggotanya. Sering juga akibat perencanaan yang tidak sistematis mengakibatkan gerakan perlahan-lahan lenyap begitu saja bagai debu yang ditiup angin sepoi-sepoi. Gerakan advokasi tampaknya harus diformulasi ulang.

Sebagian besar organisasi lingkungan telah banyak mendapatkan peningkatan kapasitas atau bahasa kerennya “Building Capacity” selama hadirnya NGO-NGO internasional dan Badan Rekonstruksi dan Rehabilitasi di Aceh. Peningkatan kapasitas tersebut diharapkan dapat meningkatkan juga kemampuan melakukan kerja-kerja advokasi. Peningkatan kapasitas kelembagaan hari ini bisa jadi menjadi salah satu faktor mencuatnya kasus-kasus lingkungan. Gerakan advokasi diharapkan tidak lagi menjadi gerakan konvensional dengan alur : Rapat- Aksi-Muncul di media-selesai. Perlu ada perencanaan yang lebih sistematis dan berdurasi panjang dari pada alur yang di sebutkan di atas tadi.

Terkadang, gerakan sistematis dan penuh perencanaan tersebut sering disalah pahami oleh orang-orang yang berkepentingan secara langsung. Kepentingan yang dimaksud disini biasanya adalah orang-orang yang langsung terkena dampak dari kerusakan lingkungan. Misalnya warga Manggamat tentu sangat berkeinginan secepatnya agar desa mereka kembali seperti sediakala ketika pencemaran pertambangan belum terjadi. Hal ini sangat wajar karena mereka setiap hari menghirup debu tambang dan air bersih sungai mereka sudah penuh lumpur.
Perbedaan sistem menyebabkan munculnya “ketegangan” sesaat yang harus segera dipulihkan kembali. Ketegangan antara OMS pendamping dan masyarakat yang ingin segera kasusnya tuntas.  Apalagi jika ada pihak-pihak yang ingin mengambil kesempatan dalam kesempitan alias bermain di air keruh sehingga menimbulkan prasangka yang berkelanjutan. Alih-alih bersatu untuk memperjuangan tujuan bersama malah bisa-bisa jalan sendiri-sendiri karena adanya perbedaan gerakan.

Kebersamaan dalam sebuah gerakan advokasi sangat dibutuhkan agar tujuan perjuangan bisa berhasil secepatnya. Advokasi bukanlah aksi individual, seperti layaknya permainan sepak bola Brasil. Advokasi bukan lah gerakan yang ditujukan untuk segelintir orang dengan sejumput keinginan untuk memuaskan keinginan sendiri. Perlu ada upaya merangkul pihak-pihak lain sebanyak mungkin. Yang belum masuk ke dalam barisan, diajak masuk. Yang sudah mulai keluar dari barisan, segera ditarik kembali ke dalam barisan. Seperti  yang sudah diungkapkan di atas, perjuangan advokasi seringnya adalah perjuangan tanpa akhir. Meminjam istilah salah satu parpol “Bersama kita Bisa”, agar perjuangan advokasi bisa tuntas.

read more
Energi

Membuat Listrik dari Tandan Sawit, Emang Bisa?

Saat sedang antri mengisi bahan bakar di Stasiun Pengisian Bahan Bakar Umum (SPBU) saya sering membayangkan betapa banyaknya minyak yang ‘diminum’ oleh kendaraan bermotor. Ribuan liter minyak disedot oleh mesin, dibakar dan kemudian lepas menjadi asap ke udara.

Saat berhenti di traffic light, berada diantara ribuan moda transportasi berlalu lalang, saya membayangkan seandainya minyak dalam tanki semua kendaraan dituangkan ke jalan, bisa-bisa tumpahan minyak tersebut menjadi banjir bandang karena saking banyaknya.

Alangkah rakusnya negeri ini dalam mengkonsumsi bahan bakar. Nyaris tak ada kegiatan manusia tanpa menggunakan bahan bakar minyak.

Walaupun kini banyak orang menggunakan peralatan bertenaga listrik namun sejatinya listrik yang dihasilkan tersebut memakai minyak sebagai bahan bakarnya.

Saya tinggal di Banda Aceh, ibukota Propinsi Aceh yang berjulukan Serambi Mekkah. Negeri yang subur tapi belum begitu makmur ini hingga kini masih diwarnai ‘aksi’ pemadaman listrik baik reguler maupun non reguler.

Non reguler maksudnya listrik padam tanpa ada pemberitahuan terlebih dahulu, ntah karena gangguan alam atau memang sedang terjadi defisit arus. Kekurangan arus listrik sering menjadi alasan pihak berwenang untuk melakukan pemadaman listrik.

Sampai saat ini listrik yang disuplai ke Aceh sebagian besar berasal dari energi bahan bakar fosil sebagai penggeraknya. Bisa dibayangkan berapa ribu kiloliter minyak yang dibutuhkan untuk menerangi rumah-rumah penduduk?

Belum lagi daerah yang tidak terjangkau listrik PT PLN kemudian memakai genset sebagai gantinya. Mereka ini pun cukup ‘rakus’ mengkonsumsi BBM untuk genset sehingga ada ditemui pembangkit listrik ini tidak mampu dioperasikan lagi oleh warga karena kehabisan uang untuk beli minyak.

Tahun 2012 diperkirakan konsumsi BBM mencapai 43,5 juta kiloliter, naik 3,5 juta kiloliter dari kuota 40 juta kiloliter. Sedangkan subsidi minyak tahun ini mencapai Rp.305,9 triliun atau 20 persen dari volume belanja APBN (Kompas, Selasa 16 Oktober 2012).

Konsumsi BBM sebesar ini sangat memberatkan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) apalagi Indonesia masih sangat membutuhkan dana untuk pembangunan disegala bidang. Rakyat Indonesia masih menikmati subsidi harga minyak, artinya harga yang kita bayar saat membeli minyak sudah dilunasi sebagian oleh pemerintah.

Secara bertahap pemakaian energi fossil haruslah dikurangi agar tidak membebani keuangan negara dan menimbulkan berbagai persoalan lingkungan di kemudian hari. Terlebih BBM yang sering disebut non renewable energy persediaannya semakin terbatas.

Manusia harus mencari energi terbarukan atau renewable energy yang ternyata potensinya di Nusantara ini sangat besar. Misalnya saja energi panas bumi yang memiliki potensi sebesar 28 gigawatt.

Namun sayangnya dari potensi gigantis tersebut hanya empat  persennya saja yang baru dimanfaatkan. Sementara itu target kebijakan energi nasional Indonesia untuk energi terbarukan sebesar 17 persen.

Ini artinya masih jauh panggang dari api. Selain energi panas bumi ada juga sumber energi lain yang tak kalah besar potensinya di Indonesia yaitu energi dari biomassa atau biomass energy.

Indonesia memiliki kekayaan keanekaragaman hayati yang merupakan sumber energi biomassa.  Ada beberapa jenis tanaman yang bisa menjadi sumber energi dan tersedia dalam jumlah melimpah seperti tebu, ubi, jagung, sekam, tandan kosong sawit dan banyak lainnya.

Banyak biomassa yang seharusnya bisa dimanfaatkan menjadi energi tetapi terbuang begitu saja seperti tandan sawit. Selama ini tandan kosong hasil dari pemrosesan pada Pabrik Kelapa Sawit (PKS) belum dimanfaatkan maksimal. Panas yang dihasilkan oleh pembakaran tandan kosong menurut hasil penelitian cukup signifikan sebagai sumber pembangkit listrik.

Seorang pakar energi biomassa, Goenadi, D.H., dalam artikelnya yang berjudul, ‘Berburu energi di kebun sawit’ (2006) menyebutkan nilai energi panas (calorific value) dari tandan kosong sebagai bahan bakar generator listrik dapat mencapai 18.796 kJ/kg, suatu jumlah yang cukup signifikan.

Sebagai ilustrasi, sebuah PKS dengan kapasitas 200 ribu ton Tandan Buah Segar (TBS) per tahun menghasilkan 44 ribu ton tandan kosong (kadar air 65 persen) yang mampu membangkitkan energi ekuivalen dengan 2,3 MWe (megawatt-electric) pada tingkat efisiensi konversi 25 persen.

Meningkatnya harga BBM dan gas serta isu pelestarian lingkungan telah meningkatkan pamor biomassa dan limbah biomassa sebagai salah satu sumber energi alternatif. Biomassa adalah bahan organik yang merupakan hasil kegiatan fotosintesis baik berupa produk maupun buangannya. Masalah yang dihadapi adalah bagaimana cara meningkatkan pemanfaatan limbah tersebut sehingga lebih efisien dan memberikan nilai ekonomis tinggi.

Tentu saja diperlukan pengetahuan yang cukup tinggi tentang teknologi serta kearifan memanfaatkannya. Pemanfaatan biomassa tidak dapat mengandalkan swadaya dan kreatifitas masyarakat semata tetapi perlu ditunjang oleh kebijakan yang mendukung dan infrastruktur yang memadai dan berorientasi ke masa depan.

Manfaat penggunaan biomassa juga dapat mendorong penghematan ekonomi/ sumber daya lokal yang ada dan mempercepat pengembangan ekonomi yang sehat di daerah tersebut.

Dengan lahan perkebunan kelapa sawit yang sangat luas, Propinsi Aceh dapat memanfaatan limbah padat PKS menjadi sumber energi listrik. Lebih lanjut, Aceh dapat sumber energi alternatif untuk memecahkan masalah krisis energi yang telah menimpa Aceh selama puluhan tahun yang menghambat peningkatan ekonomi daerah.

Menurut data dari Dinas Kehutanan & Perkebunan Aceh, 2009, terdapat 25  PKS di Aceh yang berlokasi di delapan kabupaten dengan total kapasitas operasi terpakai 551,12 ton/jam. Umumnya PKS tersebut beroperasi 20 jam/hari, terkadang jika bahan baku TBS sedang melimpah pabrik bisa bekerja selama 24 jam/hari.

Melihat hal ini tentu saja limbah padat yang dihasilkan sangat besar dimana jika limbah tersebut tidak dimanfaatkan maka akan mengganggu lingkungan.

Selama ini limbah padat tandan kosong hanya ditimbun atau digunakan untuk penyubur tanaman sawit muda dengan cara menyebarkan disekitar pohon sawit muda. Cara ini baik namun kelemahannya adalah tumpukan tandan kosong menjadi tempat nyaman berkembangnya hama sawit seperti kumbang sawit.

Limbah padat tandan kosong juga dapat diolah menjadi kompos dan briket arang. Untuk pembuatan kompos dapat dikombinasikan dengan limbah cair PKS yang biasa disebut Palm Oil Mill Effluent (POME) dengan metode tertentu. Namun pembuatan kompos dan briket arang hanya dapat digunakan oleh sebagian kecil masyarakat.

Lain halnya seperti pemanfaatan limbah padat sebagai sumber energi listrik yang dapat digunakan secara luas oleh masyarakat.

Energi untuk Pembangunan Berkelanjutan
Pengembangan sumber energi listrik dengan menggunakan tandan kosong layak untuk diterapkan di Aceh karena ketersediaan bahan baku yang sangat banyak. Dari sisi pembangunan berkelanjutan, pemanfaatan tandan kosong sebagai sumber energi listrik sangat berpotensi dalam mengatasi persoalan limbah padat pabrik PKS dan kekurangan listrik baik bagi pabrik sendiri maupun daerah sekitarnya.

Pemakaian tandan kosong sebagai energi pengganti bahan bakar fosil dalam penerapannya  membutuhkan biaya yang relatif besar di awal investasinya sehingga terkesan mahal namun dalam jangka panjang akan menghemat banyak dana. Pemakaian tandan kosong sebagai sumber energi listrik bernilai ekonomis karena harga jual listrik yang dihasilkan bisa lebih murah dibanding listrik dari PLN.

Meskipun pemakaian tandan kosong sebagai sumber energi listrik sangat potensial namun berbagai tantangan masih harus diatasi.  Tantangan tersebut antara lain persoalan teknis, institusional, dan tantangan keuangan.

Namun demikian, saat persediaan minyak bumi kita semakin menipis, harga minyak semakin mahal, lingkungan sudah semakin tercemar, apakah patut kita berdiam diri tanpa membuat perubahan skema energi? Kondisi ini menjadi alasan yang kuat agar aplikasi energi biomassa dapat segera dilaksanakan.

Alasan lain yang juga tak kalah pentingnya adalah demi pelestarian lingkungan. Pemakaian biomassa sebagai sumber energi kurang menghasilkan emisi dibandingkan pemakaian BBM yang menghasilkan asap mengandung karbon. Hal ini berarti langit kita bisa lebih biru dan tanaman pun bisa lebih hijau.[]

Sumber: theglobejournal.com

read more
Energi

Enceng Gondok pun Bisa Menjadi Biogas

Eceng gondok, tanaman yang selama ini dikenal sebagai tanaman yang merugikan dan merusak habitat air, ternyata memberi manfaat bagi masyarakat. Eceng gondok sangat tepat menjadi alternatif potensi biogas. Gulma yang hidup mengapung di air dan tidak mempunyai batang, selain daun dan akar yang menempel pada dasar sungai, kolam dan perairan dangkal mampu tumbuh dengan sangat cepat, terutama pada perairan yang mengandung banyak nutrien seperti nitrogen, fosfat dan potasium, sehingga sangat berpotensi menjadi bahan baku biogas.

Biogas ini lebih hemat ketimbang elpiji karena pembuatannya tak memerlukan biaya. Api yang dihasilkan dari biogas eceng gondok sama besarnya dengan elpiji dan bisa digunakan untuk keperluan memasak.

Keunggulan Biogas antara lain:

1. Safety, Karena tekanan gas bio lebih rendah dari gas elpiji maka kemungkinan untuk meledak sangat kecil, bahkan nihil. Tekanan gas juga bisa dideteksi secara konvensional dengan melihat kembang-kempisnya penampung gas akhir atau air yang dikeluarkan dari regulator.

2. Multi Fungsi, Pada dasarnya gas bio merupakan sumber energi. Selain bisa digunakan sebagai bahan bakar untuk keperluan rumah tangga gas bio juga sudah dikembangkan untuk penerangan dan bahan bakar mesin genset dan kendaraan roda dua.

3. Byproduct, Limbah hasil fermentasi masih bisa dimanfaatkan. Setelah keluar dari digester, maka limbah akan terbagi dua yaitu limbah padat dan limbah cair. Limbah padat dapat dimanfaatkan sebagai pupuk kompos dan juga substitusi pakan ternak dan ikan. Sedangkan limbah cair dapat dijadikan sebagai pupuk cair.

Proses Pembuatan Biogas

1. Larutkan potongan eceng gondok dalam air (1:1)
2.Tambah feses sapi untuk mempercepat fermentasi
3. Digester dari penampung air volume 1 kubik untuk menampung larutan enceng gondok agar menjadi Gas
4. Gas dari Digester ditampung di Penampung Gas Plastik
5. Gas dari Penampung Gas Plastik disalurkan melalui Regulator untuk mengontrol tekanan gas
6.  BioGas Enceng Gondok siap dipakai untuk memasak atau kebutuhan energi lainnya.[]

Sumber: green-pnpm.com

read more