close

09/10/2013

Perubahan Iklim

Pemanasan Global Isu Strategis Pemilu 2014

Sumber daya alam yang ditempatkan sebagai salah satu sumber utama penggerak mesin politik di Indonesia, membuat berbagai praktek buruk pengelolaan lingkungan masih terus terjadi hingga saat ini. Selain itu, lemahnya kehadiran negara dalam penyelesaian masalah lingkungan dan perlindungan terhadap lingkungan juga memperparah kerusakan alam dan hutan yang ada saat ini di Indonesia.

Hal ini disampaikan oleh Direktur Eksekutif Wahana Lingkungan Hidup Indonesia, Abetnego Tarigan dalam paparannya di hadapan sekitar 300 mahasiswa yang hadir dalam seminar bertajuk Pemanasan Global Isu Strategis Pemilu 2014 yang digelar oleh Yayasan Perspektif Baru bersama Konrad Adenauer Stiftung (KAS) dan Mongabay-Indonesia di Auditorium Kampus Fakultas Kehutanan Universitas Gadjah Mada hari Selasa, 1 Oktober 2013 silam.

Selain menyoroti lemahnya kehadiran negara dan praktek-praktek buruk pengelolaan alam, problema kebijakan juga menjadi penyebab kerentanan sumber daya alam sebagai sumber dana politik. Hal ini disebabkan oleh banyaknya pemimpin-pemimpin partai politik dan sejumlah politisi yang menjadi pemilik pertambangan, perkebunan skala besar yang berkontribusi pada kerusakan dan eksploitasi alam secara berlebihan.

“Keterlibatan langsung aktor-aktor penguasa sumber daya alam dalam krisis negara juga memperparah kerusakan alam. Mereka yang menguasai sumber daya alam, maka merekalah yang menentukan siapa yang jadi bupati, siapa yang jadi gubernur, dan siapa yang akan mereka dukung menjadi presiden,” ungkap Abetnego dalam paparannya.
DSCF4105

“Dalam konteks itulah, kita tidak bisa lagi bicara bahwa isu lingkungan itu konteksnya hanya sains atau ilmiah, tetapi sekarang ini bagaimana isu lingkungan ini bisa kita masukkan ke dalam agenda proses politik kita yang akan kita hadapi di tahun 2014 mendatang. Pertama targetnya tidak usah muluk-muluk, namun bagaimana kesadaran politik itu tumbuh, kedua adalah mendesak isu-isu lingkungan hidup kepada partai dan kandidat yang mencalonkan diri,” lanjutnya.

“Jika agenda ini bisa mereka bawa, maka ini akan menjadi sesuatu yang penting. Dan yang juga penting adalah memutus rantai penguasa politik dengan penguasa sumber daya alam. Hal ini untuk memutus praktek-praktek demokrasi yang transaksional tadi. Jika hal ini bisa berlanjut, maka kita berharap bisa melanjutkan perubahan ini di parlemen. Gerakan di parlemen ini untuk mendorong lintas partai untuk menangani isu lingkungan secara lebh serius, dan bukan seperti saat ini dimana komisi VII mengurusi lingkungan sekedarnya, dan tidak memiliki komitmen yang kuat untuk menyelesaikan persoalan-persoalan yang ada,” lanjut Abetnego.

Sebelumnya, dalam pembukaannya moderator acara ini, Wimar Witoelar menyampaikan bahwa posisi mahasiswa dan pemilih muda ini sangat strategis dalam pemilu tahun depan.  “Dalam pemilu sebelumnya, ada 43% suara yang tidak menentukan pilihannya, sementara partai pemenang pemilu hanya meraih 33%. Nah kita sebagai orang kampus, sebagai akademisi harus tahu siapa yang harus dipilih. Dan suara yang 43% itu harus disumbangkan ke isu yang penting. Tidak ada isu yang lebih penting saat ini dibandingkan pemanasan global, penyelamatan hutan dan perlindungan komunitas,” ungkap Wimar.
“Kita menghadapi pemilu 2014, kita sudah melihat ada capres dari beberapa partai. Banyak kandidat menjanjikan banyak hal kepada rakyat ada yang menjanjikan dana UKM, ada yang menjaikan bantuan pada petani, nah Pemilu 2014 adalah kesempatan bagi mahasiswa bersama rakyat untuk memberikan suara mereka untuk perubahan.  Siklus politisi itu cuma lima tahun. Nah sementara siklus kehidupan anda sebagai mahasiswa itu lebih panjang, 5 tahun pacaran, 10 tahun punya anak, 20 tahun menikah dan 30 tahun akan punya cucu. Nah anda punya horison yang lebih panjang dibanding para politisi, dan anda bisa menyelamatkan masa depan anda. Tidak perlu demo, tidak perlu aksi, tidak perlu teriak-teriak. Cukup berikan suara anda kepada calon presiden yang mengerti pemanasan global. Kalaupun tidak mengerti, ya setidaknya mau mendengar,” jelas Wimar lebih jauh.
Diskusi yang digelar sejak pukul 10 pagi ini, juga menghadirkan Gita Syahrani yang merupakan Senior Associate on Climate Change & Green Investment DNC Advocates at Work. Gita menyoroti sejumlah upaya pemerintah dalam menekan pemanasan global yang ada saat ini. Lewat penetapan Badan REDD+ Nasional yang disahkan oleh presiden bulan lalu.

“Namun masalah dalam proyek nasional REDD+ ini memang masih banyak permasalahan di lapangan. Misalnya Walhi yang menolak moratorium yang hanya soal izin pembukaan perkebunan baru, tetapi juga meliputi pembalakan liar secara berkelanjutan. Namun ternyata moratorium yang keluar hanya menolak izin baru di bawah peta kehutanan yang tidak sama dengan Undang-Undang yang ada, sehingga menimbulkan banyak kebingungan.

“Salah satu cara terbaik adalah kita harus membuat satu peta yang diakui oleh seluruh pemangku kepentingan yang ada. Dan inilah mengapa dimulai inisiatif One Map harapannya agar Indonesia memiliki satu peta besar kehutanan yang bisa menjadi patokan bersama. Karena percaya atau tidak, kita masih belum punya peta ini,” ungkap Gita Syahrani.

Persoalan pemetaan ini, menjadi salah satu kunci kerumitan persoalan tata guna lahan dan proses perizinan serta konflik sosial yang terus terjadi di Indonesia sampai saat ini. Ketiadaan batas dan kriteria yang jelas dalam peta kehutanan ini mengakibatkan lemahnya legalitas atas lahan dan mendorong pihak pemegang otoritas kebijakan untuk menyalahgunakan wewenang melakukan eksploitasi lahan dan sumber daya alam secara serampangan.

Secara umum, lemahnya penanganan isu lingkungan di Indonesia ini membuat lemahnya daya saing kebijakan politik lingkungan di kancah nasional. Hal ini sangat berlawanan dengan apa yang terjadi di beberapa negara maju, terutama di Eropa saat ini. Dalam paparannya, Dr. Ahmad Maryudi, dosen Universitas Gadjah Mada, melihat fenomena meningkatnya perhatian dan kekuatan politik berbasis lingkungan di Eropa bisa memberikan perubahan yang signifikan dalam kondisi kehidupan masyarakat.[]

Sumber: mongabay.co.id

read more
Hutan

Menjaga Taman Nasional Gunung Leuser, Menjaga Kehidupan

Gunung Leuser, sebuah nama yang sangat populer di kalangan masyarakat Aceh terutama bagi warga yang mendiami wilayah tengah propinsi yang berjulukan Serambi Mekkah ini. Sedari saya duduk di sekolah dasar, saya sudah diperkenalkan dengan nama pegunungan yang membentang dengan ketinggian mencapai 3.404 meter di atas permukaan laut. Juga diperkenalkan dengan keanekaragaman hayati dan adat istiadat penduduknya. Setelah saya dewasa ternyata Leuser bukan itu saja, di kawasan ini belakangan sudah bermunculan konflik pula.

Pada kawasan Gunung Leuser berdiri Taman Nasional Gunung Leuser (TNGL) sejak tahun 1980 dengan luas areal 1.094.692 hektar.  TNGL adalah sebuah cagar alam yang terletak di perbatasan Nanggroe Aceh Darussalam dan Sumatera Utara, meliputi wilayah-wilayah Kabupaten Aceh Tenggara, Singkil, Aceh Selatan, Gayo Lues dan Langkat. Empat kabupaten pertama termasuk wilayah administrasi Nanggroe Aceh Darussalam sedangkan Langkat masuk wilayah administrasi Sumatera Utara. TNGL berada di dalam Kawasan Ekosistem Leuser (KEL) yang luasnya mencapai 2,6 juta hektar.

Taman nasional ini menjadi salah satu tujuan penelitian dan wisata yang cukup banyak dikunjungi terutama oleh para peneliti bidang biologi. Mereka melakukan penelitian tentang spesies-spesies, perilaku hewan, jenis-jenis tumbuhan langka, konservasi hutan dan berbagai hal lain. Jutaan kehidupan terdapat dalam hutan ini sehingga badan dunia UNESCO pun menganugerahkan gelar TNGL sebagai situs warisan dunia (Tropical Rainforest Heritage of Sumatra) pada tahun 2004. Sebelumnya, TNGL juga telah ditetapkan oleh UNESCO sebagai Cagar Biosfer pada tahun 1981, dan ASEAN Heritage Park pada tahun 1984.

TNGL pun dianggap sebagai rumah terakhir bagi Orangutan Sumatera (Pongo abelii) yang terancam punah. Selain menjadi habitat berbagai flora dan fauna, di sekitar TNGL juga menjadi pemukiman penduduk dan sebagian lahan di TNGL telah diubah peruntukannya baik oleh penduduk maupun perusahaan. Inilah salah satu permasalahan besar hingga terjadi perseteruan antara pengelola TNGL, penduduk, perusahaan dan tentu saja berdampak pada biodiversity di dalam TNGL.

Permasalahan TNGL
Tekanan manusia terhadap hutan telah menyebabkan keseimbangan alam menjadi terganggu, beberapa spesies pun terancam punah. Seperti yang pernah dilaporkan oleh  lembaga Live Science pada Agustus lalu, terdapat dua spesies terancam punah yang hidup di TNGL. Dua hewan tersebut adalah Badak Sumatra (Dicerorhinus sumatrensis) dan Orangutan Sumatra (Pongo abelii). Menurut Live Science jumlah badak diperkirakan hanya tinggal 300 ekor. Penyebab utamanya kepunahan badak adalah perburuan ilegal demi cula yang harganya mencapai lebih dari Rp285-jutaan per kilogram di pasar gelap.

Sedangkan Orangutan dari Indonesia ini mengalami nasib yang serupa karena hal yang sama: perburuan dan hilangnya habitat. Selain itu, Orangutan Sumatra sulit berkembang karena siklus reproduksi yang rendah. Seekor orangutan betina hanya mampu memproduksi tiga keturunan sepanjang hidupnya.

Itu baru masalah tentang ancaman kepunahan satwa liar, ada juga ancaman perambahan hutan baik oleh masyarakat ataupun perusahaan.  Masyarakat menganggap lahan di TNGL dapat dikelola walau dengan bekal secarik surat dari pihak yang tak berwenang. Sedangkan perusahaan bisa menyerobot hutan di TNGL dengan ataupun tanpa izin sama sekali. Perusahaan biasanya membuka perkebunan kelapa sawit ataupun menebang kayu-kayu bermutu dengan berkedok Hak Pengusahaan Hutan (HPH). Kedua pihak menimbulkan masalah yang pelik karena mempersempit hutan habitat berbagai flora fauna dan mengurangi daya dukung lingkungan. Akibatnya nyata, terjadi konflik satwa antara penduduk dengan hewan liar, konflik lahan dan kurangnya daya dukung lingkungan yang menyebabkan bencana.

Permasalahan utama TNGL jika dikelompokan dapat dibagi dua masalah besar yaitu perambahan lahan baik oleh masyarakat atau perusahaan dan masalah perburuan yang menyebabkan ancaman kepunahan beberapa spesies. Perambahan lahan oleh masyarakat dilakukan karena alasan ekonomi. Tingkat kesejahteraan masyarakat sekitar TNGL yang masih rendah sehingga mereka mencari penghidupan dengan merambah hutan.

Padahal ada potensi ekonomi di TNGL seperti ekowisata yang bisa dikembangkan. Sedangkan perusahaan membuka perkebunan ataupun menebang pohon tanpa izin ataupun tidak sesuai prosedur yang seharusnya.  Koran Analisa terbitan Medan memberitakan sekitar  22 perusahaan perkebunan sawit bersempadan dengan areal TNGL di kabupaten Langkat. Padahal Kementerian Kehutanan menyatakan tidak pernah mengeluarkan izin apapun terhadap 22 perusahaan tersebut.

Masyarakat dan perusahaan mengabaikan fungsi TNGL sehingga melakukan perusakan hutan seperti pembakaran untuk pembukaan ladang atau kebun baru dan illegal logging. Ini bisa jadi karena kurangnya pengetahuan manusia tentang fungsi hutan lindung bagi kehidupan. Manusia sebatas melihat hutan dan isinya sebagai asset ‘warisan’ yang dapat dimanfaatkan kapan saja. Seharusnya asset ini dilihat sebagai ‘pinjaman anak cucu’ yang harus segera dikembalikan.

Penyerobotan lahan dilakukan oleh masyarakat dan perusahaan dengan berbekal surat dari institusi tertentu ataupun izin yang tumpang tindih dengan kawasan TNGL. Ketidakjelasan tapal batas TNGL menurut beberapa pihak dijadikan salah satu alasan beraktivitas dalam TNGL. Penyerobotan membuat kawasan TNGL kian hari kian berkurang dan sering menimbulkan konflik antar makhluk hidup di dalamnya.

Perseteruan ini memprihatinkan dan bisa menimbulkan korban di semua pihak terutama bagi keanekaragaman hayati misalnya saja ancaman kepunahan beberapa spesies antara lain badak dan orangutan akibat perburuan liar. Harga cula bada dan Orangutan yang tinggi di pasar gelap membuat segelintir orang gelap mata menghabisi hewan langka di TNGL.
Mencari Solusi TNGL

Sebelum mencari solusi berbagai persoalan di atas sepertinya kita perlu menjawab terlebih dahulu pertanyaan mendasar yaitu untuk siapakah manfaat TNGL? Pertanyaan filosofi ini penting dijawab agar diperoleh hakikat pengelolaan TNGL dan bisa dicari penyelesaian masalah. Harus diakui masih ada pihak-pihak yang tidak paham tentang keberadaan TNGL dan menganggap bahwa hutan dan biodiversity dalam TNGL adalah barang take for granted, alias barang warisan yang bisa diambil kapan saja, gratis dan tak perlu menjaga kelestariannya.

Masih banyak orang yang tidak mengerti apa itu Taman Nasional bahkan masyarakat yang bermukim disekitar taman pun banyak yang tidak mengerti arti dan fungsinya. Secara gamblang Taman Nasional dapat diartikan sebagai ”daerah/kawasan/areal atau tanah yang dilindungi oleh negara”. Taman Nasional sendiri dapat diartikan sebagai tanah yang dilindungi, dari perkembangan manusia dan polusi. Menurut Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya, Taman Nasional didefinisikan sebagai kawasan pelestarian alam yang mempunyai ekosistem asli, dikelola dengan sistem zonasi yang dimanfaatkan untuk tujuan penelitian, ilmu pengetahuan, pendidikan, menunjang budidaya, pariwisata, dan rekreasi.

Nah, jelas dari definisi di atas apa yang dimaksud dengan taman nasional. Sayangnya kita tidak menemukan secara gamblang penjelasan untuk siapakah  manfaat taman nasional. Namun berdasarkan ilmu yang kita miliki tentunya kita dapat menarik kesimpulan bahwa manfaat taman nasional adalah bagi makhluk hidup. Siapapun makhluk hidup yang berada di taman nasional dan sekitarnya adalah penerima manfaat dari keberadaan taman nasional. Manfaat yang diberikannya sangat besar dan luas terutama bagi manusia sebagai khalifah di permukaan bumi. Jadi apa saja manfaat dari keberadaan flora dan fauna tersebut?

Manfaat umum yang bisa dikatakan adalah taman nasional menjadi kawasan penyangga bagi makhluk hidup sekitarnya. Makhuk hidup ini tidak terbatas hanya bagi hewan dan tumbuhan tapi juga bagi manusia. Manfaat bagi manusia juga tidak terbatas hanya bagi ilmuan ataupun masyarakat pecinta lingkungan. Manfaatnya merentang jauh bagi semua makhluk hidup hingga jauh dari kawasan taman nasional sendiri. Taman nasional menjadi sumber kehidupan, menyediakan berbagai jasa lingkungan seperti tempat penyimpan cadangan air, pengendali iklim mikro, penyerap karbon dan masih banyak lagi manfaat lainnya. Manfaat ini seharusnya paling dirasakan oleh manusia agar manusia dapat terus menjaga kelestariannya. Kalau demikian adanya, mengapa pula manusia menjadi pihak yang paling banyak merusaknya?

Kebutuhan ekonomi sepertinya menjadi faktor utama yang mendorong perusakan terhadap taman nasional di berbagai tempat juga di TNGL. Padahal kita juga yakin sebagian dari ‘perusak’ tersebut paham dampak negatif yang akan dirasakan jika taman nasional hancur. Tapi kita juga yakin, para perusak itu bukan semata-mata orang miskin yang butuh duit hanya sekedar bertahan hidup melainkan juga gerombolan cukong bermodal besar. Timbunan rupiah telah membuat mata mereka gelap sehingga tega merusak lingkungan. Biasanya cukong ini bukanlah warga setempat, mereka hanya memanfaatkan warga miskin yang masih lemah pengetahuan tentang manfaat hutan dan segala isinya.

Jika TNGL rusak maka hilanglah manfaat tersebut akan menimbulkan bencana besar seperti tanah longsor, banjir, kekeringan, konflik satwa, dan pelepasan karbon yang  dapat menyebabkan perubahan iklim. Kerusakan ini harus dihindari atau paling tidak diperkecil dengan berbagai cara. Ada banyak metode yang bisa digunakan namun harus diingat tidak ada jalan yang mudah, yang ada adalah jalan “menanjak”. Dari kesemua metode itu yang terpenting adalah pelibatan para pihak (stakeholder) terutama masyarakat sekitar hutan (forest community).

Jangan sampai mereka ditinggalkan, hanya menjadi penonton semata. Ataupun jangan pula kita hanya bisa memerintahkan mereka, menghimbau mereka, memaksa mereka menjaga hutan tetapi tidak memberikan kompensasi apapun. Kompensasi atau manfaat bukan hanya berupa materi (tangible) tetapi juga manfaat lain yang bisa mereka rasakan sehari-hari (intangible). Ada pepatah yang berbunyi “sudah jatuh tertimpa tangga”, yang jika kita beri konteks saksikan dalam kehidupan masyarakat miskin hutan bisa berarti sudah miskin disuruh jaga hutan tapi tak diberi apa-apa. Sungguh malang.

Hal yang harus dilakukan dalam pengelolaan TNGL adalah mengajak semua stakeholder untuk duduk bersama merumuskan tata kelola taman nasional satu-satunya di Aceh ini. Mulai dari masyarakat, pemerintah, badan-badan terkait, LSM dan ilmuan diundang untuk diminta masukan. Harap diingat bahwa acara musyawarah ini bukanlah semata-mata mencari masukan saja tapi lebih dari itu acara ini untuk menumbuhkan semangat rasa memiliki dan menjaga hutan warisan dunia tersebut. Salah satu sifat bangsa Indonesia adalah jika sudah diajak urun rembug berarti orang tersebut sudah dihargai keberadaannya. Pertemuan-pertemuan sejenis jangan hanya menjadi pertemuan ilmiah yang membahas flora dan fauna semata tetapi juga lebih membumi lagi karena membahas manusia di dalamnya.

Manusia bukanlah makhluk terlarang dalam mencari nafkah dari hutan sebab sejak ratusan tahun lalu manusia sudah bergantung dari kemurahan alam. Tetapi yang terpenting adalah bagaimana mengatur manusia-manusia yang jumlahnya kian bertambah. Disusun tata kelola bagaimana memanfaatkan sumber daya alam secara berkelanjutan dan tidak merusak ekosistem yang lain. Jika manusia sudah merasa bahwa hutan adalah ‘miliknya’ atau sumber penghidupannya maka tentu ia berusaha keras merawatnya. Tetapi hal ini belum menjamin tidak terjadi perusakan lingkungan jika manusia tidak diberikan wawasan dan kemampuan menjaga hutan. Satu hal lagi, harus ada jaminan kesejahteraan bagi masyarakat dalam mengelola hutan agar mereka tidak tergiur dengan tawaran cukong menebang hutan ataupun membabat hutan untuk membuka kebun.

Pembentukan forum-forum masyarakat kehutanan atau sejenisnya, yang anggotanya semua stakeholder taman nasional sangat penting dilakukan di sekitar TNGL. Ini merupakan bentuk pelibatan langsung masyarakat dalam pengelolaan TNGL sehingga semua pihak mempunyai saluran dalam menyampaikan aspirasinya terkait TNGL. Selain itu masyarakat harus dilibatkan dalam menjaga hutan langsung misalnya direkrut menjadi penjaga hutan (ranger), pemandu wisata hutan (guide) ataupun petugas rehabilitasi hutan. Warga yang akan direkrut tidak perlu dipersusah persyaratannya karena seperti kita ketahui pendidikan formal masyarakat pedalaman sangat minim. Syarat yang terpenting adalah pengetahuan mereka tentang hutan dan semangat mereka menjaga kelestarian lingkungan.

Hal lain yang perlu juga dilakukan adalah penegakan hukum tanpa pandang bulu. Jika ada pihak yang melanggar hukum dalam kawasan konservasi TNGL maka harus segera diberi sangsi tegas. Ini agar tidak menjadi preseden buruk bagi pihak lain yang ingin mencoba hal serupa. Namun bagi masyarakat yang merambah hutan maka mereka harus diberi pemahaman perlahan mengapa mereka tidak diperbolehkan tinggal di dalam wilayah TNGL.

Kenapa mesti perlahan? Ini dikarenakan pemahaman warga terhadap lingkungan dan kemampuan perekonomian mereka umumnya lemah. Tentu mereka harus mempersiapkan tempat baru untuk tinggal atau untuk mencari nafkah.
Selain persoalan sosial kemasyarakatan juga perlu diperhatikan adalah isu biodiversity dalam hutan taman nasional. Pendataan keanekaragaman hayati perlu dilakukan sebagai inventarisasi asset yang jumlahnya tak ternilai. Ini penting agar bangsa kita mengetahui seberapa besar kekayaan yang dimiliki sehingga diharapkan muncul rasa cinta kepada keanekaragaman hayati. Juga tak kalah penting agar plasma nutfah tidak dibawa pergi oleh pihak asing dan diklaim sebagai milik mereka seperti yang sering kita dengar.

Tak ada jalan mudah memang namun berbagai langkah-langkah penyelamatan sebagaimana disebutkan di atas harus dilakukan. Saya yakin ada banyak masalah lain yang harus dipecahkan misalnya masalah minimnya anggaran, keterbatasan personil dan sebagainya. Namun jika persoalan yang paling besar bisa kita atasi maka persoalan lain tentunnya lebih mudah kita tuntaskan. Menjaga Taman Nasional Gunung Leuser berarti kita menjaga kehidupan disekitarnya.[m.nizar abdurrani]

read more
Tajuk Lingkungan

Jika saja SBY Berkampung di Porong

Pak Susilo Bambang Yudhoyono, Presiden Republik Indonesia yang terhormat.

Saya menulis surat ini dengan harapan Bapak bersedia membacanya dan meresapinya dengan mendalam, agar seolah-olah Bapak berada di tengah luapan lumpur Lapindo yang menenggelamkan desa kami.  Bermula dari pengeboran di tengah sawah yang dilakukan sekelompok kapitalis yang berusaha membuat lubang raksasa di desa kami. Mereka mencari minyak dan gas bumi, tapi mujur tak dapat diraih, malang yang menimpa kami. Mereka ternyata bukanlah sekelompok ahli yang patut dibayar mahal. Mereka kerja ceroboh, sehingga menyebabkan lumpur panas dari dalam bumi menggelegak naik ke daratan.

Desa saya tenggelam Pak SBY. Saya yakin Bapak sudah tahu tentang cerita ini, apalagi peristiwa ini sudah terjadi sejak 27 Mei 2006 lalu. Tapi apakah Bapak sudah tahu, sampai dimana penderitaan yang kami rasakan saat ini? Sulit membayangkan bagaimana penderitaan akibat lumpur panas ulah PT Lapindo Brantas jika Bapak tidak pernah tinggal di Porong. Kampung kami dulu adalah kampung yang indah, sawah-sawah berjejeran sepanjang mata memandang. Kambing-kambing dulu berlarian dengan bebas, naik-turun bukit dan memamah rumput sesuka hati. Para pengrajin saling mendengarkan denting alat kerjanya beradu tanpa pernah merasa terganggu dengan alunan suara palu. Tapi lumpur panas itu benar-benar mengganggu dan menenggelamkan masa depan kami.

Pak SBY yang saya hormati. Apakah Bapak sudah mendengar tentang warga kampung kami yang “gila” akibat tak tahan dengan derita menimpa. Sudah rumahnya hilang, mata pencariannya lenyap, tak ada yang tersisa untuk dibanggakan selain hutang yang terus menumpuk. Ntah dimana akal sehat perusahaan Lapindo yang dipimpin politisi terkenal tersebut. Kok tega-teganya dia membiarkan masyarakat menjadi gila akibat ulahnya. Apakah politisi itu sanggup mempertanggungjawabkan perbuatannya di kemudian hari?

Pak SBY yang mulia. Apakah Bapak tahu kalau anak-anak kami menghirup udara beracun yang keluar dari perut bumi? Sepertinya bumi Porong sedang buang “angin”, baunya sangat tidak sedap dan beracun pula. Beberapa teman sekampung, Pak De dan Bu De saya terserang gas beracun dan sesak napas. Mau minum juga susah, air bersih sudah tercemar oleh lumpur panas. Tak sanggup badan kami menahan segala racun ini. Badan kami bukan diciptakan untuk mengolah segala racun dari perut bumi.

Baiklah Pak SBY kalau bapak ingin kami pindah dari Porong. Tapi mana ganti ruginya? Kami sudah menunggu enam tahun tapi yang diberikan cuman sekedar alakadarnya yang untuk ongkos pindahpun tak memadai. Si politisi yang Bapak suruh mengganti rugi milik kami bisanya hanya ngeles setiap orang kampung saya menagihnya. Yang kami minta adalah uang kami sendiri, bukan dana untuk kampanyenya untuk menjadi presiden nanti. Ntah bagaimana dia kalau jadi presiden, sekarang saja sombongnya minta ampun. Katanya lumpur panas di kampung kami adalah ulah alam. Itu artinya dia mau bilang, itu tanggung jawab Tuhan. Minta sana duit ganti rugi sama Tuhan, jangan sama saya. Ini gila.

Pak SBY, presiden Indonesia. Bapak sebentar lagi akan turun, gak jadi lagi presiden karena ini mau Pemilu. Apakah nestapa kami warga Porong akan bapak biarkan saja? Jangan sampai rasa hormat kami kepada Bapak hilang. Bapak belum menunjukan tanggung jawab Bapak sebagai presiden untuk membela hak-hak kami. Apa perlu Bapak kami ajak tinggal di Porong agar Bapak merasakan sendiri bagaimana pekatnya lumpur, bagaimana bau menyengat dari gas? Atau susahnya mencari air bersih di tengah lautan lumpur Lapindo? Saya sudah mulai berpikir demikian sepertinya.

Jika Bapak tidak jadi lagi presiden ada baiknya Bapak menginap di rumah saya yang sudah doyong. Kami sekeluarga sedang bergegas mempreteli satu persatu rumah agar jangan sampai ditelan lumpur. Kami berusaha mati-matian agar sisa-sisa material rumah bisa dijual atau dimanfaatkan kembali. Tapi berapalah nilainya. Ah, surat ini sebaiknya tak saya kirim saja. Bapak kan sedang sibuk![m.nizar abdurrani]

read more