close

15/10/2013

Green Style

Cara Termudah Mengurangi Kantung Plastik

Volume peredaran kantung plastik yang cukup besar di Indonesia tak jarang membuat benda ini banyak tercecer di jalanan, di luar tempat sampah, dan mengotori saluran air.

Kantung plastik yang ringan dan banyak sampah plastik lainnya sering berakhir di laut, menyebabkan kematian ribuan hewan laut per tahun. Selain itu, racun-racun dari partikel plastik yang masuk dalam tanah juga akan membunuh hewan-hewan pengurai di dalam tanah seperti cacing. Siklus air juga jadi terganggu jika banyak sampah plastik di tanah.

Tentu cara pertama untuk mengurangi penggunaan kantung plastik adalah dengan berhenti menggunakannya. Mulai bawalah tas sendiri saat berbelanja, gantung di dekat pintu agar tak lupa dibawa, pilih bahan yang cukup tipis sehingga bisa dilipat dan dimasukkan ke ransel atau tas sehari-hari Anda.

Atau jika tidak membawa kantung plastik sendiri, kurangi penggunaan kantung plastik saat berbelanja. Jika misalnya kasir memberikan Anda 2 kantung plastik berbeda untuk barang-barang belanjaan yang sebenarnya muat dalam satu plastik, kenapa harus menggunakan dua kantung plastik tersebut?

Jika semua ini masih masih terlalu sulit, ada cara termudah untuk membantu mengurangi kantung plastik. Kumpulkan kantung plastik yang tercecer yang Anda temukan di manapun, lalu buang ke tempat sampah.

Tetapi jika ini terlalu mudah, maka kumpulkanlah tas-tas plastik yang bisa Anda temukan, lalu serahkan ke pemulung atau tempat pengumpul plastik di kota Anda agar bisa diolah dengan baik. Tak mengotori tanah, tak berakhir di lautan dan membahayakan hewan laut, atau meracuni persediaan air kita.

Sumber: news yahoo

read more
Hutan

Warga Rawa Tripa Terjepit Kebun Kelapa Sawit

Saat ini merupakan periode emas pertumbuhan bisnis perkebunan kelapa sawit, baik yang dikembangkan oleh investor lokal maupun investor internasional di lahan subur di Indonesia. Pembersihan dan pembakaran hutan terus saja dilakukan untuk pembukaan lahan perkebunan dengan skala besar. Pemerintah Indonesia percaya bahwa pertumbuhan ekonomi akan meningkat.

Namun, tak dapat dipungkiri peralihan fungsi lahan sebagai perkebunan kelapa sawit akan berdampak bagi masyarakat dan lingkungan.

Yang menjadi catatan penting adalah hutan gambut rawa tripa di propinsi Aceh mencakup area seluas 60.000 hektar. Sejak tahun 1980, 20.000 hektar telah dialihfungsikan menjadi perkebunan kelapa sawit. Akibatnya, masyarakat dan lingkungan setempat menjadi korban pertama yang terancam dengan zat-zat berbahaya.

Masyarakat setempat telah dibekali dengan pengetahuan dan pengalaman terkait regulasi tentang lingkungan dan dampak investasi perkebunan kelapa sawit. Setidaknya melalui kegiatan workshop yang diselenggarakan oleh WALHI Aceh di Meulaboh, Kabupaten Aceh Barat.  Peserta terutama berasal dari masyarakat yang terkena dampak diwilayah sengketa lahan.

Nurdin, warga desa Blang Luah dan Abdul Majid tokoh masyarakat Kecamatan Seunagan Timur Kabupaten Nagan Raya memberikan kesaksian. Nurdin menjelaskan bahwa lahan ini merupakan sumber mata pencaharian masyarakat setempat seperti rotan dan  hasil hutan lainnya. Rawa Tripa merupakan “Bank Makanan”. Keadaan berubah setelah PT Kalista Alam dan PT Surya Panen Subur II beroperasi. Banyak pohon telah ditebang, air tercemar, hewan mati, dan populasi ikan berkurang. Masyarakat setempat akan dihadapkan pada kelangkaan sumber makanan. Dulu, sungai digunakan sebagai jalur transportasi dengan menggunakan perahu tanpa takut akan banjir.

Abdul Majid, yang berasal dari desa lain menambahkan bahwa dulu, sebelum jalan dibangun, perahu merupakan sarana transportasi yang tersedia karena susahnya melakukan perjalanan dengan berjalan kaki atau bersepeda. Namun semuanya berubah ketika PT Kallista Alam datang dengan menanam kelapa sawit di hutan gambut Rawa Tripa.

Cuaca dan iklim telah berubah, jika hujan turun sepanjang hari maka akan terjadi banjir. Jika dalam dua minggu hujan tidak turun maka kekeringan akan terjadi. Biasanya musim hujan dimulai pada bulan September sampai januari namun sekarang tidak dapat diprediksi lagi. Sejak dulu, lahan dikawasan ini dikenal sebagai penghasil padi, musim hujan yang teratur, cuaca yang bagus dan tidak ada masalah berarti.

Abdul Majid mengatakan bahwa hal tersebut berdampak serius bagi perekonomian masyarakat setempat karena tidak lagi bisa mencari nafkah seperti sebelumnya. Seharusnya masyarakat setempat mendapatkan kompensasi atas perambahan lahan konsesi, namun tidak dapat diberikan karena tidak memiliki surat kepemilikan lahan.

Baik Abdul Majid dan Nurdin memberikan gambaran perbandingan mata pencaharian masyarakat sebelum dan sesudah perkebunan beroperasi. Sebelumnya, masyarakat setempat hidup dengan praktek ekonomi konvensional. Sebaliknya, setelah beberapa orang masyarakat setempat bekerja di perkebunan sawit keadaan berubah. Kesenjangan terjadi, praktek-praktek tradisional hilang seperti budaya pernikahan atau tradisi lainnya.

Tenaga kerja lokal yang telah dipekerjakan oleh perusahaan kelapa sawit berjumlah 60 pemuda dari lima desa. Mereka adalah buruh harian bukan karyawan tetap. Pekerjaan dibagi berdasarkan kategori jenis kelamin, buruh perempuan melakukan pemupukan dan pembasmian hama, buruh laki-laki melakukan pekerjaan yang lebih berat.
Meskipun demikian, buruh harian yang bekerja setiap hari belum tentu dibayar setiap harinya. Perusahaan mempekerjakan 20 karyawan tetap yang mendapatkan gaji rutin dan cuti hari libur umum.

Dulu, tanah adat diatur dengan hukum adat. Selama masa konflik, banyak tanah adat yang dijadikan hak milik dengan metode pembagian masing-masing dua hektar. Selama masa konflik, banyak lahan yang dibiarkan terlantar dan ditinggalkan pemiliknya. Setelah menjadi daerah damai sayangnya lahan di Aceh tidak ada proses ganti rugi.
Kemudian, PT Kallista Alam mendapatkan hak konsesi untuk membuka perkebunan kelapa sawit. Yang menariknya adalah masyarakat setempat menjadi agen yang memperjual belikan tanah kepada perusahaan.

Seorang warga bernama Suratman mengatakan bahwa pada tahun 1980, perusahaan telah membeli tanah seharga 800.000 rupiah per hektar, namun, beberapa penduduk desa termasuk dirinya tidak menjual. Kemudian, broker datang kepadanya dan meminta membeli tanah, tapi dia bersikeras. Akibatnya, satu minggu kemudian pohon coklat di kebunnya ditebang dan digantikan pohon kelapa sawit.

Kasus lainnya adalah yang dialami Idin, warga desa Panton Bayu, Kecamatan Senagan Timur, Kabupaten Nagan Raya yang diwawancara melalui saluran telpon mengatakan bahwa desanya memiliki tanah ulayat yang dikelola secara tradisional. Total lahannya seluas 100 hektar dan menurut hukum adat tidak boleh diperjualbelikan. Selama konflik Aceh, tanah tersebut dibiarkan terlantar dan tidak digarap. Setelah damai, penduduk kembali ke desanya dan bercocok tanam dan beberapa bulan kemudian lahan tersebut dijual dan diberikan kompensasi.

“Saya dan warga desa lainnya belum menjual, belum menandatangani dan tidak menerima kompensasi. Saya juga ingin tahu bagaimana membuat sertifikat tanah, namun sayangnya sampai sekarang saya belum mengetahuinya”.
Meskipun masyarakat setempat dapat mengakses dan melakukan aktivitas ditanah hak milik mereka yang berbatasan dengan perkebunan namun polisi memberikan halangan karena dianggap mengganggu perkebunan kelapa sawit.

Pada musim penghujan maka banjir akan merendam pemukiman dan apabila musim kemarau maka akan terjadi kekeringan. Meskipun berbagai laporan telah disampaikan hingga ke namun belum ada tanggapan. Oleh karena itu, gerakan masyarakat setempat sangat dibutuhkan untuk menjaga dan melestarikan hutan sebagai warisan untuk generasi yang akan datang.

Perjuangan panjang yang dialami Ansari, warga desa Kaye Uno, Kecamatan Senagan Timur, Kabupaten Nagan Raya sejak tahun 1980 yang telah mengelola tanah ulayat sesuai aturan adat. Lahan yang dikelolanya sekitar 2.000 hektar ditanami coklat, kelapa dan jenis tanaman lainnya.

Selama konflik Aceh berkecamuk, masyarakat terpaksa pindah dengan membiarkan tanah garapannya terlantar menjadi hutan belantara. Kemudian pada tahun 2008, masyarakat kembali ke kampung halaman dan yang mengejutkan ternyata lahan yang mereka kelola telah dibersihkan dan dialihfungsikan menjadi perkebunan kelapa sawit oleh perusahaan Surya Panen Subur II yang berada dibawah manajemen perusahaan Amara.

“Kami ingin mengambil kembali lahan milik kami namun perusahaan menampiknya. Kami telah berusaha dua sampai tiga kali bernegosiasi dengan perusahaan dan juga melaporkan ke pemerintahan kabupaten Nagan Raya namun belum mendapatkan solusi apapun”.

Jika merujuk ke sejarah, kawasan sekitar hutan gambut Rawa Tripa merupakan wilayah pemukiman kerajaan yang pernah jaya dulunya. Berdasarkan bukti sejarah, ditemukan batu nisan yang bertuliskan nama H. Nyak Dom. Diperkirakan daerah tersebut ditempati oleh masyarakat sejak abad ke 18. Kawasan tersebut dikenal dengan sebutan Ujung Raja.

Dapat diambil kesimpulan bahwa masyarakat setempat harus berjuang mendapatkan kembali tanah hak milik yang telah mereka miliki secara turun temurun agar dapat kembali mencari nafkah. []

Penulis, Ruayrin Pedsalabkaew, fellow pada Asian Public Intellectual (API), Reporter Deep South Watch yang telah melakukan penelitian tentang isu-isu perampasan lahan oleh perusahaan multinasional di Aceh, Dampaknya terhadap Hak Asasi Manusia dan Kearifan Lokal.  Pendapat penulis tidak menggambarkan pandangan API Fellowships Program, The Nippon Foundation, the Coordinating Institution, dan/atau lembaga partner. 

Blogazine…Lahan dan Hutan di Aceh…Ruayrin Pedsalabkaew  

Suara Warga Rawa Tripa Tersumpal Industri Kelapa Sawit.

Saat ini merupakan periode emas pertumbuhan bisnis perkebunan kelapa sawit, baik yang dikembangkan oleh investor lokal maupun investor internasional di lahan subur di Indonesia. Pembersihan dan pembakaran hutan terus saja dilakukan untuk pembukaan lahan perkebunan dengan skala besar. Pemerintah Indonesia percaya bahwa pertumbuhan ekonomi akan meningkat.

Namun, tak dapat dipungkiri peralihan fungsi lahan sebagai perkebunan kelapa sawit akan berdampak bagi masyarakat dan lingkungan.

Yang menjadi catatan penting adalah hutan gambut rawa tripa di propinsi Aceh mencakup area seluas 60.000 hektar. Sejak tahun 1980, 20.000 hektar telah dialihfungsikan menjadi perkebunan kelapa sawit. Akibatnya, masyarakat dan lingkungan setempat menjadi korban pertama yang terancam dengan zat-zat berbahaya.

Masyarakat setempat telah dibekali dengan pengetahuan dan pengalaman terkait regulasi tentang lingkungan dan dampak investasi perkebunan kelapa sawit. Setidaknya melalui kegiatan workshop yang diselenggarakan oleh WALHI Aceh di Meulaboh, Kabupaten Aceh Barat.  Peserta terutama berasal dari masyarakat yang terkena dampak diwilayah sengketa lahan.

Nurdin, warga desa Blang Luah dan Abdul Majid tokoh masyarakat Kecamatan Seunagan Timur Kabupaten Nagan Raya memberikan kesaksian.

Nurdin menjelaskan bahwa lahan ini merupakan sumber mata pencaharian masyarakat setempat seperti rotan dan  hasil hutan lainnya. Rawa Tripa merupakan “Bank Makanan”. Keadaan berubah setelah PT Kalista Alam dan PT Surya Panen Subur II beroperasi. Banyak pohon telah ditebang, air tercemar, hewan mati, dan populasi ikan berkurang. Masyarakat setempat akan dihadapkan pada kelangkaan sumber makanan. Dulu, sungai digunakan sebagai jalur transportasi dengan menggunakan perahu tanpa takut akan banjir.

Abdul Majid, yang berasal dari desa lain menambahkan bahwa dulu, sebelum jalan dibangun, perahu merupakan sarana transportasi yang tersedia karena susahnya melakukan perjalanan dengan berjalan kaki atau bersepeda. Namun semuanya berubah ketika PT Kallista Alam datang dengan menanam kelapa sawit di hutan gambut Rawa Tripa.

Cuaca dan iklim telah berubah, jika hujan turun sepanjang hari maka akan terjadi banjir. Jika dalam dua minggu hujan tidak turun maka kekeringan akan terjadi. Biasanya musim hujan dimulai pada bulan September sampai januari namun sekarang tidak dapat diprediksi lagi. Sejak dulu, lahan dikawasan ini dikenal sebagai penghasil padi, musim hujan yang teratur, cuaca yang bagus dan tidak ada masalah berarti.

Abdul Majid mengatakan bahwa hal tersebut berdampak serius bagi perekonomian masyarakat setempat karena tidak lagi bisa mencari nafkah seperti sebelumnya. Seharusnya masyarakat setempat mendapatkan kompensasi atas perambahan lahan konsesi, namun tidak dapat diberikan karena tidak memiliki surat kepemilikan lahan.

Baik Abdul Majid dan Nurdin memberikan gambaran perbandingan mata pencaharian masyarakat sebelum dan sesudah perkebunan beroperasi. Sebelumnya, masyarakat setempat hidup dengan praktek ekonomi konvensional. Sebaliknya, setelah beberapa orang masyarakat setempat bekerja di perkebunan sawit keadaan berubah. Kesenjangan terjadi, praktek-praktek tradisional hilang seperti budaya pernikahan atau tradisi lainnya.

Tenaga Kerja Perkebunan

Tenaga kerja lokal yang telah dipekerjakan oleh perusahaan kelapa sawit berjumlah 60 pemuda dari lima desa. Mereka adalah buruh harian bukan karyawan tetap. Pekerjaan dibagi berdasarkan kategori jenis kelamin, buruh perempuan melakukan pemupukan dan pembasmian hama, buruh laki-laki melakukan pekerjaan yang lebih berat.

Meskipun demikian, buruh harian yang bekerja setiap hari belum tentu dibayar setiap harinya. Perusahaan mempekerjakan 20 karyawan tetap yang mendapatkan gaji rutin dan cuti hari libur umum.

Dulu, tanah adat diatur dengan hukum adat. Selama masa konflik, banyak tanah adat yang dijadikan hak milik dengan metode pembagian masing-masing dua hektar. Selama masa konflik, banyak lahan yang dibiarkan terlantar dan ditinggalkan pemiliknya. Setelah menjadi daerah damai sayangnya lahan di Aceh tidak ada proses ganti rugi.

Kemudian, PT Kallista Alam mendapatkan hak konsesi untuk membuka perkebunan kelapa sawit. Yang menariknya adalah masyarakat setempat menjadi agen yang memperjual belikan tanah kepada perusahaan.

Seorang warga bernama Suratman mengatakan bahwa pada tahun 1980, perusahaan telah membeli tanah seharga 800.000 rupiah per hektar, namun, beberapa penduduk desa termasuk dirinya tidak menjual. Kemudian, broker datang kepadanya dan meminta membeli tanah, tapi dia bersikeras. Akibatnya, satu minggu kemudian pohon coklat di kebunnya ditebang dan digantikan pohon kelapa sawit.

Kasus lainnya adalah yang dialami Idin, warga desa Panton Bayu, Kecamatan Senagan Timur, Kabupaten Nagan Raya yang diwawancara melalui saluran telpon mengatakan bahwa desanya memiliki tanah ulayat yang dikelola secara tradisional. Total lahannya seluas 100 hektar dan menurut hukum adat tidak boleh diperjualbelikan. Selama konflik Aceh, tanah tersebut dibiarkan terlantar dan tidak digarap. Setelah damai, penduduk kembali ke desanya dan bercocok tanam dan beberapa bulan kemudian lahan tersebut dijual dan diberikan kompensasi.

“Saya dan warga desa lainnya belum menjual, belum menandatangani dan tidak menerima kompensasi. Saya juga ingin tahu bagaimana membuat sertifikat tanah, namun sayangnya sampai sekarang saya belum mengetahuinya.

Meskipun masyarakat setempat dapat mengakses dan melakukan aktivitas ditanah hak milik mereka yang berbatasan dengan perkebunan namun polisi memberikan halangan karena dianggap mengganggu perkebunan kelapa sawit.

Pada musim penghujan maka banjir akan merendam pemukiman dan apabila musim kemarau maka akan terjadi kekeringan. Meskipun berbagai laporan telah disampaikan mulai tingkat kabupaten, propinsi namun belum ada tanggapan. Oleh karena itu, gerakan masyarakat setempat sangat dibutuhkan untuk menjaga dan melestarikan hutan sebagai warisan untuk generasi yang akan datang.

Perjuangan panjang yang dialami Ansari, warga desa Kaye Uno, Kecamatan Senagan Timur, Kabupaten Nagan Raya sejak tahun 1980 yang telah mengelola tanah ulayat sesuai aturan adat. Lahan yang dikelolanya sekitar 2.000 hektar ditanami coklat, kelapa dan jenis tanaman lainnya.

Selama konflik Aceh berkecamuk, masyarakat terpaksa pindah dengan membiarkan tanah garapannya terlantar menjadi hutan belantara. Kemudian pada tahun 2008, masyarakat kembali ke kampung halaman dan yang mengejutkan ternyata lahan yang mereka kelola telah dibersihkan dan dialihfungsikan menjadi perkebunan kelapa sawit oleh perusahaan Surya Panen Subur II yang berada dibawah manajemen perusahaan Amara.

“Kami ingin mengambil kembali lahan milik kami namun perusahaan menampiknya. Kami telah berusaha dua sampai tiga kali bernegosiasi dengan perusahaan dan juga melaporkan ke pemerintahan kabupaten Nagan Raya namun belum mendapatkan solusi apapun.  

Jika merujuk ke sejarah, kawasan sekitar hutan gambut Rawa Tripa merupakan wilayah pemukiman kerajaan yang pernah jaya dulunya. Berdasarkan bukti sejarah, ditemukan batu nisan yang bertuliskan nama H. Nyak Dom. Diperkirakan daerah tersebut ditempati oleh masyarakat sejak abad ke 18. Kawasan tersebut dikenal dengan sebutan Ujung Raja.

Dapat diambil kesimpulan bahwa masyarakat setempat harus berjuang mendapatkan kembali tanah hak milik yang telah mereka miliki secara turun temurun agar dapat kembali mencari nafkah. Ini merupakan perjuangan mendapatkan kembali hak kepemilikan atas lahan yang telah dimiliki secara turun temurun.

“Pendapat penulis tidak mencerminkan pendapat Program Beasiswa API, The Nippon Foundation, Lembaga Koordinasi, dan / atau Lembaga Mitra”.

 

 

read more
Hutan

Pelajaran dari Moratorium Logging Aceh

Saat menjabat Gubernur Aceh periode lalu, drh.Irwandi Yusuf, gundah-gulana melihat keadaan hutan Aceh yang mengalami deforestasi terus menerus. Sebagai mantan aktivis lingkungan, ia menyadari tanah kelahirannya akan segera mengalami bencana ekologis yang dahsyat jika hutan menghilang. Dan pembabatan hutan yang paling “kejam” adalah pembabatan hutan secara resmi untuk tujuan industri perkayuan.

Penebangan hutan resmi membuat areal hutan gundul secara massal, yang konon kecepatan deforestasinya bisa seluas 2 lapangan sepakbola sehari. Atas saran dari berbagai pihak dan pertimbangan yang matang maka tanpa ragu Irwandi Yusuf pun mengeluarkan program Moratorium Logging terhadap hutan Aceh. Secara sederhana pengertian moratorium (jeda) logging adalah pembekuan atau penghentian sementara seluruh aktivitas penebangan kayu skala kecil dan besar (skala industri) untuk sementara waktu sampai sebuah kondisi yang diinginkan tercapai. Rencananya lama atau masa diberlakukannya moratorium berkisar kurang lebih 15-20 tahun.

“Untuk menghidupi 4,2 juta rakyat Aceh, kita tidak perlu membabat hutan,” tegas Irwandi Yusuf, Gubernur Nanggroe Aceh Darussalam, yang terpilih pada Pilkada 11 Desember 2006 lalu. “Komitmen penyelamatan hutan Aceh juga telah kita lakukan sejak penyusunan Nota Kesepahaman (MoU) Helsinki, yang kini telah masuk dalam UU No. 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh,” ujarnya menambahkan.

Pada hari Rabu, 6 Juni 2007 lalu, dengan dihadiri oleh ratusan aktivis lingkungan, pejabat pemerintahan dan perwakilan negara sahabat, Irwandi Yusuf secara resmi mendeklarasikan Moratorium on Logging, pemberlakuan Jeda Tebang Hutan di Nanggroe Aceh Darussalam.
Moratorium Logging merupakan pintu masuk untuk menyusun kembali strategi pengelolaan hutan Aceh melalui penataan ulang (Redesign), penanaman kembali hutan (Reforestasi), dan menekan laju kerusakan hutan (Reduction deforestasi) atau dikenal dengan singkatan konsep 3R. Konsep ini diharapkan mewujudkan “Hutan Lestari Rakyat Aceh Sejahtera”. Konsep ini berarti bukan hanya menyelamatkan hutan dari aksi penebangan semata namun juga hutan yang telah dilestarikan tersebut dapat memberikan manfaat kepada masyarakat dan membuat mereka sejahtera.

Hutan bukan lah bagian terpisah dari kehidupan masyarakat karena masyarakat sekitar hutan telah hidup berdampingan dengan tumbuhan dan hewan-hewan selama ratusan tahun dengan damai. Melalui konsep 3R, masyarakat tidak akan ditinggalkan perannya dalam pengelolaan hutan.

Bagaimana sebenarnya keadaan hutan Aceh saat ini? Hutan Aceh saat ini kondisinya tidak jauh berbeda secara umum dengan hutan lain di Indonesia. Provinsi Aceh dengan luas daratan lebih dari 5 juta hektar—memiliki kawasan hutan seluas 3,3 juta hektar lebih (62,7%), di antaranya sekitar 2,7 juta hektar kawasan konservasi dan hutan lindung dan hampir 640.000 hektar untuk kawasan budi daya kehutanan.

Menurut data, deforestasi kawasan hutan Aceh selama 2002-2004 saja mencapai angka hampir 200.000 hektar. Hampir 60% praktik deforestasi tersebut terjadi di kawasan konservasi dan hutan lindung, termasuk di kawasan Taman Nasional Gunung Leuser. Deforestasi juga terjadi di luar kawasan hutan melalui praktik konversi untuk kepentingan pembangunan di luar sektor kehutanan, seperti perkebunan dan kegiatan budi daya lainnya—yang mencapai luasan lebih dari 156.000 hektar. Deforestasi di luar kawasan hutan ini menyumbang sebesar 45% dari total deforestasi di Aceh. Secara total, deforestasi hutan Aceh mencapai angka lebih dari 350.000 hektar selama 2002-2004, setara 5 kali lipat luas Singapura.

Kebijakan moratorium logging yang dideklarasikan oleh Pemerintahan Aceh ini mengikat para pemegang konsesi HPH dan HTI, serta usaha dan kegiatan lainnya yang memiliki implikasi terhadap penebangan hutan. Kebijakan Moratorium Logging yang dituangkan dalam instruksi gubernur memandatkan instansi di lingkup pemerintah Aceh untuk memastikan bahwa moratorium terlaksana di lapangan.

Kebijakan jeda tebang hutan mendapat dukungan luas dari berbagai negara yang peduli terhadap keberlangsungan hutan Aceh. Negara-negara seperti Amerika, Kanada, Perancis dan Inggris melalui perwakilan-perwakilannya yang ada di Aceh menyatakan dukungan penuh atas kebijakan ini. Dukungan ini bukan hanya sebatas lips service tapi juga sudah diimplementasikan dalam kebijakan. Para donor yang terlibat dalam kegiatan rehabilitasi dan rekonstruksi di Aceh mengeluarkan aturan kepada kontraktornya wajib menggunakan kayu resmi yang bersertifikat.

Dan untuk mengurangi beban pemakaian kayu asal Aceh, pihak kontraktor diminta untuk memilih bahan alternative pengganti kayu jika memungkinkan. Hal ini sudah terlihat hasilnya dimana banyak pembangunan kuda-kuda bangunan yang memakai rangka baja.

Aceh menjadi satu-satunya provinsi di Indonesia yang menerapkan kebijakan moratorium logging. Kebijakan ini merupakan sebuah terobosan komprehensif dalam menyelamatkan hutan Aceh, yang merupakan bagian dari hutan Indonesia. Hutan rimbun yang memberikan banyak sekali manfaat bagi manusia, baik manusia yang tinggal di Aceh, di Indonesia bahkan manusia yang tinggal di luar negeri sekalipun.

Dunia saat ini sudah sangat sensitive terhadap isu-isu lingkungan. Semua sepakat untuk saling menjaga kelestarian hutan dengan berbagai mekanisme. Sebuah mekanisme tentang carbon credit atas fungsi hutan sebagai penyerap zat karbon yang banyak dihasilkan Negara maju ramai dibicarakan. Mekanisme yang dalam istilah asingnya Reducing Emission From Deforestation and Forest Degradation (Pengurangan Emisi Karbon dari deforestasi dan degredasi hutan/REDD) diterapkan untuk hutan Aceh.

Pemerintah Aceh sudah menandatangani MoU dengan calon pemberi kredit karbon atas usaha-usaha melestarikan hutan Aceh. Negara-negara maju menjanjikan akan memberikan kompensasi yang setimpal atas upaya Aceh menjaga hutannya. Hutan yang lebat, berpotensi mampu menyerap zat beracun karbondioksida, efek negative dari industri-industri di barat.

Perjalanan untuk merealisasikan kredit karbon sesungguhnya masih jauh. Pemahaman penerapan REDD di Aceh sesungguhnya belum dipahami secara optimal. Maklum saja, ini merupakan hal yang baru sehingga membutuhkan ketelitian dalam perhitungan berapa dana bisa diperoleh Aceh dari kompensasi hutan. Ada perhitungan tersendiri untuk memastikan seberapa besar hutan Aceh berpotensi menyimpan karbon. Kemudian potensi ini dikonversikan menjadi uang dan uang inilah yang akan diberikan kepada pemerintah.

Sebuah lembaga keuangan asing dari Amerika, Merril Linch, bahkan telah berkomitmen akan memberikan kredit karbon sebesar 2 juta USD, untuk pelestarian Ulu Masen. Sebuah kawasan hutan lebat yang melintasi daerah kabupaten Pidie, Aceh Besar, Aceh Jaya, Nagan Raya dan Aceh Barat. Sayangnya Merril Linch sendiri kini sudah bangkrut.

Kebijakan Moratorium logging bukannya tidak menghadapi hambatan, internal maupun eksternal. Masih banyak pengusaha yang bersikeras mengurus izin penguasaan hutan melalui lobi-lobi pemerintah Jakarta. Sekelompok kecil masyarakat, dengan dalih untuk pembangunan berusaha menebang kayu dalam jumlah banyak. Bahkan masyarakat awam pun masih banyak yang salah memahami jeda tebang.

Sebagian orang beranggapan program ini telah gagal. Alasan mereka adalah melihat masih adanya penebangan liar yang berlangsung di kawasan hutan Aceh. Namun masyarakat seharusnya paham bahwa jeda tebang berlaku untuk penebangan resmi berizin. Sedangkan penebangan liar merupakan kegiatan haram yang menjadi bagian dari penegakkan hukum (law enforcement). Dari sejak dulu dan sampai kapan pun penebangan liar tetap terlarang.

Sejauh ini belum ada data secara pasti berapa pertumbuhan kembali hutan (forestasi) Aceh sejak diberlakukannya jeda tebang. Namun kita harus mengingat ini merupakan sebuah terobosan dalam pelestarian lingkungan dan pasti bermanfaat. Sebuah pelajaran pelestarian lingkungan hutan dari Aceh, yang layak untuk ditiru oleh siapapun. [m.nizar abdurrani]

read more
Ragam

Gempa Bumi Berkekuatan 6,9 SR Tewaskan 13 Orang

Tim penyelamat menggali dengan cangkul dan sekop berusaha menyelamatkan puluhan orang terperangkap di bawah rumah yang roboh akibat gempa kuat yang mengguncang Filipina tengah Senin, (14/10/2013). Sedikitnya 13 orang tewas dan 40 orang diyakini hilang. Kebanyakan korban tinggal di sepanjang pantai di dekat pusat gempa 6,9 SR di selat sempit Negros Island, Philipina.

Di desa pegunungan Planas, 9 km dari kota pesisir Guihulngan di Propinsi Negros Oriental, sebanyak 30 rumah terkubur longsor dengan setidaknya 40 warga terperangkap didalamnya, kata Gubernur setempat Roel Degamo. Pasukan tentara dan polisi dikerahkan untuk membantu dalam penyelamatan.

” Situasi mereka buruk karena jika Anda dibenam tanah longsor selama satu jam, dua jam, bagaimana Anda bisa bernapas? ” Walikota Ernesto Reyes mengatakan . ” Tapi kami hanya berharap untuk yang terbaik , bahwa masih ada yang selamat. ”

Warga meminta bantuan di La Libertad dimana retakan besar lereng gunung telah terlihat | Foto: Ted Aljibe / AFP / Getty Images
Warga meminta bantuan di La Libertad dimana retakan besar lereng gunung telah terlihat | Foto: Ted Aljibe / AFP / Getty Images

Sedikitnya 10 orang dikonfirmasi tewas di Guihulngan , termasuk mahasiswa perguruan tinggi dan sekolah dasar serta penduduk yang berada di pasar kota yang runtuh, kata Reyes . Sekitar 100 orang terluka .

Gempa , yang terjadi pada pada 11:49 waktu setempat, memicu tanah longsor di desa pegunungan Solongon di kota La Libertad, juga di Negros Oriental. Tidak diketahui secara pasti berapa orang terperangkap, kata kepala polisi La Libertad Inspektur Eric Arrol Besario .

” Kami memakai sekop dan gergaji mesin untuk penyelamatan orang-orang terperangkap di dalamnya. Beberapa dari mereka berteriak minta bantuan sebelumnya, ” kata Besario kepada kantor berita The Associated Press melalui telepon. Tiga jembatan utama di kota retak dan tidak lagi bisa dilewati, tambahnya.

Pengungsi berboncengan melewati rumah roboh di La Libertad | Foto: Erik De Castro / Reuters
Pengungsi berboncengan melewati rumah roboh di La Libertad | Foto: Erik De Castro / Reuters

Bantuan makanan dan obat-obatan sedang menunggu untuk dikirimkan di ibukota provinsi Dumaguete , namun bantuan tersebut tidak bisa mencapai desa-desa yang membutuhkan karena akses jalan dan jembatan rusak.

” Ada seorang dokter India dan Kanada di sini sebelumnya dan mereka cukup membantu kami, ” kata Reyes. ” Mereka memiliki sejumlah obat-obatan tapi itu mungkin tidak cukup . ”

Sembilan jembatan rusak di Negros Oriental, empat diantaranya sudah tidak bisa dilewati, kata Gubernur Degamo. Kerusakan terparah terkonsentrasi di pegunungan di bagian utara provinsi, katanya .

Seismolog Filipina sempat mengeluarkan peringatan tsunami untuk pulau-pulau di bagian tengah. Gelombang besar menyapu lima pondok bambu dan kayu sebuah resor pantai di La Libertad, namun tidak ada laporan korban luka, kata Inspektur polisi Ernesto Tagle. Di tempat lain sepanjang pantai, orang-orang berhamburan keluar dari sekolah, mall dan kantor.

Warga memakai tangga untuk menyeberangi jembatan yang rusak di Tayasan | Foto: Reuters
Warga memakai tangga untuk menyeberangi jembatan yang rusak di Tayasan | Foto: Reuters

Dua orang tewas di kota yang dekat dengan pusat gempa, Tayasan, termasuk seorang anak ketika pagar beton rumah runtuh, kata Benito Ramos, kepala Kantor Pertahanan Sipil.

Seorang anak lain tewas dalam sebuah gereja ketika tembok gereja runtuh saat berlangsung upacara pemakaman di kota Jimalalud Negros Oriental , kata Walikota Reynaldo Tuanda .

Polisi Tayasan, Alfred Vicente Silvosa mengatakan kepada AP melalui telepon bahwa gempa susulan terjadi sehingga membuat warga takut kembali ke rumah mereka .

” Kami berada di luar, di alun-alun kota . Kita tidak bisa memeriksa bangunan karena masih berbahaya, ” kata Silvosa .
Sebuah gedung perkantoran tiga lantai juga runtuh di La Libertad , tapi penghuninya berhasil lolos dari maut.

Para pejabat di beberapa daerah diliburkan dan sekolah ditiadakan. Pembangkit listrik dan fasilitas telekomunikasi tak berfungsi di beberapa tempat .

Badan Survei Geologi AS mengatakan gempa itu berpusat 44 km sebelah utara dari Dumaguete di Negros dan pada kedalaman 29 kilometer. Wilayah ini sekitar 400 km sebelah tenggara dari ibukota , Manila .

Filipina berada di wilayah Pasifik ” Ring of Fire ” dimana gempa bumi dan aktivitas gunung berapi adalah hal yang umum. Sebuah gempa 7,7 Skala Richter menewaskan hampir 2.000 orang di Luzon pada tahun 1990 .

Negros pernah diguncang gempa 8,2 Skala Richter pada tahun 1948 tetapi tidak menyebabkan kerusakan besar tambahan karena wilayah itu masih belum pulih dari kehancuran akibat Perang Dunia II.

Gelombang Tsunami diperkirakan Capai Sulawesi

Kepala Pusat Data, Informasi, dan Humas BNPB Sutopo Purwo Nugroho Selasa (15/10) mengatakan peringatan dini tsunami telah dikeluarkan. Peta penjalaran dan waktu tsunami juga telah dikeluarkan. “Beberapa kawasan di Filipina diperkirakan terlanda tsunami,” kata Sutopo.

Berdasarkan peringatan dini tsunami yang dikeluarkan Pacific Disaster Center yang diterima Posko BNPB, diperkirakan daerah Indonesia bagian utara juga terpengaruh oleh tsunami.

Diperkirakan tsunami akan mencapai Manado, Patani, Sorong, Tarakan, dan Jayapura sekitar 3-4 jam setelah kejadian gempa di Philipina tersebut.

“Diperkirakan tinggi tsunami tidak terlalu tinggi untuk wilayah di Indonesia tersebut. Masyarakat dihimbau tetap tenang dan tidak panik. Jauhi aktivitas di sekitar laut dan pesisir di daerah tersebut. Informasi akan terus disampaikan sesuai perkembangan yang ada,” ujar Sutopo.[AP/TGJ]

Sumber: usatoday.com

 

read more
Tajuk Lingkungan

Hari Raya Kurban dan Lingkungan

Hari ini, Selasa 15 Oktober 2013 atau bertepatan dengan 10 Zulhijjah 1434 H merupakan hari raya akbar, Iedul Adha bagi umat Islam di muka bumi. Pada hari raya ini umat Islam melakukan ibadah qurban yaitu pemotongan hewan kurban yang telah memenuhi syarat. Inti dari perayaan ini adalah mengenang bagaimana Nabi Ibrahim AS dahulu patuh pada perintah Allah SWT untuk mengorbankan anaknya, Nabi Ismail dengan cara memotongnya.

Hari ini menjadi hikmah bagi kita umat manusia untuk selalu patuh dan taat kepada pencipta alam semesta, dimana sang pencipta telah mengeluarkan segenap aturan-Nya agar bumi ini dapat berjalan dengan baik. Namun sayangnya manusia lambat laun menjadi tidak patuh dan cenderung merusak bumi dan segala isinya demi kepentingan sesaat. Padahal jika saja mau “berkorban’ hari ini demi kelangsungan kehidupan di masa mendatang tentu jauh lebih baik.

Yang dikurbankan manusia adalah kehidupan yang tenteram dan damai demi kehidupan sesat yang penuh materialisme. Manusia berusaha menggali bahan tambang, semakin hari semakin dalam, semakin jauh. Manusia tak puas-puas membuka perkebunan dengan merusak hutan, padahal yang telah dimiliki kebun yang sejauh mata memandang tak habis-habisnya. Apalagi yang mereka cari?

Allah SWT sebagai pencipta alam dan segala isinya telah menetapkan juga bagaimana aturan main dalam menjaga bumi ini. Isi bumi sudah diciptakan sedemikian rupa memadai untuk dimanfaatkan bagi seluruh manusia. Tapi adanya manusia yang tamak dan serakahlah yang membuat isi bumi ini seolah-olah tidak mencukupi lagi. Kalau nafsu mengeruk sumber daya alam ini dituruti, berpuluh gunung emas pun tiada mampu menambal ketamakan hati manusia.

Hari raya Iedul Adha ini harus dimaknai sebagai hari suci yang penuh dengan pengorbanan demi kemaslahan umat. Ketika seekor domba dikurbankan oleh satu manusia, maka yang menerima manfaatnya adalah orang ramai. Apalagi lembu yang dikurbankan, akan lebih banyak lagi manusia yang mendapat manfaatnya. Itulah maknanya, mengeluarkan yang baik-baik demi kebaikan yang lebih besar lagi.

Manusia dituntut untuk pandai-pandai mengelola dan mengatur sumber daya alam yang sudah diberikan gratis oleh Sang Pencipta. Jika tidak maka tunggulah murka alam turun dengan sendirinya. Murka alam sangat susah untuk dibendung, apalagi dihilangkan karena ini adalah sunnatullah. Hutan yang telah gundul sangat rentan bencana longsor, mangrove yang telah punah tak bisa lagi halangi gelombang ekstrim capai dapur rumah kita.

Selamat merayakan Hari Raya Kurban..

read more