close

17/10/2013

Ragam

Jurnalisme Lingkungan: Kaya Cerita tapi Miskin Sumber Daya

Erik Hoffner adalah seorang jurnalis lingkungan dan fotografer yang karyanya muncul dalam berbagai publikasi, seperti Orion, The Sun, Northern Woodlands, Yale Environment 360, Earth Island Journal  dan World Ark. Baru-baru ini dua karyanya memicu reaksi keras dari publik: satu artikel tentang praktek penebangan hutan di Swedia dan sebuah foto pengeboran minyak di pinggiran kota Colorado yang membuat banjir komentar pembaca.

Dalam sebuah wawancara di bulan Oktober seperti dikutip dari Mongabay.com, Hoffner membahas dampak dari kisah-kisahnya ini serta karirnya di jurnalisme lingkungan. Berikut wawancaranya:

Mongabay : Apa latar belakang Anda dan apa yang menyebabkan Anda untuk menjadi seorang jurnalis/wartawan ?

Erik Hoffner : Keluarga saya semuanya fotografer, jadi inspirasi saya, tapi menulis artikel datang kemudian sebagai tambahan untuk foto-foto saya. Saya mulai menulis secara freelance untuk segala macam majalah sekitar tahun 2000 dan kemudian jadi seorang staf majalah Orion. Aku punya kolom sendiri tentang aktivisme akar rumput yang benar-benar menyenangkan. Ini membuat saya diperhatikan oleh seorang editor majalah yang mengirim saya ke Polandia untuk cerita pertanian berkelanjutan.

Mongabay : Dimana artikel Anda biasanya muncul ?

Erik Hoffner

Erik Hoffner : Grist.org , Orion, Yale Environment 360, World Ark  dan Earth Island Journal. Saya juga kontributor foto untuk The Sun dan saya sedang membuat sebuah wawancara untuk The Sun sekarang.

Mongabay : Apa isu-isu konservasi paling menarik bagi Anda ? Apa pelajaran favorit Anda untuk fotografi ?

Erik Hoffner : Konservasi laut dan subyek foto favorit saya orang yang berinteraksi dengan dunia fisik, apakah itu mencari makan dari alam liar atau bekerja keras untuk melestarikan beberapa bagian dunia. Saya ingin mengekspos alur cerita tak terduga sedapat mungkin dan menunjukkan protagonis dalam cahaya yang paling menghancurkan.

Mongabay : Laporan Anda tentang penebangan di Swedia menarik sedikit perhatian. Apa dampak dari artikel itu?

Erik Hoffner : Ini kejutan bagi kebanyakan orang Swedia untuk belajar bahwa negara mereka memotong hutan dengan cara terlalu cepat, terutama tumbuhan tua. Bahkan dinas kehutanan sendiri melaporkan bahwa rezim saat ini tidak berkelanjutan, mengandalkan pemotongan hutan tua yang lambat untuk regenerasi. Tapi orang di Stockholm atau Uppsala tidak menyadari. Swedia terus melakukan konservasi hutan pada khususnya sehingga ada banyak reaksi dan kemarahan, tapi setelah National Geographic News Wacth menyiarkannya, ceritanya berlanjut di seluruh dunia. Sebuah dialog nasional mulai berlangsung. Hal ini terutama didorong oleh kolumnis atas untuk koran terbesar di negara itu yang menulis lima bagian, setuju dengan tesis saya bahwa negara itu melakukan greenwashing untuk produk industri kehutanannya. Hal ini penting karena Swedia dianggap sebagai negara terhijau di dunia dan memiliki hutan terbesar dan keanekaragaman hayati di seluruh Eropa. Jika Swedia tidak dapat melakukan logging benar, siapa yang bisa?

Mongabay : Apakah ada hal lainnya yang membanggakan Anda?

Rig pengeboran di pinggiran kota Colorado Amerika | Foto: Erik Hoffner
Rig pengeboran di pinggiran kota Colorado Amerika | Foto: Erik Hoffner

Erik Hoffner : The Drill Next Door adalah feature produksi saya untuk Grist sebulan lalu yang menarik perhatian besar : pembaca dikejutkan oleh gambar rig pengeboran menjulang di atas rumah dan taman bermain di pinggiran kota Colorado. Saya menerima permintaan dan pertanyaan dari seluruh negara untuk wawancara dan penggunaan gambar. Seminggu kemudian banjir terjadi dan daerah operasi pengeboran tergenang dan bocor, tak terhitung jumlah hidrokarbon dan racun masuk ke udara dan air di sekitar lingkungan.

Mongabay : Apa hal yang paling penting yang telah Anda pelajari tentang jurnalisme lingkungan ?

Erik Hoffner : Bahwa tak terhitung jumlah alur kisah dan cerita pribadi tentang isu-isu lingkungan. Semua orang punya cerita sendiri dan kita sebagai dokumentator hanya perlu mendengarkan dan membantu menyampaikan kisah mereka .

Mongabay : Apa yang menjadi tantangan terbesar bekerja di jurnalisme lingkungan?

Erik Hoffner : (Jurnalisme) Ini sangat kekurangan sumber daya dan sebagiannya adalah freelance: Anda harus mengatur istirahat Anda sendiri dan memanfaatkan peluang yang datang. Aku berpartisipasi dalam forum online, tetapi lebih sulit saat ini untuk membuat diri Anda didengar. Freelance adalah cara yang sulit untuk bergerak, tetapi organisasi seperti Masyarakat Jurnalis Lingkungan menjadi kunci, saya merekomendasikan bergabung dengan organisasi itu, baik untuk persahabatan dan sumber daya mentoring yang ditawarkannya.

Mongabay : Apa saran untuk orang yang bercita-cita menjadi penulis lingkungan ?

Erik Hoffner : Cari pengalaman dunia nyata mengunjungi tempat-tempat atau komunitas yang Anda sukai dan tulislah tentang atau potret mereka. Sejumlah media sosial dapat membantu Anda menceritakan kisah ke khalayak yang lebih luas. Berkomunikasi dengan media target anda, tetapi bekerjalah mulai dari hal-hal yang kecil. Karena hasil karya kita yang akan berbicara banyak ke editor sibuk. Artikel saya yang pertama kali dibayar untuk majalah Back Home dan ini memberi saya kepercayaan diri untuk terus berjalan.[]

Sumber: mongabay.com

read more
Flora Fauna

Warga Desa Tangkap Buaya Muara Sepanjang Empat Meter

Warga Sungai Udang, Desa Sungai Rengas, Kecamatan Sungai Kakap, Kabupaten Kubu Raya, Kalimantan Barat (Kalbar) menangkap seekor buaya muara (Crocodylus porosus) sepanjang empat meter, Rabu (16/10/13) dini hari. Buaya seberat sekitar 300 kilogram ini sempat menjadi tontonan sebelum petugas BKSDA Kalbar, mengevakuasi ke Sinka Zoo, Kota Singkawang.

Menurut warga,  dalam dua bulan terakhir,  buaya muara sering muncul di sekitar  kampung. Tak ingin ada korban jiwa, warga berinisiatif menangkap buaya itu hidup-hidup. Pengintaian saban hari membuahkan hasil, Selasa (15/10/13) malam, buaya muncul.

Delapan warga menjadi penangkap. Mereka menggunakan pukat. Kala itu air sungai surut hingga penangkapan berlangsung dramatis. Warga perlu waktu sekitar empat jam untuk menaklukan si raja sungai ini.

Setelah tertangkap, buaya diikat tali nilon. Kedua bola mata ditutup kain basah agar tak berontak saat evakuasi. Sambil menunggu BKSDA, buaya diletakkan di halaman rumah Harun, warga Sungai Udang Hilir. “Kita memang cukup lama dihantui buaya. Mau ke sungai saja takut. Syukurlah hari ini sudah tertangkap hidup-hidup,” katanya.

Pada pukul 11.30, tim evakuasi buaya dari BKSDA Kalbar, dipimpin Usman,  tiba. Proses evakuasi melalui berita acara penyerahan dari warga ke petugas. “Sampai saat ini kita belum ada tempat rehabilitasi satwa hingga akan simpan di Sinka Zoo,” ucap Usman kepada wartawan.

Masyarakat Desa Sungai Rengas, Kabupaten Kubu Raya, Kalimantan Barat menonton buaya muara sepanjang empat meter yang ditangkap warga | Foto: Andi Fachrizal

Menurut dia, buaya muara ini sangat ganas dan sering melukai masyarakat. “Tapi buaya ini menjadi ganas karena habitat sudah terkikis. Akhirnya dia masuk permukiman warga untuk mencari makan.”

Dia memperkirakan, buaya ini hidup di rawa-rawa dan biasa dijumpai di Kecamatan Teluk Pakedai dan Sungai Kakap. Seiring pembangunan tambak-tambak udang yang kian menjamur, buaya ini kehilangan habitat dan sumber pakan.

“Tidak ada pilihan lain, kita harus rehabilitasi secepatnya ke Sinka Zoo, karena kita tak punya tempat seperti itu.”

Hanya, Usman tak dapat menjelaskan rentang waktu penitipan hingga pelepasliaran.

Bukan pilihan tepat
Pemerhati Sosial dan Lingkungan Kalbar, Adri Aliayub, menilai, langkah BKSDA mengevakuasi buaya ke Sinka Zoo, bukan pilihan tepat. “Kewenangan KSDA itu menyelamatkan satwa. Seharusnya disiapkan infrastruktur penyelamatan. Bukan menyerahkan ke pihak lain seperti Sinka Zoo. Di sana akan terjadi komersialisasi.”

Sinka Zoo itu sebuah kebun binatang. Orang yang berkunjung ke sana, sekadar melihat buaya dan satwa lain, akan merogoh kocek. “Di situlah komersialisasi terjadi. Termasuklah buaya muara yang baru ditangkap warga ini. Bagaimana dengan nasibnya kelak di sana, kita tidak tahu itu,” ucap Adri.

Adri mengapresiasi tingginya kesadaran masyarakat Sungai Udang. Mereka sudah tahu buaya muara itu dilindungi. Penangkapan itu semata-mata proses penyelamatan buaya dari ancaman pembunuhan. Mereka mengorbankan pukat, hanya untuk menyelamatkan buaya itu. Lalu melaporkan ke BKSDA Kalbar.

Dalam pandangan Adri, anatomi satwa seperti buaya muara sepanjang empat meter itu sudah masuk dewasa. “Harusnya dikembalikan langsung ke habitat. Tentu dilepasliarkan jauh dari lingkungan warga. Jangan sampai ada komersialisasi.”[]

Sumber: mongabay.co.id

read more
Perubahan Iklim

Meneliti Pengaruh Perubahan Iklim terhadap Lautan

Meneliti dampak perubahan iklim terhadap ekosistem perairan dalam elautan sangat penting agar dapat memprediksi masa depan sumber daya laut. Perairan dalam yang dingin sangat kaya akan nutrisi menyediakan hingga 20 persen ikan secara global. Sejak 1990-an , teori yang diadopsi oleh mayoritas komunitas ilmiah menegaskan bahwa fenomena tersebut bertambah kuat. Peningkatan suhu massa udara di atas benua diperkirakan mempercepat pertukaran arah angin, sehingga mendinginkan air permukaan. Namun teori ini ternyata bertentangan dengan penelitian terbaru para peneliti dari IRD dan mitra-mitranya.

Dalam studi terbarunya yang dilaksanakan di lepas pantai Afrika Utara dan Barat, para ilmuwan mengkaji data-data pengukuran angin selama 40 tahun terakhir dan data model meteorologi di sepanjang pantai Afrika Barat dan Spanyol. Mereka menemukan bahwa tidak ada percepatan angin pada skala regional yang kemungkinan besar secara signifikan mendinginkan perairan pesisir. Bahkan sebaliknya, citra satelit dan pengukuran suhu air permukaan menunjukkan tren berbeda untuk seluruh zona, meningkat 1 ° C per abad.

Sampai saat ini, studi ekosistem difokuskan pada rekonstruksi iklim bumi didasarkan pada sampel sedimen laut. Menurut analisis geokimia sampel tersebut, organisme planktonik telah berevolusi dalam lingkungan yang semakin dingin selama beberapa dekade terakhir. Hal ini menyebabkan para ilmuwan menyimpulkan bahwa suhu air permukaan yang menurun atau lebih dingin. Tapi dalam temuan baru, ahli kelautan mengajukan penjelasan lain : sinyal termal yang disimpulkan dari data iklim bumi adalah karena migrasi progresif plankton terhadap kedalaman,  oleh karenanya air permukaan semakin hangat !

Sumber: enn.com

read more
Hutan

Mencegah Bencana Melalui Kearifan Lokal

Dalam tiga tahun terakhir, Indonesia kerap dilanda berbagai bencana alam yang datang silih berganti. Longsor dan banjir sudah menjadi langganan di negeri kita ini. Korban harta benda dan jiwa sudah tak terhitung lagi jumlahnya. Bencana seperti ini seakan tak pernah lagi mengenal waktu.

Jika kita melihat ke masa lalu, tentunya bencana alam tidak terjadi pada setiap saat, melainkan pada waktu-waktu tertentu saja. Intensitas hujan yang tinggi dengan durasi yang lama menjadi faktor terjadinya bencana ketika itu. Akan tetapi pada masa sekarang, dengan intensitas hujan rendah sekalipun, bencana selalu datang mengancam jiwa dan harta manusia dan makhluk hidup lainnya.

Sudah menjadi rahasia umum, penyebab utama terjadinya bencana alam itu karena kerusakan hutan. Kerusakan itu akibat ulah dan sikap dari beberapa manusia yang melakukan penebangan pepohonan secara membabi buta tanpa memikirkan kehidupan alam itu sendiri dan  kehidupan orang banyak.

Harus diakui, dari sejumlah aksi penebangan itu, banyak pihak yang ikut terlibat di dalamnya. Keterlibatan itu, tentunya ada yang secara langsung maupun secara tidak langsung. Umumnya, pihak yang terlibat langsung adalah dari sekelompok masyarakat, baik yang tinggal di wilayah yang berdekatan dengan gunung maupun dari luar, sedangkan pihak yang tidak secara langsung adalah kalangan dari pengusaha dan oknum penegak hukum.

Salah-satu penyebab keterlibatannya masyarakat melakukan aksi perambahan dan penebangan hutan adalah karena mereka tidak memiliki pekerjaan/pengangguran, sehingga jalan tersebut menjadi salah satu yang harus dilalui agar mendapatkan pemasukan untuk kebutuhan sehari-harinya. Pemasukan itu didapatkan melalui penjualan kayu-kayu.

Sedangkan keterlibatan pihak yang secara tidak langsung dilakukan melalui pembayaran jasa bagi masyarakat dan aparat penegak hukum saat para pengusaha membuka lahan-lahan perkebunan dengan skala yang besar. Iming-iming dengan bayaran dana yang besar serta dilibatkan dalam usaha perkebunan membuat masyarakat dan oknum aparat penegak hukum tergiur untuk melakukakan aksi tersebut.

Meskipun berbagai antisipasi kerusakan hutan telah dilakukan oleh pemerintah, seperti moratorium loging (penghentian pembalakan) dan penyusunan aturan melalui pembuatan undang-undang pada tingkatan pusat dan Perda di tingkat daerah, tetapi persoalan itu rasanya tak bisa dituntaskan. Ancaman penjara dan berbagai sanksi berat lainnya yang diatur dalam aturan tersebut, bukan menjadi penghalang bagi perusak lingkungan dalam melaksanakan aksinya.

Dalam lima tahun terakhir saja, berapa banyak undang-undang tentang masalah ini lahir. Begitu juga dengan sejumlah peraturan-peraturan tentang hal menjaga kelestarian alam telah dirumuskan secara bagus dalam menanggulangi  persoalan ini. Namun hasilnya nihil. Aksi perusakan hutan juga tak pernah berhenti.

Namun demikian, kita juga tidak putus asa untuk terus melakukan berbagai upaya untuk menyelamatkan hutan ini, sehingga ancaman bencana tidak lagi terjadi di kemudian hari.

Karena itu, menurut saya untuk menyelamatkan kelestarian lingkungan, maka perlu dilakukan melalui para pemangku adat yang ada di setiap desa-desa di berbagai wilayah Indonesia. Pelaksanaan itu tentunya bukan dengan memakai hukum formal, tetapi lebih kepada penyelesaiannnya melalui penggunaan kearifan lokal (local wisdom) yang ada di daerah masing-masing di Indonesia.

Tentunya, metode ini lebih mengikat dan dipatuhi oleh masyarakat. Sebab, peraturan ini sudah mendarah daging bagi masyarakat, dan juga karena dirumuskan melalui kesepakatan dan ketentuan secara bersama-sama.

Pada kearifan lokal ini, penerapan hukum yang diutamakan adalah hukum adat. Bagi masyarakat di desa-desa ini, hukum adat itu lebih besar dampaknya dibandingkan dengan hukum formal.

Jika hukum formal hanya mendapat sanksi berupa penjara dan membayar denda perkara, maka hukum adat akan memberikan sanksi untuk para pelaku melalui sanksi sosial seperti mengusir para pelanggar kearifan lokal itu dari lingkungan para warga kampung/desa, serta bahkan dikucilkan dari masyarakat.

Tentunya, agar kearifan lokal ini berjalan maksimal maka pemerintah juga perlu memberikan wewenang lebih besar untuk pelaksananya. Selama ini, ketika ada beberapa tempat atau daerah yang memberlakukan kearifan lokal dalam menyelesaikan masalah seperti merusak hutan dan memotong kayu-kayu besar, sejumlah pihak selalu melawan karena mereka berdalih bahwa ada hukum formal yang menyelesaikannya.

Padahal, jika kearifan lokal ini dikedepankan dalam menyelesaikan masalah seperti, maka tentunya hasil yang didapatkan akan lebih bagus dan baik bahkan selesai hingga ke akar masalah.

Sebagai contoh misalnya, dapat kita lihat pelaksanaan kearifan lokal di Kemukiman Lutueng, Kecamatan Mane, Kabupaten Pidie Provinsi Aceh. Warga di sana diwajibkan untuk menjaga kelestarian hutan, terutama hutan lindung. Jika ada diantara masyarakat yang melanggar, mereka akan diberikan sanksi. Sanksi yang diberikan berupa sanksi adat dan tergantung kesalahahan. Misalnya, bila ada warga yang memotong kayu maka si pelaku akan ditangkap dan wajib membayar denda senilai harga kayu yang ditebang sesuai dengan pasar, dan semua kayu tebangan menjadi milik gampong setempat untuk digunakan bagi kepentingan gampong, dan sanksi yang lebih beratnya adalah dikucilkan dari masyarakat setempat.

Sedangkan bagi masyarakat dari luar yang merusak kawasan hutan itu maka sanksi yang diberikan juga sesuai dengan yang telah disepakati oleh Imum Mukim (posisinya di atas kepala desa, red)  dan para warga. Hal ini sudah dilakukan sejak dari dulu, dan  bahkan sekarang sudah ditulis dalam sebuah reusam (peraturan) di tingkat kemukiman, dan dampak dari adanya kearifan lokal itu, bencana alam tidak pernah terjadi.

Lalu, apakah para masyarakat penjaga hutan itu digaji. Jawabannya tidak, karena itu sudah kesepakatan, maka itu harus dilaksanakan dan wajib dipatuhi. Namun demikian, sebagai upaya apresiasi terhadap masyarakat di sana dan banyak pengangguran, para petua gampong/petua gle (Kepala desa/ ketua gunung) hanya membenarkan bagi masyarakat mengambil hasil dari dalam hutan itu misalnya rotan, ikan,  madu dan buah jernang dan kayu alin (gaharu).

Lantas, apakah masyarakat tidak boleh berkebun? Bukan. Mereka tetap dibenarkan untuk berkebun, namun tidak dilakukan pada hutan lindung, tapi lebih kepada hutan desa yang telah diatur dalam undang-undang. Pembukaan perkebunan yang dilakukan warga tidak sesuka hati, namun juga tetap berpedoman pada kearifan lokal  yang telah berlaku. Misalnya, tanaman yang dibenarakan ditanami adalah kopi, karet, coklat, durian, duku dan tanaman produktif lainnya yang tidak merusak lahan.

Sedangkan tanaman yang disukai oleh satwa-satwa liar seperti, sawit dan lainnya, itu tidak dibenarkan demi untuk mencegah terjadinya konflik marga satwa dengan manusia serta dapat merusak tanah di areal hutan.

Selain itu, bagi masyarakat yang menebang pohon pada lahan kebun yang akan digarapnya, maka maka si calon pemilik lahan wajib menggantikannnya dengan cara menanam baru sebanyak 10  (sepuluh) batang pohon lainnya. Dan, selama kearifan lokal berjalan, Kemukiman Lutueng merupakan satu-satunya wilayah yang memiliki hutan terindah yang ada di Kabupaten Pidie yang memiliki debit air terbagus.

Proteksi Sejak Dini
Mencegah lebih baik daripada mengobati, peribahasa itu yang selama ini digunakan para warga di sana untuk mencegah terjadinya bencana melalui terjadinya bencana. Sehingga tidaklah heran di kawasan ini, jarang kita mendengar terjadinya bencana berupa banjir bandang dan longsor menerjang.

Karena itu, hal tersebut perlu digalakkan oleh pemerintah pusat, sehingga bencana yang disebabkan oleh lingkungan teratasi dan tidak pernah terjadi lagi. Dengan terjaganya hutan itu, tentunya persolaan bencana lain seperti krisis air, banjir bandang dan longsor, Insya Allah tidak lagi terjadi di negara kita ini.

Dalam konteks agama, Islam juga sangat menganjurkan hambanya untuk selalu menjaga lingkungan dan menjaga kelestarian alam, sehingga kita dapat memanfaatkan hasilnya dengan baik dan tentunya juga kita akan terbebas dari bencana besar. Menjaga alam ini merupakan bagian dari cara manusia untuk berhubungan dengan makhluk lainnya.

Dengan  terjaganya alam ini, tentunya manusia yang diberikan rabb (tuhan) sebagai khalifah bisa memanfaatkan hasil yang terdapat dalam alam dengan baik. Dengan alam lestari, masyarakat juga dapat mengambil hasil alam yang terdapat di dalam hutan misalnya madu, ikan, buah-buahan, rotan dan berbagai hasil lainnya bisa dinikmati dengan sangat baik.

Saya yakin, kearifan-kearifan lokal seperti ini ada di berbagai tempat di negeri kita. Dan jika pemerintah mendorong lembaga-lembaga untuk menjalakan kearifan lokal ini. Negara kita ke depan akan terbebas dari berbagai bencana yang menghantui.[multazam]

Penulis, Teuku Multazam adalah anggota Green Journalist Aceh

 

read more
Kebijakan Lingkungan

Pemerintahan Gubernur Zaini Tidak Lebih Ramah Lingkungan

Selama beberapa dekade, konflik di Aceh mengurangi laju deforestasi sebagaimana yang terjadi di tempat lain di Indonesia. Tahun 2004 terjadi bencana gempa bumi dan tsunami yang menewaskan sekitar 170.000 orang dan menyebabkan setengah juta orang kehilangan tempat tinggal. Bencana dahsyat ini ternyata membuka jalan perjanjian perdamaian yang mengakhiri pertempuran dan menempatkan mantan pemberontak memimpin Propinsi Aceh.

Mantan pemberontak, Irwandi Yusuf, yang menjabat gubernur Aceh periode 2007-2012, dikenal karena melakukan kejutan menetapkan moratorium logging untuk konsesi penebangan hutan bahkan turun sendiri ke hutan menangkap pelaku ilegal logging. Irwandi adalah ” gubernur hijau” yang berjanji melestarikan hutan basah Aceh.

Pada tahun 2007, ia melarang pembukaan hutan primer atau lahan gambut. Tiga tahun kemudian, ia mengusulkan rencana penggunaan lahan yang akan meningkatkan luas hutan lindung sebesar 1 juta hektar.

Pada tahun 2011, Irwandi berbalik arah, mengeluarkan izin untuk perusahaan perkebunan kelapa sawit PT Kallista Alam membuka hutan gambut Rawa Tripa, rumah bagi Orangutan Sumatera terancam punah menjadi kebun sawit.

Langkah ini menyebabkan kegemparan di kalangan konservasionis yang menyatakan bahwa konsesi melanggar hukum nasional. Irwandi membela keputusannya, dengan mengatakan uang yang diharapkan dari proyek pengurangan deforestasi tidak terwujud, sebagian karena keterlambatan birokrasi nasional. WALHI Aceh, membawa kasus ini ke pengadilan. Kebijakan Irwandi ini menandai awal transisi dari kepemimpinan berfokus pada perlindungan lingkungan menjadi mendahulukan kepentingan pembangunan ekonomi.

” Banyak orang di Aceh tidak setuju bahwa seperti area luas tempat menampung air harus dilindungi oleh konservasionis,” kata McCarthy, peneliti dari Australian National University. Banyak yang berharap uang tunai dari kesepakatan makelar karbon untuk akses ke sumber daya alam Aceh. Irwandi sebenarnya mendukung konservasi sebagai sarana pembangunan, tetapi ketika skema karbon gagal memberinya uang, maka ia meninggalkannya.

Penggantinya, dr. Zaini Abdullah, terbukti tidak lebih ramah lingkungan. Tak lama setelah menjadi gubernur pada bulan Juni 2012, Ia membubarkan Badan Pelaksana Kawasan Ekosistem Leuser (BP KEL), sebuah badan yang bertugas untuk memastikan konservasi di KEL, salah satu tempat terakhir di mana gajah Sumatera, badak, harimau dan orangutan hidup bersama. Konservasionis mengatakan pembubaran ini menghambat pemantauan hutan KEL.

” Orang-orang meraih apa yang mereka dapat saat mereka bisa, “kata Dr Ian Singleton, kepala konservasi di organisasi lingkungan PanEco dan direktur Program Konservasi Orangutan Sumatera. Program pusat rehabilitasi orangutan, dibangun untuk menampung sekitar 25 hewan, saat ini penghuninya dua kali lipat, terutama karena peningkatan pembukaan hutan, kata Dr Singleton.

Proposal Zaini kepada pemerintah nasional untuk mengubah rencana penggunaan lahan akan diberlakukan segera jika disetujui. Pejabat yang membantu rancangan proposal, Martunis Muhammad, mengatakan perubahan diperlukan untuk mengakomodasi perluasan pemukiman dan pembangunan infrastruktur.

” Populasi telah berkembang pesat sejak rencana tata ruang sebelumnya disusun, ” kata Martunis Muhammad, kepala investasi dan pembiayaan pembangunan di Badan Pperencanaan Pembangunan Aceh (Bappeda). ” Perubahan perlu untuk memperhitungkan perubahan pola penggunaan lahan. ”

Berdasarkan rencana yang diusulkan, Martunis mengatakan, beberapa hutan lindung akan dikonversi sebagai hutan produksi, yang memungkinkan masyarakat mengolah tanah yang mereka tempati. Dia mengakui bahwa rencana itu akan mengurangi kawasan hutan lindung tetapi mengatakan itu tidak akan melanggar hukum nasional yang menetapkan Kawasan Ekosistem Leuser terlarang untuk aktivitas manusia.

” Rencana tata ruang ini ditujukan untuk memajukan pembangunan Aceh, sekaligus melindungi lingkungan, ” katanya.

Bahkan jika rencana tersebut tidak disetujui, Dr Singleton mengatakan, tanpa tindakan tegas dari pemerintah nasional,
perkebunan terus mengganggu kawasan lindung . “Sekarang semua terbuka untuk bisnis, “katanya.

Sumber: nytimes.com

read more
Ragam

Korban Tewas Gempa Filipina Terus Bertambah

Korban tewas akibat gempa 7,2 skala Richter (SR) yang mengguncang Pulau Bohol dan Cebu, Filipina Tengah pada Selasa (15/10/2013) terus bertambah menjadi menjadi 144 orang sampai Rabu (16/10) sore. Tim penyelamat terus mencari korban di bawah reruntuhan bangunan, termasuk di sebuah gereja tua dan rumah sakit yang rubuh diguncang gempa.

Dilaporkan, hampir 3 juta warga terkena dampak gempa yang menyebabkan longsor dan meluasnya infrastruktur yang rusak di Bohol dan Cebu. Sedangkan jumlah korban terluka lebih dari 300 orang dan 23 orang masih dinyatakan hilang, sehingga korban tewas kemungkinan akan terus bertambah.

Petugas mengalami kesulitan untuk menjangkau kawasan terpencil karena jalan, jembatan rusak, serta putusnya jaringan listrik. Badan Bencana Nasional Filipina mengatakan sebanyak 134 orang tewas di Pulau Bohol, pusat gempa yang berjarak 630 km selatan Manila, ibu kota Filipina.

“Saya rasa, jumlah korban tewas akan terus bertambah,” ujar Mayor Lloyd Lopez, komandan militer Kota Loon, ibu kota Bohol. Dia mengaku belum mampu menjangkau kawasan terpencil, karena jalanan tertutupi material longsor, berupa bongkahan batu besar. Dia mengatakan sebanyak 23 jembatan di Bohol rusak dan lima jalan rusak diterjang longsor, termasuk sejumlah bangunan bersejarah.

Sementara, banyak korban selamat yang tidur di lapangan karena 850  gempa susulan, salah satunya berkekuatan 5,1 skala Richter.  Penduduk mengatakan gempa susulan masih terjadi Rabu pagi dan banyak yang khawatir untuk kembali ke rumah. Korban gempa juga melaporkan di Provinsi Cebu sejumlah gereja kuno bersama berbagai bangunan serta jalan-jalan rusak.

Angkatan Udara Filipina mengangkut 11 ton bantuan untuk korban di Provinsi Bohol. Menurut Minda Morante, pejabat pertahanan di pulau itu, memperkirakan korban akan terus meningkat. “Kami perkirakan korban akan meningkat karena masih ada daerah yang belum terjangkau tim penyelamat dan ada daerah yang memerlukan bantuan lebih banyak,” kata Morante. Sedangkan Presiden Benigno Aquino berkunjung ke daerah bencana Rabu (16/10) dan bertemu dengan tim darurat dan bantuan.(afp/ap/bbc/muh)

Sumber: serambinews.com

read more