close

20/10/2013

Flora Fauna

Aktivis Lingkungan Rilis Video Penyiksaan Hewan

Organisasi perlindungan hak-hak satwa People for the Ethical Treatment for Animals (PETA) bulan September 2013 merilis video penyiksaan binatang Luwak. Video ini merupakan investigasi terhadap proses pembuatan kopi luwak yang merekam fakta-fakta yang terjadi di lapangan. Melihat video ini akan tampak proses penyiksaan hewan yang terkenal menghasilkan kopi nikmat.

Luwak-luwak penghasil kopi ini bukan hidup di alam liar seperti proses alami pembuatan kopi luwak, namun luwak-luwak ini dimasukkan ke dalam kandang yang sempit dan kotor. Seperti dilansir oleh Harian Kompas tanggal 18 Oktober 2013, PETA melalui Wakil Presiden Operasi Internasionalnya, Jason Baker membeberkan temuan ini dan akan melaporkannya kepada pihak Kementerian Perdagangan.

“Investigasi kami di desa-desa di Indonesia dan Filipina, negara yang menghasilkan kopi luwak terbesar di dunia menunjukkan bagaimana luwak hidup di kandang yang sempit dan kotor serta tidak layak,” ungkap Jason Baker kepada media.

Di kandang seperti inilah kopi luwak mewah yang anda minum berasal. Sumber: PETA

Para petani baru melepaskan luwak ini setelah tiga tahun dikandangkan. Hal ini dinilai terlalu lama dan membuat banyak luwak tidak bisa bertahan. M. Teguh Pribadi dari Asosiasi Kopi Luwak Indonesia tidak menampik kondisi yang terjadi, namun tetap menyatakan bahwa hal ini tidak dilakukan oleh semua produsen kopi luwak.

Kopi luwak, yang dihasilkan dari buangan proses pencernaan luwak, adalah kopi termahal di dunia hingga saat ini. Segelas kopi luwak berkisar antara Rp 60.000 hingga Rp 100.000.[]

 

Sumber: mongabay.co.id

read more
Kebijakan Lingkungan

Hutan dipangkas, Alam Mengamuk

Maraknya penebangan liar  (illegal loging) yang kerap terjadi di Aceh selama ini membuat  areal hutan semakin gundul, pepohonan, tumbuhan kian punah serta keanekaragaman fauna yang ada didalamnya sangat terganggu oleh aksi yang dilakukan oleh pihak yang tidak bertanggung jawab. Padahal, hutan merupakan sebuah anugerah yang diberikan sang pencipta yang nilainya tidak terhitung.

Bahkan, hutan juga salah satu bagian sumber kehidupan manusia di muka bumi. Buruknya tatanan pengelolaan hutan di Aceh selama ini sangat terasa sehingga kita selalu menghadapi berbagai dampak bencana alam seperti, konflik  antara satwa dengan manusia, banjir dan tanah longsor. Ini merupakan indikasi bahwa alam mengamuk bukan hanya bagi pengambil nikmat tapi untuk semua manusia.  Kejadian seperti ini sesuai dengan lirik lagu berita untuk kawan karangan  Ebiet G Ade,

………..kawan coba dengar apa jawabnya
 ketika di kutanya mengapa
Bapak ibunya telah lama mati
ditelan bencana tanah ini…………….

Lirik dari lagu tersebut nyaris identik dengan kondisi Aceh dewasa ini. Bencana datang tak henti-hentinya. Hampir tiap bulan sejumlah media massa lokal di Aceh selalu memberitakan terkait mengamuknya marga satwa seperti,  gajah, harimau, babi dan lain sebagainya. Ulah binatang ini menyebabkan sektor pertanian dan perumahan warga menjadi rusak.

Hingga kini konflik antara marga satwa dengan manusia tidak bisa dihindari lagi, bahkan yang paling ironi konflik ini menimbulkan korban jiwa bagi kedua belah pihak sehingga ini harus menjadi “PR”  bagi pemerintah Aceh untuk segera menanggulanginya. Belum lagi dengan persoalan banjir dan longsor, setiap hujan turun salah satu dari  bencana tersebut selalu akan terjadi di Aceh sehingga menimbulkankorban jiwa dan harta yang tak ternilai.

Tapi apa hendak dikata, “nasi telah menjadi bubur”, puisi ini memang tepat di arahkan ke kondisi alam di Aceh sekarang ini, berbagai macam bencana datang silih berganti akibat hutan tidak terjaga lagi. Padahal, banyak manfaat bila hutan terjaga dengan baik diantaranya, sebagai penyuplai oksigen, pencegah banjir, mengatur iklim, menjaga kesuburan tanah, pengatur tata air tanah, pelestarian keanekaragaman hayati dan berbagai macam manfaat lainnya.

Tapi sangat disayangkan mimpi seperti yang tersebut tidak bisa diwujudkan, berdasarkan survei yang dilakukan oleh Greenomics Indonesia yang dirilis ke media massa menyebutkan bahwa angka kerusakan hutan di Aceh mulai 2005 hingga akhir 2009 mencapai 200, 329 hektare dari total seluruhnya 56.539 hektare. Greenomics juga memperkirakan Aceh kehilangan US$ 551,3 juta setiap tahunnya akibat kehilangan tutupan hutan.

Mantan Gubernur Aceh, Irwandi Yusuf mengakui bahwa pencanangan “moratorium logging” atau pelarangan penebangan kayu yang diterapkan pertengahan 2007 berjalan maksimal tetapi hingga tahun 2010 aksi penebangan kayu secara ileggal  masih juga terjadi di hutan Aceh. Ini mengindikasikan bahwa realisasi perintah atas “Moratorium logging” tidak berjalan efektif. Bahkan ada di beberapa tempat tertentu aksi penebangan masih juga dilakukan tapi secara sembunyi-sembunyi.

Bila ini tidak segera di atasi secepat mungkin, bencana secara terus menerus tak hentinya-hentinya datang ke Aceh. Pemerintah Aceh harus segera bangkit dan mencari solusi untuk segera menanggulanginya, bukan hanya selalu beretorika dengan kampanye Visi Aceh Green tapi hutan Aceh akan secara perlahan-lahan akan musnah. Pemerintah Aceh segera lakukan “actionnya” bukan dengan kata-kata lama “tapuwoe keulayi maruwah ban sigob donya”. Buktikan nyalimu…[multazam]

read more
Flora Fauna

Mulai 2014, Pemerintah DKI Larang Topeng Monyet

Gubernur DKI Jakarta Joko Widodo memastikan larangan keberadaan topeng monyet di Jakarta mulai 2014. Jokowi menginginkan agar monyet-monyet yang itu dibeli dan dipelihara di Taman Margasatwa Ragunan, Jakarta Selatan.

Jokowi mengatakan, Pemprov DKI Jakarta telah memiliki data lokasi persebaran topeng monyet di Jakarta. Selain itu, ia juga telah memiliki data jumlah monyet yang dimanfaatkan untuk tontonan anak-anak itu. “Kita sudah data jumlah monyet sama lokasi-lokasinya,” kata Jokowi di Monas, Jakarta Pusat.

Menurut Jokowi, permainan topeng monyet telah menyakiti fisik hewan primata itu. Untuk meniadakan topeng monyet tersebut, Jokowi menyatakan bahwa Pemprov DKI akan membeli monyet-monyet tersebut dan akan memindahkannya ke Taman Margasatwa Ragunan (TMR). Di TMR akan disediakan lahan seluas satu hektar khusus untuk menampung bintang liar. Adapun tukang topeng monyetnya akan diberi pembinaan.

“Jangan anggap main-main. Topeng monyet itu sudah menjadi isu internasional. Kasihan monyetnya,” kata Jokowi.

Poster sosialisasi Jakarta bebas topeng monyet ini dipasang di sejumlah tempat, antara lain di Gedung Erasmus Huis, Kuningan, Jakarta Selatan. Poster yang dibuat oleh Jakarta Animal Aid Network (JAAN) itu menggambarkan karikatur monyet yang tersiksa akibat topeng monyet. Topeng monyet dianggap melanggar Pasal 302 KUHP. Disebutkan pula bahwa monyet bukanlah hewan peliharaan dan habitatnya bukan di perkotaan.

Monyet lebih baik hidup di alam bebas dan bisa menularkan penyakit kepada manusia. Begitu pula sebaliknya, manusia dapat menularkan penyakit ke monyet. Salah satu penyakit menular itu adalah tuberkulosis (TBC).

Sumber: National Geographic

read more
Tajuk Lingkungan

Kalau Rumah Anda Musnah

Apa jadinya jika tempat anda mencari nafkah, tinggal bersama keluarga dan beristirahat dari lelahnya hidup ternyata sudah tidak ada lagi akibat dirusak oleh pihak lain? Marah, kesal, kecewa bahkan mungkin saja anda mengamuk mencari siapa yang tega berbuat demikian. Hal sama juga terjadi pada hewan yang kehilangan tempat tinggal dan mencari nafkah. Tentunya mereka akan berekspresi sesuai naluri hewannya.

Sering terdengar gajah mengamuk merusak kebun penduduk, merobohkan rumah bahkan sampai melukai manusia sehingga nyawa melayang. Apa yang menjadi sebab gajah-gajah tersebut mengamuk sedemikian rupa? Padahal dalam tayangan media sering kita lihat bahwa hewan tersebut merupakan hewan yang menyenangkan, bersahabat dengan manusia bahkan bisa hidup berdampingan. Pasti ada sesuatu yang membuat gajah sedemikian marahnya.

Para ahli biologi menjelaskan bahwa mengamuknya gajah tersebut akibat lahan yang mereka tinggali telah diambil alih oleh manusia. Sebagai informasi gajah mempunyai tempat tinggal dan lintasan tetap yang mereka lalui dalam periode tertentu. Ketika mereka hendak melintasi jalur “milik” mereka tersebut ternyata sudah ada kebun dan rumah-rumah menghadang. Tak ayal mereka akan mengamuk karena merasa “hak miliknya” terganggu.

Perilaku manusia yang suka mengganggu habitat ini diperparah lagi dengan tindakan kriminal lain seperti meracun gajah dan membunuhnya. Pemerintah memang telah mengeluarkan peraturan bahwa gajah merupakan hewan langka yang harus dilindungi namun tetap saja banyak yang memburunya. Baik dengan alasan untuk membasmi “hama” gajah atau dengan alasan tersembunyi ingin mendapat gadingnya.

Pemerintah lebih sering terlambat mengantisipasi konflik antar manusia dan hewan tersebut sehingga menambah penderitaan kedua belah pihak. Seharusnya pihak yang terkait bisa mengantisipasi mengamuknya gajah mengingat gajah yang marah tersebut merupakan peristiwa yang terjadi setiap tahun. Tapi nyatanya tidak.

Masalah lingkungan harus tetap menjadi perhatian kita semua mengingat lingkunganlah yang telah “memberikan” kita kehidupan. Air, tanaman, buah-buahan, hewan dan alam telah menciptakan rantai makanan yang tidak boleh terputus. Satu saja terputus maka akan ada pihak yang musnah. Apa kita mau musnah?[]

read more
Hutan

Tangani Hutan Perlu Langkah Khusus

Tak ada kata lebih tepat menggambarkan nasib hutan Aceh saat ini; mengenaskan. Dalam kurun waktu sepuluh tahun (1998-2008), Wahana Lingkungan Hidup (Walhi) mencatat luas hutan di Aceh berkurang hingga 914.222 hektare. Ada dua penyumbang besar kerusakan hutan ini, pertama proses rehabilitasi dan rekonstruksi Aceh pascatsunami dan pembalakan hutan. Pada periode rehabilitasi dan rekonstruksi ini, Aceh kehilangan sekira 200.329 hektare tutupan hutan.

National Program Coordinator Greenomics Indonesia, Vanda Mutia, pernah mengatakan proses rekonstruksi Aceh mendorong hilangnya hutan dalam waktu cepat. Kerusakan hutan tersebut terjadi di seluruh wilayah Aceh dengan rincian seluas 56.539 hektare di wilayah pantai barat, 48.906 hektare di pantai selatan, 30.892 hektare di utara dan timur serta 19.516 di pegunungan bagian tengah Aceh.

Sementara di Simeuleu, Greenomics mendapati hutan seluas 44.000 hektare rusak. Di kawasan ekosistem Leuser ini juga terjadi deforestasi seluas 67.479 hektare. “Luas kerusakan hutan di Simeulue sama dengan luas Singapura. Berarti secara keseluruhan hutan Aceh mengalami deforestasi seluas tiga kali lipat Singapura,” tambahnya.

Bagi masyarakat Aceh, hutan adalah sumber kehidupan. Hampir seluruh daerah di Aceh, mengalir sungai-sungai yang berasal dari belantara Aceh. Di pedalaman, penduduk Aceh menggantungkan hidup dari hasil hutan. Hutan Aceh bahkan memberi manfaat bagi seluruh dunia. Ia menjadi salah satu “paru-paru bumi”.

Sayang, belakangan ini, fungsi sebagai penopang kehidupan di bumi berganti kepentingan ekonomis sesaat. Tutupan hutan Aceh menjadi berkurang karena pembalakan dan peralihan fungsi lahan menjadi kebun kelapa sawit.

Selain dampak langsung, seperti banjir dan bencana alam lainnya, penghancuran hutan juga melepas karbon dalam jumlah besar. Ini kemudian menjadi penyumbang pemanasan bumi, dan menjadi faktor perubahan iklim.

Intergovernmental Panel on Climate Change (IPCC) meletakkan Indonesia di posisi utama sebagai penyumbang utama mitigasi global untuk pengurangan emisi dari deforestasi.

Di seluruh dunia, Indonesia adalah negara nomor tiga terbesar yang menyumbang gas-gas yang menyebabkan pemanasan bumi setelah negara China dan Amerika Serikat. Sebagian besar gas-gas tersebut dihasilkan dari pembukaan dan pembakaran hutan, khususnya yang terjadi di Sumatra dan Kalimantan. Indonesia juga menyandang rekor sebagai perusak alam asli di Asia-Pasifik.

Konversi hutan alam menjadi perkebunan kelapa sawit telah menimbulkan dampak sosial dan lingkungan hidup yang serius; konflik penguasaan tanah, konflik perburuhan, lenyapnya bahan pangan penting, semakin terbatasnya sumber daya kesehatan dan bahan bangunan, pencemaran dan peracunan akibat penggunaan pestisida, dan juga potensi lenyapnya ekosistem hutan untuk selama-lamanya. Di Aceh, dalam kurun waktu 10 tahun terakhir, juga kerap terjadi konflik antara manusia dan satwa.

Selain itu, sebanyak 47 Daerah Aliran Sungai (DAS) juga mengalami kerusakan sebab tepat berada di wilayah kegiatan pembalakan liar sehingga mengancam fungsi ekologi. Greenomics juga memperkirakan Aceh kehilangan US$ 551,3 juta setiap tahunnya akibat kehilangan tutupan hutan tersebut.

Sementara Walhi Aceh mencatat dampak terus berkurangnya luas kawasan hutan di Aceh, bencana alam seperti banjir dan tanah longsor meningkat. Pada 2007 peristiwa banjir dalam setahun baru sekitar 46 kejadian, tahun 2008 naik menjadi 100 kejadian, dan naik lagi menjadi 134 kejadian pada 2009. Selain banjir, peristiwa tanah longsor juga meningkat dari tahun ke tahun. Pada 2007 masih delapan kejadian namun pada 2008 naik drastis menjadi 37 kejadian, dan 2009 40 kejadian.

Jika tak ada perubahan sikap dari seluruh masyarakat Aceh, terutama pemerintah Aceh, musnahnya hutan Aceh dalam 10 tahun ke depan bukan tak  mungkin. “Jika tak ada langkah luar biasa dari Pemerintah Aceh dan seluruh warga Aceh, satu generasi Aceh ke depan akan kerap menjadi bulan-bulanan bencana alam. Kerusakan alam di Aceh adalah kejadian luar biasa dan perlu penanganan luar biasa pula, tak cukup hanya dengan jeda tebang. [m.nizar abdurrani]

read more