close

October 2013

Tajuk Lingkungan

Gas Beracun

Masih ada saja gas-gas berbahaya yang bocor dari industri ekstraksi minyak dan gas bumi. Insiden ini membahayakan masyarakat sekitar dan merusak lingkungan hidup. Bisa dibayangkan jika ada masyarakat yang menghirup gas beracun H2S, amoniak ataupun terpapar dengan merkuri. Penyakit berbahaya tentu akan menimpa manusia yang terkena, tidak pandang bulu, tua-muda, laki-perempuan. Celakanya pihak perusahaan hanya bereaksi sesaat saja terhadap kecelakaan tersebut, sekedar mengobati ala kadar tanpa ada tindakan konkrit dalam jangka panjang.

Lhokseumawe ataupun Aceh Utara menjadi “bulan-bulanan” dari bencana ini karena kedua daerah ini dikelilingi industri raksasa penghasil gas dan minyak bumi serta turunannya. PT Arun, Mobil Oil, PT PIM, PT AAF, PT KKA dan sebagainya merupakan ancaman bagi lingkungan seandainya saja pengelolaan limbahnya tidak dilakukan dengan benar dan secara konsekuen. Benar berarti sesuai dengan peraturan yang disepakati dalam Analisa Mengenai Dampak Lingkungan (AMDAL) dan prinsip-prinsip keilmuan. Sedangkan konsekuen berarti pengelolaan dilakukan terus menerus dengan derajat yang sama setiap waktunya.

Selain kebocoran gas, isu hutan masih mendominasi Aceh secara khusus dan Indonesia secara umumnya. Hutan menjadi polemik yang tidak berkesudahan, peraturan terus saja dibuat dan pembabatan juga tak kalah cepatnya. Ada saja cara para perambah hutan baik secara resmi (HPH , HTI ) maupun penebang liar untuk menghabisi flora beserta ekosistemnya. Upaya penegak hukum untuk memberantas mereka tampaknya tidak membuahkan hasil signifikan. Tangkap, publikasi di media kemudian tak jelas kasus berujung kemana.

Persoalan hutan menjadi semakin komplek ketika musim kemarau ekstrim tiba, mengakibatkan kebakaran luas pada hutan. Cuaca dengan temperatur tinggi menyebabkan daun-daun menjadi meranggas, kering dan sangat mudah terbakar. Kebakaran bukan cuma disebabkan oleh alam semata namun juga oleh ulah jahil manusia. Mereka dalam rangka mencari nafkah seperti membuka ladang ataupun mengambil kayu, sengaja membakar hutan. Tanpa pikir panjang tentunya, hanya memikirkan kepentingan sendiri semata.

Semoga kita selalu peduli dan menjaga lingkungan. Ingat sebuah pepatah, “Manusia butuh lingkungan tetapi lingkungan tidak butuh manusia.”[m.nizar abdurrani]

read more
Flora Fauna

Orangutan Mane Dievakuasi ke Sumut untuk Rehabilitasi

Orangutan yang dua hari lalu ditemukan (26/10/2013) lalu diamankan masyarakat Desa Mane telah dievakuasi ke Sumatera Utara untuk menjalani program rehabilitasi. Orangutan tersebut ditemukan oleh seorang warga desa yang akan pergi berkebun, sekitar 50 meter dari rumah warga setempat.

Oran utan direlokasi ke tempat terbuka sebelum pemeriksaan medis | Foto: Ratno Sugito
Orangutan direlokasi ke tempat terbuka sebelum pemeriksaan medis | Foto: Ratno Sugito

Evakuasi orangutan dilakukan sekitar pukul 10.00 WIB, oleh  BKSDA, Polsek Mane, SOCP, OIC, FORA, Bath #3 COP School serta dibantu oleh warga Mane. Evakuasi tidak memakan waktu lama, karena lokasi orangutan yang mudah dijangkau.

Orangutan dalam keadaan lemas dengan luka disekitar pinggang serta lembam di lengan kiri namun tidak ada lembam di bagian wajah. Cedera yang dialami diduga akibat proses penangkapan sebelumnya. Sebelum dievakuasi, dilakukan pemeriksaan kesehatan oleh tim medis.

Pemberian cairan infus untuk orangutan | Foto: Ratno Sugito
Pemberian cairan infus untuk orangutan | Foto: Ratno Sugito

Aktivis Forum Orangutan Aceh (FORA) Ratno Sugito yang ikut dalam proses evakuasi memperkirakan cidera yang dialami oleh orangutan diduga berasal dari proses penangkapan orangutan di prosedur. Saat menangkap orangutan, masyarakat memotong pohon berduri yang ditempati orangutan tersebut sehingga hewan ini terjatuh.  Masyarakat terpaksa memotong pohon karena pohon tersebut sulit dipanjat.

Penangkapan dilakukan karena letak pohon yang didiami orangutan tersebut tepat di belakang rumah seorang warga desa, yang juga menjadi lintasan penduduk pergi ke kebun. Keberadaan orangutan dewasa di atas pohon membuat takut ibu-ibu.

Kondisi orangutan yang dikurung dalam  kandang sapi | Foto: Ratno Sugito
Kondisi orangutan yang dikurung dalam kandang sapi | Foto: Ratno Sugito

Masyarakat Mane berharap agar orangutan tersebut dapat dikembalikan ke hutan Desa Mane walau orangutan tersebut dibawa ke Sumatera Utara untuk rehabilitasi. Seorang tokoh pemuda setempat, Mukhlis menuturkan dirinya berharap setelah orangutan pulih dapat dilepaskan kembali di wilayah sekitar desanya.

” Saya yakin selain orangutan yang ditangkap tersebut masih ada orangutan lainnya di sekitar kampung kami,” ujarnya.

Warga desa merasa bangga dengan keberadaan orangutan yang merupakan salah satu satwa dilindungi oleh Negara.

Mukim (pemuka adat-red) Mane, Sulaiman bercerita bahwa orangutan pernah dijumpai beberapa waktu lalu, walau sebelumnya sudah lama tidak dijumpai. Awalnya dilaporkan terdapat sepasang orangutan (jantan dan betina). Tapi beberapa tahun yang lalu seorang masyarakat menjumpai salah satunya mati di dalam hutan.[rel]

read more
Kebijakan Lingkungan

Pemerintah Bantu Perusahaan Serobot Lahan Rakyat (bagian terakhir)

Perubahan ekonomi akan berdampak pada gaya hidup masyarakat. Meskipun ada ganti rugi lahan namun hak atas tanah tidak bisa digantikan. Sebagai pembanding, sebelum perusahaan perkebunan datang, kehidupan masyarakat berlangsung nyaman dan damai. Namun ketika perusahaan beroperasi, banyak masyarakat setempat yang bekerja diperkebunan meninggalkan kegiatan gotong royong misalnya pesta perkawinan. Akibatnya, terjadi kesenjangan hubungan diantara sesama masyarakat .

Perusahaan merekrut enam puluh penduduk lokal sebagai buruh dengan upah harian. Buruh perempuan bekerja memupuk pohon kelapa sawit dan menyemprotkan pestisida, sedangkan buruh laki-laki mengerjakan tugas yang lebih berat. Namun ada juga 100 orang tenaga kerja harian sementara yang dipekerjakan oleh perusahaan, mereka  mengerjakan tugas harian seperti memotong pohon kelapa sawit, membersihkan rumput dan pemupukan. Kadang-kadang mereka harus bekerja setiap hari, namun upah tidak dibayarkan setiap hari. Ada juga beberapa orang karyawan tetap yang hanya mendapatkan libur pada perayaan hari-hari besar saja.

Dulu, masyarakat memiliki tanah ulayat yang dikelola dengan kesepakatan bersama. Sebelum terjadinya konflik di Aceh, masing-masing kepala keluarga mengelola dua hektar tanah. Pada masa konflik, masyarakat pergi meninggalkan lahan-lahan tersebut. Setelah proses damai, lahan tersebut telah terjual namun tanpa adanya proses pembayaran dan telah menjadi perkebunan kelapa sawit. Yang disayangkan adalah tanah masyarakat tersebut dijual oleh calo yang berasal dari masyarakat itu sendiri.

“Pada tahun 1980, perusahaan telah membeli lahan seharga Rp. 800,000 per hektar. Calo meminta kami menjual lahan, namun banyak masyarakat yang tidak mau menjual. Kasus yang saya alami misalnya. Saya menanam pohon coklat di kebun saya, seminggu setelah berbicara dengan calo, pohon coklat tersebut telah dirusak dan diganti dengan pohon kelapa sawit,” kata seorang penduduk lokal bernama Ansari.

“Di desa saya, ada 100 hektar lahan yang digunakan bersama untuk menanam padi. Berdasarkan aturan hukum adat, tanah tersebut tidak boleh diperjualbelikan. Pada masa konflik, lahan banyak yang ditinggalkan dan tidak lagi digarap, setelah masa damai, kami kembali untuk menanam padi, beberapa bulan kemudian, tanah tersebut telah dijual dengan harga tertentu dan disahkan oleh Dinas Pertanian,” jelasnya.

Ansari menjelaskan bahwa pada tahun 1980, mereka mengelola tanah ulayat mengacu kepada aturan hukum adat, total lahan yang diterima adalah 2,000 hektar yang kemudian ditanami kapas, kelapa, coklat, dan tanaman lainnya. Kemudian pada masa konflik lahan tersebut terlantar dan tidak digarap. Kemudian pada tahun 2008, masyarakat kembali ke desa masing-masing dan melihat bahwa tanah tersebut telah dibersihkan dan siap untuk dibuka menjadi perkebunan kelapa sawit oleh Perusahaan Surya Panen Subur II yang bernama Amara saat itu.

Perusahaan Surya Panen Subur II telah mendapatkan izin konsesi perkebunan  dikawasan hutan gambut yang terletak disekitar pemukiman penduduk. Meskipun sebagian masyarakat telah setuju untuk proses ganti rugi namun masyarakat Desa Suka Damai, Desa Panton Bayu, dan Desa Kaye Uno menolak menjual tanah mereka bahkan juga kehilangan sebagian tanahnya yang kemudian menjadi milik perusahaan.

Meskipun masyarakat yang terkena dampak tersebut telah melaporkan kasus tersebut kepada Pemerintah Aceh namun sejauh ini masyarakat masih harus menunggu jawabannya dan masyarakat diminta untuk tidak memperpanjang sengketa. Masyarakat dari beberapa desa ada yang kembali menggarap tanahnya namun masalah terjadi setiap bulannya.

Ketua kelompok tani telah ditangkap oleh polisi dengan dugaan perusakan pohon kelapa sawit yang tumbuh disekitar lahan pertanian masyarakat.

Sengketa yang terjadi antara masyarakat Desa yang ada di Kabupaten Aceh Singkil dengan Perusahaan Ubertraco yang kemudian berganti nama menjadi Perusahaan Nafasindo adalah kasus yang paling parah dan memalukan. Menariknya,  izin konsesi yang dimiliki perusahaan tumpang tindih dengan hak kepemilikan tanah masyarakat. tidak ada batas yang jelas antara lahan konsesi, tanah terlantar, kantor pemerintahan desa, barak, lapas, jalan dan pemukiman masyarakat juga berada di lahan konsesi.

Pemerintah Aceh memerintahkan Pemerintah Kabupaten Aceh Singkil mengembalikan lahan masyarakat yang telah dirambah oleh perusahaan secara illegal. Namun demikian, pemerintah daerah menyediakan bantuan kepada masyarakat dan meminta perusahaan membiayai proses pemetaan ulang batas lahan. Perusahaan menjawabnya dengan mengajukan tuntutan ke pengadilan tata usaha Negara di Aceh pada tanggal 24 September 2011. Kemudian dilanjutkan ke tahap banding ke pengadilan tata usaha Negara Medan. Bersamaan dengan itu, unjuk rasa yang digelar masyarakat setempat dan mahasiswa tersebut berlangsung ricuh sehingga dua orang kepala desa ditangkap dan dipenjara setelah proses hukum berlangsung.

WALHI Aceh merupakan sebuah lembaga swadaya masyarakat yang focus pada isu lingkungan di propinsi Aceh dan seluruh Indonesia telah mendokumentasikan seluruh rangkaian kasus tersebut. Ada delapan kasus pelanggaran yang terjadi di hutan gambut rawa tripa. Perusahaan menggugat Gubernur Aceh dengan tuntutan mencabut kembali izin konsesi lahan, Menteri Lingkungan hidup menggugat perusahaan karena pembakaran lahan, masyarakat menggugat Gubernur Aceh karena melanggar aturan tata ruang, Jaringan konservasi hutan gambut rawa tripa menggugat Badan Perizinan Terpadu membuat dokumen palsu dan memberikan kesaksian palsu. Proses peradilan berlangsung lama dengan banyaknya strategi hukum yang harus dilalui, sementara itu, perusahaan tetap melanjutkan operasinya, lingkungan masih dalam proses penghancuran dan masih terjadinya kekerasan terhadap masyarakat.

Reformasi hukum berbasis masyarakat dan ekologi telah mencuatkan kasus-kasus sengketa sumber daya alam dan pertanian dalam tiga tahun terakhir. Bahkan, ada 232 sengketa yang terjadi di Aceh, dan sepuluh kasus diantaranya telah melakukan invasi seluas 28.522 hektar .

Meskipun data kerusakan lahan dan degradasi hutan di propinsi Aceh merupakan data resmi, namun nilai kerusakannya masih berdasarkan asumsi. Kerusakan akibat illegal loging ada yang telah digantikan dengan reboisasi. Selain itu, kerusakan infrastruktur dasar dan acowisata yang telah hilang juga berdasarkan hasil perkiraan. Secara umum, dampak kerusakan social budaya dan semua aspek yang relevan lainnya adalah nilai yang sangat berharga dan tak tergantikan.

Faktor inti invasi perusahaan perkebunan kelapa sawit diseluruh Indonesia adalah; Pertama, kebijakan strategis pemerintah yang luas dan terbuka terhadap investasi modal nasional dan multinasional membuka kesempatan besar bagi perkebunan kelapa sawit tanpa aturan yang berfungsi control. Kedua, peningkatan konsumsi minyak sawit dan minyak mentah sebagai bahan baku energy terbarukan di masa depan.

Tidak diragukan lagi, hutan hujan tropis dan hutan gambut yang merupakan bagian dari lahan produktif dan terbesar didunia dirambah dan dibakar dengan cepat oleh perusahaan perkebunan. Hal ini secara langsung merusak sistem ekologi hutan hujan tropis yang berfungsi menjaga keseimbangan iklim, sumber mata air, pelindung saat banjir dan bencana alam lainnya. Setelah perkebunan beroperasi, dampaknya secara langsung dapat dirasakan masyarakat setempat seperti pencemaran lingkungan melalui pembuangan limbah kimia dan debu. Kebijakan kehutanan yang lemah dan tidak adanya fungsi kontrol terhadap penggunaan lahan menyebabkan perlindungan terhadap sistem ekologi dan hak-hak rakyat tidak sebagaimana yang diharapkan.

Secara strategis, masyarakat setempat yang terkena dampak kurang berpengalaman dalam melakukan negosiasi dengan pemerintah dan pemilik modal. Namun pengalaman proses mengajukan tuntutan, hasil evaluasi, pendampingan dan kampanye, proses peradilan, juga pendampingan yang dilakukan oleh NGO dan masyarakat sipil memberikan kekuatan untuk melakukan perjuangan.

Sebagai rekomendasi jangka panjang, masyarakat dan LSM dapat mengambil pembelajaran berharga dan best practices tentang sebuah gerakan yang dapat diperhitungkan melalui advokasi kebijakan publik berkelanjutan, perlindungan lingkungan dan regulasi pembangunan ekonomi yang menjaga lingkungan. Yang penting adalah bagaimana mewujudkan kesejahteraan masyarakat lokal dengan mendistribusikan hak kepemilikan lahan secara adil.[]

Penulis, Ruayrin Pedsalabkaew, fellow pada Asian Public Intellectual (API), Reporter Deep South Watch yang telah melakukan penelitian tentang isu-isu perampasan lahan oleh perusahaan multinasional di Aceh: Dampaknya terhadap Hak Asasi Manusia dan Kearifan Lokal. Pendapat penulis tidak menggambarkan pandangan API Fellowships Program, The Nippon Foundation, the Coordinating Institution, dan/atau lembaga partner.

 

read more
Green Style

Cara Ciptakan Kantor Ramah Lingkungan

Banyak sumber daya terbuang percuma di kantor, mulai dari kertas, listrik hingga biaya transportasi. Namun memangkas pengeluaran yang dianggap pemborosan dan menciptakan tempat kerja yang ramah lingkungan bukanlah hal yang sulit. Situs American Progress menuliskan langkah-langkah untuk memulainya sebagai berikut:

Singkirkan semua peralatan dapur yang terbuat dari plastik.
Beli satu set peralatan logam sebagai ganti pisau, garpu dan sendok plastik sekali pakai. Alat-alat dari logam akan mengurangi sampah dan biaya. Jangan lupa memasang pengumuman agar rekan-rekan kerja Anda mencuci sendiri peralatan makan dan minum setelah mereka selesai menggunakannya, sehingga peralatan dapur bersih selalu tersedia. Seiring dengan waktu Anda bisa mengganti semua peralatan dapur plastik dan kertas Anda dengan peralatan logam dan menyumbangkan peralatan plastik lama, seperti Tupperware, kepada yang memerlukannya.

Gunakan sistim penyaring air.
Sistim penyaring air bisa menjadi investasi jangka panjang yang bermanfaat. Sistim tersebut bisa menghilangkan partikel, bahan kimia dan bakteri yang tidak diinginkan dalam satu kali instalasi. Biaya operasional sistim ini juga lebih rendah dibanding bila Anda harus membeli air galon isi ulang. Produsen sistem penyaring air ini biasanya juga memiliki standar kualitas yang lebih baik dibanding dengan produsen air isi ulang.

Biarkan cahaya matahari masuk.
Cari lokasi yang memungkinkan cahaya alami masuk ke kantor Anda. Kantor dengan banyak jendela memungkinkan cahaya matahari masuk secara maksimal. Untuk menerangi sudut kantor yang gelap, Anda bisa mengganti bola lampu biasa dengan lampu hemat energi atau LED. Selain hemat energi, lampu LED juga lebih awet dan tahan lama.

Hemat energi
Menurut “The Daily Green”, 90 persen komputer desktop tidak optimal dalam mengelola energi. Namun Anda bisa mengaktifkan fitur  hemat energi di komputer desktop Anda dengan mudah. Mematikan komputer saat Anda ke luar kantor juga akan menghemat energi secara signifikan. Koneksikan semua peralatan komputer ke regulator listrik yang memiliki tombol hidup/mati dan lampu sinyal sehingga lebih mudah bagi Anda untuk mematikannya ketika kantor tutup. Dan jangan lupa untuk mematikan lampu.

Hemat kertas
Anda bisa mendigitalisasi semua dokumen Anda dan menyimpannya secara online dengan bantuan komputer sehingga Anda bisa menghemat ruang dan biaya. Bila dibutuhkan, gunakan kertas daur ulang untuk semua kebutuhan kantor Anda. Energi yang diperlukan untuk memroduksi kertas daur ulang 60- 70% lebih hemat dibanding energi yang diperlukan untuk memroduksi kertas baru. Ciptakan program daur ulang di kantor Anda dan letakkan tempat daur ulang kertas di dekat printer sehingga mudah dicapai.

Galakkan program berbagi tumpangan (ride sharing)
Pasang papan pengumuman di ruang istirahat atau ruang umum lain bagi mereka yang perlu tumpangan. Praktik ini bisa menghemat bahan bakar, meningkatkan solidaritas pegawai dan mengurangi kemacetan.

Bentuk klub ramah lingkungan
Menciptakan tempat kerja yang ramah lingkungan dan hemat energi adalah proses yang berkelanjutan. Kirim email dan ajak rekan-rekan kerja Anda untuk bergabung. Adakan pertemuan setidaknya sekali sebulan untuk berdiskusi mengenai ide dan cara menyelamatkan lingkungan.[]

Sumber: hijauku.com

read more
Perubahan Iklim

Kisah ‘Perselingkuhan’ Tim Samaras dengan Alam

Pemburu badai dan ilmuwan terkenal, Tim Samaras, berburu tornado dengan semangat menggebu. Upaya untuk memahami apa yang terjadi di dalam tornado dan di daratan di bawahnya membawanya mengunjungi banyak tempat dan, akhirnya, pada suatu malam, ke jalan pertanian Oklahoma yang berlumpur.

Tanggal 31 Mei 2013. Tak lama setelah pukul enam sore. Saat duduk di kursi penumpang Chevrolet Cobalt putih, pemburu badai berusia 55 tahun itu sejenak menatap dengan pandangan terpukau ke kamera video yang diarahkan sopir ke wajahnya. Kemudian, melalui jendela, dia kembali menatap daerah pinggiran El Reno, Oklahoma.

Ladang gandum tampak berpendar menyeramkan dan ber­gemuruh akibat angin yang menderu. Ladang itu hanya berjarak 3,5 kilo­meter dari mobil. Dari langit yang hitam pekat, awan corong kembar berputar-putar bak spiral ke bawah. Yang terdengar dalam suara lelaki di rekaman video itu bukanlah rasa takut.

“Ya, Tuhan. Ini akan menjadi tornado yang dahsyat,” katanya. Lelaki itu mengerutkan kening, membelai dagunya. Namanya Tim Samaras, dan sebagian besar masa dewasanya digunakan untuk ber­buru tornado yang berbahaya. Dia memang terobsesi oleh tornado—sampai-sampai istrinya, Kathy, berkomentar getir bahwa suaminya “berselingkuh dengan alam.”

Perselingkuhan itu terjadi lebih terlambat daripada biasanya pada musim semi ini. Bulan yang dijuluki para pemburu badai sebagai “May Magic” tiba disertai embusan angin vertikal yang dihasilkan angin selatan yang berasal dari udara Teluk Meksiko. Embusan angin yang meng­angkat dan terasa sejuk bergerak ke timur sepanjang Pegunungan Rocky, menghasilkan topan badai dan, bersamaan dengan itu, me­ramaikan kelompok diskusi online para pem­buru badai yang gembira ria di seluruh Amerika: Cuaca buruk! Cuaca HEBAT yang sangat buruk!

Saat menjelajahi ribuan kilometer selama empat hari berikutnya melintasi Kansas, Okla­homa, dan Texas, Samaras bersama timnya, yang dikenal sebagai TWISTEX, berpapasan dengan sedikitnya 11 tornado. Kemudian, se­telah pulang dan menghabiskan empat malam di rumah, Samaras melanjutkan perjalanan. Ia mengendarai sebuah truk yang dilengkapi kamera raksasa berkecepatan tinggi untuk penelitian petir di Kansas—meskipun, seperti yang diakuinya, dia “membawa kendaraan kedua untuk berburu tornado sebagai kegiatan sampingan.”

Dalam rekaman video 31 Mei, Samaras tam­pak duduk dalam kendaraan kedua itu, sebuah Cobalt. Sang pemburu badai kembali mem­buru sasaran lainnya. Namun, jelas terlihat bahwa ada sesuatu yang berbeda kali ini. “Tornado ini langsung menuju ke Oklahoma City,” gumamnya.

Tornado itu merupakan gabungan beberapa badai guntur yang tercipta di sepanjang cuaca dingin di atas kawasan Oklahoma pusat pada sore itu. Tepat setelah pukul 18.00, tornado itu akhirnya menjelma di ujung paling selatan badai tersebut, tempat udara terasa paling hangat dan lembap. Sekarang, badai itu menjadi pusaran yang sangat dahsyat. Tornado itu berputar-putar berlawanan jarum jam. Pepohonan di jalur yang dilaluinya bergoyang seolah sedang kesurupan.

“Ok, kita berhenti dulu di sini,” kata Young, yang sedang merekam badai itu sambil me­ngemudikan mobil. Cobalt itu berhenti. Samaras dan Young turun dari mobil, bersama Paul, yang masih terus mengintip dari balik lensa video yang lain. Ketiga lelaki itu berdiri di pinggir jalan ber­kerikil dan setengah memicingkan mata menentang hujan. Saat berdiri di tempat itu, kumparan corong ketiga menjelma dari langit.

“Tiga vorteks!” seru Young. “Ya,” sahut Samaras. Ketika berbalik menatap kamera, dia tampak terpesona oleh pemandangan yang disaksikannya. “Wah. Ini akan menjadi tirai raksasa.”

Young sependapat. “Sepertinya tornado ini akan bertahan sangat lama, bisa bergerak di daratan sekian kilometer jauhnya.”

Mereka kembali ke mobil beberapa menit kemudian. Sementara wiper depan me­ngepak-ngepak, sambil membisu mereka mengarahkan ke­ndaraan ke timur, tornado tersaruk-sa­ruk lamban di sebelah selatan mereka. Pe­tir berkelap-kelip di langit yang kelam. Ka­bel listrik berayun liar. Tirai itu semakin mem­besar, menghalangi semua jejak matahari, meng­gelapkan ketiga orang di dalam mobil.

Mereka menghentikan merekam gambar. Mereka bukanlah orang-orang yang tertarik pada kekerasan. Mereka juga bukan “peneliti kamikaze” yang ingin men­jadi martir demi ilmu pengetahuan. Khusus­­nya, pemburu badai legendaris, penemu, dan sosok National Geographic Explorer Tim Samaras. Ia dikenal sangat berhati-hati me­menuhi panggilan hidup­nya ini.

Meskipun misi satu dasawarsa yang dibebankannya sendiri pada dirinya—me­nempatkan perangkat pengukuran yang dikenal sebagai probe dalam jalur tornado—mengandung risiko yang sangat tinggi, dia selalu berusaha keras untuk mengurangi risiko bahaya itu. Dia meng­kaji pola cuaca pada hari itu, se­olah nyawa awaknya bergantung pada pola cuaca tersebut. Dia memetakan jalur eva­kuasi. Bahkan lebih dari itu, Samaras tidak ragu membatalkan perburuan jika kondisi jalan jelek, atau tornado tidak tampak akibat terselubungi hujan deras.

“Saya sudah tidak ingat lagi seberapa seringnya kami tidak jadi menempatkan probe karena Tim berkata, ‘Tidak, ini terlalu berbahaya,’” kenang Tony Laubach, salah seorang awak TWISTEX.

Kalau begitu, bagaimana kita bisa meng­hubungkan fakta yang sudah banyak diketahui orang itu dengan peristiwa tragis yang menimpa ketiga lelaki tersebut pada 31 Mei? Apakah sang perfeksionis akhirnya melakukan kesalahan fatal?

Ataukah badai di El Reno adalah raksasa yang mementahkan semua perhitungan?

Jika beberapa jawaban itu pada akhirnya tidak dapat diketahui, memang begitulah ada­nya. Perburuan badai memang sarat misteri.[]

Sumber: NatGeo Indonesia

read more
Hutan

Pesona Pulau Bunta yang Terabaikan

Pulau Bunta, sebuah desa terpencil yang ada di Aceh. Pulau yang memiliki keindahahan alam yang eksotis, pantai yang bersih bak permadani terbentang luas. Juga banyak menyimpan Sumber Daya Alam (SDA), baik itu kekayaan laut dengan berbagaimacam jenis ikan, juga SDA lainnya seperti kepala yang dijadikan kopra. Namun, mirisnya belum mendapatkan perhatian serius dari pemerintah.

Pulau Bunta memiliki luas 125 hektar yang ditumbuhi ribuan pohon kelapa yang diapit oleh pulau Batu dan ujung Pancu, Lhok Keutapang, Kecamatan Lhoknga, Kabupaten Aceh Besar. Dari pulau Bunta, kita juga bisa menikmati gemerlapan cahaya lampu perumahan Jacky Chen yang ada di Kecamatan Kreung Raya di Kabupaten yang sama.

Ada banyak kisah dan objek yang bisa dinikmati di pulau tersebut. Selain bisa menikmat keindahan sunset pada petang hari. Kita juga bisa mengunjungi beberapa objek lainnya seperti Mon Na Laba (Sumur Keuntungan) yang konon katanya menyimpan sejarah yang menarik.

“Kisah Mon Na Laba itu ceritanya sebagai bukti dua kelompok yang berseteru mengaku yang pertama menemukan pulau tersebut, dan sumur itu bukti kelompok yang menemukan pulau itu,” kata pemandu, Ariadi.

Untuk bisa mencapai ke Pulau Bunta. Anda membutuhkan lebih kurang 45 menit menyeberang laut dari Banda Aceh dengan menggunakan perahu nelayan dan membayar sewa Rp 450 ribu pulang-pergi dengan kapasitas 10 orang penumpang.

Mirisnya, walaupun memiliki keindahan alam dan SDA yang melimpah diberikan oleh sang pencipta, Pulau Bunta yang terletak di Kecamatan Peukan Bada, Kabupaten Aceh Besar belum mendapat sentuhan pemerintah yang maksimal. Pulau yang semestinya bisa mendongkrak perekonomian masyarakat melalui pariwisata dan SDA, terkendala dengan minimnya fasilitas publik.

Meskipun ada pelabuhan di tempat itu, namun tidak dapat digunakan lagi oleh warga karena sudah dangkal.  Untuk bisa mendarat, kita harus  rela berbasah-basah turun ke dalam air sepinggang pria dewasa untuk bisa mencapai ke daratan. Tentu ini akan menyulitkan bila kita membawa sejumlah barang dan peralatan lainnya untuk kebutuhan logistik selama di Pulau Bunta.

“Kami butuh perhatian dari pemerintah untuk membangun fasilitas,” tukas Ariadi.

Ada sejumlah fasilitas memang sudah tersedia di desa Pulau Bunta. Dari mushalla, tempat pengajian dan sejumlah rumah. Akan tetapi bangunan-bangunan tersebut kotor dimakan rayap tanpa terurus. semua warga yang dulunya tinggal di lokasi itu, saat ini memilih untuk tinggal di daratan, karena akibat dari minimnya fasilitas pendukung.  Sedikitnya saat ini ada 8 keluarga yang masih tinggal di Bunta, akan tetapi semua anak dan istrinya tetap berada di Banda Aceh.

“Ini tidak terurus karena sulitnya transportasi untuk menuju Pulau Bunta dan minimnya fasilitas umum,” tandasnya.

Tidak hanya itu tantangan yang dialami oleh warga. Kehadiran tamu tak diundang yaitu hama babi hutan menjadi momok besar bagi warga. Kenapa tidak, setiap mereka ingin bercocok tanam, mereka harus bergelut dengan babi yang siap setiap saat menghabisi tanaman yang mereka tanam.

Pulau Bunta boleh dikatakan menjandi syurga bagi hama yang paling dibenci oleh petani. Kenapa tidak, dengan sedikitnya orang berada di tempat itu, buah kelapa yang melimpah jatuh dari pohonnya, menjadi keberuntungan bagi hama yang menjadi musuh para petani. Padahal, bila babi dapat dibasmi, buah kepala itu bisa dijadikan kopra dan yang tidak dikutip bisa tumbuh kembali nantinya.

“Mau bercocok tanam disini, babi banyak kali, mestinya ini butuh perhatian dari pemerintah untuk dibasmi,” tuturnya.[]

read more
Flora Fauna

Warga Pidie Tangkap Seekor Orangutan yang Berkeliaran di Kebun

Seekor Orangutan Sumatera (Pongo abelii) dewasa ditangkap warga Gampoeng (kampung) Mane, Pidie, Aceh, Sabtu (26/10). Seorang warga bernama Bukhari melihat pertama kali melihat orangutan berada di kebun miliknya pada pagi hari yang kemudian pada siang hari sekitar pukul 13.30 WIB berhasil ia tangkap bersama sejumlah warga lainnya.

Orangutan dewasa (pongo abelii) berhasil ditangkap oleh warga untuk diamankan di Gampoeng Mane, Pidie, Sabtu (26/10) | Foto : Teuku Boyhaqie.

“Penangkapan orangutan dilakukan guna mengantisipasi terjadinya konflik antara manusia dengan satwa liar seperti orangutan ini dan kami tidak mau ada orang-orang yang mau menjual satwa yang dilindungi ini, tujuan kami baik orangutan tersebut ditangkap “ ujar  Keuchik Gampoeng Mane, M. Jamil.

Di hari kedua orangutan ini masih berada di lapangan volley Gampoeng Mane dengan kondisi terikat rantai pada bagian pinggangnya. Balai Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA) Pidie langsung bergerak menuju lokasi setelah mendapatkan laporan dari Blang Raweu Ranger dari Aceh Ranger Community (ARC) Mane.

“Kami belum bisa berkomentar lebih lanjut, karena wilayah Mane selama ini belum pernah ada laporan adanya orangutan, “ ujar anggota BKSDA Pidie, Munawar.

Sumber: satuharapan.com

read more
Kebijakan Lingkungan

Pemerintah Bantu Perusahaan Serobot Lahan Rakyat (2)

Investor kelapa sawit berbondong-bondong ke Indonesia ketika Pemerintah menerapkan kebijakan membuka seluas-luasnya izin perkebunan. Tak pelak lagi, ini menjadi ajang kampanye terbuka dan fasilitas yang mudah bagi investor mendapatkan izin konsesi lahan dan hutan di Pulau Sumatera.  Namun, kebijakan kehutanan tersebut memperlihatkan dampak serius sebagaimana yang terlihat pada pemetaan kehutanan terkini.

Di area tertentu, permasalahan kehutanan tidak terkontrol lagi. Pembalakan liar difasilitasi oleh oknum pemerintah, dan oknum yang berada dibalik proses perizinan. Pertukaran hutan dengan sejumlah uang dapat dilakukan dengan mudah karena tidak ada kontrol prosedur penetapan harga penebangan kayu. Ketika aturan hukum dan penegakannya saling berbenturan, Badan Pertanahan Propinsi Aceh tetap melajutkan memberikan izin lahan konsesi. Bahkan, banyak lahan konsesi yang ditinggalkan setelah proses penebangan dan pembersihan lahan dilakukan.

Seharusnya kebijakan pengelolaan hutan menerapkan mekanisme satu pintu agar berjalan efektif. Pemetaan hutan, izin konsesi dan pemukiman dikelola oleh satu lembaga saja. Sehingga tidak ada celah penyalahgunaan prosedur sebagaimana telah terjadi.Bahkan, sampai ada kesalahan pada perumusan data geografis yang dikeluarkan oleh Badan Pertanahan Nasional. Mekanisme izin dan biaya serta denda untuk pelanggaran yang dilakukan juga tidak ada aturan yang jelas. Ini seperti sebuah lubang hitam bagi pemerintah Indonesia.

Tahapan persiapan lahan perkebunan kelapa sawit dimulai dengan pengurusan izin konsesi lahan, pembersihan, penebangan kemudian pembakaran. Kondisi menimbulkan masalah dengan masyarakat, serta menyebabkan banyak kerusakan lainnya. Sistem kebijakan yang dibuat oleh pemerintah tidak berorientasi melindungi lingkungan dan masyarakat.

Konflik Investor Nasional: Studi kasus Hutan Gambut Rawa Tripa
Sejak 1980, konflik di hutan gambut Rawa Tripa telah dimulai. Pemerintah Aceh telah mengeluarkan izin konsesi lahan kepada Perusahaan Kalista Alam untuk membuka perkebunan seluas 1,605 hektar pada tahun 2010.

Hutan gambut Rawa Tripa telah rusak akibat invasi pembukaan lahan untuk perkebunan dan perambahan oleh masyarakat setempat. Berdasarkan data assessment terakhir, hutan gambut rawa Tripa telah berkurang hingga 50 persen dari total 61,803 hektar, 36,185 hektar telah menjadi lahan konsesi.

Perusahaan Surya Panen Subur mengelola lahan konsesi seluas 13,177 hektar dan Perusahaan Kalista Alam mengelola lahan konsesi seluas 6,888 hektar. Perusahaan Gelora Sawita Makmur mengelola lahan konsesi seluas 8,604 hektar dan Perusahaan Cemerlang Abadi mengelola lahan konsesi seluas 7,516 hektar. Jumlah keseluruhan lahan konsesi mencapai 20,200 hektar mencakup dua tahap pemberian. .

Mengacu kepada konflik yang terjadi di hutan gambut Rawa Tripa, Perusahaan Kalista Alam telah melanggar peraturan karena membuka lahan di gambut dengan kedalaman lebih dari tiga meter. Semua kasus pelanggaran tersebut telah diproses secara hukum.

Kasus serupa lainnya terkait perusakan hutan gambut Rawa Tripa adalah Perusahaan Surya Panen Subur II yang menjalankan bisnisnya dibawah manajemen perusahaan Amara.

Hutan gambut rawa Tripa berperan penting dalam sistem ekologi. Hutan gambut ini berfungsi sebagai penahan gelombang besar seperti tsunami, tempat daur ulang air, mencegah banjir dan habitat keanekaragaman hayati. Jika proses pembersihan lahan untuk perkebunan dilakukan maka akan memicu hilangnya sistem ekologi dan penahan alami dari bencana tsunami, banjir, kekeringan, dan ketidakseimbangan alam. Dampak penggundulan hutan adalah banjir besar yang akan melanda kawasan pemukiman dan mengakibatkan sejumlah kerusakan.

Konflik Investor Multinasional: Studi kasus Kabupaten Aceh Singkil
Pada tahun 1986, perusahaan Ubertraco, yang merupakan milik Teungku Muslim, warga Kecamatan Trumon, Kabupaten Aceh Selatan, mulai beroperasi. Perkebunan kelapa sawit tersebut mulai dibuka di Kecamatan Simpang Kiri. Kemudian pada tahun 1988, perusahaan tersebut mendap atkan izin nomor 1/1988 untuk menggunakan lahan seluas 10,917 hektar di Kecamatan Kota Baharu dan Kecamatan Gunung Meriah, Singkil Utara dan Kecamatan Singkil, Kabupaten Aceh Singkil.

Enam tahun kemudian, sekitar tahun 1994, perusahaan tersebut memperoleh izin konsesi lahan tahap kedua dengan nomor 2/1994 dengan total lahan seluas 3,000 hektar, letaknya sepuluh kilometer dari Kecamatan Singkohor, Kabupaten Aceh Singkil. Pada tahun 1998, sebagian saham kepemilikan perusahaan dialihkan kepada pengusaha dari Malaysia bernama Haji Muhammad Sobri yang mengelola perkebunan tidak sesuai target dan meninggalkan lahan terbengkalai.

Dampak terhadap kesehatan dan sistem ekologi
Sebelumnya, hutan gambut rawa Tripa merupakan sumber mata pencaharian masyarakat setempat. Perahu merupakan alat transportasi yang digunakan pada saat itu. Setelah perusahaan mulai beroperasi kondisi nyaman tersebut berubah, jumlah ikan dan siput berkurang,  hutan menjadi gundul, air tercemar, hewan yang hidup di air mati dan sumber makanan menjadi langka .

Abdul Majid menggambarkan dampak yang disebabkan oleh Perusahaan Surya Panen Subur II. Sejak perkebunan mulai dibuka disekitar pemukiman penduduk telah terjadi perubahan cuaca, polusi udara mengakibatkan masalah pernapasan dan gangguan penglihatan,  sejauh ini sudah ditemukan tiga jenis penyakit mata di masyarkat setempat.

Kondisi ini memicu bencana lebih sering terjadi. Jika hujan turun sepanjang hari maka akan menyebabkan banjir dan sebaliknya, jika musim kemarau datang maka akan terjadi kekeringan. Jika kondisi normal, maka musim hujan akan dimulai sejak bulan September sampai bulan Januari, namun saat ini musim tidak lagi dapat diprediksi.

Polusi air merupakan persoalan utama yang dihadapi masyarakat dan harus segera ditemukan solusinya. Polusi air tersebut diakibatkan oleh sampah dan racun yang dibuang ke sungai. Meskipun bahaya limbah tersebut tidak secara langsung mengalir ke sungai, namun ketika hujan turun maka limbah pupuk berbahan kimia dan pestisida yang terakumulasi tersebut akan mengalir ke sungai hingga akhirnya mengalir ke laut.

Perkebunan kelapa sawit telah mengakibatkan sejumlah besar lahan dibersihkan. Ini merupakan factor kunci perubahan sistem penyimpanan air di hutan dan terjadinya kebakaran hutan, fungsi hutan gambut Rawa Tripa sebagai penyimpan karbon akan berubah.
(bersambung)

 

Penulis, Ruayrin Pedsalabkaew, fellow pada Asian Public Intellectual (API), Reporter Deep South Watch yang telah melakukan penelitian tentang isu-isu perampasan lahan oleh perusahaan multinasional di Aceh: Dampaknya terhadap Hak Asasi Manusia dan Kearifan Lokal. Pendapat penulis tidak menggambarkan pandangan API Fellowships Program, The Nippon Foundation, the Coordinating Institution, dan/atau lembaga partner.

read more
1 2 3 4 16
Page 2 of 16