close

06/11/2013

Energi

Ampas Kopi Sumber Baru Bahan Baku Biodiesel

Para peneliti di Nevada Amerika Serikat melaporkan bahwa ampas kopi dapat menjadi sumber bahan baku pembuatan biodiesel yang murah, tersedia dalam jumlah melimpah dan ramah lingkungan. Biodiesel ini sangat cocok sebagai bahan bakar kendaraan mobil dan truk.

Dalam penelitian terbaru, ilmuwan Mano Misra, Susanta Mohapatra dan Narasimharao Kondamudi menyampaikan bahwa hambatan terbesar dalam pengembangan biodiesel adalah kurangnya bahan baku yang murah dan berkualitas tinggi untuk membuat energi terbarukan ini. Kenyataannya, ampas kopi yang terbuang memiliki kandungan minyak sekitar11-20 persen dari beratnya. Ini setara dengan yang dikandung oleh bahan baku konvensional biodiesel lain seperti sawit dan kedelai.

Kopi tumbuh hampir di seluruh dunia dengan produksi sekitar 2,2 miliar kg per tahun. Selama ini ampas kopi dari pembuatan espresso, cappucino, dan lain sebagainya, dibuang begitu saja dalam tong sampah ataupun digunakan sebagai pupuk.  Para ahli memperkirakan ampas kopi memiliki potensi menghasilkan biodiesel sebesar 1,287 juta liter yang dapat memenuhi kebutuhan biodiesel dunia.

Para ilmuwan meneliti hal ini dengan mengumpulkan ampas kopi dari perusahaan-perusahaan multinasional yang memproduksi kopi dan memisahkan minyaknya. Kemudian dengan menggunakan proses yang murah mengkonversi 100 persen minyak tersebut menjadi biodiesel.

Hasil dari biodiesel kopi ini – yang baunya mirip kopi Java- memiliki kelebihan yaitu lebih stabil daripada biodiesel konvensional karena mengandung antioksidan yang tinggi. Limbah padat sisa konversi masih dapat diolah menjadi Ethanol atau digunakan sebagai pupuk. Diperkirakan pembuatan biodiesel ampas kopi menghasilkan keuntungan lebih dari 8 juta dollar per tahun di Amerika Serikat saja.

Tim peneliti berencana mengembangkan pilot project berskala kecil untuk memproduksi biodiesel ini dan mencobanya pada kendaraan bermotor.[m.nizar abdurrani]

Sumber: proquest agriculture journals

read more
Flora Fauna

Mengenal Empat Jenis Bunga Rafflesia

Provinsi Bengkulu dikenal memiliki beragam sejarah, serta endemik puspa langka di dunia, seperti anggrek panda, satu-satunya di dunia, dan juga bunga Rafflesia. Tentu tak lengkap jika mengunjungi daerah ini tanpa menjumpai bunga terbesar di dunia ini.

Bunga Rafflesia banyak ditemukan tumbuh di kawasan hutan lindung di Provinsi Bengkulu, tepatnya di kawasan gunung, Kabupaten Kepahiang, Mukomuko, Seluma, Lebong, dan Bengkulu Selatan. Terkadang untuk melihat bunga raksasa ini pengunjung harus menyiapkan fisik dan bekal yang prima, maklum jalur mendaki bukit dan menuruni lembah akan menjadi tantangan tersendiri.

Bunga Rafflesia ternyata memiliki empat jenis. Ketua Komunitas Peduli Puspa Langka (KPPL), Sofian Rafflesia menjelaskan perihal jenis bunga ini. Jenis pertama, Rafflesia Arnoldi, bunga ini sangat populer, sangat banyak ditemukan di hutan Bengkulu, paling sering mekar dan sangat dikenal oleh masyarakat.

“Bunga ini pertama kali ditemukan oleh Sir Stamford Raffles dan Dr Joseph Arnold pada 1818 di Desa Pulo Lebar, Kecamatan Pino Raya, Kabupaten Bengkulu Selatan,” kata Sofian.

Dia melanjutkan, Rafflesia Arnoldi merupakan jenis terbesar di dunia dengan diameter 70-110 cm. Jenis ini juga dijuluki juga sebagai patma raksasa dan mendapat predikat sebagai puspa langka nasional melalui Keppres nomor 4 tahun 1993.

Jenis kedua, Rafflesia Gadutensis Meijer. Jenis ini dapat ditemukan di sisi barat pegunungan Bukit Barisan tepatnya di Kabupaten Mukomuko, dan Bengkulu Utara, memiliki diameter 40-60 cm. Gadutensis berasal dari kata ulu gadut yaitu satu nama bukit di perbatasan Provinsi Sumatera Barat dan Bengkulu. Jenis ini digambarkan oleh Meijer 1984, bunga ini pertama kali ditemukan di Dusun Lama, Desa Talang Baru, Kecamatan Malin Deman, Kabupaten Mukomuko.

Jenis ketiga adalah Rafflesia Hasselti Suringar, merupakan jenis rafflesia yang paling cantik. Jenis ini digambarkan oleh Suringar 1897. Rafflesia ini memiliki pola bercak dan warna di helai bunga, oleh penduduk lokal jenis ini sering dinamakan cendawan merah-putih, atau cendawan harimau (Zuhud dkk, 1998). Jenis ini memiliki diameter 35-70 cm. Jenis ini dapat dijumpai yaitu di perbatasan antara Ketenong II, Kabupaten Lebong, Provinsi Bengkulu.

Jenis Keempat yakni, Rafflesia Bengkulunensis (Agus Susatya, Arianto dan Mat-salleh 2005). Jenis ini membawa nama Bengkulu untuk menghormati Bengkulu sebagai lokasi pertama kali jenis ini dideskripsikan. Ini merupakan jenis baru dari Indonesia dengan diameter 50-55 cm. Mempunyai sebaran geografis terbatas di lembah Talang Tais atau wilayah Daerah Aliran Sungai (DAS) Tais, Kabupaten Seluma, terletak di sebelah barat laut Taman Nasional Bukit Barisan Selatan (TNBBS).

Dalam catatan KPPL sepanjang 2013 tercatat tujuh kali bunga rafflesia mekar di beberapa daerah dengan rentang waktu yang berbeda-beda. Bagaimana, penasaran untuk mengunjungi bunga rafflesia di tempat asalnya? Bengkulu merupakan pilihan kunjungan tepat.

Editor : I Made Asdhiana

read more
Perubahan Iklim

Aceh dan Perubahan Iklim

Berbicara tentang perubahan iklim tidak dapat dipisahkan dari isu lingkungan. Perubahan iklim menyebabkan dampak multi dimensi bagi berbagai pihak. Perubahan iklim belum pernah diteliti secara khusus di Aceh namun demikian gejalanya sudah dapat dirasakan. Negara maju perlu bertanggung jawab atas perubahan iklim walaupun negara berkembang juga harus ambil bagian didalamnya. Perlu melakukan langkah kecil dari diri sendiri sebagai antisipasi perubahan iklim.

Mantan Direktur Eksekutif Walhi Aceh, T. Muhammad Zulfikar, menyatakan berbicara tentang perubahan iklim tidak bisa dilepaskan dari isu lingkungan. Perubahan iklim telah menyebabkan terjadinya kerusakan lingkungan. Apalagi Aceh memilikit hutan yang cukup luas, yang diklaim mampu menyerap karbon, tertuduh utama perubahan iklim. Tapi sayangnya hutan Aceh semakin rusak saja. Kebijakan moratorium belum mampu mencegah kerusakan hutan karena tidak efektif. Masih ada saja izin-izin yang diberikan untuk kegiatan tambang dalam hutan lindung.

Ia pernah menjumpai ada pihak yang menyatakan kebijakan moratorium menyesatkan padahal menurut Walhi Aceh sendiri kebijakan ini sudah tepat. Tinggal saja bagaimana melaksanakan isi-isi kandungan kebijakan tersebut secara tepat dan konsisten. Inilah yang menjadi tugas pemimpina Aceh untuk memastikan moratorium berjalan dengan baik.

Selain itu T. Muhammad Zulfikar menekan pentingnya climate justice atau keadilan iklim antar negara maju dan negara berkembang. Negara maju penghasil emisi terbesar tapi negara berkembang diminta untuk menjaga hutan. Seharusnya semua pihak harus ikut menurunkan emisi, menurutnya. Jika keadilan iklim ini tidak dapat diterapkan maka sia-sia saja program mengantisipasi perubahan iklim.

Sementara itu DR Izarul Machdar dari Aceh Climate Change Initiative dalam sebuah kesempatan menyatakan bahwa kurang lebih lima ton karbon dari aktivitas manusia diserap oleh hutan setiap tahunnya. Sedangkan total karbon yang dihasilkan adalah 32 miliar ton. Emisi yang ditimbulkan oleh deforestasi dan degradasi hutan mencapai sekitar 20 persen dari seluruh emisi gas rumah kaca (GRK) per tahun.

Ia juga menyinggung soal Reducing Emission from Deforestation and Degradation (REDD), salah satu skema mitigasi perubahan iklim, dimana Aceh menjadi salah satu daerah pilot proyek. Menurutnya proyek ini harus benar-benar diawasi dengan ketat sehingga tidak merugikan Aceh nantinya.

Walau belum ada penelitian secara spesifik yang menyatakan telah terjadi perubahan iklim, namun sudah mengalami gejal perubahan iklim tersebut. Misalnya saja sekarang warga kota Banda Aceh yang tinggal di dekat kawasan pantai sekarang sudah merasakan dampak pasang air laut. Air laut jika pasang maka bisa menggenangi halaman rumah mereka, padahal dulunya tidak.

Belum lagi bicara tentang kekeringan, musim hujan yang susah diprediksi sehingga menyulitkan petani memulai masa tanam. Gelombang laut yang intensitasnya semakin tinggi dan badai yang semakin sering, curah hujan yang tinggi sehingga sering terjadi banjir di beberapa tempat dan sebagainya.

Hal lain yang tak kalah pentingnya adalah perubahan-perubahan kecil yang dapat dilakukan manusia. Misalnya menghemat pemakaian energi, sektor yang paling banyak menghasilkan emisi. Pihak-pihak terkait diharapkan memperhatinkan perkembangan kota Banda Aceh dimana lahan hijau semakin sedikit saja.[m.nizar abdurrani]

read more
Ragam

Aktivis Greenpeace ‘Arktik 30’ Dipindahkan ke St. Petersburg

Greenpeace International mendapatkan informasi dari sumber-sumber diplomatik bahwa tiga puluh pria dan wanita yang dipenjara oleh Rusia menyusul aksi damai menentang pengeboran minyak di Arktik, telah dipindahkan dari rumah tahanan di Murmansk ke penjara di St. Petersburg.

Para pengacara Greenpeace tidak mengetahui alasan kepindahan mereka. Direktur Eksekutif Greenpeace Internasional Kumi Naidoo mengatakan, “Mereka harusnya tidak berada di penjara sama sekali. Mereka harusnya bebas untuk berada bersama keluarga dan memulai kembali kehidupannya.  Di St. Petersburg matahari bersinar di bulan-bulan pada saat musim dingin, tidak seperti Murmansk. Keluarga dan pejabat konsuler sekarang lebih mudah untuk mengunjungi mereka. Tapi tidak ada jaminan kalau kondisi dalam penjara baru lebih baik dari Murmansk.  Bahkan bisa jadi lebih buruk. Tidak ada pembenaran apapun untuk terus memenjarakan Arktik 30 satu hari lebih lama. Mereka adalah tahanan hati nurani yang melakukan tindakan karena tekad mereka untuk melindungi kita semua dan mereka harus dibebaskan.”

Hari ini Greenpeace merilis foto-foto dari dalam penjara Murmansk dimana Arktik 30 telah ditahan selama lebih dari sebulan. Foto-foto menunjukan dengan jelas sel kecil dan kondisi yang dialami tiga puluh orang aktivis Greenpeace.

Jaksa yang berwenang di Rusia dipecat tanggal 1 November karena tersingkap bahwa mereka gagal mengangkat tuduhan perompakan terhadap Arktik 30, meskipun telah bersumpah untuk melakukannya.

Komite Investigasi Rusia yang berkuasa mengumumkan minggu lalu bahwa tuduhan perompak – dengan maksimum hukuman penjara 15 tahun – akan diganti dengan tuduhan perbuatan mengacau (hooliganism). Tapi ketika mereka dibawa menghadap Komite di pengadilan minggu ini, tuduhan perompak tidak ditarik. Malahan setiap dari mereka dikenakan tambahan tuduhan perbuatan mengacau (hooliganism).

Sekarang mereka menghadapi dua pelanggaran, dengan hukuman maksimum masing-masing 15 dan 7 tahun penjara.

Sumber: greenpeace.or.id

read more
Tajuk Lingkungan

Pesisir Kita

Apa yang terbayang jika kalimat pesisir dibentangkan di hadapan Anda? Ikan, pantai, terumbu karang, hutan mangrove, nelayan, abrasi, bakau, dan sebagainya. Semuanya merupakan identitas khas yang terdapat di daerah pesisir. Begitu banyak ragamnya, begitu kayanya sumber daya alam yang terdapat di pesisir. Tapi apakah kekayaan alam ini berbanding lurus dengan kesejahteraan manusia yang tinggal di dalamnya.

Kita merenung ketika menyadari bahwa dua hal yang disebutkan di atas ternyata berbanding terbalik. Kok bisa ya? Mungkin itu pertanyaan yang muncul dari mulut orang awam. Tetapi bagi para aktivis lingkungan terutama yang bergerak pada isu-isu pesisir hal ini sudah bisa dipahami melalui berbagai macam kajian. Ada banyak benang kusut persoalan yang melilit masyarakat pesisir kita. Cara mengurainya pun bukanlah hal yang mudah, walau demikian bukan berarti itu mission impossible. Masih ada secercah harapan.

Sebut saja satu hal yang membuat kehidupan masyarakat pesisir semakin terpuruk ke jurang kemiskinan. Dia adalah Undang-Undang (UU) No 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau Kecil (PWP-PPK). Peraturan tersebut mengatur mengenai Hak Penguasaan Perairan Pesisir (HP3). Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan (Kiara) bersama delapan LSM dan 18 perwakilan perwakilan nelayan se-Indonesia mengajukan gugatan ke Mahkamah Konstitusi atas UU tersebut.

Kelompok masyarakat sipil ini menilai UU tersebut sangat membahayakan bagi masyarakat karena memberikan peluang kepada swasta untuk menguasai pesisir. Kedaulatan masyarakat pun terancam hilang, kesempatan mencari nafkah ditempat sendiri yang telah dilakoni selama berpuluh tahun bisa hilang.

Akhirnya setelah selama 18 bulan berjuang, Mahkamah Konstitusi (MK), mengabulkan gugatan tersebut dengan memutuskan pasal-pasal yang memuat HP3 terbukti bertentangan dengan konstitusi. Putusan tersebut juga akan menggugurkan peraturan daerah (Qanun) pengelolaan pesisir dan pulau kecil di 33 provinsi termasuk tingkat kabupaten.

Perjuangan yang melelahkan ini membuahkan hasil yang manis tentu saja berkat dukungan dari semua pihak. Apalagi telah diketahui secara umum, gugatan yang diajukan oleh masyarakat sipil biasanya selalu saja mentok alias kalah dalam meja hijau. Kemenangan ini telah membangkitkan kembali semangat aktivis untuk terus berjuang mencari keadilan.

Keadilan pesisir harus dicari dan diterapkan kepada masyarakat. Tidak ada keadilan yang datang begitu saja. Masyarakat pesisir yang tinggal di tengah-tengah kekayaan alam yang begitu besar sudah saatnya menjadi pemegang kedaulatan. Mereka harus berdaya dan ini sangat penting agar mereka sendiri dapat memelihara kehidupan pesisir dengan baik.

read more