close

16/11/2013

Energi

Biofuel Bisa Picu Penggundulan Hutan

Seperti dilansir Softpedia (14/11), dalam sebuah makalah baru dalam jurnal Environmental Research Letters, peneliti dari University of California, mengatakan bahwa biofuel berpotensi menyebabkan lebih banyak kerusakan lingkungan daripada yang diakibatkan bahan bakar fosil. Menurut penyelidikan para ilmuwan dari universitas tersebut produksi biofuel secara massal akan membuat laju deforestasi tak terkendali untuk menyediakan bahan mentah industri biofuel.

Lebih tepatnya, mereka berpendapat bahwa, biofuel dapat membuat jutaan hektar hutan di Brasil lebih cepat gundul dan berubah menjadi perkebunan kelapa sawit yang ditujukan baik untuk makanan atau untuk biofuel.

Selain itu, akibat lain dari hilangnya hutan yang menjadi paru-paru dunia ini akan membuat emisi karbon dioksida dilepas ke udara tanpa diserap pepohonan dan menyebabkan manusia dan alam akan lebih menderita oleh pemanasan global.

Untuk menyelidiki bagaimana deforestasi yang disebabkan penggunaan biofuel secara masal akan mempengaruhi lingkungan, para peneliti telah membuat skenario mengenai potensi perkembangan di wilayah hutan hujan Brasil. Para ilmuwan memutuskan bahwa investigasi mereka harus fokus pada Brasil karena fakta bahwa, selama beberapa tahun terakhir, negara ini berminat dalam memproduksi bahan bakar biodiesel.

Skenario ini dibuat sebagai bagian dari studi yang mengonversi sekitar 22,5 juta hektar lahan menjadi perkebunan kelapa sawit untuk menghasilkan 29 miliar galon biodiesel.

Para peneliti juga mengkalkulasi berapa banyak tanah yang berubah fungsi menjadi perkebunan kelapa sawit dari hutan hujan yang dibersihkan secara khusus untuk tujuan tersebut.

Dari skenario tersebut, diketahui jika orang-orang di industri kelapa sawit memilih untuk membuka hutan untuk mendirikan perkebunan baru, maka jumlah total emisi karbon terkait dengan proses pengolahan biodiesel mulai dari produksi hingga hasil akhir akan sama dengan yang dihasilkan bahan bakar fosil, bahkan mungkin melampaui emisi bahan bakar fosil.

“Jika pemerintah Brasil tetap melanjutkan kebijakan yang mendorong konversi lahan sensitif seperti hutan mereka, maka mereka juga harus mempertimbangkan konsekuensi terkait kebijakan mengurangi kerusakan permanen pada lingkungan,” kata Dr Sonia Yeh, penulis dari proyek penelitian ini.

Sumber: merdeka.com

read more
Perubahan Iklim

Negara Berkembang Tuntut Dana Perubahan Iklim

Pendanaan kembali menjadi topik yang mengemuka dalam pertemuan para Pihak (Conference of the Parties atau COP) Kerangka Kerja PBB untuk Perubahan Iklim (UNFCCC) yang tahun ini dilaksanakan di Warsawa, Polandia, pada 11-22 November 2013.

Isu utama pada COP-19 di Warsawa adalah mengenai kepastian realisasi komitmen mobilisasi pendanaan oleh negara maju sebesar USD100 milyar per tahun sampai 2020 seperti yang dijanjikan pada COP-15 di Kopenhagen, Denmark, pada 2009. Pendanaan tersebut sangat penting untuk mendukung aksi mitigasi dan adaptasi di negara berkembang hingga tahun 2020 untuk membantu dunia menjaga peningkatan suhu rata-rata tidak lebih dari 2 derajat Celcius dibandingkan dengan tingkat suhu sebelum Revolusi Industri. Jumlah komitmen tersebut sebetulnya jauh lebih rendah dibandingkan dengan kebutuhan pengurangan emisi dan adaptasi perubahan iklim di sekitar 129 negara berkembang yang menjadi Pihak UNFCCC,

Pada COP-19, Delegasi RI (Delri) menekankan bahwa negara maju tidak dapat menunda lagi realisasi komitmen pendanaan tersebut, mengingat berakhirnya fast start finance—komitmen pendanaan perubahan iklim untuk periode 2010-2012—dan kondisi kritis keuangan dana-dana multilateral untuk aksi perubahan iklim seperti Green Climate Fund dan Adaptation Fund.

Selama tiga tahun terakhir, negara-negara maju selalu menunda pembahasan untuk memperjelas bagaimana mereka akan melaksanakan komitmen pendanaan USD100 milyar tersebut dengan berbagai alasan, antara lain krisis keuangan yang mereka hadapi dan kemajuan ekonomi beberapa negara berkembang.

“Di Warsawa, kami berharap negara-negara maju membuktikan kesadaran mereka tentang betapa genting dan mendesaknya masalah perubahan iklim bagi negara berkembang. Cuaca ekstrim yang menyebabkan bencana ekologis dan kemanusiaan, seperti yang baru-baru ini dialami Filipina, Vietnam, dan Palau, menunjukkan bahwa komitmen yang lemah untuk pengurangan emisi dan penyediaan pendanaan saat ini akan menyebabkan ongkos untuk menangani dampak perubahan iklim di masa depan makin tinggi,” kata Rachmat Witoelar, Utusan Khusus Presiden untuk Pengendalian Perubahan Iklim yang juga Ketua Harian Dewan Nasional Perubahan Iklim (DNPI) selaku Ketua Delegasi RI (Delri).

Selain melalui perundingan yang dihadiri oleh para negosiator, Pemerintah Polandia yang menjadi Presiden COP-19 juga akan mendorong keputusan di tingkat politik. Pada tanggal 20 November, tuan rumah akan menyelenggarakan High Level Ministerial Dialogue on Climate Finance yang diharapkan akan memberikan kejelasan lebih besar tentang jalan (pathways) yang akan ditempuh oleh negara maju untuk merealisasikan komitmen pendanaan USD100 milyar.

Isu pendanaan juga menjadi pokok bahasan utama dalam perundingan mengenai elemen-elemen yang akan menjadi “kesepakatan 2015” (the 2015 agreement), yaitu rezim global untuk penanganan perubahan iklim yang akan berlaku setelah tahun 2020.  Indonesia menyampaikan pandangannya bahwa apapun aksi yang dicakup dalam kesepakatan 2015 untuk mencapai tujuan bersama menyelamatkan dunia dari berbagai macam bahaya perubahan iklim, hanya akan dapat dilaksanakan jika pendanaan tersedia dalam jumlah yang memadai, dapat diperkirakan dan berkelanjutan.

“Komitmen pendanaan yang terukur, termasuk untuk mendukung pengembangan dan alih teknologi, merupakan instrumen utama untuk membangun kepercayaan di antara negara-negara Pihak dan untuk memastikan partisipasi yang lebih luas dalam kesepakatan 2015” kata Suzanty Sitorus, negosiator pendanaan Indonesia yang juga Sekretaris Pokja Pendanaan DNPI kepada sidang perundingan mengenai kesepakatan 2015.

Dalam rezim pasca 2020, semua negara Pihak, termasuk negara-negara berkembang, diminta untuk mengambil komitmen pengurangan emisi yang lebih tinggi dan melaksanakan lebih banyak upaya adaptasi. Sebetulnya, sejalan dengan Bali Action Plan yang dihasilkan pada COP-13 tahun 2007, Indonesia dan beberapa negara berkembang lain telah melakukan banyak kegiatan pengurangan emisi dan adaptasi. Oleh karena itu, Indonesia menekankan pentingnya rezim pasca 2020 mengakui upaya-upaya negara berkembang tersebut yang saat ini sebagian besar didanai oleh anggaran sendiri.

Contohnya, implementasi Rencana Aksi Nasional dan Rencana Aksi Daerah Penurunan Gas Rumah Kaca (RAN-GRK dan RAD-GRK). Indonesia juga mendorong agar negara berkembang yang telah melakukan berbagai inisiatif dini (early actions) dengan target yang ambisius mendapatkan insentif pendanaan yang signifikan.

“Mekanisme pendanaan yang akan diterapkan untuk mendukung aksi dalam kesepakatan 2015 juga perlu memberikan ruang lebih besar bagi lembaga-lembaga nasional dari negara berkembang. Saat ini akses pendanaan internasional masih didominasi oleh lembaga-lembaga multilateral. Selain itu, kendali lembaga nasional dalam pengelolaan program yang didukung oleh sumber internasional perlu lebih ditingkatkan. Biar bagaimanapun, lembaga nasional memiliki pemahaman lebih baik mengenai kebutuhan khas di negara mereka masing-masing”, kata Suzanty. [rel]

read more
Hutan

Ilmuwan Kembangkan Teknik Baru Prediksi Kebakaran Hutan

Tahun lalu lebih dari 9 juta hektar hutan terbakar di AS, dengan berbagai sebab. Hutan sering terbakar menjadi tak terkendali bahkan petugas pemadam kebakaran tidak mampu menjinakkannya. Namun saat ini sejumlah ilmuwan telah menemukan cara untuk memprediksi merambatnya api melalui durasi nyala api.

Para ilmuwan di National Center for Atmospheric Research ( NCAR ) di Boulder, Colorado , dan University of Maryland, telah mengembangkan teknik yang menggabungkan simulasi mutakhir dari interaksi cuaca dan api dengan pengamatan satelit baru yang menyediakan gambar kebakaran hutan. Ini pertama kalinya model komputer menawarkan prediksi kebakaran, yang sepanjang hari terus diperbarui.

Diperbarui dengan pengamatan baru setiap 12 jam, model komputer memperkirakan rincian penting seperti tingkat kobaran api dan perubahan karakternya.

” Dengan teknik ini, kita mungkin terus mengeluarkan perkiraan yang tepat sepanjang api menyala, bahkan jika hutan terbakar selama beberapa minggu atau bulan,” kata ilmuwan NCAR Janice Coen, peneliti utama dan pengembang Model ini.

” Model ini, yang menggabungkan prediksi cuaca interaktif dan perilaku api, sangat meningkatkan peramalan – terutama untuk peristiwa kebakaran hutan besar dan intens di mana alat prediksi saat ini lemah. ”

Selama dekade terakhir, Coen telah mengembangkan alat yang dikenal sebagai the Coupled Atmosphere-Wildland Fire Environment (CAWFE) model komputer, menghubungkan bagaimana cuaca pemicu kebakaran dan pada gilirannya bagaimana kebakaran membuat cuaca mereka sendiri.

Dengan CAWFE , peneliti berhasil mensimulasikan rincian tentang bagaimana kebakaran besar berkembang.

Namun simulasi membutuhkan data terbaru karena ada begitu banyak faktor yang dapat mengubah ukuran dan jalur dari api. Di sinilah instrumen satelit ikut bermain.

Wilfrid Schroeder dari University of Maryland mengatakan data deteksi kebakaran resolusi tinggi dari instrumen satelit baru, Visible Infrared Radiometer Pencitraan Suite ( VIIRS ), dioperasikan oleh NASA dan National Oceanic and Atmospheric Administration.

Alat baru menyediakan cakupan seluruh dunia pada interval 12 jam atau kurang, dengan piksel sekitar 1.200 kaki. Resolusi yang lebih tinggi memungkinkan dua peneliti untuk menguraikan perimeter api aktif yang lebih detail.

Para peneliti mengatakan bahwa perkiraan menggunakan teknik baru bisa sangat berguna dalam mengantisipasi berkembangnya api mendadak dan pergeseran arah api.

Selain itu, mereka memungkinkan pengambil keputusan untuk melihat kemungkinan beberapa lokasi kebakaran baru dan menentukan ancaman yang muncul.

Terobosan ini dijelaskan dalam sebuah makalah yang diterbitkan minggu ini dalam edisi online dari American Geophysical Union jurnal Geophysical Research Letters .

Sumber: enn.com

read more
Flora Fauna

Seekor Jaguar dan Rusa Mati di Kebun Binatang Surabaya

Koleksi Kebun Binatang Surabaya (KBS) terus berkurang setelah seekor Jaguar (Panthera onca) bernama Dainler ditemukan mati di kandangnya Kamis tanggal 14 November 2013 lalu pukul 07.00 WIB.

Satwa berjenis kelamin jantan dengan usia 22 tahun ini mati setelah menjalani perawatan tim dokter hewan Kebun Binatang Surabaya sejak Senin lalu. Menurut Humas Perusahaan Daerah Taman Satwa Kebun Binatang Surabaya (PDTS KBS) Agus Supangkat, kematian Jaguar satu-satunya ini disebabkan oleh sakit dan faktor usia yang sudah tua.

“Ini karena faktor usia, dan dari hasil otopsi ada tumor di penggantung ususnya. Sakitnya mulai Senin yang ditunjukkan dengan penurunan nafsu makan, lalu diobati di kandang,” kata Agus Supangkat, Kamis (14/11).

Untuk memastikan penyebab kematian Jaguar bernama Dainler ini, pihak tim dokter hewan Kebun Binatang Surabaya telah membawa organ-organ yang dicurigai ke laboratorium Patologi Fakultas Kedokteran Hewan, Universitas Airlangga Surabaya.

“Sekarang sudah dimusnahkan, dan organ yang dicurigai sudah dikirim ke laboratorium Fakultas Kedokteran Hewan Unair,” lanjut Agis Supangkat kepada Mongabay Indonesia.

Jaguar adalah satwa asli Amerika Latin yang menjadi koleksi Kebun Binatang Surabaya ini, mulai menghuni KBS sejak 26 Juni 1997 dan berasal dari Kebun Binatang Singapura. Dengan matinya Dainler, Kebun Binatang Surabaya saat ini tidak lagi memiliki satwa jenis Jaguar.

Selain jaguar, seekor rusa Timor jantan (Cervus timorensis), juga ditemukan mati Senin pagi di kandangnya. Rusa berumur enam tahun mengalami sakit peradangan di sekitar telinga, setelah sebelumnya berkelahi dengan sesama rusa jantan di lapangan.

“Ada radang di sekitar telinga setelah berkelahi dengan sesama rusa jantan. Mulai Rabu kemarin sudah dirawat di klinik karantina, tapi akhirnya mati,” Agus Supangkat menerangkan.

Dengan kematian seekor rusa Timor, koleksi Kebun Binatang Surabaya saat ini tinggal 22 ekor. Sebagai antisipasi pihak pengelola KBS terus mengupayakan pemeriksaan kesehatan satwa, pemberian multivitamin, serta vaksinasi pada satwa jenis burung.

“Pemberian multivitamin setiap hari, pemeriksaan rutin 2 bulan sekali, vaksinasi jenis burung 3 bulan sekali. Selain itu peningkatan kualitas air sudah kita lakukan sejak 4 bulan terakhir, termasuk renovasi sejumlah kandang satwa,” papar Agus.

Sementara itu pengurus Forum Konservasi Satwa Liar Indonesia (Foksi) Jawa Timur Prasto Wardoyo mengutarakan, Pemerintah Kota Surabaya dalam hal ini Perusahaan Daerah Taman Satwa Kebun Binatang Surabaya harus lebih serius memperhatikan kesejahteraan satwanya.

“Semoga pengelola KBS lebih memperhatikan kesejahteraan satwa, dan memberikan bekal yang cukup untuk seluruh pengelola KBS yang terarah pada kesejahteraan satwa,” tutur Prasto.

Dalam dua bulan terakhir satwa koleksi Kebun Binatang Surabaya mati, yaitu 2 ekor Orangutan, seekor Onta, serta yang terakhir adalah Jaguar dan Rusa Timor.

Sumber : mongabay.co.id

read more
Kebijakan Lingkungan

Nasib Rawa Tripa akan Diputuskan 5 Desember

Kementerian Lingkungan Hidup (KLH) Republik Indonesia menggugat PT.Kalista Alam secara perdata ke pengadilan atas dugaan melakukan pembakaran lahan gambut di Kecamatan Darul Makmur, Kabupaten Nagan Raya. Majelis hakim yang dipimpin oleh Rahmawati akan memutuskan perkara tersebut bulan depan, Kamis 5 Desember 2013.

Hal tersebut sebagaimana dikatakan oleh Rahmawati, bahwa sidang perdata yang digugat oleh KLH terhadap PT.Kalista Alam akan diselesaikan pada Desember 2013 mendatang. “Sesuai dengan perkara perdata Nomor : 12/PDT.G/2012/PN-MBO akan diputuskan pada 5 Desember 2013 mendatang,” sebut Rahmawati sebagaimana dilansir acehterkini.com.

Dalam perkara tersebut, KLH menuntut PT.Kalista Alam untuk membayar sejumlah ganti rugi. Diantaranya ganti rugi materil sebesar Rp 114.303.419.000. Serta memerintahkan PT.Kalista Alam agar tidak menggunakan lahan yang terbakar seluas 1000 hektar.

Selain itu, KLH juga menuntut secara perdata PT.Kalista Alam untuk melakukan rehabilitasi lahan gambut yang telah dibakar tersebut dengan biaya Rp 251.765.250.000. Dengan dilakukan rehabilitasi ini, lahan tersebut nantinya dapat difungsikan seperti semula.

Sementara itu, kuasa hukum perusahaan PT Kalista Alam menentang tuntutan yang diajukan oleh KLH. Menurutnya, PT Kalista Alam dalam pembukaan lahan di lahan gambut tidak merusak lingkungan.

“PT Kallista Alam tidak buka lahan dengan cara membakar, jadi kami menilai gugatan KLH itu kabur, tidak jelas dan tidak cukup bukti,” kata salah seorang pengacara PT Kalista Alam, Rebecca.

Dijelaskannya kembali, PT Kallista Alam dituduh telah melakukan pencemaran lingkungan dan juga membakar lahan merupakan tuduhan yang tidak memiliki dasar hukum yang kuat. Justru, sebutnya, PT Kalista Alam telah memenuhi prosedur pembukaan lahan dengan ketentuan hukum dan praktek yang baik.

Kemudian dalam eksepsinya, pihak PT Kalista Alam menuding KLH tidak memiliki data yang valid dalam menuntut PT Kallista Alam. Justru, PT Kallista Alam menuduh KLH terkesan memaksakan menuntut PT Kalista Alam.

read more