close

18/11/2013

Sains

Hewan Tertua di Dunia Terbunuh di Tangan Ilmuwan

Hewan tertua di dunia terbunuh di tangan ilmuwan Bangor University di Inggris yang tengah melakukan riset pada tahun 2006.

Ceritanya, pada tahun 2006, satu individu quahog laut (Arctica islandica) atau sejenis kerang laut terdampar di pantai wilayah Eslandia. Ilmuwan kemudian mengambil, membuka cangkangnya, dan memulai menganalisis. Dengan demikian secara otomatis hewan itu terbunuh.

Tak ada yang istimewa pada awalnya. Namun, setelah melakukan analisis, barulah ilmuwan terkejut mengetahui usia quahog itu.

Berdasarkan analisis awal saat itu, ilmuwan memperkirakan, quahog itu sudah berumur 400 ketika ditangkap. Quahog itu masuk Guiness Book of Record sebagai hewan tertua di dunia dan dinamai Ming, sesuai dinasti di China yang tengah berkuasa saat individu tersebut lahir.

Setelah analisis ulang yang dilakukan baru-baru ini, ilmuwan mengetahui bahwa hewan itu sudah berusia 507 tahun saat ditangkap, sekitar 100 tahun lebih tua dari yang diperkirakan.

Entah apakah harus sedih mengetahui hewan tertua di dunia itu ternyata mati terbunuh. Namun, Paul Butler, salah satu ilmuwan yang terlibat proses analisis baru-baru ini, mengatakan bahwa saat riset ada 200 individu yang ditangkap. Tiap tahun, banyak juga quahog yang ditangkap.

“Jadi, sangat mungkin nelayan menangkap quahog yang sama tua atau lebih tua dari yang kita tangkap,” katanya seperti dikutip Huffington Post, Kamis (14/11).

Ilmuwan sendiri menangkap quahog tertua itu untuk meneliti dampak perubahan lingkungan, seperti salinitas, ketersediaan makanan, suhu air laut, dan perubahan iklim pada kehidupan biota-biota laut.

Ilmuwan menentukan umur quahog berdasarkan pola lingkaran pada cangkang yang sering disebut lingkaran pertumbuhan, sama seperti yang terdapat pada pohon.

Pola lingkaran terbentuk karena perbedaan pertumbuhan cangkang saat musim panas dan dingin. Saat musim panas, makanan banyak tersedia sehingga cangkang tumbuh cepat sementara pada musim dingin sebaliknya.

Dengan umur 507 tahun, berarti quahog ini lahir pada tahun 1499, sebelum Colombus menemukan Amerika dan sebelum Belanda datang ke Indonesia. (Sumber:Kompas.com)

read more
Kebijakan Lingkungan

Membangun Aceh tanpa Merusak Hutan, Mungkinkah?

Keamanan Energi, stabilitas ekonomi, biaya pembangunan daerah dan perubahan iklim adalah tantangan masa depan Aceh dalam kerangka menetapkan fondasi ekonomi dan pembangunan daerah. Kontradiksi antara membangun dan menjaga kelestarian hutan adalah dua hal yang selalu sulit untuk dilaksanakan. Disatu sisi Aceh yang baru saja keluar dari situasi konflik berkepanjangan membutuhkan biaya yang tidak sedikit untuk membangun sendi-sendi perekonomiannya, namun disisi lain mengeksploitasi hutan dan alam adalah salah satu alternatif yang mudah, biaya murah dan dengan cepat dapat segera menghasilkan dana segar yang berguna dalam kontribusi pembangunan di Aceh yang saat ini sedang dilaksanakan.

Kebutuhan energi dunia yang terus meningkat, dan kebutuhan mineral bumi lainnya seperti batu bara, emas, biji besi telah mendorong perburuan bahan-bahan tambang tersebut kepelbagai belahan dunia, dan Aceh yang stabilitas politik dan keamanannya telah tercipta melirik banyak pihak untuk mendorong pemerintahannya untuk menerapkan standard dan kerangka regulasi yang memudahkan para pemburu bahan tambang tersebut untuk melakukan penetrasi eksplorasi sumber daya alam di negeri yang memang memiliki cadangan devisa berbagai sumber daya alam yang belum digarap secara maksimal akibat situasi politik yang dahulunya tidak memungkinkan untuk melakukan itu.

Disatu sisi pemerintah Aceh mengalami kegamangan dalam menjelaskan sikapnya dalam proses pembangunan. Kegamangan ini terlihat dari kebijakan pembangunan yang dilaksanakan di Aceh. Disatu sisi pemerintah ingin membangun Aceh dengan tetap menjaga kelestarian alam, hutan dan lingkungan, tapi disisi lain pemerintah tetap melakukan eksplorasi bahan tambang, pembukaan lahan baru dan juga pembiaran penebangan hutan.

Kegamangan pemerintah ini telah menciptakan situasi ketidakjelasan dan konsistensi pemerintah dalam praktek menyelamatkan hutan dan lingkungan. Dan lalu dengan dalih pembangunan dan investasi pemerintah tanpa segan-segan memberikan izin investasi disektor pertambangan mineral dan juga menerbitkan Hak Guna Usaha (HGU) untuk konversi lahan-lahan baru untuk pembukaan kebun sawit. Memang disatu sisi kebijakan ini sangat membantu dalam meningkatkan ekonomi pemerintah, tapi tentunya praktek pertambangan dan konversi lahan tidak serta merta meningkatkan taraf hidup masyarakat.

Aceh yang kaya akan tambang mineral, bauksit, batu bara, emas, biji besi tidak serta merta membuat pemerintah memaksimalkan peran-perannya dengan memanfaatkan kekayaan itu untuk mensejahterakan rakyat, namun sebaliknya yang di rasakan rakyat adalah alam tidak lagi ramah dengan penghuninya. Kerusakan hutan Aceh yang sudah mencapai titik kerusakan tertinggi telah menyebabkan alam sudah menjadi momok yang menakutkan, banjir bandang, serangan binatang liar seperti gajah dan harimau menjadi fenomena baru di Aceh saat ini. Dan sekali lagi persoalan-persoalan seperti inilah yang dihadapkan pada masyarakat.

Dan atas nama pembangunan, Pemerintah Aceh dengan mudahnya mengeluarkan berbagai macam izin eksplorasi dan atas nama pembangunan pemerintah Aceh juga begitu banyak mengeluarkan izin investasi untuk konversi lahan hutan. Dan sementara itu masyarakat yang hidup dalam areal hutan tidak mendapatkan akses ekonomi apapun atas hutan yang mereka miliki. Intruksi Gubernur tentang moratorium logging tidak berlaku pada perusahaan-perusahaan yang memegang HGU ataupun pengusaha yang memegang izin penambangan. Moratorium logging hanya berlaku ketika masyarakat menebang hutan, ditangkap, diproses bahkan kemudian dipenjarakan karena dianggap merusak lahan, namun sementara para pengusaha tersebut bisa dengan mudah melakukannya atas nama pembangunan dan investasi dikarenakan sudah mengantongi izin dari pemerintah.

Pemerintah tidak pernah belajar dari kegagalan-kegalan daerah lain yang telah membangun daerahnya dengan menebas habis hutanya, betapa kerusakan parah hutan akan sangat berpengaruh besar dalan sendi-sendi kehidupan. Konversi lahan-lahan hutan yang telah dipraktekkan oleh beberapa daerah menjadi lahan-lahan sawit dan perkebunan hanya menempatkan rakyat sebagai buruh-buruh pabrik.

Yang harus di fahami bersama adalah akar sejarah serta landasan konflik berkepanjangan di Aceh, dan proses pembangunan perdamaian tidak dapat di lepaskan dari konteks kepentingan ekonomi negara-negara maju guna mendapatkan akses material bahan tambang di Aceh. Untuk itu Sikap bijak dan nilai rasionalitas harus dikedepankan dalam pembangunan Aceh. Sikap bijak ini dalah dengan menempatkan rakyat sebagai pemilik tanah, hutan dan alam sekitarnya.

Karena sesungguhnya makna kemandirian dan kesejahteraan ekonomi adalah bukan ketika rakyat harus merevitalisasi lahan-lahan sawah dan kebun dan hutan untuk di konversi menjadi perkebunan sawit, dan apakah makna lebih baik disaat rakyat bekerja di perusahaan-perusahaan tambang-tambang batu bara, tambang emas, minyak dan gas. Ataukah rakyat hanya membutuhkan bagaimana cara meningkat hasil-hasil produksi padi, jagung, kedelai, kelapa, ternak sapi, kerbau dan semua yang selama bertahun-tahun menjadi rutinitas dan sumber serta alat produksi rakyat. Bukankah 70 persen corak produksi rakyat Aceh adalah pertanian palawija dan sedikit tanaman keras.

Untuk itu komunikasi antara pemerintah dan rakyat menjadi terkait kebutuhan dan kebijakan dan kebutuhan pembangunan Aceh. Karena sebenarnya yang dibutuhkan rakyat adalah  meningkatkan nilai produksi dan produktivitas lahan pertanian mereka, mengamankan jalur distribusi dan perniagaan, kebijakan harga serta mengatur tata laksana niaga sektor-sektor pertanian dan proteksi terhadap sektor unggulan.[]

read more
Flora Fauna

Komodo Ternyata Juga Hidup di Daratan Flores Bagian Barat

Salah satu satwa khas Indonesia, Varanus komodoensis atau yang kita kenal dengan komodo, ternyata memiliki penyebaran yang lebih luas di sekitar Nusa Tenggara Timur. Satwa ini, berdasarkan survey yang dilakukan oleh Burung Indonesia, tidak hanya terdapat di Taman Nasional Komodo yang meliputi Pulau Rinca dan Pulau Padar, Manggarai Barat, NTT. Berdasarkan hasil rekam kamera jebak (camera trap) yang direkam oleh tim survey, satwa ini berhasil ditemukan juga di Pulau Flores, yaitu di Cagar Alam Wae Wuul, Kabupaten Manggarai Barat, serta Cagar Alam Wolotadho dan Cagar Alam Riung di Pulau Ontoloe, Riung, Kabupaten Ngada.

Sebelumnya, keberadaan komodo di pulau lainnya ini masih menimbulkan perdebatan, karena keberadaan reptil besar di pulau lainnya ini hanya dianggap sebagai jenis biawak besar dan berbeda dengan komodo. Namun dari survey yang digelar mulai bulan Juni hingga September 2013 ini, berhasil menyimpulkan keberadaan komodo di dua lokasi lainnya tersebut.

Survei yang dilakukan di Golo Mori, Kecamatan Komodo, 30 Juni hingga 3 Juli 2013, dan di Tanjung Kerita Mese, Kecamatan Lembor Selatan, Manggarai Barat ini dilakukan pada tanggal 24 hingga 27 September 2013, menggunakan 7 unit kamera jebak yang diikat di pohon dan disebar secara acak teratur dengan jarak kurang lebih 500 meter. Kamera ini diaktifkan selama tiga hari untuk mendapatkan enam sesi pengulangan pada pagi dan sore hari.

Golo Mori dan Tanjung Kerita Mese adalah bagian dari bentang alam Mbeliling, yang meliputi kawasan di sekitar hutan Mbeliling dan Sesok, Kabupaten Manggarai Barat, Nusa Tenggara Timur. “Temuan ini mempertegas bahwa bentang alam Mbeliling adalah habitat penting bagi keanekaragaman hayati”, demikian Tim Leader Burung Indonesia Program Mbeliling, Tiburtius Hani.

Bentang alam Mbeliling (BAM) mempunyai peran yang sangat penting sebagai tempat hidup beragam kekayaan hayati yang khas dan unik. Selain keberadaan komodo, kawasan ini juga menjadi habitat bagi empat spesies burung endemik dan terancam punah, serta beberapa jenis tumbuhan langka. Badan dunia FAO/UNDP mengusulkan kawasan Mbeliling sebagai suaka margasatwa karena nilai flora, fauna, dan perlindungan hidrologisnya. Departemen Kehutanan pun telah menetapkan hutan Mbeliling sebagai hutan lindung.[]

Sumber : mongabay.co.id

read more
Hutan

Leuser Masuk Daftar Tempat Paling Tak Tergantikan di Dunia

Kawasan Ekosistem Leuser termasuk dalam daftar wilayah paling tak tergantikan di dunia menurut organisasi konservasi International Union for Conservation of Nature (IUCN).

IUCN melakukan survei pada 173.000 wilayah yang dilindungi dan 21.500 spesies yang masuk pada daftar spesies terancam IUCN. Kemudian, IUCN mengalkulasi dan membandingkan kontribusi setiap wilayah yang dilindungi pada kemampuan bertahan hidup setiap spesies.

Berdasarkan survei tersebut, IUCN menetapkan 78 situs, meliputi 137 dilindungi di 34 negara, sebagai area yang “paling tak tergantikan” di dunia.

Situs yang masuk dalam daftar tersebut adalah rumah bagi 600 spesies burung, amfibi, dan mamalia. Setengah di antara jumlah spesies tersebut merupakan spesies terancam dan banyak yang tidak bisa ditemukan di wilayah lain.

Salah satu wilayah yang masuk daftar area tak tergantikan menurut Pentagon Post, Jumat (15/11/2013), adalah Kawasan Ekosistem Leuser, Aceh.

Menurut leuserecosystem.org, wilayah Leuser merupakan daerah dengan jumlah keragaman tertinggi di Asia. Kawasan ini memiliki 105 spesies mamalia, 382 spesies burung, dan mencakup 95 persen spesies reptil.

Leuser juga merupakan rumah bagi banyak spesies yang makin terancam seperti orangutan sumatera, badak sumatera, gajah sumatera, serta pohon keruing.

Wilayah yang dinobatkan sebagai tempat paling tak tergantikan di dunia sendiri adalah Sierra Nevada de Santa Marta Natural National Park di Kolombia. Tempat lain di antaranya Western Ghats di India dan Taman Nasional Canaima di Venezuela.

Studi ini menggarisbawahi pentingnya meningkatkan manajemen lingkungan di wilayah-wilayah yang tak tergantikan tersebut.

Simon Stuart, pimpinan IUCN Species Survival Comission, dalam rilis IUCN, Kamis (14/11/2013), mengatakan, “Wilayah yang terlindungi hanya bisa memenuhi peran mereka dalam mencegah berkurangnya keanekaragaman hayati bila dikelola dengan baik.”[]

Sumber : kompas.com

read more
Perubahan Iklim

Dunia Masih Bisa Raih Target Emisi 2020

Bagaikan pintu, walaupun sempit, tidak semua peluang untuk mencapai target pemangkasan emisi gas rumah kaca sudah tertutup. Dunia masih berpeluang mencapai target pemangkasan emisi sebesar 44 Gigaton setara C02 (GtCO2e)/tahun pada 2020 melalui komitmen yang kuat diikuti oleh aksi yang ambisius.

Hal ini terungkap dalam berita Program Lingkungan PBB (UNEP) yang dirilis baru-baru ini. Berbagai penelitian menunjukkan, jika dunia berani beraksi, polusi iklim akan bisa dikurangi antara 14-20 GtCO2e dengan biaya sebesar $100 per ton emisi setara CO2.

Langkah-langkah yang bisa dilakukan adalah dengan memerketat aturan agar semua negara yang telah memiliki janji pengurangan emisi, memenuhi janji minimal mereka. Langkah ini berpotensi mengurangi emisi sebesar 1-2 GtCO2e. Jika target pengurangan emisi maksimal bisa dipenuhi, tanpa syarat, dunia akan bisa memangkas emisi hingga 2-3 GtCO2e.

Disertai dengan aksi-aksi iklim yang lain, dunia bisa menambah jumlah pengurangan emisi sebesar 2 GtCO2e. Aksi-aksi tambahan ini mencakup aksi pemangkasan emisi di seluruh sektor dalam skala nasional, keterlibatan semua negara dalam aksi pemangkasan emisi dan aksi pemangkasan emisi di sektor transportasi internasional.

Menurut UNEP, semua target ini akan tercapai jika semua negara bahu membahu guna mengatasi masalah pendanaan dan kesenjangan teknologi. Aksi peningkatan efisiensi energi misalnya, bisa memangkas emisi lebih dari 2 GtCO2e pada 2020. Contoh, lampu atau penerangan mengonsumsi 15% listrik dunia dan menghasilkan 5% emisi gas rumah kaca. Menggunakan lampu yang hemat energi akan bisa mengurangi biaya dan memangkas emisi gas rumah kaca.

Sementara peralihan ke energi terbarukan bisa memangkas emisi antara 1-3 GtCO2e pada 2020. Investasi di energi baru dan terbarukan (EBT) telah mencapai $244 miliar pada 2012 dan kapasitas energi terbarukan terpasang mencapai rekor baru yaitu 115 GW tahun lalu. Dalam delapan tahun terakhir, jumlah negara yang memiliki target peralihan ke energi bersih terus meningkat dari 48 negara ke 140 negara. Disertai aksi reformasi subsidi bahan bakar minyak, manfaat pengurangan emisi tambahan bisa mencapai 0,4 hingga 2 GtCO2e pada 2020.

Untuk itu. agar kerja sama internasional dalam pengurangan emisi bisa berjalan efektif, diperlukan visi dan mandat yang jelas dalam aksi ini. Semua negara juga dituntut untuk meningkatkan partisipasi dalam aksi pengurangan emisi disertai dengan dukungan dana dan struktur kelembagaan yang kuat yang menunjang implementasi aksi. Insentif juga diperlukan bagi mereka yang berpartisipasi, yang bersama dengan penerapan prinsip transparansi dan akuntabilitas, mampu menjadikan aksi pengurangan emisi lebih efektif.

Potensi pengurangan emisi tambahan datang dari industri pertanian yang bisa memangkas emisi sebesar 1,1- 4,3 GtCO2e. Ada tiga aksi pengurangan emisi yang bisa dilakukan di industri pertanian.

Pertama, menghindari pembajakan lahan dan melakukan penanaman langsung di lahan yang telah dipakai pada musim sebelumnya. Aksi ini bisa mengurangi emisi dari kerusakan lahan dan penggunaan mesin-mesin pertanian. Kedua, memerbaiki pengelolaan nutrisi dan air yang bisa mengurangi emisi metana dan nitrogen oksida. Ketiga, implementasi pola wana tani (agroforestry) yang mampu meningkatkan penyerapan emisi di biomasa maupun dalam tanah.[]

Sumber :hijauku.com

read more