close

23/11/2013

Perubahan Iklim

Polusi Iklim yang Terlupakan, Nitrogen Oksida

Dampak polusi nitrogen oksida (N2O), gas rumah kaca yang sering disebut sebagai gas ketawa (laughing gas) terhadap lingkungan dan iklim seringkali terlupakan. Konsentrasi emisi N2O diperkirakan akan naik berlipat ganda pada 2050, membahayakan pemulihan lapisan ozon, memerparah perubahan iklim.

Kesimpulan ini terungkap dari laporan terbaru Program Lingkungan PBB berjudul “Drawing Down N2O to Protect Climate and the Ozone Layer” yang diluncurkan Kamis (21/11/2013).

Gas nitrogen oksida secara alami bisa ditemukan di alam. Prilaku manusia sejak masa revolusi industri telah menyebabkan produksi emisi N2O yang berbahaya bagi iklim ini melonjak. Menurut UNEP, upaya mengurangi emisi N2O bisa membawa manfaat ekonomi hingga $160 miliar per tahun.

Berbagai sektor menikmati manfaat ini seperti sektor pertanian, manufaktur bahan kimia, pembangkit listrik, pengelolaan limbah, transportasi hingga produksi perikanan. Mengurangi emisi N2O juga bisa meningkatkan produktivitas pangan dan ternak, memerbaiki kualitas kesehatan, mengurangi kemiskinan serta kerusakan lingkungan.

Dari penelitian sebelumnya disimpulkan, dunia bisa meningkatkan efisiensi penggunaan nitrogen hingga 20% dengan biaya $12 miliar. Manfaat yang diperoleh – dari pengurangan pemakaian pupuk saja – mencapai $23 miliar per tahun. Jika ditambah manfaat terhadap lingkungan, kesehatan dan perubahan iklim, nilai manfaat akan melonjak menjadi $160 miliar per tahun.

“Gas ketawa ini bukan untuk guyonan,” ujar Achim Steiner, Direktur Eksekutif UNEP. “N2O merusak iklim dan ozon yang juga menyumbang efek pemanasan global. N2O juga beredar dalam jangka waktu yang lama di atmosfer, mencapai rata-rata 120 tahun,” tambahnya lagi.

Sektor pertanian adalah sumber utama emisi N2O, yang menyumbang dua pertiga dari produksi emisi ini. Sumber yang lain berasal dari industri, pembakaran bahan bakar fosil, biomasa dan limbah.

Di sektor pertanian, upaya mengurangi emisi N2O bisa dilakukan dengan meningkatkan efisiensi penggunaan unsur nitrogen di pertanian baik dalam proses penanaman maupun proses produksi ternak. Mengurangi konsumsi daging dan limbah makanan juga bisa menekan emisi N2O, termasuk mengurangi pembakaran hutan, mengolah limbah dan mendaur ulang nutrisi.

Menurut UNEP, tanpa upaya pengurangan emisi, polusi N2O akan meningkat rata-rata 83% pada periode 2005 hingga 2050. Sementara melalui skenario mitigasi, emisi N2O bisa dikurangi hingga 22% pada tahun 2050 dibanding level tahun 2005.

Sumber: hijauku.com

read more
Flora Fauna

Pembersihan Danau Berikan Dampak Buruk

Terkadang, kehidupan liar lebih baik dibiarkan tetap kotor. Buktinya, saat para petani di Irlandia Utara mengurangi jumlah pupuk yang mengalir dari tanah mereka ke Lough Neagh, danau terbesar di Inggris Raya, hasilnya malah terjadi penurunan drastis jumlah burung yang bermigrasi ke sana, menghabiskan waktu musim dinginnya.

Menurut Irena Tomankova, peneliti dari Queens University Belfast, dengan mereduksi polusi, sebenarnya para petani telah meningkatkan kualitas air danau. “Tetapi konsekuensi mengejutkannya adalah menurunnya hewan-hewan invertebrata, yang artinya, berkurangnya makanan bagi para bebek,” ucapnya.

Alasannya adalah karena semakin berkurangnya nutrien di danau yang dapat dikonsumsi oleh serangga dan siput di dasar danau yang berlumpur. Padahal, makhluk-makhluk ini merupakan makanan yang sering disantap burung-burung pendatang seperti pochard, bebek berumbai, dan goldeneye.

Akhirnya, para burung yang biasanya singgah di Irlandia Utara untuk menghindari musim dingin yang membeku di kawasan utara dan timur Eropa menjadi enggan berkunjung. Jumlah bebek yang menghabiskan musim dingin di danau itu turun, dari 100 ribu ekor pada tahun 1990-an menjadi hanya 25 ribu ekor saja di tahun 2010 lalu.

Hal ini menyulitkan pemerintah Irlandia Utara. Pasalnya, danau seluas 392 kilometer persegi tersebut merupakan kawasan wisata terkenal dan di bawah Ramsar Convention dengan salah satu andalannya sebagai tempat persinggahan para burung.

Sumber: NatGeo Indonesia/newscientist.com

read more
Ragam

Sokola Rimba, Potret Pendidikan Anak Rimba

Mulai 21 November 2013 pecinta film di Indonesia dapat menyaksikan film Sokola Rimba berdurasi 90 menit di bioskop. Film ini diangkat dari kisah nyata Saur Marlina “Butet” Manurung yang mengajar anak-anak rimba di hutan Taman Nasional Bukit Dua Belas, Jambi. Kisah itu diterbitkan Butet dalam buku berjudul Sokola Rimba.

Ketika duet Riri Riza dan Mira Lesmana mengangkatnya ke layar lebar, banyak orang berharap mereka mengulang sukses mengangkat kisah anak-anak Belitong dari novel Laskar Pelangi. Sokola Rimba merupakan film keempat yang mereka adaptasi dari buku, setelah Gie (2005) yang dibuat berdasarkan buku Catatan Seorang Demonstran karya So Hok Gie (1983), serta Laskar Pelangi (2008) dan Sang Pemimpi (2009) dari novel karya Andrea Hirata.

Tokoh Butet diperankan Prisia Nasution. Seperti Laskar Pelangi, Riri kembali melibatkan orang lokal dalam filmnya kali ini. Mereka adalah Nyungsang Bungo, Beindah, dan Nengkabau, serta dibantu sekitar 80 anak rimba yang berasal dari pedalaman hutan Bukit Dua Belas. Meski bukan aktor profesional, Riri mengaku tidak mengalami kesulitan dalam mengarahkan peran mereka.

Sang produser, Mira Lesmana mengatakan film yang memakan waktu 14 hari syuting itu menelan biaya sebesar Rp 4,6 miliar. Selain melibatkan 80 orang kru Orang Rimba, film ini juga melibatkan 35 kru film dari Jakarta, 15 kru dari Jambi. Syuting film 95 persen di Provinsi Jambi yakni di Kabupaten Merangin dan Tebo.

Orang Rimba adalah masyarakat adat yang hidup berkelompok dan berpindah-pindah di pedalaman Jambi. Dengan memegang teguh adat-istiadat, mereka mencoba bertahan meski tanah tempat mereka berdiam tak serimbun dulu. Binatang buruan semakin langka. Orang-orang Rimba hanya bisa menatap ketika satu per satu pohon madu raksasa yang selama ini mereka keramatkan roboh dihajar gergaji mesin.

Segulung kertas berisi surat perjanjian yang kadung diberi cap jempol oleh kepala adat membuat mereka tak berdaya. Surat yang tak pernah mereka ketahui isinya lantaran mereka buta huruf itu jadi tameng bagi orang terang – sebutan bagi orang kota – untuk mengeksploitasi tanah leluhur mereka.

Butet, yang lahir pada 1972, bertekad membuat masyarakat Rimba menjadi pintar supaya tak gampang dibodohi. Tak sekedar membuat mereka melek huruf dan bisa berhitung. Dia juga menyelenggarakan pendidikan yang membuat Orang Rimba bisa “bersuara” dan memberdayakan diri. Tentu itu tak mudah. Bagi Orang Rimba, pendidikan merupakan hal tabu dan melanggar adat mereka. Butet tak pernah menyerah.

Tentu tak semua pengalaman Butet yang kaya warna di bukunya setebal 348 halaman itu divisualkan. Ada keterbatasan durasi. Inti film berpijak pada tokoh Butet dan Nyungsang Bungo, anak Rimba yang tinggal di Hilir Sungai Makekal. Dia adalah remaja cerdas dan serius ingin belajar. Dari Nyungsang inilah konflik dibangun.

Film ini diawali saat Butet, yang telah tiga tahun mengajar anak Rimba di hilir Sungai Makekal Ulu, terserang malaria. Dia pingsan di tepi sungai di tengah belantara dan ditolong seorang anak Rimba dari hilir. Inilah pertemuan awal Butet dan Nyungsang.

Nyungsang diam-diam memperhatikan Butet mengajar. Keinginan kuat untuk bisa membaca dan menulis mendorong Butet memperluas wilayah kerjanya ke hilir Sungai Makekal, tempat tinggal Nyungsang. Muncul masalah. Tidak hanya memanaskan hubungan Butet dengan atasannya. Butet juga mesti berhadapan dengan sikap sinis orang-orang Rimba di hilir yang menentang kehadirannya.

Butet diceritakan sebagai pekerja di Wanaraya, sebuah lembaga konservasi yang memberikan pendidikan alternatif bagi anak rimba. Tanpa disangka, perkelanaan Butet di tengah rimba itu berkembang menjadi tak sebatas kewajiban semata. Dia malah menjadi ‘abdi’ bagi ratusan anak rimba.

Dalam sebuah adegan tergambar ketegangan pecah. Menggetarkan wilayah rombong (kelompok) Tumenggung (tetua) Belaman Badai. Nyungsang bergegas menyongsong susudungan (pondok kecil) di jantung hutan Bukit Dua Belas, Jambi. Dengan wajah gusar, ia meluapkan kemarahan. ”Ke mano Bu Guru Butet pegi? Akeh ndok bolajor pado Bu Guru,” ujar Nyungsang meradang.

Anggota Orang Rimba yang masih remaja ini tidak bisa merima sikap Tumenggung Badai yang mengusir secara halus sang ibu guru. Dalam adat Orang Rimba, belajar atau sokola adalah pantangan. Mereka yakin, sokola akan mendatangkan bala, kutukan, bahkan kematian.

Bungo lari dari rombong-nya. Diam-diam ia menyusuri hutan demi ikut sokola. Di tangannya sudah ada pensil dan buku. Tapi masih saja ia ragu mengutarakan niat ingin belajar. Tekadnya itu dipantang oleh hukum adat. ”Bungo, ayo bolajor,” suara lirih Guru Butet mengajaknya bergabung belajar bersama anak rimba lainnya. Butet sadar dilema dalam diri Bungo yang terlanjur mencintai sokola, tapi juga terlahir untuk mencintai adat, kaum, dan tanah pusakanya.

Potret kehidupan Orang Rimba tersaji apik dalam film ini. Mulai dari kondisi hutan Orang Rimba yang dikepung kelapa sawit, gelondongan-gelondongan kayu bergelimpangan di sana-sini, hasil buruan yang makin berkurang seiring dengan masifnya pembabatan hutan, sampai pada transaksi ekonomi di pasar yang kerap menipu orang-orang rimba.

Riri mengungkapkan, agar bisa mendapat gambaran utuh tentang kehidupan Orang Rimba, ia dan timnya riset turun ke lapangan sebelum memulai rangkaian proses pengambilan gambar. Mereka tinggal berhari-hari di dalam hutan, merasakan hidup bersama Orang Rimba. Mira Lesmana, produser Sokola Rimba, mengaku sudah lama mengenal dan kagum pada sosok Butet Manurung. ”Ada perempuan yang mau tinggalkan kehidupannya di kota demi mengajar Suku Anak Dalam,” katanya.

Berbeda dengan novel Laskar Pelangi, buku Sokola Rimba bukanlah fiksi, yang semua adegan dan deskripsinya sudah tersaji. Dramatisasi juga tidak ada. Artinya Riri mesti membuat sendiri pengadeganannya agar muncul cerita. Di banyak tempat, Prisia Nasution yang memerankan Butet terdengar “berceramah”, menarasikan apa yang seharusnya diadegankan.

Pada tayangan premier 21 November 2013 lalu, Gubernur Jambi Hasan Basri Agus (HBA) memborong 700 tiket empat teater bioskop 21 WTC, Jambi. Hasan Basri, Riri Riza, Butet Manurung, Prisia Nasution bersama kru film Sokola serta 568 siswa SD dan SMP yang ada di Kota Jambi cukup antusias menonton bareng.

Sebagai sebuah film cerita, Sokola Rimba memang memasukkan tokoh rekaan dan dramatisasi. Tapi itu tak membuat Riri menghilangkan narasi. Dia mungkin punya alasan lain. Dengan membuatnya seperti film dokumenter, kita justru bisa melihat kehidupan anak Rimba yang natural. Misalnya cara mereka bicara, berpakaian, berburu, dan berhubungan dengan orang lain, hingga ritual adat. Apa yang mereka ungkapkan dalam film terasa betul murni dari hati.

Butet sampai mendidik Orang Rimba itu karena bekerja untuk Komunitas Konservasi Indonesia (KKI) Warsi sejak 1999 hingga 2003. Setelah Butet resign, dia mendirikan SOKOLA RIMBA – sebuah lembaga yang concern di bidang pendidikan dan belakangan menyebar hingga ke Makasar, Aceh, Papua, dan Kupang.

Dewi, seorang guru yang ikut nonton bareng juga berkata bahwa film tersebut sangat bagus dan mendidik serta banyak pelajaran dan hikmah yang bisa dipetik.

Beindah dan Nengkabau mampu mencuri perhatian penonton lewat tingkah polahnya yang mengundang tawa. Terlebih umpatan mereka,”rajo penyakit” dan “melawon”. Seusai menonton, para siswa masih saja tertawa teringat dengan dua kata tersebut.

Sumber: mongabay.co.id

read more