close

November 2013

Kebijakan Lingkungan

Korupsi dan Perang: Sumber Kejahatan Lingkungan

Faktor korupsi dan konflik bersenjata adalah dua penyebab utama diantara berbagai sumber penyebab kerusakan lingkungan hidup di Indonesia dan Aceh khususnya. Dua faktor ini berperan signifikan dalam proses penghancuran struktur lingkungan. Dampak buruk yang ditimbulkan pun mengancam langsung hajat kehidupan rakyat bawah di pedesaan.

Korupsi adalah suatu tindakan penyalahgunaan jabatan publik, atau sumber daya negara untuk tujuan keuntungan pribadi (Gray dan Kaufman, 1992). Dari definisi tersebut sudah menggambarkan betapa bahayanya tindakan korupsi terhadap masyarakat luas. Alasan ini pula yang menempatkan korupsi identik dengan kejahatan kemanusiaan (human crime). Di Indonesia dan khususnya Aceh perilaku korupsi bagaikan virus yang mematikan, penyebarannya sangat cepat dan merambah semua lapisan birokrasi pemerintah maupun sektor swasta.

Tidak mengherankan jika corruption perception index (CPI), Indonesia selalu bertahan di posisi 10 besar negara-negara terkorup di dunia dan Aceh pun pernah masuk provinsi terkorup. Suatu prestasi yang sangat tidak membanggakan bagi bangsa yang telah merdeka lebih setengah abad. Namun sekarang rakyatnya justru dijajah oleh penguasa sebangsa dalam berbagai pola tindak korupsi.

Salah satu bentuk korupsi yang paling berbahaya tapi selama ini minim sorotan publik adalah korupsi lingkungan atau kejahatan lingkungan (environmental crime). Karena berdampak langsung pada proses memiskinkan rakyat banyak, akibat hilangnnya akses rakyat atas sumber-sumber kehidupan pokok. Terutama hilangnnya jaminan hak-hak dasar hidup rakyat di pedesaan, akibat perusakan dan penghancuran lingkungan hidup yang sistematis dan disengaja. Hasil akhir berujung pada munculnya bencana ekologis termasuk kolapsnya pranata (sosial dan lingkungan) kehidupan masyarakat desa.

Praktek korupsi lingkungan telah menimbulkan pengurusan sumberdaya alam menjadi tidak terkendali, sangat eksploitatif tanpa memperhitungkan daya dukung lingkungan, menyebabkan merosotnya kondisi lingkungan hidup yang cukup parah bahkan di beberapa tempat sudah melebihi ambang batas yang menyebabkan terjadinya multi bencana ekologis.

Pemberantasan korupsi memang tidak mudah, dibutuhkan suatu komitmen politik penguasa dalam bentuk kebijakan hukum yang kuat dan tidak diskriminatif. Faktor kesadaran warga masyarakat, khususnya kekuatan sipil pro lingkungan. Dalam hal ini, intervensi pada level kelembagaan sangat penting.

Aktor-aktor utama pelaku korupsi lingkungan melibatkan para kepala daerah (gubernur/bupati/walikota), dalam wujud KKN dengan pengusaha HPH dan pertambangan. Modus KKN yang paling sering adalah penerbitan SK izin usaha di kawasan hutan lindung. Misalnya, izin usaha perkebunan, HPH dan pertambangan. Menurut Direktorat Jenderal Perlindungan Hutan dan Konservasi Kementerian Kehutanan, Darori, saat ini sebanyak 14 bupati/walikota diduga melakukan korupsi lingkungan (Kompas,17 November 2012).

Di Aceh pun setali tiga uang, arus investasi tambang di Aceh meningkat pesat. Pada tahun 2002 hanya terdapat satu perusahaan tambang, tapi di tahun 2011 meningkat drastis menjadi 120 perusahaan.

Praktek korupsi telah memuluskan berbagai undang-undang dan kebijakan yang tidak berpihak kepada kepentingan keselamatan hidup warga dan lingkungan hidup. Korupsi kebijakan, dimana berbagai undang-undang dan kebijakan yang ada dibuat semata-mata untuk kepentingan sekelompok orang yaitu para elit kekuasaan dan pemilik modal. Padahal hakekat suatu undang-undang dibuat adalah untuk kepentingan seluruh rakyat.

Sebagai contoh, lahirnya berbagai undang-undang sektoral yang berhubungan dengan pengurusan alam seperti : 1) UU No. 22 tahun 2001 tentang Migas; 2) UU No. 7 tahun 2004 tentang Sumberdaya Air; 3) UU No. 18 tahun 2004 tentang Perkebunan; 4) UU No. 19 tahun 2004 tentang Kehutanan; 5) UU No. 31 tahun 2004 tentang Perikanan; 6) UU No. 25 tahun 2007 tentang Penanaman Modal; 7) UU No. 26 tahun 2007 tentang Tata Ruang; 8) UU No. 27 tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil; dan 9) UU No. 4 tahun 2009 tentang Mineral dan Batubara.

Semua undang-undang tersebut mendorong pemerintah melakukan privatisasi dan liberalisasi. Sumber-sumber kehidupan dan ekonomi rakyat diserahkan kepada korporasi dan mekanisme pasar. Hal ini sesungguhnya telah melanggar amanah UUD 1945 pasal 33 ayat 2: “Cabang-cabang produksi yang penting bagi negara dan yang menguasai hajat hidup orang banyak dikuasai oleh negara.” Dan ayat 3: “Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.”

Perang Perusak Lingkungan
“Warfare is inherently destructive of sustainable development. States shall therefore respect international law providing protection for the environment in times of armed conflict and cooperate in its further development, as necessary.” – 1992 Rio Declaration

(Perang pada hakekatnya penghancuran atas pembangunan berkelanjutan. Karenanya dalam masa perang negara-negara harus menghormati undang-undang internasional tentang perlindungan lingkungan dan perlu bekerjasama dalam membangun lingkungan hidup -Deklarasi Rio, 1992)

Deklarasi tersebut sangat jelas merupakan manifestasi kekuatiran kolektif universal atas dampak buruk yang diakibatkan oleh perang terhadap lingkungan. Kehancuran lingkungan hidup yang ditimbulkan perang berskala masif dan merusak struktur ekosistem hutan maupun laut.

Sebagai contoh, Perang Teluk 1990-1991. Dalam upaya menghambat invasi laut pasukan multinasional pimpinan AS, tentara Irak melakukan strategi bumi hangus dengan meledakkan ratusan ladang minyak di lepas pantai. Akibatnya, laut dan pantai Teluk Persia dan Laut Arab mengalami polusi hebat (hyper pollution), dibanjiri 6-8 juta barrel tumpahan minyak mentah. Sebanyak 15.000-30.000 biota laut rusak, seperti mangrove dan terumbu karang (UNEP, 2002).

Hal yang sama terjadi ketika konflik Kosovo tahun 1999, militer Serbia secara sistematis menghancurkan jaringan penampungan air bersih di kota-kota dan desa Kosovo. Malapetaka lingkungan terbesar dalam sejarah akibat konflik yakni saat Perang Vietnam tahun 1960-an, tentara Amerika dalam usaha menghancurkan kantong-kantong pejuang komunis Vietcong di hutan belantara. Amerika menjatuhkan ratusan ton bom kimia, populer dengan nama agent orange yang membumihanguskan 325.000 hektar hutan Vietnam (McNeely, 2000). Dampak kerusakan ekologis tersebut hingga kini kondisinya masih belum bisa dikonservasi seperti sediakala.

Dampak buruk lainnya yang ditimbulkan perang terhadap lingkungan, adalah  mempersempit ruang gerak operasional petugas penjaga hutan dan aktivis advokasi konsevasi lingkungan yang bekerja di wilayah pertempuran. Seperti yang terjadi dalam perang di Sierra Leon di Afika pada tahun 1990. Banyak polisi hutan yang bekerja di menjaga kawasan hutan lindung, selain berbulan-bulan tidak mendapat gaji, juga tidak  dapat berbuat banyak atas tindakan korupsi lingkungan.

Pemodal kapitalis berkolaborasi dengan tentara pemerintah dan gerombolan gerilyawan, dalam kegiatan illegal logging dan pertambangan liar (Squire 2001). Baik pemerintah dan gerilyawan pemberontak melakukan korupsi lingkungan ini dimotivasi kebutuhan dana untuk membiayai perang khususnya untuk pembelian senjata.

Program-program pembangunan lingkungan hidup pemerintah pun terhenti. Ini akibat dana-dana pemerintah dialihkan untuk pembiayaan perang. Sebagian penduduk menjadi pengungsi dengan kondisi sandang pangan, kesehatan, dan perumahan rakyat yang buruk. Bahkan setelah perang usai program lingkungan masih terabaikan, karena semua program pemerintah difokuskan pada pembangunan infrastruktur fisik yang hancur akibat perang.

Dari bentangan peristiwa empiris di atas, memperlihatkan betapa korupsi lingkungan dan konflik bersenjata sangat membahayakan keselamatan lingkungan dan kelangsungan hidup manusia. Karenanya memerangi korupsi dan mencegah konflik bersenjata adalah misi kemanusiaan universal demi keselamatan anak cucu generasi pewaris bumi ini dimasa depan.[sahari gani]

read more
Ragam

Politisasi Isu Lingkungan Hidup Jelang Pemilu

Pemilu 2014 semakin dekat, namun hingga saat ini belum ada partai politik yang memiliki visi untuk mengatasi ancaman akibat perubahan iklim. Sebagai negara berkembang, pemerintah Indonesia masih disibukkan dengan agenda meningkatkan kesejahteraan rakyat, memberantas kemiskinan, meningkatkan mutu pendidikan, pemberantasan korupsi dan agenda lainnya terkait pembangunan.

Maka ketika agenda-agenda tersebut belum dijalankan dengan maksimal, isu perubahan iklim hanya menjadi isu saja dalam perhelatan internasional. Isu perubahan iklim tidak terlepas dari isu lingkungan hidup. Isu lingkungan hidup berbicara keamanan manusia. Keamanan menyentuh nasib sekelompok manusia dan menyentuh keamanan personal menyangkut kehidupan manusia secara individual.

Keamanan sekelompok manusia tergantung lima faktor yaitu: (1) keamanan militer, (2) keamanan politik, (3) keamanan ekonomi, (4) Kemanan masyarakat, dan terakhir (5) keamanan lingkungan hidup (Buzan, 1991).

Maka sudah selayaknya isu lingkungan hidup menjadi perhatian utama dalam proses kebijakan menyangkut kepentingan masyarakat. Namun, isu lingkungan hidup sepi dari hiruk pikuk politik. Isu lingkungan hidup belum menjadi bagian dari visi misi partai politik.

Politisasi Lingkungan Hidup
Berbagai ancaman keamanan lingkungan hidup diantaranya ancaman lingkungan hidup yang tidak disebabkan oleh aktivitas manusia. Contohnya gempa bumi, tsunami, dan letusan gunung berapi. Ancaman lingkungan hidup akibat aktivitas manusia. Salah satu contohnya adalah pembalakan liar, pembakaran hutan sebagai tindakan pembukaan lahan dengan cara membakar hutan.

Saya mencoba mengangkat contoh kasus terjadinya kabut asap yang tengah terjadi di Riau yang kemudian menyebar ke Malaysia maupun Singapura pun luput dari hiruk pikuk politik.

Di tengah hirup pikuk partai politik yang berupaya menyelamatkan citra dan mengamankan kekuasaan, elit politik maupun partai politik tidak melakukan upaya nyata untuk melakukan politisasi terkait kabut asap.

Kabut asap yang hampir menjadi fenomena tahunan sejak tahun 1997, berimplikasi negatif terhadap kesehatan bagi manusia yang terkena serangan kabut asap. Pemerintah, elit politik maupun partai politik abai untuk memperjuangkan hak masyarakat untuk menghirup udara sehat dan menikmati sinar matahari bebas dari kabut asap.

Partai politik saat ini tidak memiliki terobosan dalam mengatasi permasalahan lingkungan hidup. Partai politik pun tidak kritis dalam menanggapi permasalahan terkait lingkungan hidup yang berdampak buruk bagi masyarakat terutama masyarakat miskin. Apabila isu lingkungan hidup mendapatkan politisasi maka akan berpengaruh luas terhadap kebijakan umum, legislasi hingga penegakan hukum.

Isu lingkungan hidup tidak terlepas dari upaya penegakan hukum. Hingga saat ini, pelaku perusakan hutan belum mendapatkan hukuman yang berat. Pelaku perusakan lingkungan hidup perlu mendapat cap ‘penjahat lingkungan’ setaraf dengan koruptor. Karena daya rusak penjahat lingkungan akan berdampak dalam jangka waktu yang lama dan mengancam korban jiwa dalam jumlah besar.

Isu lingkungan hidup hanya berupa slogan seperti “gerakan menanam seribu pohon”, “jagalah lingkungan hidup” dan lainnya. Karena slogan tersebut belum dapat menggerakkan segenap pemerintah, elit politik hingga masyarakat untuk secara bersama-sama melakukan tindakan nyata menjaga lingkungan hidup. Gerakan yang bersifat seremonial tidak dapat membangun kesadaran bersama. Membangun kesadaran bersama memerlukan waktu yang lama dengan gerakan dan politisasi isu lingkungan hidup.

Ancaman Perubahan Iklim
Dalam isu perubahan iklim, terkait hak-hak warga negara untuk mendapatkan perlindungan dari negara. Perubahan iklim berdampak terhadap kehidupan manusia : (1) keamanan pangan, (2) Peningkatan suhu udara, (3) Peningkatan ketinggian air laut (4) Kesulitan penyediaan air, (5) Perubahan cuaca ekstrim, (6) pengaruh terhadap kesehatan manusia (Harper, 2004). Dampak perubahan iklim perlu mendapat perhatian serius. Apabila dicermati, korban akibat dampak perubahan iklim adalah masyarakat miskin dan berpendidikan rendah. Ancaman perubahan iklim pun berimplikasi dengan kesejahteraan masyarakat.

Beberapa golongan masyarakat yang rentan terhadap ancaman perubahan iklim, diantaranya petani yang mengalami kesulitan bercocok tanam akibat cuaca ekstrim; masyarakat yang tinggal di pesisir pantai dan berprofesi nelayan sangat rentan akibat ancaman peningkatan ketinggian air laut; masyarakat yang tinggal di kawasan berbukit sangat rentan dengan ancaman longsor. Isu perubahan iklim pun berbicara mengenai pelindungan dan kesejahteraan masyarakat karena ancaman tersebut akan berimplikasi terhadap korban jiwa dan kemiskinan absolut.

Ancaman perubahan iklim pun berpotensi menimbulkan konflik. Contohnya apabila terkait air bersih. Apabila persediaan air bersih tidak diantisipasi, maka masyarakat miskin harus membeli air dengan harga mahal. Dalam jangka panjang berpotensi menimbulkan konflik akibat perebutan sumber air.

Sayangnya, isu perubahan iklim hanya nyaring di perhelatan internasional dan menjadi kajian bagi akademisi, namun minim upaya nyata untuk menyelamatkan masyarakat yang menjadi korban awal dari perubahan iklim.

Pertanyaan terbesar apakah ancaman perubahan iklim sudah dipahami bagi masyarakat yang tinggal di kawasan yang rentan akan bencana. Istilah mitigasi maupun adaptasi tentu sulit dipahami bagi masyarakat yang rentan terhadap dampak perubahan iklim.

Maka politisasi isu lingkungan hidup maupun ancaman perubahan iklim menjadi penting untuk menyelamatkan kehidupan masyarakat luas daripada sekedar politisasi mempertahankan kekuasaan untuk segelintir kepentingan saja.

* Penulis adalah staf pengajar di Universitas Budi Luhur

Sumber: hijauku.com

read more
Tajuk Lingkungan

Asa Dari Pemimpin Lingkungan

Aceh sebentar lagi akan mendapat pemimpin baru yang dilahirkan dari pesta demokratis lima tahunan. Pemimpin baru yang bakal menduduki kursi legislatif alias dewan perwakilan rakyat menjadi tumpuan masyarakat untuk merubah nasib. Nasib yang lebih baik dari yang sekarang ataupun jika sekarang sudah baik, tetap bisa dipertahankan malah kalau bisa meningkat. Begitu juga aktivis lingkungan dalam merespon anggota legislatif baru yang berasal dari berbagai parpol dan partai politik lokal.

Walau beberapa pegiat lingkungan merasa skeptis dengan Pemilu ini, namun asa atau harapan tetap ditujukan kepada pemerintahan yang terpilih nanti. Pihak skeptis merasa bahwa mereka akan mengulang kembali tabiat lama pemerintahan, obral izin pengerukan sumber daya alam. Karena memang sudah sistemnya yang bobrok, sebaik apapun mereka tetap saja tak mampu membendung permintaan eksploitasi lahan. Apalagi jika permintaan datang dari sejawat lama yang telah sama-sama keluar masuk hutan.

Pihak yang merasa optimis beranggapan siapapun pemimpin baru tentu saja membawa harapan baru. Apalagi sekarang zaman keterbukaan dimana setiap orang bisa mengawasi anggota legislatif dan bisa memberi masukan terhadap pengelolaan lingkungan Aceh. Dalam kampanye juga, beberapa calon legislatif sudah mulai mengeluarkan pernyataan-pernyataan yang terkait lingkungan.

Pernyataan-pernyataan tersebut patut kita kawal dan didorong agar terealisasi sepenuhnya. Anggota dewan adalah pimpinan yang wajib mengurus berbagai hal kehidupan masyarakatnya. Banyak urusan yang mesti ditanganinya sehingga cenderung sebuah isu kalau tidak dikawal bisa terlupakan. Fungsi kontrol terus dilaksanakan oleh pegiat lingkungan. Apakah itu melalui seruan, diskusi, audiensi, pernyataan sikap atau demonstrasi sekalipun.

Berbagai persoalan lingkungan yang tak timbul tenggelam di Aceh. Misalnya saja kasus kebocoran gas amoniak di PT PIM yang tak kunjung beres penanganannya. Atau pengeboman yang dilakukan Zaratex untuk mencari minyak di Sawang Aceh Utara telah merusak rumah warga. Bukannya memberi ganti rugi yang pantas, perusahaan kapitalis ini malah dengan seenaknya saja menginjak hak-hak masyarakat adat.  Karenanya, marilah memilih pemimpim yang cinta lingkungan.[]

read more
Energi

Politisi Senayan Yakinkan Calon Investor Soal Energi di Aceh

Anggota Komisi VII DPR RI, Teuku Riefky Harsya menyebutkan krisis energi yang selama ini dihadapi Aceh akan terjawab melalui kesiapan PLTU Nagan Raya yang diharapkan beroperasi Desember 2013 ini. Ia meyakinkan para investor untuk melihat Aceh sebagai tujuan investasi yang potensial untuk kepentingan jangka panjang.

“Ketersediaan energi menjadi salah satu pra-syarat penting bagi investor. Alhamdulillah Aceh sekarang memiliki PLTU di Nagan Raya dengan kapasitas 220 Megawatt. Kita harap Desember bisa beroperasi sehingga bisa menjawab segala tuntutan kalangan investor,” demikian ujar Riefky Rabu (27/11/2013) menyikapi pelaksanaan Aceh Business Forum yang digelar oleh Badan Investasi dan Promosi Aceh di Jakarta Senin kemarin.

Masih menurut Riefky selama ini ketersediaan listrik di Aceh hanya mencapai 300 Megawatt. Suntikan energy listrik dari PLTU Nagan Raya sebesar 220 Megawatt akan menutupi kebutuhan listrik di sektor industry, khususnya di wilayah Barat-Selatan.

Sementara itu, pada 2016 mendatang PLTA Peusangan di Aceh Tengah diperkirakan juga akan beroperasi secara optimal. Penyedian energy listrik sebanyak 88 Megawatt akan memberikan kemudahan bagi pra investor yang ingin berinvestasi di wilayah Tengah Aceh, khususnya di sektor perkebunan.

Di lain hal, dia berharap Pemerintah Aceh dapat melakukan berbagai terobosan lainnya untuk menarik minat investor. Selain harus melakukan perbaikan infrastruktur secara memadai hingga ke seluruh kabupaten dan kota di Aceh, gerakan promosi dan publikasi Aceh harus dilakukan secara terus-menerus dan terstruktur.

Tidak hanya itu, dia juga memberikan penekanan khusus berkaitan dengan upaya pemangkasan birokrasi sehingga memudahkan para investor untuk datang Aceh.

Sumber: theglobejournal.com

read more
Energi

Pembangunan Energi Geothermal Indonesia Lamban

Menurut Wakil Menteri Energi Sumber Daya Mineral (ESDM), Susilo Siswo Utomo, di Jakarta, Selasa (26/11/2013), upaya menambah sumber listrik baru sudah tidak dapat dihindari agar tidak terjadi krisis listrik.

“Bahwa tantangan pemerintah Indonesia adalah bagaimana cara kita bisa membangun pembangkit listrik paling tidak 5.000 megawatt per tahun, kemudian kalau untuk geotermal itu kira-kira paling kita 400 megawatt per tahun, ini terus dilaksanakan, harus dilaksanakan kalau tidak nanti Indonesia bisa krisis,” ujar Susilo.

Pengamat kelistrikan dari Institute for Essential Service Reform, Fabby Tumiwa mengatakan untuk memenuhi kebutuhan geotermal di tanah air butuh waktu dan investasi besar.

“Untuk listrik, itu proyeksi kebutuhan kita sampai dengan 2020 dibutuhkan 4.000 – 5.000 megawatt new install capacity setiap tahun untuk memenuhi tingkat pertumbuhan listrik saat ini. Jadi memang dibutuhkan pembangkit baru,” kata Fabby Tumiwa.

“Rencana sampai tahun 2020 itu panas buminya itu diharapkan bisa terbangun tambahan 4.000 megawatt, 10 tahun kita 400 megawatt per tahun, tapi kalau kita liat track dari 2010 sampai dengan saat ini kayaknya realisasi untuk bisa 4.000 megawatt tambahan sampai dengan 2020 itu susah terpenuhi, kurang realistis target itu mungkin, pembangunan panas bumi lambat sekali,” lanjutnya.

Fabby menambahkan, pemerintah harus mempermudah aturan agar para calon investor berminat berinvestasi sektor geotermal, terutama masalah perizinan. Ia menilai untuk mengembangkan geotermal di Indonesia membutuhkan pihak asing karena selama ini Indonesia masih harus banyak belajar pada tiga negara yaitu Selandia Baru, Islandia, dan Amerika Serikat.

“Masalah lelang, perizinan itu selalu jadi isu, lelang yang dilakukan oleh pemerintah biasanya tidak menghasilkan kandidat investor yang baik, yang mendapatkan WKP, wilayah kerja panas bumi itu tidak mampu untuk merealisasikan investasi karena masalah perizinan, sudah dapat izin tapi begitu mau eksekusi masih ada kendala masalah izin penggunaan kawasan hutan,” jelas Fabby.

“Ada beberapa yang beralasan masalah regulasi tapi kalau saya lihat regulasi panas bumi sudah lebih bagus ya, tetapi memang kualitas investor juga tak mau mengambil resiko, finansialnya terbatas, modal investasi 2.500 sampai 4.000 dollar per kilowatt tergantung pada lokasi, tergantung pada ukuran kualitas uap steam-nya, kita juga banyak belajar panas bumi dari New Zealand, dari Islandia juga banyak  tapi untuk teknologi itu Amerika sudah mengembangkan,” kata pengamat kelistrikan dari Institute for Essential Service Reform ini.

Hingga saat ini  kemampuan produksi listrik nasional sebesar 40.000 megawatt sementara kebutuhan listrik nasional sebesar 32.000 megawatt. Meski masih surplus 8.000 megawatt, pemerintah tetap berupaya menambah 5.000 megawatt setiap tahun untuk cadangan.

Tahun ini pemerintah mengalokasikan anggaran subsidi listrik sebesar Rp100 trilyun, namun anggaran subsidi listrik tahun depan akan turun menjadi sebesar Rp72 triliun.

Sumber: NatGeo Indonesia

read more
Flora Fauna

Ditemukan Fosil Pohon Letusan Sinabung 800 Tahun Lalu

Para penambang pasir di kawasan hutan kaki Gunungapi Sinabung, Kabupaten Karo, Sumatera Utara, menemukan ratusan batang pohon tertimbun tanah dengan kedalaman 20 meter dari permukaan bumi.  Pohon-pohon ini ini berdiri kokoh dan diperkirakan telah berusia 800 tahun.

Ratusan bahan pohon ini, tampak berwarna hitam bekas terbakar. Para ahli Vulkanologi menduga, bekas bakaran kayu itu, akibat letusan Gunung Sinabung ratusan tahun lalu. Lokasi temuan ini berada di  salah satu lembah, di sebelah anak sungai yang mengalirkan air dari Danau Lau Kawar, menuju bagian sebelah utara kaki Gunung Sinabung. Aliran sungai itu bernama Sungai Lau Borus.

Para penambang pasir, awalnya tidak mengetahui kalau kayu-kayu itu, sisa peninggalan sejarah masa lalu meskipun mereka sudah menambang di sana turun temurun. Anwar Sitepu, penambang pasir, Sabtu (23/11/2013), mengatakan, pasir terus digali dan ditemukan kayu-kayu ukuran besar berdiri kokoh tertimbun pasir.

Dulu, katanya, bangunan rumah dan gedung-gedung, dibuat menggunakan kayu. Lama-lama kayu di hutan menipis, membangun rumah menggunakan semen, batu, dan pasir. “Di sinilah ditemukan kayu-kayu itu. Tertimbun pasir cukup dalam, tapi tak tumbang meski kedalaman berkurang dan saat ini sudah 20 meter, ” katanya.

Ucapan ini dibenarkan Sabar Sembiring, ketua adat di Desa Beras Sitepu. Kala usia muda, dia pernah menambang pasir aliran sungai Danau Lau Kawar. Meskipun menemukan sekitar 100-an pohon batu itu, para penambang tidak merusak atau menghancurkan. Mereka membiarkan kayu-kayu itu.

Hingga kini, kayu-kayu peninggalan sejarah dan cerita ketika Gunung Sinabung meletus di masa silam ini, masih berdiri kokoh. Walau beberapa, tampak tumbang dan terjatuh ke aliran sungai, serta melintang di tengah aliran sungai.

Sembiring menambahkan,  para penambang pasir kebanyakan warga Desa Berastepu, Kecamatan Simpang Empat, Kabupaten Karo. Jumlah mereka antara 30-40 orang berusia di atas 20 tahun. Mereka mengeruk pasir, batu, dan kerikil, yang diduga sisa letusan Sinabung. Truk-truk besar mengangkuti meterial-material ini. Sementara Agus Budianto, Kepala Sub Bidang Evaluasi Bencana Gunung Sinabung, membenarkan kalau kayu-kayu sisa terbakar dan tertimbun dalam pasir itu, berusia ratusan tahun. Menurut dia, peneliti dari Badan Geologi Nasional, sudah melakukan analisis dan pengambilan sampel kayu, tahun 2010.

Dari uji sampel, diketahui, kayu yang diperiksa, berusia sekitar 800 tahun. Hasil uji ditemukan dugaan kuat, kayu-kayu itu tertimbun akibat longsor material vulkanik dari letusan Gunung Sinabung. ”Hasil penelitian diketahui usia kayu-kayu itu berusia 800 tahun, tertimbun pasir, dan material vulkanik, ” katanya.

Dia berharap, para penambang pasir tetap menjaga dan tidak menebang atau merusak kayu masa lalu itu. “Itu akan menjadi sejarah nanti. Mudah-mudahan yang ditebang atau dirusak, supaya ada penelitian lebih lanjut soal itu.”

Desa Berastepu, Kecamatan Simpang Empat, Kabupaten Karo, tempat ditemukan kayu-kayu fosil berusia ratusan tahun itu, berada di radius 4,5 kilo meter dari pusat semburan kawah Sinabung. Letak desa ini persis berada di parit yang mengalirkan lava pijar maupun lahar dingin dari puncak gunungapi.

Saat ini, sebagian besar warga desa ini dievakuasi ke pengungsian, karena aktivitas gunung terus meningkat, erupsi terus terjadi, hingga pengungsi bertambah 12.300 jiwa ditampung di 28 lokasi. Meski begitu, puluhan penambang pasir tetap beraktivitas, walau sudah ada larangan. Guna mengantisipasi korban jiwa, TNI-Polri dan tim SAR hingga Sabtu sore terus menyisir lokasi, yang berjarak antara dua sampai 4,5 km dari kaki gunungapi.

Data dari Pusat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana Geologi (PVMBG), sejak September 2013, sedikitnya terjadi 75 kali erupsi. Potensi erupsi masih tinggi ditandai lava pijar, awan panas, dan erupsi freatik-eksplosif. PVMBG melaporkan, deformasi badan gunung mengembang sekitar dua mili meter per hari, hingga masih banyak energi tersimpan di tubuh gunung menjelang erupsi. Seismisitas gunung masih sangat tinggi, statuspun kini Awas IV.

Sumber: NatGeo Indonesia/mongabay.co.id

read more
Ragam

Indonesia Miliki Ratusan Spesies Bambu

Kementerian Lingkungan Hidup bersama Komunitas Bambu Indonesia menyelenggarakan Refleksi Setahun Deklarasi Persaudaraan Pecinta Bambu Indonesia dalam rangka Konservasi dan Pemanfaatan Bambu yang telah dideklarasikan pada 26 November 2012 di Bandung. Pada tanggal tersebut juga dideklarasikan pembentukan Forum Komunitas Bambu dan sekaligus mencanangkan bahwa setiap 26 November diperingati sebagai Hari Bambu Indonesia.

Kegiatan ini berisi dialog interaktif tentang “Pengembangan Bambu Secara Berkelanjutan di Indonesia” yang dihadiri narasumber yaitu Ir. Sarwono Kusumaatmadja (Mantan Menteri Lingkungan Hidup), Prof. Elizabeth A. Wijaya (pakar bambu LIPI), Direktur Bina Perhutanan Sosial Kementerian Kehutanan, serta Sekretaris Kementerian Lingkungan Hidup.

Selain dialog interaktif, kegiatan peringatan Hari Bambu Indonesia juga diisi oleh pameran produk bambu dan gerakan aksi penanaman bambu.

Tujuan acara ini untuk meningkatkan kesadaran masyarakat akan pentingnya tanaman bambu sebagai salah satu keanekaragaman hayati Indonesia dan yang perlu dilestarikan. Acara ini sekaligus dalam rangka memperingati pengakuan angklung sebagai warisan budaya tak benda yang dicanangkan oleh UNESCO pada tanggal 16 November 2011 dan memperingati Hari Cinta Puspa dan Satwa Nasional tanggal 5 November yang tahun ini bertemakan “Puspa dan Satwa Sahabat Kita Bersama, STOP Kepunahan”.

Peringatan tersebut sejalan dengan penetapan Biodiversity Decade 2010-2020 oleh Perserikatan Bangsa-Bangsa untuk mendukung tercapainya target global penurunan kemerosotan keanekaragaman hayati pada tahun 2020 (Aichi Target).

Dalam sambutan mewakili Menteri Lingkungan Hidup, Sekretaris Kementerian Lingkungan Hidup, Ir. Hermien Roosita, MM, mengatakan, “Melalui forum ini, peringatan Hari Bambu Indonesia 2013 menjadi gerakan nasional untuk melestarikan dan melindungi bambu indonesia dengan membangun kesepahaman dan kesepakatan bersama, menjalin komunikasi dan pertukaran informasi antara sesama pemangku kepentingan sera menyusun rumusan konseptual dan konkrit demi pelestarian dan pemanfaatan bambu secara berkelanjutan”.

Indonesia merupakan negara dengan tingkat keterancaman dan kepunahan spesies yang tinggi di dunia. Kondisi keanekaragaman hayati Indonesia semakin hari semakin merosot, baik pada tingkat ekosistem spesies maupun genetik. Dalam rangka mengamankan dan melestarikan keanekaragaman hayati sebagai modal pembangunan nasional,

Pemerintah Indonesia telah menandatangani Protokol Nagoya yang merupakan instrumen untuk mencegah pencurian sumber daya genetik. Indonesia sebagai salah satu pusat keanekaragaman hayati di dunia, memiliki keanekaragaman jenis bambu. Dari sekitar 1500 jenis bambu yang sudah dikenal di dunia, 147 di antaranya merupakan jenis asli Indonesia termasuk jenis-jenis bambu yang mempunyai nilai ekonomi tinggi.

Kekayaan akan bambu ini harus dicatat sebagai aset yang mempunyai peranan penting bagi pembangunan dan kehidupan manusia, baik ditinjau dari segi ekonomi, kebudayaan maupun ekologi. Hal ini, mengharuskan kita untuk dapat melindungi spesies dan genetik bambu Indonesia, termasuk hasil pemanfaatan dari bambu khas Indonesia.

Bambu mempunyai manfaat yang sangat banyak baik dari segi ekonomi, segi ekologi maupun sosial budaya. Dari segi ekonomi, kebanyakan etnik nusantara menggunakan bambu dalam kehidupan sehari-hari. Hal itu terlihat dari penggunaan bambu untuk bahan bangunan rumah, peralatan rumah tangga, peralatan kesenian, dan peralatan berburu, bahkan untuk bahan makanan dan bahan obat-obatan. Dari segi ekologi, bambu dapat menjaga sistem hidrologis sebagai pengikat air dan tanah.

Tanaman bambu yang rapat dapat mengikat tanah pada daerah lereng, sehingga berfungsi mengurangi erosi, sedimentasi dan longsor. Tan aman bambu juga mampu menyerap air hujan dan dengan daun berbentuk jarum yang penguapannya kecil, tanaman bambu berfungsi menyimpan air.

Sementara itu, dalam kaitan dengan upaya mitigasi perubahan iklim, pengembangan tanaman bambu juga mendukung meningkatk an penyerapan karbon. Dari suatu penelitian, tanaman bambu dapat menyerap lebih dari 62 ton/Ha/tahun karbon dioksida).

Bambu juga merupakan bagian dalam kehidupan seni dan budaya antara lain sebagai alat musik (angklung, kulintang bambu, jegog bali, dan lain-lain) dan digunakan dalam banyak ritual lainnya. Dari segi sosial budaya, bambu bermanfat untuk menciptakan lapangan kerja, mengurangi pengangguran, mencegah urbanisasi serta mendorong pariwisata.

Sumber: menlh.go.id

read more
Perubahan Iklim

Studi: Pengurangan CO2 Drastis dapat Cegah Kenaikan Suhu Bumi

Sebuah makalah yang diterbitkan di Nature Climate Change menegaskan studi sebelumnya menemukan bahwa pengurangan drastis dan agresif karbon dioksida ( CO2 ) dan short-lived climate pollutants ( SLCPs ) diperlukan untuk menjaga suhu global di bawah 2 ° C sampai akhir abad ini.

Hal ini menegaskan penelitian sebelumnya oleh Dr V. Ramanathan dari S , Dr Drew Shindell di NASA Goddard Institute of Space Studies dan lain-lain bahwa mitigasi tiga dari empat SLCPs (black carbon, metana dan tropospheric ozone, akan menghindarkan sekitar 0,5-0,6 ° C, tapi tanpa pengurangan agresif dan langsung CO2 temperatur akan terus meningkat sampai akhir abad dan seterusnya.

” Manfaat pengurangan SLCPs jauh lebih besar ketika perhitungan termasuk manfaat jangka pendek dari mengurangi SLCP lainnya seperti hidrofluorokarbon atau HFC yang digunakan sebagai pendingin, karena hal ini dapat menghindari tambahan 0,5 ° C pemanasan pada akhir abad, “menurut Durwood Zaelke, Presiden Institute for Governance & Pembangunan Berkelanjutan. ” Pentahapan bawah HFC di bawah Protokol Montreal mungkin tindakan mitigasi terbesar , tercepat dan termurah dalam jangka pendek hingga 2100, tetapi HFC sayangnya tidak termasuk dalam penelitian ini. ”

” Tantangan yang sebenarnya untuk CO2 dan SLCPs bukanlah ilmu, melainkan politik bagaimana untuk mendapatkan pengurangan, ” kata Zaelke. ” Ada perbedaan besar antara mengetahui apa yang harus dilakukan dan mencari tahu bagaimana untuk menyelesaikannya. ”

” California misalnya mengurangi emisi karbon hingga 90 %, menurut sebuah studi baru-baru ini oleh Dr Ramanathan, ” tambah Zaelke. Hal ini kontras dengan kenaikan 58 % di CO2 sejak tahun 1990 yang dilaporkan minggu ini oleh Global Carbon Anggaran. (tahun 1990 adalah tahun acuan bagi perjanjian iklim Protokol Kyoto).

” Politik mitigasi SLCP yang menggembirakan, ” kata Zaelke. “Sebagian karena manfaat jaminan yang signifikan untuk kesehatan dan pertanian, dan sebagian karena dapat dikurangi dengan teknologi yang ada dan dalam kebanyakan kasus dengan hukum dan lembaga-lembaga yang ada tanpa menunggu negosiasi iklim PBB untuk menyimpulkan perjanjian baru yang diharapkan dapat mulai berlaku pada tahun 2020. ”

Studi baru mencatat manfaat dari mitigasi SLCP dan juga menyebutkan argumen bahwa keberhasilan dengan SLCPs dapat membangun momentum politik untuk mitigasi CO2.

” Pendukung pengurangan SLCP tahu bahwa mitigasi CO2 penting, tetapi juga tahu bahwa kita berada di COP 19 dan emisi CO2 salah tujuan dalam 19 tahun terakhir. ”

” Kita perlu lebih politik yang canggih, sehingga kita dapat belajar bagaimana memecahkan bagian masalah iklim yang hari ini, sementara terus mengembangkan teknologi dan kemauan politik untuk menyelesaikan bagian-bagian lain, ” ujar Zaelke.

Paper baru menyimpulkan bahwa, ” Tindakan segera pada SLCPs berpotensi ‘ membeli waktu ‘ untuk adaptasi dengan mengurangi pemanasan jangka pendek , ” titik penting yang luar biasa untuk semua orang yang rentan dan tempat-tempat yang sudah menderita dampak iklim . “[]

Sumber: enn.com

 

read more
1 2 3 4 18
Page 2 of 18