close

08/12/2013

Green Style

Solusi Penuhi Kebutuhan Pangan pada 2050

Kesenjangan produksi pangan dunia, yang dihitung dari jumlah kalori, diperkirakan akan terus meningkat mencapai 70% pada 2050. Dunia dituntut untuk meningkatkan produksi pangan guna memersempit kesenjangan kebutuhan kalori ini.

Solusi tersedia. Hal ini terungkap dalam laporan terbaru berjudul World Resources Report: Creating a Sustainable Food Future yang dirilis baru-baru ini.

Laporan ini disusun oleh World Resources Institute (WRI), Program Lingkungan Perserikatan Bangsa-Bangsa (UNEP), Program Pembangunan PBB (UNDP), dan Bank Dunia.

Analisis dalam laporan ini menyebutkan, dunia memerlukan 70% kalori lebih banyak untuk bisa memenuhi kebutuhan pangan penduduk dunia yang diperkirakan akan mencapai 9,6 miliar pada 2050.

Menurut keempat lembaga, upaya untuk menutup kesenjangan ini bisa dilakukan dengan tetap menjaga produktivitas dan kelestarian lingkungan dengan memerbaiki cara masyarakat memroduksi dan mengonsumsi pangan.

Salah satu solusinya adalah potensi untuk meningkatkan produktivitas tanaman dan ternak dengan menggunakan tanah yang telah tersedia. Aksi ini penting untuk menyelamatkan hutan dan mengurangi emisi gas rumah kaca.

Dunia perlu meningkatkan produktivitas tanaman hingga 32% dalam empat puluh tahun ke depan guna menghindari pembukaan lahan.

Solusi selanjutnya adalah mengurangi limbah pangan yang jumlahnya mencapai 1,3 miliat ton per tahun, dengan kerugian ekonomi yang bernilai sekitar $1 triliun.

Sebanyak 25% kalori yang diproduksi untuk konsumsi manusia hilang atau terbuang. Dengan mengurangi limbah pangan hingga separuhnya pada 2050, dunia bisa mengurangi kesenjangan pangan sebesar 20%.

Solusi ketiga adalah peralihan pola makan. Dengan mengurangi konsumsi daging, dunia bisa mengurangi kebutuhan atas lahan pertanian dan sumber daya alam. Peningkatan kebutuhan lahan untuk penggembalaan ternak bertanggung jawab atas separuh ekspansi lahan pertanian sejak 1960-an.

Solusi dan laporan lengkap aksi peningkatan produksi pangan, bisa diunduh pada tautan berikut: Sustainable Food Production.

Sumber: Hijauku.com

read more
Ragam

Mengenal Ujong Kulon, Hutan Tropis di Jawa Barat

Taman Nasional Ujung Kulon (TNUK) merupakan perwakilan ekosistem hutan hujan tropis dataran rendah yang tersisa dan terluas di Jawa bagian Barat. Di sinilah habitat ideal bagi kelangsungan hidup satwa langka badak jawa (Rhinoceros sondaicus). Terdapat tiga tipe ekosistem di taman nasional ini yaitu ekosistem perairan laut, ekosistem rawa, dan ekosistem daratan.

Keanekaragaman tumbuhan dan satwa di TNUK mulai menarik minat para peneliti dan pakar botani Belanda dan Inggris sejak tahun 1820. Kurang lebih 700 jenis tumbuhan terlindungi dengan baik dan 57 jenis diantaranya langka seperti merbau (Intsia bijuga), palahlar (Dipterocarpus haseltii), bungur (Lagerstroemia speciosa), cerlang (Pterospermum diversifolium), ki hujan (Engelhardia serrata) dan berbagai macam jenis anggrek.

Sedangkan satwanya terdiri atas mamalia, primata, reptilia, amfibia, burung, insekta, ikan, dan terumbu karang. Satwa langka dan dilindungi selain badak jawa adalah banteng (Bos javanicus javanicus), ajag (Cuon alpinus javanicus), surili (Presbytis comata comata), lutung (Trachypithecus auratus auratus), rusa (Cervus timorensis russa), macan tutul (Panthera pardus), kucing batu (Prionailurus bengalensis javanensis), owa (Hylobates moloch), dan kima raksasa (Tridacna gigas)

Dengan kekayaan flora dan fauna, serta keunikan alamnya, taman ini tak pelak menjadi objek wisata alam yang menarik. Sungai-sungai dengan jeramnya, air terjun, pantai pasir putih, sumber air panas, taman laut, dan peninggalan budaya/sejarah (Arca Ganesha di Gunung Raksa Pulau Panaitan) menjadi rangkaian objek yang menggugah minat wisatawan berjiwa petualang. Kesemuanya merupakan pesona alam yang sangat menarik untuk dikunjungi dan sulit ditemukan di tempat lain.

Di perairannya tersimpan jenis-jenis ikan yang menarik seperti ikan kupu-kupu, badut, bidadari, singa, kakatua, glodok, dan sumpit. Ikan glodok dan ikan sumpit adalah dua jenis ikan yang sangat aneh dan unik. Ikan glodok memiliki kemampuan memanjat akar pohon bakau, sedangkan ikan sumpit memiliki kemampuan menyemprot air ke atas permukaan setinggi lebih dari satu meter untuk menembak memangsanya (serangga kecil) yang berada di daun-daun yang rantingnya menjulur di atas permukaan air.

Bersama Cagar Alam Krakatau, TNUK merupakan aset nasional dan telah ditetapkan sebagai Situs Warisan Alam Dunia oleh UNESCO pada tahun 1991.

Untuk mencapai kawasan Taman Nasional Ujung Kulon dapat dicapai melalui jalur darat dan laut. Jalur darat dapat ditempuh menggunakan angkutan umum bus jurusan Jakarta (Kalideres)-Labuan atau Jakarta (Kp. Rambutan)-Serang-Labuan, kemudian dilanjutkan dengan angkutan umum minibus/elf jurusan Labuan-Sumur-Tamanjaya. Sedangkan melalui laut bisa menggunakan kapal sewaan (longboat atau slowboat) yang biasa disewakan di Labuan/Carita, Sumur, atau Tamanjaya.

Sumber: NGI/intisari-online.com

read more
Tajuk Lingkungan

Tata Kelola Hutan CSO

UNDP baru saja merilis hasil penelitian mereka tentang tata kelola hutan Indonesia untuk sejumlah propinsi. Hasilnya, Propinsi Aceh berada pada rangking terbawah dari sepuluh propinsi dengan nilai indeks 2,07. Sementara daerah-daerah lain Riau (2,28), Jambi (2,38), Sumatera Selatan (2,19), Kalimantan Barat (2,73), Kalimantan Tengah (2,64), Kalimantan Timur (2,42), Sulawesi Tengah (2,52), Papua Barat (2,29) dan Papua (2,41).

Laporan ini sendiri bertitel “ Penilaian Tata Kelola yang Partisipatif (Participatory Governance Assessment/PGA)” yang memaparkan beberapa temuan tata kelola kehutanan di Aceh. Skala yang diberikan dari 1-5 dimana semakin besar angka maka tata kelola hutan semakin bagus.  Banyak pihak yang membantah, kok Aceh yang memiliki hutan seluas 60 persen dari luasnya dikatakan jelek indeksnya?

Hal ini harus dipahami secara komprehensif. Pengukuran indeks bukan semata-mata berdasarkan luas hutan semata ataupun kondisi hutan tersebut. Ini adalah pengukuran indeks TATA KELOLA, atau dengan kata lain dilihat secara kuantitatif bagaimana stakeholder kehutanan mengelola hutan di Aceh. Ternyata Aceh cuma memiliki hutan yang lumayan luas saja sedangkan tata kelolanya masih buruk.

Tata kelola berkait erat dengan aktor kunci yang mengelola hutan-hutan tersebut seperti pemerintah, lembaga masyarakat sipil (Civil Society Organization/CSO), masyarakat, media dan pihak swasta. Dari ketiga aktor kunci ini, yang mendapat penilaian lumayan hanyalah CSO.

UNDP memberikan nilai indeks 2,75 kepada CSO, sementara untuk kapasitas pemerintah sendiri hanya mendapat nilai indeks 1,82 (pada laporan diberi warna merah pertanda sangat rendah). Begitu juga indeks untuk swasta 1,24 dan indeks kinerja dari seluruh aktor 1,90.

Ini membuktikan bahwa kemampuan CSO dalam tata kelola hutan tidak bisa diremehkan. Dalam laporan tersebut dikatakan ” Kapasitas CSO dan masyarakat terkosentrasi ke isu hak atas hutan dan lahan, sementara tidak demikian dengan bisnis (perencanaan-organisasi) dan pemerintah (organisasi-kelola). Isu kendali/penegakan hukum didorong oleh CSO, tidak didorong oleh pemerintah”.

Laporan ini menjadi referensi kita akan bagaimana tata kelola hutan Aceh dimasa depan. akankah lebih baik tunjukan dengan indeks yang meningkat atau malah lebih buruk. Pemerintah Aceh jangan kebakaran jenggot melihat indeks yang buruk kemudian lantas melancarkan serangan balik ke pembuat laporan, seperti yang sudah-sudah.

Lihat hikmah yang bisa diambil, urusan hutan bukan hanya tentang luas tutupan hutan semata. Tetapi bagaimana mengelola hutan dengan sebaik mungkin, melibatkan semua pihak dan memberikan kesejahteraan kepada masyarakat luas. Jangan sampai ngawur[]

read more