close

09/12/2013

Galeri

Foto: Gua Kampret Bahorok

Gua Kampret (Bat Cave) yang terletak di Desa Namu Samsah kecamatan Bahorok Sumatera Utara. Nama desa tersebut tidak begitu terkenal di jagad pariwisata tetapi jika kita menyebutnya Bukit Lawang maka ingatan akan kembali ke beberapa tahun lalu saat banjir bandang besar menyapu daerah ini. Lokasi gua kampret berada di seputaran Bukit Lawang.  Jarak gua ini sekitar 2 km dari dari penginapan Ecolodge, sebuah resort wisata yang indah milik Yayasan Ekosistem Lestari di Bukit Lawang.

read more
Energi

Energi Hijau Lhoong, Dari Air Menjadi Listrik

Warga tiga desa di Kemukiman Lhoong, Aceh kini tidak takut lagi terkena pemadaman bergilir dari PLN. Air yang mengalir dari pegunungan diubah menjadi listrik melalui teknologi Pembangkit Listrik Tenaga Mikro Hidro (PLTMH). Teknologi Mikro Hidro adalah teknologi pembangkit listrik yang memanfaatkan derasnya air mengalir dari ketinggian kemudian diarahkan untuk memutar turbin. Dari turbin, listrik yang dihasilkan didistribusikan melalui kabel ke rumah-rumah penduduk sekitar. Benar-benar teknologi yang sederhana dan berbiaya murah.

Seorang ahli listrik Mikro Hidro dari Universitas Syiah Kuala, menerangkan bahwa PLTMH adalah teknologi yang berbiaya murah. “Karena biaya investasi untuk membangun PLTMH hanya Rp.25 juta-35 juta per KWh. Tetapi ini tergantung juga dengan kondisi lokasi” katanya menjelaskan. Listrik yang dihasilkan bisa menerangi desa selama 24 jam dalam keadaan normal. Artinya debit air tetap konstan dan ini biasanya terjadi di musim hujan. Kalau di musim kemarau, debit air biasanya berkurang.

PLTMH ini terletak di Desa Kr Kala yang didiami 107 KK. PLTMH Lhoong merupakan bantuan dari PT Coca Cola Indonesia tahun 2005, pasca tsunami. Kapasitas yang terpasang pada mesin adalah 40 KW, sedangkan daya yang dihasilkan adalah 23 KW, dapat mengaliri 3 desa sekitarnya. Masyarakat tidak perlu takut dikenakan biaya listrik yang selangit karena tarif yang diberlakukan adalah tarif flat atau sesuai arus yang mereka gunakan.

Bagi yang menggunakan listrik 2 amper dikenakan biaya Rp.60 ribu/bulan, untuk yang memakai 1 amper membayar Rp.30 ribu/bulan, sedangkan bagi yang cuma menggunakan ½ amper cuma dikenakan biaya Rp.15 ribu/bulan. Cukup murah bukan!

Dari iuran yang dikumpulkan, tiap bulan diperoleh duit Rp.5,5 juta/bulan. Sebanyak Rp. 4 juta/bulan digunakan untuk biaya operasi (perawatan mesin, gaji operator) sedangkan sisany sebesar Rp.1,5 juta dijadikan uang kas. Jika terjadi kerusakan besar sewaktu-waktu maka uang kas digunakan untuk membayarnya. Selama 3 tahun berdiri tidak ada kerusakan berarti, hanya kerusakan tali kipas dan Circuit Breaker (CB).

Pengelolaan PLTMH Lhoong cukup sederhana. Tiga orang masyarakat setempat dipercayakan untuk mengatur pembangkit ini. Seorang ketua, Pak Armansyah, Sekretaris Zaifullah dan dibantu oleh seorang operator Saifulah. Ketiganya bahu membahu demi terangnya Kemukiman Lhoong.

Kondisi alam atau hutan sekitar sangat berpengaruh bagi kelangsungan pembangkit PLTMH. Masyarakat sekitar sangat sadar pentingnya menjaga kelestarian hutan sebagai sumber air. Dengan sendirinya mereka menerapkan aturan yang ketat untuk menebang kayu di hutan. Saat ini selama 30 hari antara Agustus-September pembangkit tidak beroperasi karena debit air tidak mencukupi.

Masyarakat Lhoong telah menikmati energi hijau. Sebuah energi alternatif yang ramah lingkungan dan dapat diperbaharui. Selayaknya seluruh desa di Aceh yang memiliki potensi listrik mikro hidro membangun PLTMH. Biaya murah, teknologinya pun sederhana. Tidak perlu menjadi insinyur dulu, Desa Kr. Kala sudah membuktikannya.[m.nizar abdurrani]

read more
Green Style

Bertamu ke Rumah Batman Bahorok

Mereka bergantungan beramai-ramai di langit-langit selama berhari-hari. Seolah-olah tiada merasa capai. Sementara itu beberapa rekan lainnya sibuk mondar-mandir tak karuan, ntah apa yang dicarinya. Beberapa spesies lain ikut meramaikan lubang-lubang gelap di perut bumi. Kalong, kampret ataupun kelelawar, begitu masyarakat biasa menyebutnya. Hewan bertaring dan suka makan buah ini populer lewat film Batman yang dibuat berjilid-jilid.

Siang hari itu, di bulan Mei 2013, saya bersama seorang teman berkesempatan untuk melihat langsung Gua Kampret (Bat Cave) yang terletak di Desa Namu Samsah kecamatan Bahorok Sumatera Utara. Nama desa tersebut tidak begitu terkenal di jagad pariwisata tetapi jika kita menyebutnya Bukit Lawang maka ingatan akan kembali ke beberapa tahun lalu saat banjir bandang besar menyapu daerah ini. Lokasi gua kampret berada di seputaran Bukit Lawang. Kali ini kami bukan ingin melihat sisa-sisa banjir yang tentu saja sudah tak ada lagi.

Dari penginapan Ecolodge, sebuah resort wisata yang indah miliki Yayasan Ekosistem Lestari di Bukit Lawang, kami bergerak menuju gua kampret yang berjarak 2 km. Begitulah yang tertera di papan penunjuk jalan di halaman resort. Lumayan jauh juga bagi saya yang bukan seorang pejalan kaki tulen. Saya masih berharap jaraknya tidak sejauh itu, karenanya saya bertanya pada seorang petugas hotel.

“Cuma setengah jam saja menuju ke gua kampret,”kata bapak petugas sekuriti tersebut. Kalau cuma segitu kayaknya saya dan rekan pasti mampu menempuhnya. Cuaca pagi pun tidak terlalu panas dan tidak dingin alias sedang-sedang saja. Kami pun mulai melangkahkan kaki menuju gua dari halaman belakang resort.

Pemandangan pertama yang menyergap mata adalah sebuah kolam ikan seukuran lapangan bola kaki. Di atas kolam tersebut tampak sebuah pondok mungil dan sebuah kandang kambing. Ini tampaknya apa yang mereka sebut sebagai Fishfarming, sebagaimana yang saya baca di brosur resort. Fishfarming artinya lebih kurang mengusahakan ikan dengan memberi makan secara alami. Kalau disini berarti ikan-ikan tersebut makan dari kotoran kambing yang berjatuhan langsung ke dalam kolam.

Jalanan yang kami lalui adalah jalanan tanah selebar tiga meter namun telah dibeton dengan dua lajur. Jadi jalanan ini akan mudah kalau dilalui dengan kendaraan bermotor roda dua. Tapi sepertinya tak banyak roda dua yang melintasi jalan, setidaknya pada saat itu. Kami berjalan dengan penuh semangat. Di kiri-kanan jalan dipenuhi dengan berbagai pepohonan dan tanaman keras.

Pepohonan karet tampak berjejer, kemudian silih pemandangan berganti dengan tanaman sawit yang masih kecil. Selain itu tampak juga pohon durian dan beberapa pohon lain yang tidak begitu saya kenal. Treking ini cukup menyenangkan, terlebih ternyata kami melewati halaman beberapa bangunan, sebuah penginapan dan sebuah panti asuhan milik pribadi. Halaman penginapan yang kami lewati begitu asri, rumput-rumputnya rata tertata rapi. Saat melintasi panti asuhan, beberapa ornamen ceria warna-warni terhampar diseputaran panti tersebut. Ada tulisan unik “Panti asuhan ini milik pribadi, kalau mau masuk harap minta izin dulu,”.

Nyaris setengah jam berjalan, peluh pun mulai menetes membasahi baju-baju. Treking beton berakhir pada pada penunjuk arah “Cave Bat” yang menunjuk menyerong dari trek tersebut. Perasaan pun menjadi ragu, apakah terus mengikuti trek tersebut atau ikut-ikutan bermain “serong’ sebagaimana petunjuk jalan. Rasa ragu tersebut kami tuntaskan dengan bertanya pada seorang remaja yang kebetulan lewat dengan sepeda motor. Wow..ternyata banyak juga sepeda motor yang melintasi trek ini karena pepohonan di kiri-kanan jalan merupakan kebun masyarakat yang mereka kunjungi.

“Kalau mau ke gua lewat sini bang,”kata remaja tersebut yang sampai akhir kunjungan kami lupa menanyakan namanya tapi kami tak lupa mengucapkan terima kasih. Tangannya menunjuk ke arah serong, sesuai dengan penunjuk jalan di titik penghabisan jalan beton. Kami pun diminta mengikutinya, ternyata dia kebetulan hendak bermain-main juga ke gua kampret. Perjalanan ke gua masih butuh waktu sekitar 10 menit lagi rupanya. Sedikit lagi kami harus melewati tanjakan dan akhirnya sampailah kami di muka gua. Ada sebuah balai-balai kecil, dengan tiga pria duduk di atasnya.

Ketika saya mulai memperkenalkan diri, kekakuan pun mulai melumer. Kami tersenyum satu sama lain. Mereka pun memperkenalkan diri satu persatu. Seorang bapak yang berumur sekitar 54 tahun menyebutkan namanya,”Saya Sarakata Sembiring, orang Karo, udah hampir tiga tahun saya bekerja menjaga pintu masuk gua ini.”

Seorang pemuda lainnya memperkenalkan diri sebagai Herman dan seorang lagi menyebut dirinya Tarsim Ginting. “Kami main-main saja kesini kalau sedang mengangon (mengembala-red) kambing,”kata Herman yang diiyakan oleh Tarsim. Ternyata cuma Pak Sarakata yang menjaga tempat tersebut. Lahan menuju pintu gua dimiliki oleh seseorang yang bernama Tencong Ginting yang juga merupakan majikan Pak Sarakata.

Saya dan teman melepaskan lelah sebentar sebelum “menenggelamkan” diri ke perut bumi rumah kalong tersebut. Sambil beristirahat, saya pun menggali sedikit informasi tentang keberadaan gua dan kalong-kalong hitam tersebut.

Menurut cerita Pak Sarakarta tempat tersebut sudah mulai dikunjungi sejak lebih kurang 25 tahun lalu. “Waktu itu ongkos masuknya cuma seratus perak,”kami semua tertawa mendengar kalimat terakhir, betapa murahnya dibandingkan dengan ongkos masuk sekarang yang Rp.5 ribu. Ia melanjutkan ceritanya mengenai jumlah pengunjung. Tak tentu-tentu jumlah turis yang datang katanya. Kadang delapan orang, kadang bisa lebih dan kadang-kadang tak ada satupun yang datang berkunjung.

Selain mengutip biaya masuk, Pak Sarakata  juga menyediakan peralatan senter untuk melihat-lihat di dalam gua. Juga tersedia air minum dalam kemasan dalam ukuran sedang, sebuah pilihan yang bagus mengingat kami pun membutuhkannya usai menelusuri gua.

Menurut beberapa literatur yang saya baca, kotoran kalong sangat bagus dibuat sebagai pupuk. Kotoran tersebut kaya dengan kandung Fospat. Kalong sendiri juga sering diburu oleh orang-orang tertentu untuk disantap.

“Kami tidak mengambil kotoran kalong karena sedikit dan sudah terbawa air. Didasar gua ada air yang mengalir yang merembes dari lubang atau rekahan di langit-langit. Kalong dilarang tangkap kecuali untuk orang-orang tertentu yang membutuhkan sebagai obat,”kata Pak Sarakata. Memang ada cerita yang beredar bahwa kalong dapat menyembuhkan penyakit Asma.

Daerah gua tersebut merupakan daerah perbukitan sehingga tidak terkena bencana banjir bandang besar yang terjadi tahun 2004 lalu. Sayangnya menurut Pak Sarakarta pemerintah masih sedikit perhatiannya terhadap objek wisata gua. Walaupun demikian, pemerintah telah membangun treking dan beberapa jembatan kecil di daerah tersebut.

Menelusuri gua bagi yang belum pernah melakukannya lebih baik didampingi oleh pemandu. Herman, bersedia menjadi pemandu kami walaupun sebenarnya dia tidak berprofesi sebagai pemandu. “Kalau ada yang butuh boleh, kalaua tidak juga tidak apa-apa. Kami tidak mau menawarkan diri takut dianggap nanti memaksa. Soal biaya, seberapa saja saya terima,”begitu katanya lebih kurang.

“Kelelawar itu pembawa rezeki bagi kami. Jadi kami merawatnya lah,”kata Pak Sarakata saat kami bersiap-siap memasuki gua. Dengan dilengkapi senter yang bisa diikatkan di kepala sebagaimana yang biasa dipakai penambang, kami pun perlahan berjalan turun, memasuki gua. Dari jauh sudah mulai tampak rongga-rongga gua yang siap menelan kami. Kegelapan perlahan menyelimuti, ada sedikit rasa was-was. Tapi saya berpikir, toh disini ada pemandu dan banyak sudah orang berkunjung, tentunya gua ini aman lah.

Keciprak air berbunyi dari kaki melangkah di dasar gua. Kami melangkah perlahan-lahan menyusuri dinding gua sambil mata menatap ke langit-langit. Tampak si Batman bergantungan, tidak terlalu banyak memang. Masih banyak ruang yang tersedia sehingga kalong tidak perlu berdesakan bergantungan. “Kalongnya tidak terlalu banyak namun mereka terus berkembang. Tapi kalong-kalong akan menghindar kalau mereka menciumi bau-bau aneh sehingga jumlahnya kadang berkurang,”Herman menjelaskan sambil berjalan.

Bahkan pernah suatu kali, satu rombongan pengunjung dari etnis tertentu melakukan sebuah ritual di dalam gua. Mereka membakar semacam hio yang menimbulkan aroma khas sehingga membuat kelelawar berterbangan. “Kadang-kadang parfum-parfum yang dipakai bule-bule pun bisa bikin mereka menghindar,”ujar Herman kembali.

Ada beberapa spot mendatar di dalam gua tersebut. Sangat cocok bila pengunjung ingin beristirahat sejenak menikmati staklatit dan stalakmit. Ada beberapa rekahan dan lubang-lubang yang cukup besar di langit-langit sehingga sinar matahari pun dapat menancap ke dalam gua. Pada bagian tertentu ruang gua temaram, ada yang cukup terang sehingga bisa membaca. Tapi sebagian besar lubang tersebut hitam gelap pekat alias tanpa ada cahaya. Tapi kami karena sudah dibekali dengan senter bisa dengan mudah menelusuri gua.

Ada tiga spot utama dalam gua tersebut yang kira-kira menghabiskan waktu satu jam untuk menjelajahinya. Tiap-tiap spot ditandai oleh lubang besar di langitnya. Untuk menuju spot-spot tertentu sering kita harus merendahkan diri atau mengecilkan perut. Maksudnya harus menunduk dalam berjongkok karena celahnya cukup rendah dan sempit. Susah mungkin bagi orang yang berbadan besar.

Kelelawar tersebut berukuran sekitar genggaman tangan remaja. Tidak terlalu besar memang, hanya sedikit yang berukuran segenggam kepalan orang dewasa. Pada saat melangkah kami sering harus berhati-hati karena bebatuannya cukup tajam, mirip dengan bentuk pisau. Bebatuan diasah oleh tetesan air selama puluhan tahun, mungkin ratusan tahun. Pada dinding-dinding juga terdapat batuan yang berbentuk air menetes didinding namun sudah membeku, ntah sudah berapa lama.

Sayangnya kami melihat banyak grafiti di dinding gua. Menurut Herman, ini ulah anak-anak sekolah yang memang sering mengadakan kunjungan. Pahatan-pahatan pada dinding gua yang bertuliskan nama orang, nama tempat bahkan nama-nama sekolah. Tampaknya tempat-tempat wisata selalu saja tak lepas dari gangguan tangan jahil manusia. [m.nizar abdurrani]

read more
Ragam

Ibrahim Si Pencari Jejak Badak dari Hutan Ketambe

Hanya dengan melihat atau menciumnya, dia sudah mengetahui apa nama tanaman ataupun jejak binatang apa yang dilihatnya. Keahliannya ini diperoleh setelah menjalani pekerjaan sebagai peneliti biodiversity terutama mamalia selama puluhan tahun di hutan Leuser, terutama di daerah Ketambe, Kabupaten Aceh Tenggara.

Ibrahim Ketambe | Foto: dok pribadi
Ibrahim Ketambe | Foto: dok pribadi

Namanya singkat saja, Ibrahim, lahir sekitar 47 tahun lalu, tinggal di Desa Ketambe Kabupaten Aceh Tenggara. Ia menyebut dirinya sebagai asisten peneliti Mamal di daerah Ketambe dan sekitarnya. Ketambe sendiri merupakan sebuah stasiun riset di Taman Nasional Gunung Leuser yang banyak melahirkan para ahli biodiversity kelas dunia. Dan Ibrahim lewat tangan dinginnya dan pengetahuannya yang tinggi tentang hutan telah membantu puluhan sarjana dan profesor.

Ditemui di suatu pagi yang mendung di Banda Aceh, Ibrahim bercerita banyak hal ihwal dirinya dan pekerjaan yang dilakoni selama lebih kurang 20 tahun belakang. Ia saat itu baru saja pulang dari Kalimantan Timur untuk survey badak di kawasan hutan. Ya, keahliaannya di bidang ‘isi’ hutan telah membawanya melanglang buana ke berbagai pelosok rimba gelap di Indonesia.

Ibrahim telah banyak melakukan survey mamalia dan tumbuhan dalam hutan. Ia biasanya membantu para peneliti mencari jejak hewan liar dan mencatat berbagai tumbuhan langka. Ia hapal nama ratusan jenis tumbuhan, hanya dengan melihat sekilas saja.

Survey yang dirasakan paling berat selama hidupnya adalah survey badak karena medan yang ditempuh naik-turun pegunungan, areal yang dijelajah sangat luas dan mereka sering diguyur hujan lebat. Maklum saja, di hutan hujan (rainforest) hutan tak tentu-tentu turunnya. Ibrahim bersama tim sering harus berlama-lama di hutan, menghabiskan sekitar 2 minggu di belantara.

Ibrahim berbagi cara tentang mencari jejak badak. “Kita melihat jejak kakinya di tanah dan bekas pakannya (bekas rumput yang dimakannya), atau melihat kubangannya atau kotorannya,” kata Ibrahim yang juga dikenal dengan panggilan Ibrahim Ketambe.

Bekas tapak tersebut kemudian diukur lebar dan panjangnya dan ciri lainnya sehingga nantinya dapat dibedakan dengan jejak lain yang ditemukan. Sedangkan dari tumbuhan bekas makanannya dari diprediksi ukuran badak melalui tinggi gesekan pada tumbuhan tersebut. “ Dari beda-beda ukuran ini maka bisa dihitung berapa banyak badak yang ada di hutan tersebut,” katanya.

Biasanya mereka menemukan 2-3 jejak badak yang berbeda dalam area seluas 16 km persegi. Mereka memulai melacak jejak badak dengan mengikuti rute perjalanan badak itu sendiri. Biasanya mereka memulai survey badak dari daerah yang topografinya tidak terlalu curam dan tempat dimana banyak terdapat tumbuhan yang dimakan hewan berkulit tebal tersebut.

Badak mempunyai penciuman yang sangat sensitif, mampu mencium kehadiran manusia dari jarak sekitar 1 km dan suka berada dalam semak-semak. “ Saya belum pernah berjumpa langsung dengan badak karena hewan tersebut langsung tahu kehadiran manusia. Tapi kalau hewan lain saya sudah pernah ketemu langsung,” ujar Ibrahim.

Ada satu penelitian yang sangat berkesan ketika ia bersama peneliti dari Belanda, Carel Van Schak di tahun 1993 menemukan orangutan yang memakai alat bantu untuk mencari makanan. Mereka menemukan orangutan cerdas ini di hutan Suak Belimbing Aceh Selatan.

Ibrahim banyak membantu mahasiswa S1 hingga S3, dalam negeri hingga luar negeri melakukan penelitian hutan. Mahasiswa IPB, Unas, Unsyiah, Utrech Belanda dan sebagainya sering meminta bantuannya saat meneliti biodiversity hutan. Ia pun bangga dengan kondisi hutan Aceh yang masih bagus dibandingkan dengan hutan di daerah lain yang pernah dikunjunginya.

“ Kalau dibandingkan dengan hutan di Indonesia, kondisi hutan Aceh yang paling bagus. Kerapatannya dan curah hujannya masih tinggi,” demikian alasannya. Ibrahim telah melanglang buana ke hutan di Menado, Jambi, Riau, Lampung, Kalimantan, Sulawesi dan beberapa daerah lain.

Di hutan yang tandus atau minim vegetasi, hewan hanya lewat saja tetapi kalau di hutan yang lebat hewan akan singgah mencari makan.

Seorang anaknya kini meneruskan jejaknya sebagai ahli biodiversity. Ibrahim akan terus bekerja seperti sekarang sepanjang ada yang membutuhkan keahliannya. Tak ketinggalan perusahaan multinasional pun pernah melibatkannya dalam survey hutan.

Uniknya, Ibrahim sering memberikan nama tumbuhan dengan bahasa daerahnya yaitu bahasa Gayo  walaupun tumbuhan tersebut ditemukan di daerah lain di luar Aceh. Misalnya saja Medang Kulu atau Gerupee Rawan. Tumbuhan tersebut diberi nama lokal untuk kemudian diberi nama ilmiah.

Keahlian yang dimiliki Ibrahim memang sangat langka. Apalagi dimasa sekarang dimana anak muda berlomba-lomba mencari pekerjaan di kota. Ibrahim dan hutan memang tidak bisa dipisahkan.[m.nizar abdurrani]

read more