close

19/12/2013

Kebijakan Lingkungan

Kuntoro Apresiasi Sambutan Luar Biasa Sukseskan REDD+

Kepala Unit Kerja Presiden bidang Pengawasan dan Pengendalian Pembangunan (UKP4) Kuntoro Mangkusubroto, hari Kamis di Jakarta mengapresiasi respon luar biasa dari berbagai pihak serta kembali mengingatkan semua pihak untuk mengubah cara pandang pembangunan ke arah yang pro lingkungan.

“Kerjasama semua pihak sangat diperlukan. Saya berterimakasih atas segala respon yang telah ditunjukkan oleh berbagai pihak termasuk masyarakat adat, pemerintah-pemerintah provinsi mitra REDD+ serta kelompok korporasi,” kata Kuntoro dalam pidato kuncinya di hadapan lebih dari 400 orang yang hadir dalam pertemuan dengan para pemangku kepentingan pengurangan emisi dari deforestasi dan degradasi hutan (Reducing Emissions from Deforestation and Forest Degradation/REDD+) di Jakarta pada hari Kamis (19/12).

Peserta yang hadir datang dari berbagai kalangan termasuk dari pemerintahan daerah, organisasi masyarakat sipil, akademia serta perwakilan negara-negara sahabat.

UKP4 menggelar pertemuan dengan para pemangku kepentingan REDD+ di Jakarta dan menyerahterimakan semua hasil pekerjaan Satuan Tugas Persiapan Kelembagaan REDD+ (Satgas REDD+). Pertemuan ini juga dirancang untuk memberikan informasi terkini dan peluang kepada semua pihak untuk bertemu dan bertukar informasi tentang kemajuan dan arahan kebijakan dan rencana aksi REDD+.

“Seluruh cara berpikir kita harus berubah. Empat jalur pembangunan ekonomi kita, salah satunya adalah pro lingkungan. Ini bukan basa basi, itu masuk ke dalam mainstream pembangunan kita,” tambah Kuntoro. Indonesia dinilai cukup berhasil setelah melakukan terobosan berarti dalam menurunkan tingkat kemiskinan melalui empat jalur strategi (four track strategy) pembangunan ekonomi dalam pengurangan pengangguran dan pengetasan kemiskinan.

Presiden Susilo Bambang Yudhoyono membentuk Badan Pengelola REDD+ akhir Agustus 2013 lalu. Badan ini mempunyai tugas untuk membantu Presiden melaksanakan tugas koordinasi, sinkronisasi, perencanaan, fasilitasi, pengelolaan, pemantauan, pengawasan, serta pengendalian REDD+ di Indonesia. Persiapan beroperasinya Badan ini telah dilaksanakan oleh Satgas REDD+ termasuk sebuah strategi nasional; instrumen pendanaan; serta komponen pengukuran, pelaporan, dan verifikasi (MRV).

Menteri Kehutanan Zulkifli Hasan menyatakan bahwa kementeriannya siap untuk melaksanakan kebijakan untuk mendukung REDD+. “Kita merasa sangat senang dengan hadirnya Badan REDD+ ini dan siap melaksanakannya di lapangan. MRV dan pendanaannya dilaksanakan oleh Badan REDD+ agar kredibel dan akuntabel.”[rel]

read more
Ragam

Terdakwa “Papa Genk” Tak Tahu Gajah Hewan Dilindungi

Masyarakat Desa Ranto Sabon yang menjadi terdakwa pembunuh gajah ‘Papa Genk’ tidak tahu bahwa gajah adalah hewan yang dilindungi Undang-undang. Mereka bermusyawah untuk menjerat gajah tersebut karena menganggap gajah tersebut hama, merusak kebun masyarakat. Terdakwa kini mengharap hakim memberikan keringanan hukum dan pihak terkait memberikan penyuluhan tentang hewan-hewan yang dilindungi.

Keuchik (kepala desa-red) Desa Ranto Sabon yang terletak di Aceh Jaya, Amiruddin bin alm Mahmud, kepada Greenjo, Selasa (18/12/2013) menyampaikan hal tersebut usai sidang perdana kasus pembunuhan gajah. Gajah yang kemudian dikenal dengan sebutan ‘Papa Genk’ mati setelah tertimpa jerat besi tajam di bagian lehernya.

Amiruddin yang telah enam tahun menjadi keuchik (kepala desa-red), menceritakan awalnya masyarakat resah dengan gangguan Papa Genk di pemukiman. Gajah ini merusak kebun dan memakan tanaman. Sebenarnya masih ada gajah lain tapi mereka tidak masuk dalam desa. Hanya Papa Genk saja yang masuk ke desa.  Gajah ini sendiri tampaknya tidak terlalu liar, kata Amiruddin.

Sejak tahun 2005, pasca perdamaian, gajah sudah mulai turun ke sekitar desa katanya. “ Kami minta pemerintah untuk mendampingi, menghalau gajah kembali kedalam hutan. Ada satu masuk gampong, yang lain di luar. Mereka (yang diluar-red) tidak mengganggu jadi kami tidak menghiraukannya,” ujar Amiruddin.

Masyarakat menganggap gajah ini sudah mengganggu, layaknya seperti hama sehingga bermusyawarah untuk membasminya. Mereka sepakat memasang jerat di lintasan yang biasa dilewati Papa Genk. Akhirnya gajah jantan ini terjerat mati dan warga mengambil gadingnya untuk disimpan.

Amiruddin tidak tahu darimana julukan Papa genk berasal. Ia baru mengetahui nama tersebut ketika kasus pembunuhan gajah ramai diberitakan dimedia. Masyarakat mengira itu hama karena sudah mengganggu makanya mereka membasminya.

“ Kami buta hukum, kami tidak tahu kalau gajah dilindungi. Belum ada pihak yang memberikan penyuluhan bahwa gajah hewan dilindungi undang-undang kepada kami,” kata Amiruddin lirih.

Mereka menjerat gajah karena hewan berbelalai ini meresahkan. Malah pernah di dalam kecamatan yang sama gajah membunuh manusia. “ Tidak ada perhatian dari pihak terkait untuk menghalau gajah. Bupati secara pribadi sudah pernah turun ke lokasi. Kami tidak tahu hukum, hukum mengganggu gajah. Tidak pernah ada yang mensosialisasikannya. Kami pikir sama dengan membunuh binatang hama lain,” Amiruddin mempertegas kembali alasannya.

Mereka tidak sadar bahwa membunuh gajah, hewan yang dilindungi, bisa di penjara.

Amiruddin sering mendapat telepon dari warga yang melaporkan gajah masuk pemukiman. Ia bersama warga menghalau gajah dengan membunyikan mercon yang dibeli sendiri. Desa-desa yang berbatasan langsung dengan hutan sering mengalami gangguan parah dari hewan liar. Namun aksi menghalau ini tidak bertahan lama, biasanya hewan liar akan kembali lagi.

Warga tidak memburu gajah sampai masuk dalam hutan tetapi memasang perangkap dalam kawasan penduduk. Gading diambil untuk diserahkan ke bupati. “ Kami bersedia diproses, kami patuh hukum. Kami selalu hadir dalam pemeriksaan. Kami telah bersalah, kalau dihukum kami akan mengikuti,” ucap Amiruddin pasrah.

Amiruddin sadar, dirinya bersama dengan 13 warga lain dituntut dengan ancaman maksimal lima tahun penjara. “Secara pribadi saya telah bersalah, saya siap menghadapinya. Tetapi yang menjadi persoalan bagaimana dengan anak dan keluarga? Anak-anak masih sekolah. Kalau kami masuk penjara bagaimana membiaya mereka. Kami petani semua, kebun sudah hancur, bagaimana keluarga di kampung?” kata Amiruddin.

Mereka sudah banyak kehilangan mata pencarian. Tanaman seperti, pinang, kelapa, padi dan sebagainya sudah dimakan gajah. Bahkan saluran irigasi pun diganggu hewan besar tersebut. Amiruddin hanya berharap hakim dapat meringankan hukuman mereka.

Ke depan ia meminta agar ada batas antara gajah atau hewan dilindungi dengan hutan produksi. Selain itu harus ada sosialiasai tentang yang hewan-hewan yang dilindungi.

Kasus pembunuhan Genk mencuat ke publik setelah ada kampanye melalui sosial media yang menarik perhatian banyak orang di Indonesia. Bahkan sampai ke luar negeri. Kampanye oleh para penyayang satwa meminta kasus pembunuhan itu diusut tuntas. Sebuah petisi juga dilayangkan anak muda Aceh Aulia Ferizal untuk mengusut pembunuhan Genk.

Menteri Kehutanan Zulkifli Hasan dan Presiden Soesilo Bambang Yudhoyono merespon kampanye itu melalui akun twitter mereka. Presiden mengintruksikan Kementrian Kehutanan dan Polda Aceh mengusut tuntas kasus itu dan mencegah kasus serupa terjadi.[]

read more
Tajuk Lingkungan

Satwa VS Manusia

Ketika anda pulang ke rumah kemudian menemukan rumah hancur, kebun, tempat anda mencari nafkah sudah hilang diambil, maka apa yang anda rasakan. Pasti marah, kecewa, ngamuk atau bisa jadi berteriak-teriak mencari siapa pelaku yang tega merusak tempat anda hidup. Coba bayangkan hal yang sama terjadi pada hewan.

Tempat kediaman mereka yang nyaman (baca: hutan) telah lenyap perlahan-lahan. Rute yang biasa mereka lewati bersama keluarga dan handai tolan kini sudah terhalang oleh berbagai bangunan. Tumbuhan yang menjadi santapan mereka pun telah musnah. Tak terperikan rasa marah dan lapar yang mereka derita. Belum lagi jika hewan-hewan ini menjadi buruan lengkaplah sudah penderitaannya.

Ilustrasi di atas bisa menjadi pencerahan bagi kita bahwa tak ada makhluk di bumi ini yang rela kehilangan tempat tinggal dan tempat mencari nafkah. Namun manusia yang dikarunia akal untuk berpikir tentu saja menang dalam ‘menindas’ satwa-satwa tersebut. Tak ayal satwa pun semakin terpinggirkan, atau perlahan-lahan musnah dari muka bumi.

Konflik satwa dan manusia sudah semakin sering terjadi. Padahal kedua makhluk ciptaan Allah SWT ini telah mempunyai habitat masing-masing, manusia di pemukiman dan satwa di hutan. Namun seringkali manusia melanggar batas demarkasi ini sehingga mau tak mau memancing satwa melakukan tindakan serupa karena instinknya. Manusia semakin masuk ke dalam hutan, untuk berkebun atau pun menebang pohon ataupun mengambil hasil hutan lainnnya.

Hewan liar yang kehilangan tempat tinggal, secara instink tentu saja mempertahankan hidupnya. Mereka mencari makanan hingga masuk ke daerah pemukiman penduduk. Hal ini sebenarnya sangat jarang kita dengar dahulu. Sekarang, sangat sering kita dengar hewan masuk kampung, merusak kebun bahkan tak jarang menyebabkan kematian penduduk.

Penduduk juga akhirnya membalas. Mereka menganggap hewan liar tersebut adalah hama, merusak kebun dan mengancam keselamatan manusia. Jerat pun ditebarkan. Hewan yang terperangkap bisa sekarat atau mati, jika bernasib baik masih bisa diserahkan ke lembaga yang berwenang.

Seperti yang terjadi pada masyarakat Aceh Jaya yang menjerat gajah hingga mati. Mereka bukan tak beralasan, kebun dirusak, nyawa pun bisa-bisa terancam. Digelarlah musyawarah untuk mencari cara mengusir gajah. Karena mereka menganggap hama, maka wajar jika hama dibasmi saja alias di bunuh. Yang mereka tak pahami bahwa hewan-hewan liar yang mulai langka tersebut dilindungi Undang-undang sehingga siapapun yang melanggarnya bisa masuk bui yang dingin.

Disinilah manusia harus menjadi lebih bijak karena kita merupakan makhluk yang paling mulia di jagad ini. Manusia harus menggunakan akal pikiran agar sesama makhluk hidup tidak saling mengganggu. Pasti ada cara tanpa menyakiti jika memang ingin dicari dengan serius. Hingga kedepan, manusia dan satwa bisa hidup berdampingan secara damai karena bumi ini memang disediakan cukup bagi semuanya.[]

read more