close

24/12/2013

Green Style

Mengapa Harus Minum dari Botol Baru?

Lebih dari 780 juta orang tidak memiliki akses terhadap air minum yang sehat, dua setengah kali jumlah penduduk Amerika Serikat. Lebih dari setengah penduduk Amerika minum air kemasan, namun hampir setiap rumah tangga AS memiliki akses ke air minum yang sehat.

Amerika Serikat adalah konsumen terbesar air kemasan. Ibu-ibu di toko-toko kelontong membeli untuk persediaan sehari-hari kotak makan siang anak-anak, mahasiswa membeli kemasan untuk menyimpan di bawah tempat tidur, dan ayah mengantre di pompa bensin untuk sebotol air merupakan contoh penggunaan air kemasan. Padahal bila bepergian di seluruh Amerika Serikat tidak ada yang meragukan keamanan air minum (tapping water).

Jadi apa yang salah dengan air mancur, dapur atau keran wastafel , atau menggunakan kembali botol air plastik dari koleksi di lemari ? Meskipun memiliki akses air bersih, AS masih merupakan konsumen terbesar dari botol air dengan lebih dari selusin merek air yang ditemudi di pasaran: Dasani , Aquafina , Poland Spring , Deer Park , Evian , dan Fiji .

Apakah masyarakat kita mendefinisikan standar sosial yang didasarkan pada merek air dibeli ? Apakah air yang dikirim dari jauh  seperti Fiji lebih baik daripada air dalam botol yang dibeli di Walmart ? Apakah kita menilai orang-orang yang minum air jenis tertentu?

Saya melihat orang minum dari apa yang saya sebut ” desainer ” merek air , terutama mereka yang melakukannya setiap hari . Saya juga melihat orang yang sama sekali berbeda yang membawa sekitar menggedor , berwarna , logam, bumper stickered botol air.

Kita tampaknya membuat pengelompokan sosial bagi rakyat semata-mata didasarkan pada apa yang digunakan secara terus menerus seperti orang yang memakai botol logam tua dibandingkan orang yang kita lihat olahraga dengan  botol air yang baru setiap hari.

Dengan harga rata-rata $ 1,75 per botol, saya lebih memilih botol air tua saya, yang tampaknya rusak dan kumuh dan saya akan mengisinya air dari kamar mandi atau wastafel dapur. Meskipun tidak ideal tampaknya, jauh lebih baik bagi saya daripada mencoba untuk cocok dengan botol air desainer terbaru .[]

Artikel ini ditulis oleh mahasiswa University of Delaware yang mengulas tentang kebiasaan penduduk Amerika Serikat.

Sumber: enn.com

read more
Perubahan Iklim

Jumlah Korban Bertambah, Warga Semakin Rentan Bencana

Bencana pada tahun 2013 sampai bulan November 2013 terdapat 973 kejadian bencana. Sementara tahun 2012 mencapai 1.842 kejadian. Uniknya, jumlah korban dan kerugian harta benda akibat bencana justru mengalami peningkatan. Jumlah korban meninggal dan hilang meningkat dari 483 jiwa menjadi 690 jiwa. Jumlah penyintas yang mengungsi juga mengalami peningkatan dari 956.455 menjadi 3.168.775 jiwa. Kerusakan rumah juga mengalami peningkatan dari 54,626 menjadi 74,246.

Data ini menggambarkan tingkat kerentanan masyarakat menghadapi bencana semakin tinggi, padahal investasi anggaran untuk peningkatan kapasitas kelembagaan dan masyarakat telah mengalami peningkatan. Pada tahun anggaran 2013, alokasi anggaran untuk kebencanaan yang dikelola langsung oleh BNPB mencapai Rp 1,3 triliun. Angka ini belum memasukkan data kebencanaan yang dikelola oleh kementerian atau lembaga lain selain pemerintah.

Menurut Syamsul Ardiansyah, Kepala Divisi Advokasi, Platform Nasional Pengurangan Risiko Bencana (Planas PRB), “kondisi ini menggambarkan peningkatan alokasi anggaran untuk kebencanaan, belum secara signifikan berkontribusi pada peningkatan kapasitas masyarakat dalam menghadapi bencana.

Sementara masyarakat yang berada di “garis depan” dan berhadapan langsung dengan ancaman bencana belum banyak tersentuh oleh program-program penguatan kapasitas yang dilakukan pemerintah. Harus diakui, terobosan-terobosan kebijakan, seperti “desa tangguh” masih belum berdampak pada peningkatan kapasitas masyarakat.

Selain alokasi anggaran yang belum efektif, meningkatnya kerentanan masyarakat bisa jadi disebabkan oleh semakin buruknya daya dukung sosial-ekonomi dan lingkungan masyarakat. Investasi ekonomi yang tidak memperhatikan aspek-aspek keberlanjutan, khususnya di sektor perkebunan dan industri ekstraktif, telah turut memperburuk kerentanan masyarakat.

Investasi yang tidak memperhatikan keberlanjutan tidak hanya memperburuk kondisi lingkungan, melainkan juga meningkatkan kerentanan sosial dalam bentuk konflik dan kekerasan. Menurut Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA), kekerasan berlatarkan sengketa agraria pada tahun 2013 telah mengakibatkan 21 jiwa tewas, 30 tertembak, 130 luka akibat penganiayaan, dan 239 warga ditahan.

Platform Nasional Pengurangan Risiko Bencana mencatat setidaknya terdapat lima rekomendasi umum untuk pembenahan penanggulangan bencana di Indonesia. Pertama, meningkatkan efektifitas penganggaran PB dari pemerintah. Meningkatnya jumlah korban jiwa pada tahun 2013 pada saat kejadian bencana yang justru menurun menunjukkan pentingnya mengakselerasi perbaikan kapasitas respon dari aparatur pemerintah di bidang Penanggulangan Bencana.

Kedua, di samping program Desa Tangguh yang disponsori BNPB, pemerintah sebenarnya memiliki program-program sejenis yang berorientasi pada peningkatan ketangguhan masyarakat. Hanya saja, program-program tersebut terkesan berjalan sendiri-sendiri secara sektoral dan tidak terhubung. Kohesi antar program pemerintah untuk ketangguhan masyarakat akan memberikan kontribusi signifikan dalam pengurangan kerentanan masyarakat.

Ketiga, investasi pengurangan risiko bencana hendaknya secara konkret diarahkan untuk meningkatkan kapasitas masyarakat di garis depan (frontline) ancaman bencana. Upaya-upaya mitigasi struktur maupun non-struktur dalam bentuk peningkatan kesiapsiagaan masyarakat di garis depan ancaman harus mendapatkan perhatian dan dukungan dari pemerintah.

Keempat, pembangunan ekonomi yang memperhatikan keberlanjutan sosial ekonomi dan lingkungan serta hak asasi manusia. Pada saat ini, sebagian wilayah di Indonesia sudah mulai menuai dampak buruk dari praktik-praktik pembangunan yang tidak memperhatikan keberlanjutan dan hak asasi manusia.

Dimasa yang akan datang, konflik yang disertai dengan kekerasan dan bencana akibat kerusakan lingkungan akan semakin mengalami peningkatan. Oleh karena itu, hal yang paling penting dilakukan sekarang adalah; pertama, melakukan audit lingkungan terhadap seluruh proyek-proyek investasi disektor perkebunan dan pertambangan.

Kedua, secara konsisten menerapkan prinsip-prinsip free prior informed consent (FPIC) terhadap seluruh proyek investasi yang akan dilaksanakan di Indonesia.

Kelima, tahun 2014 adalah tahun politik. Platform Nasional Pengurangan Risiko Bencana (Planas PRB) mendorong agar isu kebencanaan menjadi salah-satu agenda politik nasional. Investasi pengurangan risiko bencana perlu ditingkatkan sebagai upaya untuk mengurangi kerentanan di masa yang akan datang.[rel]

read more
Flora Fauna

Komodo yang Gamang Hadapi Masa Depannya

Berikut ini cara menangkap naga; Sembelih seekor kambing. Minta bantuan beberapa teman yang kuat untuk meng­angkat tiga perangkap baja sepanjang tiga meter, bawa beberapa karung berisi daging kambing, lalu tempuh perjalanan beberapa kilometer naik turun bukit yang melelahkan. Jangan hiraukan panas di atas 30 derajat yang membuat kita merasa seperti bakpao dalam kukusan.

Pasang perangkap pertama dengan umpan beberapa kerat daging, lalu gantung karung ber­isi daging. Kemudian tempuh lima atau enam kilometer lagi, lakukan hal yang sama. Kembali ke kemah; isi ember dengan air dingin lalu siramkan ke kepala. Tidur. Periksa semua perangkap setiap pagi dan sore selama dua hari ke depan. Kemungkinan besar kosong, tetapi jika nasib sedang bagus, saat kita mendekat, ter­lihatlah isinya: kadal terbesar di dunia, raksasa berwajah bengis yang bernama komodo.

Orang yang merancang metode ini adalah Claudio Ciofi. Pria berusia akhir 40-an ini adalah seorang ahli biologi dan dosen di Università degli Studi di Firenze. Dia datang ke Indonesia pada 1994 dalam rangka penelitian doktoral mengenai genetika komodo. Kemudian dia melihat langsung fosil hidup tersebut. Dia terpesona. Saat itu, tidak ada ilmuwan lain yang mempelajari spesies ini.

“Saya mengira akan menemukan organisasi yang meneliti komodo,” kenangnya. “Satwa ini sama menarik dan memukaunya dengan hari­mau dan orangutan. Namun, ternyata tidak ada orang yang meneliti komodo.”

Jadi, Ciofi memperluas cakupan penelitian­nya. Dia berusaha mempelajari setiap aspek ke­hidupan hewan tersebut. Dengan gigih dan tanpa gembar-gembor, dia bersama para peneliti terkemuka dari Indonesia dan Aus­tralia memberikan sumbangsih besar pada pe­ngetahuan kita tentang spesies tersebut dan ber­usaha meningkatkan peluang hidup komodo di tengah persoalan abad ke-21. Meskipun ter­masuk keluarga naga dan dapat tumbuh hingga sepanjang tiga meter dengan berat hampir 90 kilogram, spesies ini tetap rentan terhadap masalah modern yang merundung dunia binatang, mulai dari hilangnya habitat sampai perubahan iklim.

Satwa dari famili Varanidae ini telah melalui banyak siklus perubahan dengan selamat. Spesies yang satu ini mungkin muncul lima juta tahun yang lalu, tetapi genusnya telah berumur sekitar 40 juta tahun, sementara nenek moyang dinosaurusnya hidup 200 juta tahun yang lalu.

Varanus komodoensis memiliki gaya hidup kadal tulen—berjemur matahari, berburu dan makan bangkai, bertelur dan menjaga telurnya, lalu membiarkannya setelah menetas. Komodo umumnya hidup sampai umur 30 hingga 50 tahun, dan menghabiskan sebagian besar waktunya hidup menyendiri. Sementara itu, kawasan hidupnya di dunia sangat kecil: Hewan ini hanya ditemukan di beberapa pulau di Asia Tenggara, semua di Indonesia.

Catatan paling awal mengenai kadal yang luar biasa ini mungkin keterangan “Hc sunt Dracones”, artinya “di sini ada naga”, yang ter­cantum pada peta kuno Asia. Dan orang pertama yang melihat binatang itu pasti akan menambahkan: Hati-hati! Komodo yang jago berburu ini dapat berlari sampai 19 kilometer per jam meski tidak tahan lama. Reptil ini menyergap mangsa dengan tiba-tiba, merobek daging yang paling lembut, biasanya perut, atau melukai kaki.

Untuk memastikan kematian mangsanya, sang naga ini—boleh dikata—dapat menyemburkan api. Mulutnya berleleran liur berbisa yang membuat darah tidak dapat membeku. Jadi, korban gigitannya kehabisan darah dengan cepat. Korban terluka yang berhasil lolos kemungkinan besar akan terkena patogen dari sumber air, mengakibatkan infeksi. Jadi, begitu tergigit, kematian hampir tidak terelakkan. Dan komodo bisa sangat sabar.

Satwa ini juga makan bangkai—tidak ada makanan, baik hidup atau mati, yang ditampik oleh makhluk oportunistis ini. Makan bangkai memerlukan energi yang lebih sedikit daripada ber­buru, dan komodo dapat mendeteksi aroma bangkai yang membusuk dari jarak jauh. Hampir tidak ada yang terbuang.

Meskipun komodo memiliki kebiasaan yang jorok, warga belum tentu takut dan jijik terhadapnya. Di desa Komodo, saya naik tangga kayu reyot ke rumah panggung milik seorang tetua yang bernama Caco. Menurut perkiraannya, usianya 85 tahun. Pemandu saya menyebut bahwa pria kurus berkacamata ini pakar komodo; sang tetua tidak menyanggah sebutan tersebut. Saya menanyakan pendapat warga desa tentang komodo dan ancaman bahayanya.

“Kami di sini menganggap hewan tersebut nenek moyang kami,” katanya. “Makhluk keramat.”

Dahulu, apabila penduduk pulau berburu rusa, tuturnya, mereka akan meninggalkan setengah dagingnya buat komodo. Kemudian keadaan berubah. Meskipun tidak ada yang tahu pasti jumlahnya, populasi komodo tampaknya menyusut dalam 50 tahun terakhir. Atas desakan para pelestari lingkungan dan setelah menyadari nilai ekonomi pariwisata komodo, pemerintah Indonesia menetapkan peraturan yang melindungi spesies ini.

Pada 1980, sebagian besar habitat komodo ditetapkan menjadi Taman Nasional Komodo (TNK), yang meliputi Pulau Komodo, Pulau Rinca, dan beberapa pulau kecil lainnya. Kemudian didirikan tiga cagar alam tambahan, dua di antaranya berada di Pulau Flores.[]

Sumber: nationalgeographic.co.id

read more
Ragam

Cara Taiwan Kelola Wisata Tambang Tua

“LLHA formosa…pulau yang cantik,” begitu para pelayar Portugis menyebut Taiwan ketika melewati pulau yang terletak di antara China, Jepang, dan Filipina itu. Tak hanya menyandang sebutan cantik, bangsa yang mendiami pulau itu juga kreatif mengolah sumber daya alam.

Hanya sebuah batu, hanya sebuah pasar malam, dan hanya sebuah desa di lereng gunung, tetapi bisa ”disulap” menjadi kawasan pariwisata. Pariwisata berbasis sejarah, ekologi, dan budaya yang mendongkrak ekonomi kreatif warga sekitarnya.

Kesan tersebut muncul ketika Kompas mengikuti ”2013 Taiwan Study Camp for Future Leaders from Southeast Asia” pada 21-30 November yang digelar Kementerian Luar Negeri Taiwan. Kegiatan yang berfokus pada pelatihan kepemimpinan di bidang ekonomi, lingkungan hidup, dan energi terbarukan itu diikuti 38 peserta dari negara-negara Asia Tenggara.

Kesan itu kami dapati ketika diajak ke sejumlah tempat wisata. Beberapa di antaranya adalah Yehliu Geopark, desa penambang emas Jiufen, dan Taiwan Indigenous Peoples Culture Park.

Yehliu Geopark membentang sepanjang 1.700 meter di pesisir pantai Wanli, New Taipei City. Yehliu Geopark merupakan taman batu karang yang menyuguhkan panorama batu dengan aneka macam bentuk. Lebih kurang ada 180 formasi batu karang. Ada yang menyerupai jamur, lilin, sarang lebah, kepala ratu, gorila, naga, dan masih banyak lagi.

Batu-batu karang itu terbentuk karena proses alam selama jutaan tahun. Erosi air laut berpadu dengan angin, hujan, gelombang laut, dan topan timur laut membantu proses pembentukan batu-batu karang itu.

Mangin Stephen, pemandu Yehliu Geopark asal Perancis, mengatakan, dahulu kawasan itu merupakan tempat tinggal masyarakat Aborigin Taiwan atau Taiwan Indian. Mereka bekerja sebagai nelayan dan berasal dari sejumlah negara di Asia Tenggara, seperti Indonesia dan Filipina.

Lantaran kerap didatangi para peneliti dan akhirnya menjadi tempat wisata geologi, mereka pindah ke sejumlah kawasan pegunungan Taiwan. Dahulu, mereka memanfaatkan batu-batu itu sebagai tempat berlindung dari serangan musuh yang datang dari laut.

”Rata-rata ada 3 juta orang per tahun yang datang ke Yehliu Geopark. Agar formasi batu tidak rusak, kami membatasi para pengunjung yang masuk ke taman, terutama di hari-hari libur. Kami juga menempatkan penjaga untuk menjaga batu-batu itu agar tidak disentuh pengunjung,” kata Stephen.

Stephen menambahkan, masyarakat sekitar Yehliu Geopark juga diberi kesempatan untuk berdagang di kompleks tempat parkir. Mereka mendapat uang dengan menjual makanan, jajanan, dan suvenir.

Sekitar 1 jam perjalanan dari Yehliu Geopark, terdapat tempat wisata desa kuno yang menjadi saksi bisu penambangan emas terbesar di Taiwan. Desa itu adalah Jiufen, berada di antara Gunung Jiufen dan Ghinkuashin.

Jalan kuno
Pada awal pemerintahan Dinasti Qing, Jiufen hanyalah sebuah kampung kecil yang terpencil, terisolasi, dan sepi. Penghuninya hanya sembilan keluarga. Pada 1890, seorang pendatang menemukan bijih emas di Jiufen sehingga kawasan itu menjadi ramai. Pada 1971, tambang itu tidak lagi menghasilkan emas dan ditutup.

Saat ini, kawasan itu berkembang menjadi desa wisata yang menampilkan panorama alam pegunungan. Dari atas desa tersebut, pengunjung dapat melihat sebagian pesisir Lautan Pasifik Taiwan dari gardu pandang sembari meminum teh khas Jiufen.

Selain itu, desa tersebut mempunyai jalan kuno yang dahulu dilewati para penambang emas. Jalan itu berupa tangga batu dan lorong-lorong yang terhubung dengan jalan utama desa. Di desa itu pula banyak pengunjung dapat membeli aneka makanan dan suvenir khas Taiwan. Lantaran terkenal sebagai daerah dingin, banyak pedagang yang menawarkan minuman jahe khas pegunungan Taiwan.

Berkat pengelolaan yang matang dan terencana, desa itu tumbuh sebagai tempat wisata yang diminati ribuan pengunjung. Hampir sebagian masyarakat desa hidup sebagai pedagang dengan mengubah rumah mereka menjadi kios makanan dan minuman atau suvenir.

Jenny Tseng dari Taiwan Turnkey Project Association, pendamping peserta 2013 Taiwan Study Camp, mengemukakan, Pemerintah Taiwan sangat peduli dengan peningkatan kesejahteraan masyarakatnya. Untuk itu, mereka menempuh berbagai macam upaya, salah satunya mengemas kekuatan dan kearifan lokal dan menawarkannya kepada wisatawan.

”Mereka mengajak warga setempat untuk memasarkan kekuatan dan kearifan lokal yang khas. Kearifan lokal itu bisa berupa potensi alam, budaya, sejarah, dan kesenian,” kata dia.

Salah satu peserta dari Indonesia, Laela Royani, mengaku terkesan dengan pengelolaan pariwisata Taiwan. Pemerintah Taiwan benar-benar melibatkan swasta dan masyarakat setempat. Hal-hal yang mungkin dipandang remeh, seperti batu dan bekas penambangan emas, justru dikemas dengan sangat menarik dan ditawarkan kepada para wisatawan.

”Selain itu, pariwisata di Taiwan ditujukan pula untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat setempat melalui geliat industri rumahan. Pariwisata itu tidak semata untuk menambah pendapatan asli daerah,” kata Laela. []

Sumber: kompas.com

read more