close

26/12/2013

Ragam

Pemimpin Suku Ini Tewas di Bendungan yang Ditentangnya

Seorang pemimpin suku Indian Mapuche yang juga tokoh gerakan lingkungan hidup Chile, ditemukan tewas di bendungan yang satu dekade terakhir dia tentang pembangunannya.

Otoritas keamanan setempat, Rabu (25/12/2013), mengatakan sedang menunggu hasil otopsi dari Nicolesa Quintreman (73), tokoh Indian Mapuche itu. Belum dapat dipastikan penyebab kematian Quintreman. Saat ditemukan tak ada luka yang mengaitkan upaya pembunuhan.

“Ia tampaknya terpeleset, jatuh ke danau, dan meninggal,” kata Jaksa Carlos Diaz. “Polisi memberitahu saya bahwa dari pandangan pertama dan berdasarkan keahlian mereka, mayat tidak menunjukkan tanda-tanda cedera disebabkan orang ketiga, ” ujar Diaz kepada Radio Bio Bio.

Jasad Quintreman ditemukan Selasa (24/12/2013), sehari setelah dia dinyatakan hilang. Jasadnya dikembalikan kepada keluarga, Rabu, untuk persiapan pemakaman pada Jumat (27/12/2013). Hari berkabung diumumkan di komunitas Alto Biobio.

Bersama saudara perempuannya, Berta, Quintreman merupakan tokoh nasional di Chile yang menentang pembangunan bendungan untuk pembangkit listrik tenaga air di tanah milik suku mereka di pegunungan berhutan di selatan Chile.

Mereka berdua memimpin perlawanan publik berhadapan dengan perusahaan listrik dari Eropa, Endesa. “Saya akan mengatakan seperti itu. Saudaraku jatuh ke danau, dia tidak akan pernah kembali,” kata Berta Quintreman dengan suara pecah dalam wawancara radio.

“Perusahaan ini harus pergi dan membatalkan rencana pembangunan waduk itu. (Perlawanan) ini akan terus berlanjut karena kakak saya adalah seorang pejuang yang tak kenal lelah dan sekarang aku sendirian,” lanjut Berta.

Semula perlawanan terhadap pembangunan waduk itu mendapat dukungan dari ratusan keluarga lain. Namun, bertahap dukungan itu melemah seiring tekanan dan tawaran atas properti mereka yang berada di luar zona genangan.

Quintreman pun bahkan sempat menjual sepetak kecil lahannya pada 2002 dengan harga yang tak diungkapkan. Menyusul kemudian dia menjual pula properti yang berjarak 15 kilometer dari lokasi pembangunan bendungan.

Proyek pembangkit listrik ini mendapat persetujuan dari pemerintah kiri moderat Presiden Eduardo Frei Ruiz-Tagble. Lembah Mapuches ditenggelamkan untuk pembangunan pembangkit ini untuk menyediakan pasokan listrik yang dibutuhkan Chile untuk menggerakkan perekonomian.

Quintreman bersaudara dikenal sebagai pendiri gerakan lingkungan di selatan Chile. Mereka belakangan mengandalkan dukungan internasional untuk memperkarakan pembangunan bendungan itu ke pengadilan.

Tentangan muncul karena proyek bendungan HydroAysen ini akan memblokir aliran beberapa sungai beraliran bebas terakhir dunia. Proyek tersebut juga akan membuka hutan untuk pembangunan jalan dan jaringan listrik tegangan tinggi sepanjang ribuan kilometer.

Sumber: kompas.com

read more
Kebijakan Lingkungan

Penghapusan Nama Leuser Berlawanan dengan UU PA

Laporan Panitia Khusus (Pansus) II Tahun 2012 Dewan Perwakilan Rakyat Aceh mengenai Hasil Pembahasan Rancangan Qanun Aceh tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Aceh (RTRWA) 2013-2033 oleh Tgk. Anwar Ramli selaku Ketua Pansus II DPRA dalam masa persidangan VI Rapat Paripurna 6 pada tanggal 24 Desember 2013 memunculkan beberapa hal kontroversial. Hal ini disampaikan oleh Mantan Direktur Eksekutif WALHI Aceh, yang kini menjabat Aceh Communications Officer Yayasan Ekosistem Lestari (YEL), Teuku Muhammad Zulfikar.

Dalam siaran persnya, Kamis (26/12/2013) Ia menyebutkan mengacu beberapa pasal yang tercantum dalam Undang-Undang No. 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh yaitu :

1.    Pelaksanaan pembangunan di Aceh dan kabupaten/kota sebagaimana yang diamanahkan dalam Undang-undang harus dilakukan dengan mengacu pada rencana pembangunan dan tata ruang nasional yang berpedoman pada prinsip-prinsip pembangunan berkelanjutan, pelestarian fungsi lingkungan hidup, kemanfaatan dan berkeadilan.

2. Pemerintah, termasuk Pemerintah Aceh dan Pemerintah kabupaten/kota berkewajiban untuk menghormati, melindungi dan mematuhi serta menegakkan hak-hak masyarakat terhadap pengelolaan lingkungan hidup. Masyarakat tentunya memiliki hak untuk secara aktif terlibat dalam pengelolaan lingkungan hidup.

3.  Perlu diingatkan kembali sebagaimana yang telah disampaikan oleh Undang-undang Negara Kesatuan Republik Indonesia, khususnya Undang-undang No. 11 tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh pasal 149, menyebutkan bahwa Pemerintah Aceh dan pemerintah kabupaten/kota berkewajiban melakukan pengelolaan lingkungan hidup secara terpadu dengan memperhatikan tata ruang, melindungi sumber daya alam hayati, sumber daya alam non hayati, sumber daya buatan, konservasi sumber daya alam hayati dan ekosistemnya, cagar budaya, dan keanekaragaman hayati dengan memperhatikan hak-hak masyarakat adat dan untuk sebesar-sebesarnya bagi kesejahteraan masyarakat.

4.   Pemerintah, Pemerintah Aceh dan pemerintah kabupaten/kota berkewajiban melindungi, menjaga, memelihara dan melestarikan Taman Nasional dan kawasan lindung, termasuk mengelola kawasan lindung untuk melindungi berbagai keanekaragaman hayati dan ekologi.

5. Pemerintah Aceh dan pemerintah kabupaten/kota juga wajib mengikutsertakan lembaga swadaya masyarakat yang memenuhi syarat dalam pengelolaan dan perlindungan lingkungan hidup.

6.  Dalam Pasal 150 Undang-undang  No. 11 tahun 2006, tentang Pemerintahan Aceh pada ayat (1) dengan jelas disebutkan bahwa Pemerintah menugaskan Pemerintah Aceh untuk melakukan pengelolaan Kawasan Ekosistem Leuser (KEL) di wilayah Aceh dalam bentuk perlindungan, pengamanan, pelestarian, pemulihan fungsi kawasan dan pemanfaatan secara lestari. Lalu pada ayat (2) disebutkan bahwa Pemerintah, Pemerintah Aceh, dan pemerintah kabupaten/kota dilarang mengeluarkan izin pengusahaan hutan dalam kawasan ekosistem Leuser sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tersebut.

” Untuk itu usulan penghapusan Kawasan Ekosistem Leuser (KEL) dalam RTRW Aceh merupakan tindakan yang salah dan bertentangan dengan Undang-Undang, khususnya Undang-Undang No. 11 Tahun 2006 tentang Pemerintah Aceh,” ujar T. Muhammad Zulfikar.

UU ini sendiri merupakan turunan dari perjanjian damai MoU Helsinki pada bulan Agustus 2005 yang lalu.

Menurutnya Pansus DPR Aceh perlu melihat kembali keberadaan beberapa kawasan hutan di Aceh sebagai sebuah kesatuan kawasan Hutan Aceh tanpa harus menganulir beberapa kawasan yang sudah ditetapkan melalui peraturan perundangan-undangan yang berlaku selama ini.[rel]

read more
Ragam

Nelayan Aceh Berhenti Melaut Peringati Tsunami

Ratusan perahu nelayan disandarkan sepanjang Muara Kreung Aceh. Mereka tidak melaut, jelang peringatan sembilan tahun bencana tsunami, 26 Desember 2013. Bencana maha dahsyat yang memporak-porandakan Aceh itu, menjadi kenangan pahit bagi para nelayan.

Tepat tanggal 26 Desember adalah hari pantang melaut bagi nelayan di Aceh. Mereka lebih memilih memperbaiki alat tangkap dan mempersiapkan kebutuhan melaut esok harinya. Bahkan, beberapa nelayan ada yang tidak melaut sejak Rabu pagi, 25 Desember 2013.

Pantang melaut setiap tanggal 26 Desember sudah berlaku setahun setelah bencana tsunami 2004 silam. Keputusan itu merupakan hasil musyawarah Panglima Laot Lhok Kreung Aceh bersama seluruh Panglima Laot di seluruh kabupaten dan kota di Aceh.

Selama tidak melaut, para nelayan diminta ikut berdoa dan berzikir untuk mengenang anggota keluarga dan masyarakat Aceh yang menjadi korban keganasan gempa dan tsunami di Aceh.

Menurut Panglima Laot Kreung Aceh, Tabrani, bagi mereka yang masih kedapatan melaut, akan diberi sanksi larangan melaut selama seminggu dan tidak diperkenankan masuk ke kawasan untuk menjual hasil tangkapannya.

Sementara itu, meski tidak melaut selama sehari penuh, sejumlah nelayan merasa tidak keberatan dengan larangan tersebut. Selain untuk mendoakan para korban, larangan itu juga dinilai menjadi ajang mengingatkan anak dan cucu bahwa bencana maha dahsyat tsunami pernah melanda Aceh.

Selain 26 Desember, larangan melaut bagi nelayan Aceh juga berlaku pada hari-hari besar Islam dan hari Jumat seperti saat Khanduri Laot dan hari kemerdekaan Republik Indonesia.

Gempa tektonik 9,3 SR yang mengakibatkan tsunami terjadi pada Minggu 26 Desember 2004. Bencana itu menewaskan sekitar 230.000 orang. Dari jumlah itu 30 persen di antaranya merupakan keluarga nelayan yang bermukim di wilayah pesisir. []

Sumber : vivanews.com

read more