close

30/12/2013

Ragam

Rusia Batalkan Tuntutan terhadap Aktivis Greenpeace

Rusia secara resmi membatalkan tuntutan pidana terhadap pegiat Greenpeace, yang ditangkap dalam unjukrasa terhadap pemboran minyak Arktik, dan diharapkan segera melakukan hal sama kepada seluruh 30 pegiat, demikian pengumuman Greenpeace.

Greenpeace mengetahui pembatalan tuntutan terhadap 19 anggota kelompok itu, yang masih berada di Rusia dengan jaminan, pada Rabu (25/12/2013). Langkah itu diambil menyusul pengumuman ampunan dari Kremlin.

Aktivis itu akan bebas meninggalkan Rusia dan pulang ke keluarga mereka, tentunya setelah mereka memperoleh visa keluar.

Perlakuan Rusia pada para pegiat itu –yang berada dalam tahanan selama dua bulan dan telah menghadapi tuntutan melakukan hooliganisme dengan ancaman hukuman tujuh tahun penjara– telah memicu kritik keras dari negara barat dan selebriti.

Greenpeace menilai, pemberian amnesti kepada mereka akan menghilangkan gangguan dalam hubungan yang disebut oleh para kritikus Kremlin sebagai langkah yang diambil untuk meningkatkan citra Rusia menjelang Olimpiade Sochi.

“Ini adalah hari yang kami tunggu sejak kapal yang kami tumpangi dihentikan oleh pasukan bersenjata hampir tiga bulan lalu,” kata Peter Willcox, kapten kapal Greenpeace yang digunakan dalam aksi protes itu, Arctic Sunrise, dalam sebuah pernyataan.

“Saya senang dan lega tuntutan itu telah dibatalkan, namun kami seharusnya bahkan tidak dituntut sama sekali,” katanya.

Presiden Vladimir Putin mengatakan, reaksi Rusia terhadap aksi protes Greenpeace seharusnya menjadi pelajaran, dan Moskow akan menguatkan langkah-langkah untuk menghindarkan diri dari gangguan pembangunan di daerahnya.

Rusia mengumumkan para pegiat itu membahayakan kehidupan dan properti dalam aksi protes di kawasan yang dikuasai oleh perusahaan energi raksasa negara Gazprom, Prirazlomnaya, di laut Pechora, yang merupakan elemen kunci dari rencana Rusia untuk mengembangkan Arktik.

Greenpeace mengatakan, penghentian kapal pemecah es-nya oleh otoritas Rusia adalah ilegal dan para pegiatnya melakukan aksi protes secara damai.[]

Sumber: antaranews.com

read more
Hutan

KPHA: Penghapusan KEL dalam qanun RTRW Adalah Konspirasi

Seratusan massa yang tergabung dalam Koalisi Peduli Hutan Aceh (KPHA) menggelar aksi di depan gedung Dewan Perwakilan Rakyat Aceh (DPRA) Senin, (30/12/2013). Pada aksi tersebut KPHA secara tegas menolak Qanun Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) yang telah disahkan 27 Desember 2013. Demonstran meminta Menteri Dalam Negeri (Mendagri) membatalkan qanun tersebut.

Peserta aksi yang berlangsung di depan gerbang DPRA membentang beberapa spanduk dan poster yang mengecam pengesahan qanun RTRW yang menghilangkan keberadaan Kawasan Ekosistem Leuser (KEL) dan juga tidak memasukan Rawa Tripa sebagai hutan lindung.

“KEL dihilangkan dalam RTRW Aceh, ini presiden buruk terjadi di Aceh, karena KEL merupakan salah satu warisan nenek moyang kita yang telah diakui oleh dunia internasional,” tegas Juru Bicara (Jubir) KPHA, Efendi Isma, Senin (30/12/2013) di Banda Aceh.

Efendi Isma mencium ada konspirasi dibalik penghilangan KEL tersebut. Ada upaya agar lebih memudahkan pemberian izin untuk eksploitasi tambang di kawasan KEL tersebut.

“Selama ini KEL itu menjadi penghambat merusak ekosistem Leuser tersebut, dengan hilangnya KEL tentu akan lebih memudahkan pengeluaran izin,” tegasnya.

Massa aksi yang datang dari perwakilan masyarakat dari 13 Kabupaten yang masuk dalam KEL secara tegas menolak qanun RTRW Aceh tersebut. Hal ini sebagaimana ditegaskan oleh masyarakat dari Aceh Tamiang, Kamal Faisal. Ia menyebutkan bila benar-benar dijalankan qanun RTRW Aceh itu, maka malapetaka akan semakin besar bencana melanda Aceh Tamiang.

“Bila RTRW Aceh itu benar-benar disahkan, maka akan menghanncurkan Tamiang, sekarang saja 2 jam hujan, Tamiang banjir, kami sudah tak sanggup tahan banjir kiriman daru gunung terus gara-gara hutan sudah gundul,” ungkap Kamal Faisal.

Pasalnya, kata Faisal, bila RTRW Aceh itu dijalankan, maka lebih 2500 hektar hutan lindung akan dijadikan perkebunan di Tamiang dan akan semakin menambah terjadi bencana banjir.

Sementara itu, warga yang datang dari Nagan Raya sangat menyayangkan RTRW Aceh itu tidak memasukkan lahan gambut Rawa Tripa dalam hutan lindung. Ini tentu membuat warga kecewa, karena Rawa Tripa itu merupakan warisan yang seharusnya dijaga dan dilestarikan, termasuk harus dimasukkan dalam qanun tersebut.

“Kalau ini terjadi tentu Rawa Tripa akan dikuasai oleh perusahaan sawit, tentu ini akan sangat berbahaya terhadap keselanatan lahan gambut Rawa Tripa,” tegas Indrianto.

Selain itu, massa aksi juga meminta kepada seluruh rakyat Aceh agar dalam menentukan pilihan pada pemilu 2014 mendatang agar tidak memilih wakilnya yang tidak peduli lingkungan. “Jangan pilih wakil rakyat nanti orang yang tidak peduli lingkungan,” tandas Indrianto.[]

read more
Perubahan Iklim

Sektor Energi & Transportasi Sumbang Emisi Terbesar di Aceh

Dokumen Rencana Aksi Daerah Penurunan Emisi Gas Rumah Kaca Propinsi Aceh (RAD GRK Aceh) tahun 2012-2020 menyimpulkan sektor energi dan transportasi merupakan penyumbang terbesar emisi di propinsi ini yaitu sebesar 181.834.677 CO2 Gg/Th. Kemudian disusul oleh sektor kehutanan dan lahan gambut (14.498.933,15 Gg/Th), selanjutnya sektor pertanian (1.482.660 Co2 Gg/Th dan 2.120 N2O Gg/Th) dan terakhir sektor industri dan persampahan 19.51 N2O Gg/Th.

Perhitungan ini dilakukan pada tahun 2012 oleh tim yang beranggotakan berbagai stakeholder mulai dari pemerintahan dan pihak swasta. Dokumen RAD-GRK sendiri merupakan amanat dari Peraturan Presiden Nomor 61 Tahun 2011 tentang Rencana Aksi Nasional Penurunan Emisi Gas Rumah Kaca (RAN-GRK).

Sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat 1, Pemerintah Provinsi dan Kabupaten/Kota berperan penting dalam penurunan emisi gas rumah kaca di wilayah masing-masing, Gubernur berkewajiban menyusun Rencana Aksi Daerah Penurunan Emisi Gas Rumah Kaca (RAD-GRK) selambat-lambatnya 12 (dua belas) bulan setelah ditetapkan Perpres dimaksud.

Dokumen RAD-GRK Aceh yang dihasilkan dapat dijadikan pedoman bagi Pemerintah Aceh dan Pemerintah Kabupaten/Kota dalam pelaksanaan pembangunan yang berkeberlanjutan dalam substansi penurunan emisi gas rumah kaca. Selain itu dokumen ini berisikan informasi mengenai tingkat, status, dan kecenderungan perubahan emisi Gas Rumah Kaca secara berkala dari berbagai sumber emisi (source) dan penyerapnya (sink) termasuk
simpanan karbon (carbon stock) di Aceh.

Selain kesimpulan yang telah disebutkan diatas mengenai jumlah GRK, terdapat beberapa kesimpulan lain yaitu :

1. Secara riil emisi dominan untuk Gas CO2 dan N2O di Aceh yang diproduksi adalah dari Bidang Energi dan Transportasi khususnya Sektor Transportasi, mengingat pertumbuhan kendaraan bermotor khususnya kendaraan pribadi cukup tinggi.

2. Meskipun Bidang Energi dan Transportasi khususnya sektor energi memberikan sumbangan emisi paling dominan berdasarkan hasil perhitungan untuk gas CO2, namun emisi sektor energi tersebut tidak di produksi di Aceh karena Aceh belum memiliki pembangkit listrik.

4. Untuk Gas Methana Bidang Pertanian menjadi penyumbang paling besar dibandingkan bidang lainnya, karena potensi pengembangan peternakan baik skala besar, maupun skala rumah tangga cukup besar dan dominan terdapat di kawasan pantai barat Aceh.

5. Berdasarkan hasil perhitungan Location Quotient (LQ) dari 9 sektor di Aceh dapat dilihat bahwa sektor-sektor yang memberikan implikasi terhadap peningkatan emisi gas rumah kaca adalah merupakan sektor yang masuk dalam kategori sektor basis atau memiliki keunggulan komparatif jika dibandingkan sektor lain atau mampu
menopang pertumbuhan sektor lainnya, di antaranya adalah: Pertanian (Pertanian dan Peternakan), Kehutanan dan lahan Gambut, Listrik, Gas dan Air Bersih, Transportasi dan Komunikasi. Sedangkan untuk Sektor Lainnya beberapa diantaranya memiliki nilai LQ < 1 dan nilai LQ > 1 memberikan kontribusi terhadap peningkatan gas
rumah kaca pada sektor lain, yaitu : Bidang Industri dan Pengelolaan Limbah sejalan dengan pertumbuhan penduduk, bangunan, aktivitas perdagangan, hotel, restoran, pasar, hunian, dan perkantoran.

6. Dalam mendukung Masterplan Percepatan Perencanaan Pembangunan Ekonomi Indonesia (MP3EI) Rencana Aksi Daerah Penurunan Emisi Gas Rumah Kaca Aceh menjadi salah satu komitmen Pemerintah Pusat dan Aceh untuk meningkatkan pertumbuhan ekonomi yang berbasis lingkungan, sehingga dalam kegiatan perencanaan pembangunan yang diimplementasikan dalam mekanisme penganggaran harus berbasis pada konsep lingkungan dengan memperhatikan upaya pembatasan, serta reduksi terhadap emisi gas rumah kaca;

6. Target capaian penurunan emisi yang tertuang didalam Rencana Aksi Daerah Penurunan Emisi Gas Rumah Kaca Aceh harus/wajib diinetgrasikan dengan Kebijakan Perencanaan Pembangunan Aceh yang dalam hal ini, meliputi Rencana Pembangunan Aceh (RPJMA), Rencana Strategis dan Rencana Kerja Satuan Kerja Perangkat Aceh, Rencana Tata Ruang Wilayah Aceh, Rencana Energi Aceh, Tataran Transportasi Wilayah / Lokal. serta Rencana/Kebijakan sektoral lainnya. []

read more