close

January 2014

Ragam

Pertanian Organik dari Sudut Magelang

Bagi tim National Geographic Indonesia dan Plant and Play libur akhir pekan di pengujung Maret menjadi istimewa. Tak sekadar menjelajah Magelang dan Yogyakarta, mereka pun semakin meresapi makna kegiatan “Plant and Play” yang telah digelar sejak awal tahun.

Di Desa Mangunsari, Kabupaten Magelang, misalnya. Tim mendapatkan pengetahuan mengenai pertanian organik yang telah dirintis oleh seorang petani di sana. Bila dihitung hingga saat ini, ia telah menjalankan pertanian yang berkelanjutan selama 17 tahun. Ketekunan itu telah menampakkan hasil positif—setidaknya bagi warga desa.

Namanya, Widagdo. Dialah yang mencetuskan kata “Tuton”‑yang digunakan untuk produk beras organik miliknya. Dia bilang, kata itu berasal dari “tutu” yang berarti proses menumbuk padi. Peralatan menumbuknya terdiri dari alu yang terbuat dari kayu yang berfungsi sebagai penumbuk dan lumpang yang terbuat dari batu yang berfungsi sebagai wadah gabah yang akan ditumbuk.

Padi organik milik Widagdo memang butuh masa panen yang lebih lama daripada padi non-organik. Selisihnya, dua puluh hari. Namun, ia tak pusing soal itu. Yang penting adalah hasil akhir: kualitas padi yang sangat baik.

Begitu panen tiba, hingga 1,5 tahun lalu, Widagdo mengaku masih menggunakan jasa mesin penggilingan padi. Dengan mesin, Widagdo biasanya akan mendapati penyusutan kuantitas dari satu kuintal menjadi sekitar 68 kilogram. Hal itu disebabkan selain karena terlepasnya sekam dari bulir padi, juga banyak bulir beras yang ikut hancur tergerus mesin.

Demi memecahkan masalah penyusutan, Widagdo berinisiatif. Kembali ke petani zaman dahulu: menumbuk padi. Cara usang ini telah dilakukan sejak tiga kali masa panen. Dan, terbukti mumpuni. Widagdo pun mendapati selisih sekitar empat kilogram lebih banyak daripada menggunakan mesin. Selain itu, ia tak perlu membayar sewa mesin penggiling seharga Rp300/kilogram gabah.

Widagdo pun memberdayakan masyarakat setempat untuk menumbuk padi. Para penumbuk biasanya diberi upah antara Rp1.500 sampai Rp2.000 per satu kilogram gabah. Tak hanya menumbuk, namun hingga pemilihan bulir-bulir padi yang baik hingga siap kemas. Teknik ini juga yang menginspirasi penamaan produk beras miliknya.

Meski awalnya gagasan beras organik tersebut bertujuan sebagai konsumsi pangan sehat mereka sendiri, namun dalam perjalanannya sering kali dimanfaatkan sebagai sumber pendapatan keluarga. Bahkan, misalnya, hasil penjualan satu kilogram beras organik digunakan untuk membeli tujuh kilogram raskin (beras bagi masyarakat berpenghasilan rendah).

Tidak ada tanda khusus yang membedakan beras organik dan non-organik, kecuali setelah dimasak kondisi nasi akan baik hingga mencapai empat hari. Karena itu, Widagdo menambahkan, bahwa modal utama pertanian organik adalah kejujuran. Sebab, apabila si petani nakal, bisa saja dalam proses bertani itu ia menambahkan urea.

Kini, selain untuk konsumsi pribadi, karena permintaan pasar yang tinggi terhadap beras organik, beras Tuton dipasarkan juga ke beberapa kota melalui Yayasan Kehati dan Lumbung Pangan Dunia (LPD). Beras organiknya dijual dengan harga mulai dari Rp15.000/kg dalam kemasan dua kilogram dan lima kilogram.

Widagdo berharap bahwa kelak akan ada pemodal untuk penggemukan sapi. Niat ini muncul ketika kebutuhan kotoran ternak sebagai elemen komposisi kompos cukup tinggi. Sedangkan untuk pangannya Widagdo akan mengandalkan penanaman rumput di pematang sawah.

Sumber: NGI

read more
Sains

Ini Cara Jernihkan Air Kotor tanpa Zat Kimia

Intensitas hujan di awal tahun ini memicu banjir di beberapa wilayah terutama di Jakarta. Kebutuhan air bersih makin meningkat. Menurut Tutor Mobil Hijau Solidaritas Istri Kabinet Indonesia Bersatu (SIKIB), Findryaningsih Fiona secara fisik air bersih haruslah jernih, tidak berwarna, tawar dan tidak berbau.

“Secara kimiawi kualitas air yang baik adalah bila memiliki keasaman (pH) netral serta tidak mengandung bahan berbahaya dan beracun. Air sebaiknya tidak mengandung bakteri penyebab penyakiy (patogen) dan bakteri nonpatogen,” kata Fidry, Selasa (28/1/2014).

Menurut Fidry ada cara sederhana untuk membuat air menjadi jernih tanpa kimia, “Ada caranya. Mudah kok cukup dengan media penyaring seperti pasir, arang batok dan lain-lainnya,” kata Fidry.

Berikut cara sederhana menjernihkan air :

Media Penyaring
1. Pasir
“Digunakan untuk menyaring padatan. Ukuran pasir yang digunakan biasanya 0,2 – 0,8 mm. Jika sudah keruh, pasir dibersihkan,” kata Fidry.

2. Arang Batok
“Berguna untuk mengurangi warna dan bau. Ukurannya berdiameter 0,1 mm atau berbentuk bubuk. Jika air yang disaring sudah tidak jernih lagi arang batok harus diganti,” ujarnya.

3. Penyaring Lainnya
“Antara lain adalah kerikil, ijuk dan batu. Kapur, tawas dan kaporit disebut sebagai penggumpal koagulan yang membantu menggumpalkan kimia pencemar menjadi endapan,” kata Fidry.

Menjernihkan air kotor tanpa zat kimia, begini caranya :

1. Lumpang Batu
Letakan lumpang batu di dasar sungai dangkal yang kokoh dan tidak beraliran keras. Air sungai akan tersaring karena pori-pori lumpang batu sangat kecil.

Untuk mencegah air sungai yang kotor masuk ke dalam air jernih di dalam lumpang perlu dibuat tutup lumpang. Menjernihkan air sungai dengan mudah buatlah lumpang batu dengan batu cadas yang dibentuk seperti mangkok.

2. Arang Batok
Bak penyaringan dibuat sesuai kebutuhan. Letakan pipa bambu yang kulit luarnya dikupas sehingga terlihat bagian dalamnya di dasar bak.

Masukan arang batok, ait kotit diharapkan tersaring pada pipa bambu dan atang batok sehingga keluarlah air bersih.

Cara ini memerlukan dua drum berukuran sama yang dilengkapi keran air. Tinggi keran air dari dasar drum kurang lebih 5 sampai 10 cm (harus lebih tinggi dari endapan lumpur yang akan timbul).

Drum pertama berfungsi sebagai bak pengendap dan drum kedua sebagai bak penyaring.

Sumber: liputan6

read more
Perubahan Iklim

Tak Punya ‘One Map’, Izin Lahan di Indonesia Tumpang Tindih

Secara karikatif dikatakan Indonesia memiliki sekitar 15 lembaga pemberi izin penggunaan lahan yang menggunakan peta yang berbeda-beda. Alhasil konsesi yang diberikan menjadi tumpang tindih. Hal ini dikatakan oleh mantan penyusun strategi Nasional REDD+, DR. Mubariq Ahmad dalam Lokakarya Meliput Perubahan Iklim, di Banda Aceh, Selasa (28/1/2014).

Mubariq Ahmad memberi contoh apa yang terjadi Kabupaten Morowali, di Propinsi Sulawesi Tengah. Pemerintah Kabupaten Morowali memberikan konsesi tambang nikel yang luasnya melebihi luas kabupatennya. “ Jadi satu peta saja sudah di abuse  oleh mereka,” ujar Mubariq.

Kewajiban penggunaan satu peta (one map) yang sama sebagai acuan dalam pemberian izin pemakaian lahan tidak ada di Indonesia. One map masih dalam pengerjaan, belum selesai dibuat pemerintah dan sistem baru penggunaan lahan pun belum ada. “ Makanya moratorium (izin lahan-red) diperpanjang selama dua tahun,” kata Mubariq.

Selain tanpa one map, tidak ada kewajiban cross check ke lapangan bagi lembaga pemberi izin lahan. Tak pelak lagi akhirnya terjadi tumpang tindih lahan di lapangan. Mubariq secara karikatif mengansumsikan mulai dari tingkat kabupaten hingga pemerintah pusat ada 15 lembaga pemberi izin. “ Kita asumsikan saja mulai dari kabupaten ada lima lembaga berbeda yang mengeluarkan izin untuk tiap sektor, kemudian hal sama di tingkat propinsi dan seterusnya hingga pemerintah pusat,” jelas Mubariq.

Ketika ditanyakan kenapa tidak memakai peta yang dikeluarkan oleh lembaga resmi seperti Badan Informasi Geospasial (dulu Bakorsutanal-red), Mubariq menjawab bahwa konsolidasi informasi pada satu lembaga susah. “ Ada kepentingan ekonomi yang terganggu. Ini the most extreme case. Informasi is power, power is money,” katanya.

Prioritas REDD+

Mubariq juga menyampaikan bahwa Propinsi Aceh bersama Kalimantan Tengah dan Kalimantan Timur mendapat prioritas dalam pelaksanaan REDD+. Yang dimaksud prioritas disini adalah dukungan implementasi REDD+ dari pemerintah pusat melalui dukungan pendanaan secara konkrit.

“ Kaltim paling siap secara teknis, Aceh diharapkan menjadi pelopor dalam REDD+,” kata Mubariq.
Dukungan pendanaan untuk implementasi secara programatik melalui program penataan perizinan dan percepatan pengukuhan kawasan hutan. Kesiapan dan proaktif dari daerah prioritas sangat diharapkan.

Mubariq mengatakan, bekas Kepala BRR Aceh-Nias yang kini menjadi Ketua UKP4, Kuntoro punya perhatian khusus pada Aceh. Aceh sendiri merupakan propinsi “Darling donor”. Peluang ini bisa dimanfaatkan untuk perbaikan tata kelola hutan.

Saat ini telah dibentuk Badan Pelaksana REDD+ yang setingkat menteri, dikepalai oleh Heru Prasetyo. Ia juga merupakan salah seorang staf Kuntoro di BRR Aceh-Nias.

read more
Flora Fauna

Polisi Aceh Tenggara Sita Gading Gajah dari Warga

Petugas Polres Aceh Tenggara, Aceh, menyita sepasang gading gajah berukuran 80 sentimeter dari warga Desa Bubun Alas, Kecamatan Leuser. Gading itu diambil oleh warga dari bangkai gajah yang mati akibat sengatan ranjau listrik di kebun jagung milik mereka.

Kapolres Aceh Tenggara, AKBP Trisno Riyanto, mengatakan, berdasarkan penyelidikan bersama petugas Balai Konservasi Sumber Daya Alam, sepasang gading tersebut bukan hasil perburuan.

“Kejadian ini bukan karena adanya perburuan, melainkan ketidaksengajaan. Gajah terperangkap di ladang warga,” ujar Kapolres Aceh Tenggara, AKBP Trisno Riyanto di Aceh Tenggara, Kamis (30/1/2014).

Warga memasang ranjau listrik di perkebunan karena kawanan babi hutan sering merusak tanaman. Mereka tak menyangka seekor gajah masuk ke wilayah pemukiman warga. Setelah mengambil gadingnya,  bangkai gajah  langsung dikubur di sekitar lokasi kejadian.

“Warga memotong gading karena khawatir disalahgunakan oleh oknum tertentu. Mereka kemudian melaporkan kejadian ke kantor polisi,” terangnya.

Sumber: TGJ/okezone

read more
Hutan

Hutan Asia Tenggara Dirambah Sejak Ribuan Tahun Lalu

Manusia sudah merambah dan memanfaatkan hutan hujan perawan di kawasan Asia Tenggara sejak ribuan tahun lalu, demikian menurut hasil studi yang dipublikasikan di Journal of Archaeological Science.

Menurut hasil studi, hutan yang sekarang berada di wilayah Borneo, Sumatera, Jawa, Thailand dan Vietnam sudah mulai dibakar dan dimanfaatkan untuk mengembangkan tanaman pangan sejak 11.000 tahun lalu, segera setelah masa es berakhir.

“Sejak lama hutan di Timur Jauh dipercaya sebagai belantara perawan, tempat manusia punya pengaruh minimal. Kendati demikian, temuan kami mengindikasikan adanya sejarah gangguan vegetasi,” kata Chris Hunt, ahli paleoekologi dari Queen’s University of Belfast di Irlandia yang melakukan studi tersebut.

Dalam Journal of Archaeological Science edisi bulan lalu, Hunt dan koleganya menjelaskan bahwa perubahan-perubahan vegetasi itu tidak bersamaan dengan periode perubahan iklim yang diketahui, tapi lebih “terjadi akibat kegiatan manusia.”

Para peneliti menjelaskan, manusia kuno yang mendiami Asia Tenggara tidak benar-benar mengganti hutan tropis dengan barisan tanaman pangan dan kandang-kandang ternak, kegiatan-kegiatan yang biasanya berhubungan dengan awal pertanian, setidaknya dalam pandangan Eurosentris.

Sebaliknya, penduduk kawasan itu mengembangkan sistem bernuansa subsisten bersama kegiatan berburu dan mengumpulkan tradisional sebelum budidaya padi dan pertanian tanaman lain meluas, kata para peneliti.

Manusia, misalnya, tampaknya membakar hutan di Dataran Tinggi Kelabit Borneo untuk membersihkan lahan supaya bisa menanam tanaman pangan.

“Sampel serbuk sari dari sekitar 6.500 tahun lalu mengandung arang melimpah, menunjukkan adanya kebakaran,” kata Hunt seperti dilansir laman LiveScience.

Menurut para peneliti, kebakaran yang terjadi secara alamiah atau disengaja biasanya diikuti oleh gulma spesifik dan pohon-pohon yang berkembang di lahan hangus.

“Kami menemukan bukti bahwa kebakaran yang seperti ini diikuti dengan pertumbuhan pohon-pohon buah. Ini menunjukkan bahwa orang yang tinggal di lahan itu sengaja membersihkan vegetasi hutan dan menanam sumber makanan di tempatnya.”

Hunt juga menunjuk bukti bahwa pohon sagu New Guinea pertama muncul lebih dari 10.000 tahun lalu di sepanjang garis pantai Pulau Borneo.

“Ini tentunya melibatkan perjalanan lebih dari 2.200 kilometer dari asalnya di New Guinea, dan kedatangannya di pulau konsisten dengan pelayaran maritim lain di kawasan pada waktu itu–bukti bahwa orang mengimpor bibit sagu dan menanamnya,” kata Hunt.

Sumber: antaranews

read more
Ragam

Enam Perusahaan Aceh Jual Konsesi Tambang ke Asing

Gerakan Anti Korupsi (GeRAK) Aceh mengindikasikan enam perusahaan tambang yang beroperasi di Kabupaten Aceh Selatan, Provinsi Aceh, telah menjual konsesi kepada perusahaan asing asal Australia sejak 2008 sampai 2011.

“Dan sampai hari ini, persoalan penjualan konsesi pertambangan perusahaan ini masih ditelaah di Kementerian ESDM. Indikasi sementara kerugian sudah mencapai lebih Rp20 miliar,” kata Koordinator GeRAK Aceh Asqalani di Meulaboh, Rabu (29/1/2014).

Ia menjelaskan, enam perusahaan itu mengantongi izin Kuasa Pertambangan (KP) emas dan Izin Usaha Pertambangan (IUP) yang diperoleh sejak 2006 hingga 2011 dari pemerintah daerah. akan tetapi, perizinan itu tidak pergunakan dan kemudian dijual ke perusahaan asing.

Perusahaan pembeli asal Australia tersebut bernama Prosperiti Resources, sedangkan enam perusahaan di Aceh Selatan, yakni PT Bintang Agung Mining, PT Multi Mineral Utama, PT Mulia Kencana Makmur, PT Aneka Mining Nasional, PT Aspirasi Widya Chandra dan PT Arus Tirta Power.

Asqalani menjelaskan, dari total enam perusahaan tersebut diperkirakan lebih 40 ribu hektare konsesi pertambangan emas sudah dijual ke pengusaha asing dengan transaksi ilegal senilai Rp1,5 miliar diberikan sebagai modal dasar.

Kata dia, enam perusahaan tambang emas di Aceh Selatan tersebut hanya sebagai sub dan ada satu perusahaan induk berada di luar yang menampung produksi penjualan serta mencari donor tanpa diketahui pihak pemerintah daerah.

“Mereka melakukan transaksi ilegal dengan donor dan dengan dana Rp1,5 miliar per perusahaan. Dana ini digunakan untuk membangun perusahaan dan mendapat izin lain yang belum didapatkan di daerah,” katanya.

Lebih lanjut dikatakan, ke enam perusahaan tersebut hanya membayarkan pajak pada tahun pertama dan kedua (2006-2008) sebagai kedok bersih. Dari sisi lain, tidak diketahui pasti apakah donasi ke enam perusahaan tersebut sampai ke pihak lain di pemerintah pusat.

Hasil investigasi GeRAK, kata Asqalani, kesalahan awal munculnya peluang tersebut adalah kebijakan yang keliru kepala daerah Aceh Selatan periode 2007-2012. Hal ini terjadi karena terjadi konflik kepentingan pribadi dan pemerintah dalam proses pemberian izin KP.

“Hal ini juga kami sudah menyiapkan laporan tertulis. Sebab, menurut kami persoalan Bupati Aceh Selatan ini ada kasus lain yang harus diselesaikan di PN Tipikor dan ditindaklanjuti KPK,”kata Asqalani.(Ant)

Sumber: metrotvnews

read more
Ragam

Peternakan Jerman Ini Meledak Karena Kentut Sapi

Gara-gara kentut dan sendawa sapi perah, sebuah peternakan di Hesse, Jerman meledak. Ledakan itu membuat atap kandang sapi rusak dan melukai 1 sapi lain.

Kentut dan sendawa sapi menghasilkan gas methane atau metana. “Gesekan listrik dengan gas tersebut memicu ledakan dan percikan api,” demikian pernyataan kepolisian setempat seperti dilansir dari Huffington Post dan dimuat Liputan6.com, Rabu (29/1/2014).

Atap peternakan itu rusak, lanjut polisi, sementara satu sapi menjalani perawatan akibat luka bakar. Namun tak ada orang yang terluka dalam insiden tersebut.

Menurut media tersebut, gas methane yang dihasilkan kentut dan sendawa 90 sapi diduga biang keladi penyebab peternakan sapi perah Jerman itu meledak. Meski belum diketahui berapa pasti kuantitasnya.

Hasil gas metana yang dihasilkan oleh sapi perah itu bervariasi. Beberapa ahli mengatakan sapi-sapi itu menghasilkan 100 hingga 200 liter gas methane per hari, sementara yang lain mengklaim sapi-sapi itu bisa menghasilkan 500 liter. Jumlah yang sebanding dengan polusi dari mobil dalam satu hari. Demikian dinyatakan oleh How Stuff Works.

Tahun lalu, ilmuwan Argentina mengumumkan bahwa mereka telah menemukan cara untuk mengubah gas yang diciptakan dari hasil gas pembuangan sapi menjadi bahan bakar. Mereka mengklaim inovasi itu bisa mengurangi gas rumah kaca yang menyebabkan pemanasan global. Namun hingga kini belum terdengar kabar kelanjutan penelitian tersebut.

Dilansir dari berbagai sumber, methane adalah hidrokarbon paling sederhana yang berbentuk gas dengan rumus kimia CH4. Gas yang murni tidak berbau, tapi jika digunakan untuk keperluan komersial, biasanya ditambahkan sedikit bau belerang untuk mendeteksi kebocoran yang mungkin terjadi.

Methane juga termasuk salah satu gas rumah kaca. Gas tersebut merupakan insulator yang efektif, mampu menangkap panas 20 kali lebih banyak bila dibandingkan karbondioksida. Methane dilepaskan selama produksi dan transportasi batu bara, gas alam, dan minyak bumi.

Methane juga dihasilkan dari pembusukan limbah organik di tempat pembuangan sampah (landfill), bahkan dapat keluarkan oleh hewan-hewan tertentu, terutama sapi, sebagai produk samping dari pencernaan. []

Sumber: liputan6

read more
Energi

LIPI Kembangkan Biomasa non-Pati Pengganti BBM

Salah satu hal yang selalu menjadi polemik ketika harganya naik atau saat langka di pasaran adalah Bahan Bakar Minyak (BBM). Untuk itu, Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) terus berupaya mencari penggantinya.

Salah satu upaya yang kini tengah dilakukan adalah mengembangkan biomasa sebagai energi yang dapat terbarukan. Merujuk tulisan di Wikipedia, Biomasa adalah sumber energi yang berasal dari bahan organik dan dapat diolah serta dikonversikan menjadi bahan bakar.

Biomasa meliputi banyak hal seperti materi tumbuhan yang telah mati, limbah terbiodegrasi dan banyak lagi.

Dalam hal ini, pihak LIPI mencoba mengembangkan biomasa non-pati atau dapat diartikan sebagai bahan organik yang mengandung lignoselulosa, seperti contohnya jerami padi, klobot, jagung, sekam padi, ilalang kering, kulit pisang, kulit nanas, serat kayu dan lain sebagainya.

“Penelitian terkait pemanfaatan biomasa non-pati terutama sellulsa sedang dikembangkan oleh peneliti LIPI saat ini,” ujar Kepala Pusat Bioteknologi LIPI, Dr Ir Witjaksono, M.Sc dalam acara “Kick off Meeting of JST-JICA-SATREPS Biorefinery” dengan tajuk Innovative Bio-Production Indonesia (Ibiol): Integrated Bio-Refinery Strategy to Promote Biomass Utilization using Super-micorbes for Fuels and Chemicals Production, seperti yang dikutip dari Antara (21/01/2014).

Witjaksono menjelaskan, pemanfaatan biomasa turunan dari industri kelapa sawit menjadi salah satu fokus kegiatan LIPI.

“Kami telah mengembangkan penelitian pemanfaatan biomasa tersebut untuk produk pangan fungsional, biothanol (pengganti BBM) dan produk lainnya,” ujarnya.

Menurut Witjaksono, selama ini, harga bioethanol berbasis biomasa non-pati masih tidak ekonomis yang disebabkan oleh teknologi yang belum tepat. Dengan penerapan teknologi proses yang memperhatikan tiga aspek tersebut di atas, harga bioethanol diharapkan bisa menjadi lebih ekonomis atau terjangkau oleh masyarakat.

“Teknologi adalah kunci agar proses menjadi enzim yang dibutuhkan secara efisien dengan menggunakan isolat lokal, dan breeding mikroba untuk menghasilkan mikroba yang cocok untuk fermentasi,” ujarnya.[]
Sumber: merdeka.com

read more
1 2 3 12
Page 1 of 12