close

10/01/2014

Kebijakan Lingkungan

Yusril Ihza Mahendra : Banyak Multi Tafsir Terkait UU Minerba

Pakar Hukum Tata Negara Yusril Ihza Mahendra mengatakan sudah menyampaikan masukannya terkait larangan ekspor raw material (bahan mentah) dalam Undang-Undang Mineral dan Batubara (UU Minerba) dan peraturan pelaksanaannya. Masukan tersebut disampaikan dalam bentuk surat kepada Presiden Republik Indonesia dengan tembusan Menko Perekonomian dan menteri-menteri terkait pada tanggal 7 Januari lalu. Hal itu ditegaskan Yusril Ihza Mahendra dalam akun twitternya @Yusrilihza_Mhd, Jumat (10/1).

“Terkait masukan tersebut, Mensesneg Sudi Silalahi dan Menteri ESDM Jero Wacik menyampaikan ucapan terima kasih. Masukan tersebut akan dijadikan acuan Pemerintah dalam merumuskan kebijakan dan mengubah Peraturan Pemerintah (PP) dan Peraturan Menteri (Permen) ESDM terkait UU Minerba,” ucap mantan Menteri Hukum dan Perundang-undangan era Presiden Abdurrahman Wahid (Gus Dur) tersebut.

Masukan yang disampaikan tersebut merupakan jalan tengah yang berisi solusi untuk mengatasi masalah larangan ekspor raw material yang akan dimulai pada tanggal 12 Januari mendatang. Solusi ini dimulai dari memberikan tafsir atas istilah “pengolahan dan pemurnian” dalam UU Minerba yang selama ini tidak jelas apa maknanya.

“Pengolahan ditafsirkan sebagai pengolahan dari raw material untk menghasilkan konsentrat. Sedangkan pemurnian ditafsirkan sebagai pengolahan dari konsentrat menjadi solid metal atau logam mineral terentu,” tulisnya dalam twit berikutnya.

Mantan Menteri Sekretaris Negara ini menegaskan, amanat UU Minerba PP 23 Tahun 2010 yang mewajibkan agar dilakukan pengolahan dan pemurnian dalam negeri 5 tahun sejak berlakunya UU tersebut harus ditaati. Begitu juga dengan ketentuan Permen ESDM yg tegas melarang ekspor raw material terhitung tgl 12 Januari dipatuhi.

Yusril Ihza Mahendra menyarankan tidak perlu mengubah pasal 103, 169 dan 170 UU Minerba. Perubahan cukup pada PP 23 Tahun 2010 dan Permen ESDM. Perubahan itu khususnya terkait dengan ketentuan Pasal 112 angka 4 huruf c PP 23 Tahun 2010. Dengan perubahan ini, maka ekspor raw material tetap dilarang, namun ekspor hasil pengolahan dalam bentuk konsentrat diperbolehkan.

Diperbolehkannya  ekspor konsentrat antara pemegang Kontrak Karya dengan Pemegang IUP OP harus berbeda karena starting point mereka berbeda. Bagi pemegang KK, izin ekspor konsentrat diberikan jika mereka telah melakukan pemurnian sebagian produk konsentratnya di dlm negeri. Sedangkan bagi pemegang IUP OP dengan syarat telah melakukan pemurnian sebagian konsentrat di dalam negeri tidak berlaku.

“Dengan demikian Pemerintah bersikap adil dan proporsional terhadap pemegang KK yang umumnya asing dengan pemegang IUP OP. Bersamaan dengan terbitnya PP Perubahan PP 23 Tahun 2010, diterbitkan juga Permen ESDM yang merumuskan dengan jelas batas pengolahan dan pemurnian,” tambah Yusril Ihza Mahendra.

Yusril beralasan, sebab karakteristik setiap mineral berbeda. Kadar pengolahan konsentrat juga berbeda, timah misalnya OC 72 dan pasir besi OC 51. Disamping itu ada juga mineral tertentu yang tidak mengalami pengolahan untuk hasilkan konsentrat, tapi langsung dimurnikan seperti bauksit.

Untuk mineral seperti bauksit, lanjut Yusril, juga harus ada treatment tersendiri dalam Permen ESDM agar segala sesuatunya menjadi jelas dan tidak rancu. Dia menyarankan kepada Menteri ESDM Jero Wacik pagi ini sebaiknya sore atau malam nanti Perubahan PP dan Permen ESDM sudah ditandatangani.

“Dengan demikian baik Pemerintah, maupun pengusaha dan buruh tambang merasa lega dengan keputusan jalan tengah ini. Harapan banyak pihak agar jangan lagi ada ekspor raw material mulai tgl 12 Januari tetap terlaksana,” ujar Pria kelahiran Belitung Timur tersebut.

Namun, dengan dibolehkannya ekspor konsentrat tersebut, maka kegiatan penambangan bisa berjalan terus serta buruh tidak dirumahkan atau di PHK. “Namun bolehnya ekspor konsentrat tersebut hanya berlaku 3 tahun. Mulai 12 Januari 2017, semua ekspor sudah hasil pemurnian,” tegasnya.

Dia juga menyarankan kepada Pemerintah harus membuka jalan dan peluang agar pembangunan pengolahan dan pemurnian dalam negeri berjalan seperti rencana. Harus ada roadmap pertambangan yang sungguh-sungguh sambil membenahi administrasi dan birokrasi pengelolaan tambang sampai industri tambang. “Dan, itu tugas Pemerintah sekarang dan yang akan datang,” tutup Yusril Ihza Mahendra.[]

read more
Kebijakan Lingkungan

Gubernur Aceh akan Berlakukan Moratorium Tambang

Gubernur Aceh Zaini Abdullah mengatakan akan memberlakukan moratorium pertambangan terutama bidang galian emas dan bijih besi yang merupakan komitmen pemerintah menjaga kelestarian lingkungan hidup.

“Untuk sementara kita akan melakukan moratorium tambang emas dan bijih besi,” kata gubernur seusai pertemuan dengan Dubes China untuk Indonesia Liu Jianchao di Banda Aceh, Kamis (9/1/2014).

Dubes China di Jakarta berkunjung ke Aceh untuk menjajaki informasi peluang investasi yang memungkinkan dilakukan para investor di negeri “tirai bambu” itu.

Zaini Abdullah mengatakan komitmen pemerintah menjaga lingkungan hidup dengan memberlakukan moratorium tambang bijih besi dan emas tersebut bertujuan agar bisa dimanfaatkan oleh generasi Aceh dimasa mendatang.

“Kita akan menyekolahkan anak-anak ke luar negeri untuk mendapatkan pendidikan yang baik dengan harapan ke depan mereka dapat mengolah hasil alam dengan baik saat kembali ke Aceh,” kata gubernur menambahkan.

Terkait dengan pertambangan emas yang dilakukan masyarakat, Zaini juga mengatakan prihatin disebabkan warga tidak melihat dampak negatif dari aksi itu seperti penggunaan bahan kimia berbahaya yakni merkuri.

“Kita juga akan meninjau dan mengatur kembali masalah itu, sebab masyarakat juga harus memahami dampak kerusakan lingkungan akibat menggunakan merkuri di penambangan emas tradisional,” kata dia menambahakan.

Saat ini, katanya Pemerintah Aceh sangat fokus melayani investor bidang pertanian, perikanan, peternakan, perkebunan serta geothermal (energi panas bumi) yang sangat kaya di antaranya terdapat di Seulawah, Aceh Besar, dan Aceh Tengah.

“Untuk membuktikan bahwa Aceh masih berpotensi di sektor-sektor tersebut maka sebaiknya saya berharap Dubes tinggal beberapa hari di Aceh, berkunjung ke Sabang, Aceh Tengah dan daerah lainnya untuk melihat investasi yang cocok untuk Aceh,” kata gubernur mengajak Dubes China itu.

Apalagi, Zaini menjelaskan keadaan di Aceh kini sangat kondusif bagi para investor untuk berinvestasi. Semua pihak di Aceh telah berkomitmen untuk merawat perdamaian itu dan bersama-sama membangun daerah dengan baik.

sumber: republika.co.id

read more
Ragam

Menguak Tabir “Aceh sebagai Kota Bencana”

Siapapun dari kita, tentunya tidak akan sepakat bila dikatakan daerah tempat kita sebagai kota bencana, apalagi untuk Provinsi Aceh – tempat menetap saya. Tetapi, setiap orang memiliki hak untuk mengungkapkan apapun pendapatnya dan kita harus menghargai itu. Tentunya, pendapat tersebut harus mampu dipertanggung jawabkan dari berbagai sisi.

Sebagai orang Aceh, saya tidak serta merta menerima “label” itu diberikan untuk provinsi yang terletak di ujung sumatera ini, meskipun wilayah ini kerap dilanda bencana. Namun, saya terkejut ketika membaca sebuah tulisan yang dituliskan oleh Wiliam Marsden  beberapa tahun lalu dalam bukunya ”Sejarah Sumatera”, yang isinya adalah pulau ini pernah terjadi bencana berupa kebakaran hutan tetapi  bukan karena dibakar oleh manusia melainkan lava yang dikeluarkan oleh gunung berapi sehingga menyebabkan hutan terbakar. Hal serupa terjadi di tahun 1770, kala itu bencana gempa dengan gempa besar telah membuat masyakarat di sebuah kampung banyak yang  meninggal.

Beberapa hari setelah itu, kemudian saya juga menemukan tulisan lain yang dituliskan oleh Djulianto Susantio yang dikutip dari buku Denys Lombard “Kerajaan Aceh”.  Dia mengatakan sekurangnya setiap tahun Aceh pernah dilanda oleh gempa sebanyak tiga hingga empat kali,  Sejumlah dokumen sejarah dari abad  XVI hingga XVIII berulang kali menyebutkan Aceh (bersama Nias) sebagai ”Kota Bencana”.  air laut pasang, dan gempa bumi silih-berganti melanda Aceh. Akibatnya, para pedagang dan pengelana asing menjuluki Aceh sebagai ”kota mati” atau ”kota menyeramkan”.

Pernyataan ini menggambarkan bahwa, negeri Aceh dari dulu sampai sekarang memang sudah menjadi langganan bencana. Terlepas percaya atau tidak!, yang pastinya jika dilihat dari  berbagai studi literatur sejarah tempo dulu menyebutkan bencana sering terjadi.

Melihat dari  dua referensi itu, saya sebagai bekas orang menutut ilmu mulai percaya bahwa, negeri kita (Aceh) adalah daerah langganan bencana. Di sini saya juga ingin menambahkan, selain dua bencana tersebut, longsor dan banjir merupakan ancaman yang paling serius untuk kita. Bahkan, kedua bencana ini adalah langganan tahunan untuk kita. Dari beberapa hal yang saya kemukakan di atas, bagaimana dengan Anda!

Terlepas dari kata sepakat atau tidak, sebagai generasi muda yang memiliki secuil ilmu kita dituntut untuk bertanggung jawab. Tanggung hawab yang saya maksudkan disini bukan kita sebagai pelaku, tetapi bagaimana mencari solusi untuk menghentikan persoalan ini. ini Meskipun pada umumnya masyarakat sudah mengetahui penyebab dan dampak dari bencana ini, tapi saya juga mencoba menulisnya agar ini bisa menjadi pembelajaran bagi saya sendiri maupun untuk yang lainnya. Menurut kami, ada dua solusi yang bisa dilakukan yaitu, melalui sisi kebencanaan dan melalui dampak dari bencana.

Sekarang saya mencoba membahas satu-satu solusi ini, pada sisi pertama adalah kebencanaan. Pada faktor ini kita harus melihat, kenapa itu bisa terjadi!. Tentunya, ini pasti ada sebab. Ketika berbicara sebab, kita harus melihat duduk permasalahan dengan benar, sehingga hasil yang didapatakan juga baik. Dari beberapa koran dan wawancara yang saya lakukan dengan sejumlah mayarakat menyimpulkan, bahwa bencana itu bencana terjadi akibat ulah tangan jahil manusia itu sendiri.

Jika dilihat dari jenis bencananya, sejak tahun 1990-han, bencana yang kerap terjadi di Aceh adalah jenis banjir, gagal panen, longsor dan konflik manusia dengan marga satwa. Hampir semua tempat yang pernah dilanda bencana ini disebabkan oleh akibat maraknya illegal loging (penebangan illegal). Dari catatan kami, dalam beberapa tahun terakhir bencana seperti ini terjadi hingga puluhan kali.

Sedangkan untuk sisi kedua adalah dampak bencana. Kalau berbicara ini, tentunya saya melihat pada jumlah korban jiwa dan harta yang berjatuhan. Bayangkan saja, sekecil apapun bencana itu terjadi, pasti ada korban jiwa dan harta.

Korban jiwa ini bukan berarti harus ada yang meninggal ataupun luka-luka, trauma yang timbulkan dari setiap bencana terjadi merupakan salah satu kategori yang masuk dalam jenis korban jiwa.  Begitu juga dengan korban harta itu, dampak yang dihasilakan dari bencana itu adalah terjadinya  kerusakan-kerusakan pada bangunan-bangunan, seperti rumah-rumah warga, fasilitas umum, infrastruktur dan tanaman.

Solusi

Mari kita simak Firman Allah SWT dalam AL Quran, surat Ar Rum ayat 41 yang  artinya;

Telah nampak kerusakan di darat dan di laut disebabkan karena perbuatan tangan manusia, supaya Allah merasakan kepada mereka sebahagian dari (akibat) perbuatan mereka, agar mereka kembali (ke jalan yang benar)”.

Harusnya, sebagai orang Aceh dan beragama islam, firman ini adalah peringatan keras bagi kita untuk menjaga lingkungan secara baik bukan malah merusaknya. Jika lingkungan lestari, kita akan nyama, tenang, dan tentram dalam melakukan berbagai aktivitas, ancaman bencana tidak terjadi,  bukan sebalikanya.

Umumnya, kita mengalami penyesalan yang sangat luar biasa ketika bencana itu melanda, tetapi hal itu tidak bertahan lama. Bahkan, ketika masa-masa darurat (penyesalan) itu hilang masyarakat kita kembali melakukan perusakan lagi.

Bencana tidak akan terjadi jika kita mampu bersahabat dengan alam. Misalnya dengan menjaga lingkungan seperti melestarikan lingkungan dengan  melakukan penghijauan kembali.

Sebab, pelestarian lingkungan hidup adalah rangkaian upaya untuk melindungi kemampuan lingkungan hidup terhadap tekanan perubahan dan dampak negatif yang ditimbulkan oleh suatu kegiatan agar tetap mampu mendukung kehidupan manusia dan makhluk hidup lainnya. Karena itu, menjaga lingkungan merupakan bagian yang harus menjadi priority demi menjaga keselamatan.

Disamping itu, agar Aceh tidak lagi dikatakan kota bencana, maka  solusi lain adalah bagaimana pemerintah menjalankan atuaran-aturan secara baik dan tegas, masyarakatpun bisa menerima dengan ikhlas.  Semoga paradigma  Aceh dijuluki sebagai “Kota Bencana” tidak terjadi lagi.    (teuku multazam)

 

read more