close

12/01/2014

Kebijakan Lingkungan

Ghana Sebagai Tempat Sampah Elektronik Dunia

Asap hitam beracun membuat langit di atas Agbogbloshie terlihat kelam. Tujuan terakhir sampah elektronik yang dikirim dari seluruh dunia. Sekitar 50.000 orang, termasuk anak-anak, tinggal di pinggiran kota Accra ini – di salah satu tempat pembuangan sampah elektronik terbesar di dunia.

Berton-ton alat elektronik kuno dibakar di alam terbuka, menyebabkan kulit siapapun yang melintas terasa terbakar dan gatal. Bahkan ada rasa seperti logam dalam mulut, dan kepala berdenyut-denyut.

Kabel dan papan sirkuit dibakar demi mendapatkan emasnya orang miskin: tembaga, aluminium, timbal – bahan mentah yang berharga bagi industri.

Mengorbankan kesehatan
Badugu berusia 25 tahun. Ia tidak tahu sudah berapa lama mengumpulkan gulungan tembaga dan pelat logam dari radio-radio tua. Ia hanya tahu dirinya tak punya pilihan – ini caranya bertahan hidup.

“Saya butuh uang, itulah kenapa saya kerja seperti ini,” katanya. Ia menjelaskan, tubuhnya “bermasalah di bagian dalam” karena menghirup asap beracun.

Tak jauh dari Badugu, sekelompok anak-anak sibuk memereteli televisi-televisi tua. Mereka kemudian menjual hasil memulung kepada pedagang logam. Pemasukan mereka hanya beberapa sen Euro.

Memakai sendal plastik dan kaos compang-camping, Peter berdiri di atas pecahan kaca, kulkas tua, mesin fotokopi dan aki mobil yang menggunung. Kaki dan tangannya penuh luka akibat pecahan kaca dan potongan logam yang tajam.

“Kepala saya sakit,” ucapnya, menjelaskan pusingnya yang tak pernah hilang. Banyak anak-anak juga punya masalah pernafasan, dan batuk darah, kata Peter, yang punya masalah mata.

Sampah elektronik dari Eropa
Anak-anak yang tinggal dan bekerja di sini punya beragam penyakit – mulai dari penyakit ginjal, kerusakan hati, hingga masalah organ tubuh lainnya.

Aktivis lingkungan Ghana, Mike Anane, menilai penyakit pada anak-anak “akibat terpapar sampah elektronik dari negara-negara maju.”

Anane bertahun-tahun mengumpulkan bukti bagaimana negara-negara barat membuang sampah elektronik di Afrika. “Dari Jerman, Denmark, Cina – komputer, televisi, sampah elektronik. Ini menjadi tempat peristirahatan terakhir!” serunya. Sampah elektronik merusak lingkungan – dan membuat orang sakit, lanjutnya.

“Dulu sampah elektronik juga dibuang di Nigeria. Sampah elektronik tampaknya pergi ke negara yang ekonominya sedang booming, yang perdagangannya sedang meningkat,” ucap Anane. Sampah elektronik datang bersama perdagangan internasional Ghana. “Sangat mudah bagi organisasi kriminal untuk terlibat dalam aktivitas seperti ini, menyelundupkan kontainer melewati pelabuhan Ghana,” tudingnya.

Konvensi Basel, yang ditandatangani 170 negara, melarang ekspor sampah teknologi dari Eropa. Tetap saja, sekitar 500 kontainer berisi alat elektronik tua mendarat di Agbogbloshie setiap bulan. Mereka dinyatakan sebagai barang bekas, sehingga dianggap legal. Sejumlah eksportir bahkan percaya mereka membantu warga Afrika, ujar Anane.

“Tapi jelas tidak mungkin Ghana dapat mendaur ulang secara benar semua sampah elektronik beracun ini,” tegasnya.

Menjajakan alat elektronik tua
Di permukiman sekitar tempat pembuangan sampah, toko-toko berjamuran untuk menjual alat elektronik. Rockson menjual segalanya: onderdil AC tua, aki mobil, microwave. Yang paling laku terjual adalah televisi layar datar, ungkapnya, harganya 200 cedi – sekitar 100 Euro. Kebanyakan dagangannya datang dari Italia.

“Bisnis yang bagus – kami punya banyak konsumen,” tutur Rockson. Orang Ghana percaya pada merek-merek asli, bukan tiruan Cina yang lebih murah, tambahnya.

Ada juga barang-barang dari Jerman. “Ya kualitasnya sangat sangat bagus, konsumen saya suka,” ujarnya.

Rockson mengaku tidak semua dagangannya masih berfungsi baik. “Kami membeli grosir, dan tidak kami tes dulu,” katanya. Banyak dagangannya yang sudah berusia 10-20 tahun.

Tidak lagi ‘meniru burung unta’
Anane ingin negara-negara Eropa untuk berhenti membuang sampah elektronik di Afrika dan mengatasi masalah yang mereka perbuat.

“Negara-negara industri, Uni Eropa, tidak bisa terus-terusan membenamkan kepala di dalam tanah,” kata Anane. Mereka tahu sampah elektronik dikirim ke sini, dan mereka harus berbuat sesuatu, pikirnya.[]

Sumber: dw.de

read more
Flora Fauna

China Musnahkan 6,2 Ton Gading Gajah

Dalam sebuah upacara di Dongguan pekan lalu, pemerintah China memusnahkan 6,2 ton gading gajah dan perhiasan berbahan gading gajah. Gading-gading tersebut diperkirakan milik sekitar 700 ekor gajah yang dibantai pemburu.

Meski terlihat banyak, namun ini tidak seberapa dibandingkan dengan sekitar 22 ribu ekor gajah yang mati dibunuh per tahunnya di Afrika. Dan lebih dari separuhnya berakhir di pasaran China.

Langkah pembumihangusan gading sitaan merupakan tanggapan pemerintah China terhadap desakan dunia internasional pada mereka untuk memberantas perdagangan ilegal.

Menurut Tom Milliken, perwakilan dari TRAFFIC International, lembaga pemantau jaringan perdagangan tanaman atau satwa liar, tahun lalu 8 penyelundup asal China telah ditangkap. Dan pemusnahan gading gajah pekan ini mendapatkan sorotan besar dari masyarakat negeri itu.

“Gading gajah yang dihancurkan termasuk di antaranya adalah pahatan dan ornamen khas China, rosari Buddha, dan bola-bola Canton,” kata Milliken. “Langkah ini akan memberi dampak besar pada negeri yang pemerintahnya tengah membentuk opini publik,” sebutnya.

Dan langkah ini dianggap penting. China memiliki permintaan yang sangat besar terhadap produk-produk ukuran berbasis gading, karena merupakan simbol kemewahan yang tengah populer di kalangan kelas menengah. Akhirnya, perburuan gajah Afrika kini mencapai angka tertinggi dalam 20 tahun terakhir.

Menurut TRAFFIC, populasi gajah Afrika sendiri saat ini kemungkinan di bawah angka minimum tahun 1989 yakni 600 ribu ekor. Dan 3 persen populasi tersebut hilang tiap tahunnya.

Sumber: NGI/newscientist.com

read more
Ragam

Aceh Punya Aturan Adat Pengelolaan Laut

DR. Dedi Supridi Adhuri selaku pembicara dalam Diskusi Panel mengatakan sejak berabad-abad yang lalu, orang Aceh mengenal tradisi dan hukum adat laut yang disebut “Panglima Laot”. Pada intinya, tradisi ini terkait dengan kelompok adat yang disebut Mukim (federasi gampong desa) dengan unit wilayah kelola yang disebut Ihok (teluk).

“Pengelolaan masing-masing Ihok dipegang oleh lembaga ‘Panglina Laot’. Memang berbeda dengan tradisi petuanan di Maluku. Orang Aceh tidak mengklaim hak milik terhadap wilayah adat lautnya. Mereka menganggap bahwa laut adalah milik semua orang (umum), tetapi mereka mengklaim hak pengelolaan,” papar Dedi dalam diskusi panel.yang bertemakan “Interdependensi Masyarakat Maritim Dengan Lingkungan”, bersama Sony Keraf dan DR. Alan F.Koropitan, Ph.D sebagai pembicara di Asean Room Hotel Sultan, Jakarta, Sabtu (11/1/2013).

Dedi mengungkapkan, menurut adat warga Aceh, setiap orang yang menangkap ikan atau sumberdaya laut lain di wilayah adat laut mereka harus tunduk pada aturan-aturan adat dan Panglima Laot dari lhok yang bersangkutan. Aturan-aturan adat laot bervariasi di tiap Ihok. “Aturan itu bisa dilihat dengan contoh dari praktik hak ulayat dan pengelolaan di dua Ihok, yaitu Lhok Kruet di Aceh Jaya dan Lhok Je Meule di Sabang,” tuturnya.[]

Sumber: pikiranrakyat.com

read more