close

13/01/2014

Kebijakan Lingkungan

Benarkah Australia Nikmati Untung Larangan Ekspor Mineral RI?

Seiring diberlakukannya larangan ekspor mineral mentah oleh Indonesia, sejumlah negara terancam mengalami kemerosotan pasokan komoditas tambang dalam jangka pajang. Namun kondisi tersebut justru memberikan keuntungan tersendiri bagi sejumlah penambang bauksit di beberapa negara, salah satunya Australia.

Seperti dikutip laman The Australia, Senin (13/1/2014), larangan ekspor mineral yang diterapkan pemerintah Indonesia membuat para produsen pengolah mineral mentah mencari sumber energi lain. Seperti misalnya, China yang sangat bergantung pada pasokan bauksit Indonesia.

Tanpa ragu, China memilih perusahaan Australia Bauxite (ABZ) untuk memasok kebutuhannya. Sejak pertengahan tahun lalu, perusahaan tersebut terus mengembangkan pasokan bauksitnya.

Sembilan bulan yang lalu, ABZ meresmikan kerjasama dengan Xinfa Group yang memiliki sejumlah smelter alumunium di empat provinsi di China. Xinfa Group sepakat untuk menerima pasokan dari ABZ sambil terus memantau kondisi kebijakan pengiriman mineral mentah di Indonesia.

Jika Indonesia terus melanjutkan larangannya dan fokus pada upaya mengembangkan pengolahan mineral mentah di dalam negeri, ABZ akan menikmati peluang kerjasama besar dengan pasar-pasar baru sepanjang operasinya. Selain ABZ, BHP Billiton dan Rio Tinto juga dapat menikmati keuntungan dari larangan ekspor mineral mentah Indonesia.

Sejauh ini, BHP telah memasok bauksit untuk sejumlah smelter di Afrika Selatan dan Mozambique. Sementara Rio Tinto memiliki pasokan yang besar di sektor tersebut untuk memenuhi kebutuhan smelter Bell Bay di Tasmania. []

Sumber: TGJ/liputan6

read more
Energi

Tarik Ulur Bensin-bio Dan Minyak Sawit

Parlemen Eropa akan tetapkan persentase bahan bakar tanaman dalam bensin. Dukungan bagi pengurangan persentase itu menguat. Tapi cukupkah?

Penanganan iklim global ditandai berbagai upaya menghasilkan energi yang ramah lingkungan. Semisal bensin-bio, bahan bakar campuran minyak bumi dengan minyak dari tanaman.

Namun penggunaan bensin-bio tak lantas berarti perubahan iklim global berhenti, apalagi bila untuk itu hutan digunduli. Begitu pandangan Komisi Lingkungan Hidup parlemen di Strassburg Juli lalu, yang menilai dampak nyata terhadap perubahan iklim dan kenaikan harga pangan di seluruh dunia.

Rabu (11/09/2013) parlemen Eropa akan menetapkan prosentase bahan bakar tanaman dalam bensin-bio. Komisi Uni Eropa ingin menurunkan persentase itu dari 5,5% menjadi 5%.

Hemat pajak dan menahan harga pangan

„Target itu terancam gagal“, ungkap anggota parlemen Eropa, Jo Leinen (SPD). Dukungan untuk menurunkan prosentase datang dari berbagai kelompok masyarakat sipil dunia. Sejumlah organisasi lingkungan dan bantuan, seperti „Brot für die Welt“, „Misereor“ dan „Watch Indonesia“ juga menyurati wakil Jerman di parlemen Eropa dengan imbauan agar campuran itu betul-betul hanya sebatas 5 persen.

Dengan begitu, menurutnya, ada penghematan dana pajak karena subsidi untuk bensin-bio aan berkurang. Juga, kenaikan harga bahan pangan bisa dihambat. Belakangan, penggunaan tumbuhan pangan untuk bensin telah mendorong tinggi harga pangan.

Bondan Andriyanu dari Sawit Watch, berharap Uni Eropa menetapkan kuota campuran dibawah 5 persen. Sawit Watch kerap melihat petani-petani yang digusur oleh pengusaha sawit. Saat ini sudah 12,2 juta hektar yang digunakan untuk itu dan setiap menit sekitar 13 lapangan sepakbola kawasan hutan ditebang untuk perkebunan sawit.

Ditegaskan, kenaikan persentase minyak dari tumbuhan akan mengisyaratkan permintaan yang meninggi. Dan itu akan memicu investasi yang lebih besar untuk membuka lahan perkebunan sawit. Hal yang kemudian akan menambah rawan kondisi lingkungan dinegara-negara pengekspor bahan dasarnya. Indonesia dan Malaysia merupakan produsen minyak sawit terbesar dunia.

Forum Industri Dukung Minyak Ramah Lingkungan

Namun baik komisi energi parlemen Eropa, maupun sebagian negara Uni Eropa menentang pembatasan ini. Komisi energi EU justru ingin menaikkan batasan maksimal pada 6,5 persen dan banyak negara mendorong batasan menjadi 7 persen.

Produsen bahan bakar bio berargumentasi bahwa Uni Eropa sudah bertahun-tahun mendorong peningkatan produksinya, dan bakal merugi setelah berinvestasi miliaran Euro. Selain itu, sudah berupaya memenuhi aturan-aturan ramah lingkungan.

Salah satunya dengan pembentukan Forum RSPO (Roundtable on Sustainable Palmoil), yang diluncurkan di Berlin awal September ini. “Forum ini ingin mendukung perusahaan agar hanya menggunakan minyak sawit yang melalui sertifikasi terjamin 100% ramah lingkungan”. Begitu ungkap Sekjen Forum, Daniel May.

Seputar peluncuran forum pengusaha sawit itu, puluhan aktivis Jerman dan Indonesia berunjuk rasa di depan markas Komunitas Kerjasama Internasional Jerman, GIZ di Berlin. Kritiknya, pebisnis sawit tidak bisa diharapkan melindungi lingkungan maupun menjaga keberlanjutan. “Sertifikat tidak ada artinya di negara yang hutan-hutannya musnah, tukas Hedwig Zobel dari NGO, Rettet den Regenwald (Selamatkan Hutan Tropis)

Menurut Clemens Neumann, staf kementrian ekonomi Jerman, “Kritik NGO ini beralasan, namun sangat sulit untuk hanya memfokus masalah lingkungan saat menghadapi pertumbuhan penduduk.” Minyak sawit digunakan dalam hampir semua produk. Tahun 2012, permintaan minyak sawit menjadi 50 juta ton, lebih tinggi dari kacang soya atau raps. Jerman mengimpor 1,2 juta ton minyak sawit tahun lalu.
Sumber: dw.de

read more
Ragam

Pesona Terpendam Krueng Sawang Aceh

Terbengkalai selama konflik. Namun, masa damai pun tak membuatnya ramai. Itulah kondisi Krueng Sawang, di Kecamatan Sawang, Kabupaten Aceh Utara, Nanggroe Aceh Darusssalam.

Belasan tahun silam, sungai ini menghipnotis ribuan pengunjungnya. Sungai berair jernih dengan hamparan bebatuan yang mengalir puluhan kilometer ke hulunya di Pegunungan Bukit Barisan.

Bila dulu sungai ini dapat menjadi sepi pengunjung karena konflik bersenjata di Tanah Rencong, sekarang penyebab kondisi yang sama adalah kekhawatiran bahwa lokasi ini akan menjadi tempat pasangan muda mudi berbuat maksiat.

Di pintu masuk kota kecamatan Aceh Utara, tertera pengumuman “Dilarang Berwisata di Krueng Sawang”. Sumardi (38), warga Gandapura, Kabupaten Bireuen, singgah di Krueng Sawang saat bersua Kompas.com. Dia mengatakan sengaja mampir seusai hajatan keluarga, untuk sejenak bernostalgia.

Sumardi mengaku dulu kerap mendatangi sungai ini. “Padahal, jika lokasi ini dibuka kembali untuk umum dengan kesepakatan tertentu, pasti banyak manfaat yang dirasakan, terutama masyarakat sekitar lokasi,” ungkapnya, Minggu (12/1/2014). Menurut Sumardi, era 1990-an merupakan masa jaya Krueng Sawang. Setiap hari selalu ada orang datang ke sana. Pedagang kecil dan tukang parkir bisa mendapatkan penghasilan dari sungai tersebut.

“Sudah saatnya pemerintah bersama unsur terkait memberikan pemahaman agar masyarakat tak menafsirkan sendiri batas berwisata Islami,” ujar Sumardi. Ia mengatakan, bila tak segera dibenahi, potensi wisata sungai ini akan mati suri. Pendapatan daerah yang seharusnya bisa diperoleh juga turut sirna.

Sumber: NGI/KOMPAS.com

read more