close

15/01/2014

Ragam

Rahmawati, Hakim yang ‘Selamatkan’ Rawa Tripa

Hakim Pengadilan Negeri Meulaboh ini belum lama mengikuti sertifikasi sebagai hakim lingkungan oleh Mahkamah Agung di akhir tahun 2013. Hakim yang juga Ketua Pengadilan Negeri Meulaboh ini menjadi ketua majelis hakim mengambil keputusan yang pro lingkungan. Ia menghukum perusahaan PT Kallista Alam (KA) untuk membayar denda sebesar Rp.366 miliar sebagai biayar ganti rugi material dan rehabilitasi lahan gambut. Putusan ini bisa menyelamatkan rawa gambut dari ancaman kerusakan lanjutan oleh berbagai kegiatan.

Ia bernama Rahmawati, kelahiran Cot Girek, 16 Desember 1962 memberi angin segar bagi penegakan hukum lingkungan di Indonesia bahkan dunia. Rawa Gambut Tripa yang berada di Kabupaten Nagan Raya mengalami kerusakan parah karena dibakar oleh perusahaan kepala sawit, KA dan lainnya.

Ia mengabulkan permohonan Kementerian Lingkungan Hidup dalam perkara perdata No.12/PDT.G/2012/PN MBO. Putusan bijak ini berpengaruh besar terhadap pelestarian lingkungan hidup dan menentukan hajat hidup orang banyak.

Sebagaimana dikutip dari situs resmi Pengadilan Tinggi Aceh, Rahmawati menjadi hakim sejak 2002 dimulai dari Pengadilan Negeri Lhokseumawe. Kemudian tahun 2006, Rahmawati SH menjadi hakim di Pengadilan Negeri Banda Aceh.

Karirnya meningkat, tahun 2010, Ia dipindahkan ke Pengadilan Negeri Meulaboh menjabat sebagai Wakil Ketua.
Lalu ia diangkat menjadi Ketua Pengadilan Negeri Meulaboh tahun 2012.

Tahun 2013, Rahmawati menerima sertifikasi hakim lingkungan di Provinsi Aceh dari Mahkamah Agung.

Baru-baru ini tepat 8 Januari 2014, Alumni Fakultas Hukum Unsyiah ini memutuskan perkara lingkungan yang berada dalam Kawasan Ekosistem Leuser (KEL) di rawa gambut tripa atau lebih dikenal sebutan Rawa Tripa di Kabupaten Nagan Raya.

Sejak 27 November 2012, Rahmawati mulai memimpin sidang kasus lingkungan tersebut. Saat itu ia dibantu Ferry Hardiansyah SH dan Juanda Wijaya SH. Ia menyarankan para pihak untuk melakukan mediasi. Kemudian Ferry Hardiansyah digantikan oleh hakim Rahma Novatiana.

Dalam perjalanannya, mediasi “deadlock” sehingga kemudian gugatan masuk dalam pokok perkara.

Pada tanggal 28 Agustus 2013, Rahmawati bersama hakim anggota Rahma Novatiana dan Juanda Wijaya SH turun ke lokasi dimana lahan gambut dibakar oleh KA, di Suak Bahong, Kecamatan Darul Makmur, Kabupaten Nagan Raya melakukan sidang Pemeriksaan Setempat (PS).

Ia melihat langsung kawasan gambut yang masih ada bekas-bekas kebakaran. Di bawah terik matahari, ia berjalan kaki selama dua jam perjalanan. Diapit Kuasa Hukum KLH dan PT. Kallista Alam, Ia berdiskusi di lapangan, memimpin sidang PS di atas rawa gambut tripa. Bukan hanya satu atau dua titik yang dikunjungi namun ia bersikeras mengunjungi nyaris semua titik yang terbakar. Sidang PS ini guna memberikan gambaran utuh tentang lokasi kebakaran.

Semoga semakin banyak hakim yang pro kepada lingkungan dimasa mendatang.

Sumber: acehterkini.com

 

read more
Tajuk Lingkungan

Peluang Kerja dari Rehabilitasi Lahan

Keputusan PN Meulaboh yang menghukum PT Kallista Alam (KA) membayar ganti rugi materil Rp.114,3 miliar dan biaya pemulihan lingkungan sebesar Rp.251,7 miliar atas kerusakan lahan gambut Rawa Tripa memiliki dampak multidimensi. KA terbukti melakukan pembukaan lahan dengan cara membakar di Kawasan Ekosistem Leuser (KEL), sebuah Kawasan Strategis Nasional, yang bernilai tinggi dan tak tergantikan sebagaimana dinyatakan oleh badan dunia UNESCO. Sekitar Rp.366 Miliar harus KA bayar dimana jika putusan ini dilaksanakan maka akan memberikan peluang kerja bagi masyarakat sekitar Rawa Tripa.

Pada masa persidangan, KA sering menghembuskan isu bahwa mereka telah membuka lahan pekerjaan bagi banyak orang dan jika mereka dihukum oleh pengadilan maka akan banyak orang yang kehilangan pekerjaan. Namun logika ini sepertinya bisa dibalik, dengan duit 366 miliar, akan banyak peluang kerja yang bisa diberikan kepada masyarakat. Masyarakat bisa diajak bersama-sama merehabilitasi lahan yang terbakar seluas 1000 hektar. Kegiatan rehabilitasi ini juga bermacam-macam. Salah satunya adalah pembuatan kompos.

Kompos disebut-sebut memiliki sifat karakteristik yang mirip lahan gambut. Proses pembentukannya pun nyaris serupa. Gambut adalah jenis tanah yang terbentuk dari akumulasi sisa-sisa tumbuhan yang setengah membusuk. Oleh sebab itu, kandungan bahan organiknya tinggi. Tanah yang terutama terbentuk di lahan-lahan basah ini disebut dalam bahasa Inggris sebagai peat dan lahan-lahan bergambut di berbagai belahan dunia dikenal dengan aneka nama seperti bog, moor, muskeg, pocosin, mire, dan lain-lain. Istilah gambut sendiri diserap dari bahasa daerah Banjar (wikipedia).

Sementara kompos juga terbentuk dari pembusukan biomassa seperti tumbuhan dan makhluk hidup. Bedanya gambut terbentuk selama ribuan tahun sedangkan kompos dapat dibentuk relatif lebih cepat. Namun memiliki banyak kesamaan. Itulah sebabnya tim ahli dari Kementerian Lingkungan Hidup mengajukan biaya rehabilitasi lahan dengan menggunakan kompos.

Nah, untuk membuat kompos bagi 1000 hektar lahan yang lapisan gambutnya setebal 10-15 cm telah rusak dibutuhkan ribuan ton kompos. Ini merupakan peluang kerja bagi masyarakat sekitar yaitu dengan membuat kompos. Masyarakat tentu saja dilatih terlebih dahulu agar bisa membuat kompos yang baik.

Selain pembuatan kompos ada biaya lain untuk ganti rugi materi. Jika dana ganti rugi ini dimanfaatkan dengan memberdayakan masyarakat maka bisa menampung ribuan tenaga kerja. Misalnya memperbaiki pengaturan tata air, pengendalian erosi dan sebagainya.

Jika jika KA menghembuskan isu akan banyak orang kehilang pekerjaan dari dihukumnya perusahaan maka sebaliknya yang benar adalah akan tercipta banyak lapangan kerja jika denda ini dilaksanakan. Tugas pemerintahlah untuk memastikan denda dibayarkan.[]

 

read more
Kebijakan Lingkungan

KLH Apresiasi Putusan terhadap Perusak Lingkungan

Menteri Lingkungan Hidup, Balthasar Kambuaya mengatakan keberhasilan memenangkan gugatan perkara perdata
di PN Meulaboh terhadap PT. Kallista Alam merupakan pembelajaran yang baik. Kedepan KLH menggugat PT. SPS secara perdata dan pidana terhadap kebakaran lahan gambut di Kecamatan Darul Makmur, Kabupaten Nagan Raya.

“Ini menunjukkan berlakunya prinsip. Polluter Pay Principle,” kata dia dalam konperensi Pers di Kantor Kementerian Lingkungan Hidup, Senin (13/1/2014). Pembayaran ganti rugi material dan pemulihan lingkungan sebesar lebih dari Rp300 miliar ini dapat menjadi efek jera bagi perusahaan perusak lingkungan lainnya.

Upaya penegakan hukum lingkungan ini meningkatkan kepercayaan kami bahwa pemulihan lingkungan hidup dapat diselesaikan dengan pengadilan,” kata Balthasar Kambuaya.

Menteri LH mengemukakan, gugatan itu diajukan berdasarkan pada Laporan Unit Kerja Presiden Bidang Pengawasan dan Pengendalian Pembangunan (UKP4) pada 11 April 2012 serta tanggal 26 Juli 2012 yang menyebutkan, terdapat titik panas (hotspot) yang mengindikasikan terjadinya dugaan pembakaran lahan di wilayah perkebunan PT. Kallista Alam (Data hotspot tersebut bersumber dari MODIS yang dikeluarkan oleh NASA).

Data dan informasi tersebut lalu dijadikan sebagai dasar bagi Kementerian Lingkungan Hidup (KLH), melalui Deputi Penaatan Hukum Lingkungan untuk membentuk dan menugaskan suatu tim lapangan yang beranggotakan para ahli, Jaksa Pengacara Negara dari Kejagung dan Kejati Aceh beserta staf KLH dan perwakilan Pemerintah Provinsi setempat untuk melakukan verifikasi lapangan pada 5 Mei 2012 dan 15 Juni 2012.

“Dari laporan tim disimpulkan bahwa PT. Kallista Alam telah melakukan perbuatan melanggar hukum yaitu pembakaran lahan, atau setidak-tidaknya telah membiarkan terjadinya kebakaran lahan sehingga menimbulkan kerusakan lingkungan hidup dengan luas total lahan yang terbakar seluas 1.000 hektar,” papar Menteri LH.

Berdasarkan hasil kesimpulan tim lapangan dan penelitian oleh Ahli Kebakaran Hutan dan Ahli Kerusakan Lahan, lanjut Balthasar, kebakaran lahan seluas 1000 hektar tersebut telah menimbulkan kerugian lingkungan yang harus dibayarkan PT. Kallista Alam kepada Negara.

Karena itu, Menteri LH melalui Kuasa Hukum bersama Jaksa Pengacara Negara Kejagung dan Kejati Aceh mengajukan gugatan ke PN Meulaboh pada tanggal 8 November 2012.

Ditambahkan Balthasar, setelah gugatan diterima, Majelis Hakim lalu memanggil para pihak untuk melakukan proses mediasi yang pada akhirnya gagal dan persidangan pada pokok perkara dilanjutkan, setelah melewati beberapa persidangan di PN Meulaboh dan 2 (dua) kali sidang lapangan / Pemeriksaan Setempat (untuk mengetahui kondisi kebakaran dan mengukur luasan kebakaran) maka telah dijadwalkan rencana pembacaan putusan persidangan.

Pada kesempatan konperensi pers itu, Balthasar Kambuaya menyampaikan apresiasi Jaksa Pengacara Negara (JPN)
dari Kejaksaan Agung dan Kejaksaan Tinggi Aceh atas kemenangan gugatan pemerintah itu. Selain itu, penghargaan kepada Hakim sekaligus Ketua Pengadilan Negeri Meulaboh, Rachmawati, SH yang merupakan hakim bersertifikat lingkungan yang pertama kali memutus perkara lingkungan hidup.

PT. Kallista Alam merupakan perusahaan perkebunan kelapa sawit yang memiliki area lahan kurang lebih seluas 1.605 hektar yang berada dalam “Kawasan Ekosistem Leuser”, berlokasi di Desa Pulo Kruet, Kecamatan Darul Makmur, Kabupaten Nagan Raya, Provinsi Aceh.

Menurut Menteri LH, selain kasus kebakaran lahan di Rawa Tripa, terdapat beberapa kasus yang ditangani oleh Kementerian Lingkungan Hidup yaitu Gugatan Menteri LH terhadap PT. Merbau Pelalawan Lestari (PT.MPL) di Kab. Pelalawan – Riau, Gugatan Menteri LH terhadap PT. Surya Panen Subur (PT.SPS) di Meulaboh – Aceh, dan Pengajuan Peninjauan Kembali perkara gugatan KLH terhadap PT. Selatnasik Indokwarsa di Bangka Belitung.[]

Sumber: acehterkini.com

read more