close

17/01/2014

Ragam

Menikmati Pemandangan Bawah Laut Pantai Lhokseudu

Sebuah cafe berdiri di areal seluas satu hektare di kawasan Lhok Seudu, Aceh Besar. Cafe tersebut memiliki beberapa pondok yang terletak di atas permukaan tanah yang tingginya sekitar satu meter dari letak cafe utama. Cafe yang dibuka pada 2010 itu bernama Ujoeng Glee, milik Junaidi (35).

Bukit berbaris mengapit hamparan laut yang dilintasi perahu-perahu mesin nelayan.  Permukaan tanah yang landai ditumbuhi pepohonan rindang. Sebuah perpaduan keindahan alam yang apik: hijau dedauan, biru laut, dan di kelilingi bukit yang seakan berkelok-kelok.

“Launching-nya saat Piala Dunia,” kata pria yang berdomisili di Gampong Layeun, Aceh Besar, itu, mengingat kembali awal mula didirkannya cafe tersebut, Selasa (14/1/2014) lalu.

Cafe tersebut, kata Junaidi, dibangun secara bertahap. Dia menceritakan, tanah tempat didirikannya cafe itu awalnya merupakan ladang. Tapi tsunami pada 2004 lalu menerjang dan meluluh-lantakkan ladang milik keluarganya itu. “Tanah  sudah terkikis. Tinggal bebatuan. Saya berfikir, ini kalau dijadikan ladang tak mungkin lagi. Lantas saya bukalah cafe ini,” katanya.

Perahu dan snorkeling
Tak hanya membuka usaha cafe, Junaidi juga menyewakan alat selam dan juga perahu mesin untuk para pengunjung yang ingin menikmati keindahan terumbu karang di bawah laut.

Perahu mesin  miliknya berbentuk pondok berukuran 4 x 4 meter. Perahu tersebut beratapkan seng berwarna cokelat dan disangga oleh dua belas tiang kayu. Perahu itu juga dilengkapi dengan dinding yang terbuat dari balok-balok kayu berwarna hijau. Yang unik adalah kaca setebal lima millimeter yang berada di tengah-tengah perahu tersebut. Dari kaca itulah, para pengunjung dapat melihat terumbu karang di bawah laut.

Junaidi mengatakan, perahu mesin tersebut beroperasi pada Bulan Ramadhan 2012.

“Inspirasinya datang dari diri sendiri. Alat-alat snorkeling sudah ada. Tapi masih ada yang kurang, soalnya ada juga pengunjung yang tak berani menyelam. Jadi, terpikirlah oleh saya bagaimana cara agar para pengunjung yang tak berani snorkeling, bisa melihat terumbu karang dari atas perahu lewat kaca,” ungkap Junaidi.

Pemandu Snorkeling, Zulkifli (23) atau yang lebih dikenal dengan panggilan Obama, menuturkan, di hari libur, dia bisa membawa pengunjung sebanyak tiga rute. “Per jam 300 ribu, maksimalnya 10 orang. Bisa tiga kali jalan kalau hari libur,” kata dia.

Dari atas perahu, terumbu karang tampak menawan. “Ketika tsunami terumbu karangnya hancur semua. Ini baru mulai tumbuh lagi. Tidak boleh dipijak karena bisa rusak. Satu tahun terumbu karangnya hanya tumbuh lima centimeter,” kata  Obama, menjelaskan.

Kata Obama, perjalanan menikmati terumbu karang dengan perahu mesin  tergantung pada musim. “Jika musim timur, lautnya tenang. Tapi kalau musim barat biasanya berombak,” katanya.

Bulan mulai menampakkan diri di antara bukit-bukit yang diselimuti kabut. Senja  yang akan diganti oleh malam ditandai dengan terbenamnya matahari secara perlahan-lahan. Sang matahari kian menjorok ke barat dan menghilang di balik bukit. []

Sumber: theglobejournal.com

read more
Hutan

Aktivis Lingkungan Demo RTRW Aceh di Jakarta

Koalisasi Peduli Hutan Aceh (KPHA) menggelar demonstrasi di Bunderan Hotel Indonesia (HI), Jakarta, Kamis (16/1/2014). Mereka memprotes Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Aceh yang akan menghilangkan warisan dunia Kawasan Ekosistem Leuser.

Koordinator KPHA, Efendi Isma, menyebutkan RTRW tersebut menciptakan  “kiamat ekologi dunia” dan karena itu harus ditentang. KPHA mendesak dilakukan revisi RTRW Aceh yang sudah diparipurnakan DPR Aceh tersebut.

“RTRW Aceh itu menghilangkan warisan dunia, merendahkan masyarakat adat Aceh yang telah menjaga dan merawat kawasan ekosistem Leuser,” tukas Efendi.

Effendi menjelaskan menjaga kawasan ekosistem Leuser merupakan amanah UU No 11 Tahaun 2006. Oleh karena itu RTRW Aceh tidak boleh merusak kawasan ekosistem tersebut.

“Setiap keputusan yang keliru tentang kawasan eksistem Leuser adalah memainkan kematian terhadap separuh rakyat Aceh dan merendahkan kebanggaan masyarakat dunia terhadap world heritage. “Kita diambang kehancuran, karena itu harus ditolak dan tentang RTRW tersebut,” katanya.

Aksi yang diikuti puluhan demonstran tersebut mebentangkang sejumlah poster yang berisi kecaman. Melalui ‘pengeras suara tangan’, para demonstran meneriakkan protesnya terhadap kehancuran kawasan ekosistem Leuser.[]

Sumber: serambinews.com

read more
Kebijakan Lingkungan

LKLH Desak Segerakan Moratorium Tambang Aceh

Pemberlakuan Undang-undang Mineral dan Batubara (Minerba) No. 4 Tahun 2009 beberapa waktu lalu, ternyata menimbulkan berbagai polemik. Sejak tanggal 12 Januari 2014, perusahaan tambang dilarang melakukan ekspor barang tambang mentah. Dalam regulasi tersebut disebutkan bahwa perusahaan tambang wajib membangun pabrik pengolahan dan pemurnian barang tambang (smelter). Beberapa bahan tambang tersebut diantaranya emas, tembaga, bijih besi, nikel, batu bara dan bauksit.

Ketua Lembaga Kajian Lingkungan Hidup (LKLH) Aceh, Teuku Muhammad Zulfikar, dalam siaran persnya, Jumat (17 Januari 2014) mengatakan kalangan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) mendesak Pemerintah agar konsisten melaksanakan UU Minerba tersebut. Artinya, sejak 12 Januari 2014, kegiatan ekspor mineral mentah tidak akan diizinkan lagi. ” Perusahaan-perusahaan yang belum melakukan pengolahan dan pemurnian dilarang mengekspor mineral  mentah,” ujar T. Muhammad Zulfikar.

Seiring dengan pemberlakuan UU Minerba, DPR Aceh pada tanggal 27 Desember 2013 yang lalu juga telah mensahkan Peraturan Daerah/Qanun tentang Pengelolaan Pertambangan Mineral dan Batu bara. Dalam qanun tersebut tercantum agar setiap perusahaan tambang agar memberikan dana kompensasi sebesar 6,6 persen dari biaya produksinya. Besaran dana kompensasi ini kemudian menjadi sebuah kebijakan yang kontroversial antara perusahaan tambang dan Pemerintah Aceh.

Padahal sebelum qanun tersebut disahkan besaran dana kompensasi yang diajukan saat itu justru lumayan besar, yakni mencapai 25  persen. Namun keberatan perusahaan pertambangan saat ini dikabulkan oleh Pemerintah Aceh dengan menurunkannya hingga mencapai 6,6 persen saja.

Salah satu perusahaan pertambangan yang keberatan dengan aturan tersebut adalah PT. Mifa Bersaudara yang mengelola usaha pertambangan Batu bara di Kabupaten Aceh Barat. Bahkan perusahaan tersebut mengancam akan angkat kaki dari Aceh dan menghentikan produksinya bila Pemerintah Aceh tidak melakukan perubahan atas qanun tersebut.

Jika dilihat dari aspek tata kelola, justru pengelolaan pertambangan di Aceh saat ini masih sangat tertutup dan kabur. Pemerintah Aceh tidak melaksanakan keterbukaan informasi publik yang baik dalam pengelolaan tambang di Aceh.  Selama ini Pemerintah Aceh belum mampu mensajikan informasi kepada publik mengenai hasil pertambangan.

Saat ini lebih dari 144 (data Distamben Aceh, 2013) perusahaan yang memiliki Izin Usaha Pertambangan di Aceh yang melakukan eksplorasi maupun eksploitasi yang tersebar di wilayah Aceh. Namun dari sekian banyak perusahaan yang beroperasi, sama sekali belum tampak upaya untuk mensejahterakan masyarakat, terutama yang berdomisili di sekitar wilayah pertambangan, bahkan sebaliknya konflik sosial antara masyarakat dengan perusahaan maupun antara masyarakat yang menolak dan menerima justru yang lebih mencuat.

Bahkan di beberapa lokasi sudah mulai terjadi berbagai kerusakan lingkungan, sebut saja mulai dari pencemaran udara, kerusakan sarana tranportasi/jalan yang dilalui masyarakat, kerusakan daerah aliran sungai, pencemaran sumber air, kerusakan hutan. Dan berbagai kerusakan lingkungan lainnya.

Selama ini perusahaan tambang yang beroperasi di Aceh sedikit sekali merekrut putra daerah sebagai pekerjanya. Masyarakat tidak ubahnya seperti penonton dan pemantau saja, istilahnya dalam bahasa Aceh “Buya Krueng teudong-dong, buya tamoeng meuraseuki” (orang setempat hanya mampu duduk termangu saja sementara orang yang datang dari luar yang dapat rezeki).

Belum lagi dampak lingkungan yang akan dirasakan oleh masyarakat Aceh yang tinggal di daerah yang rawan berbagai bencana tersebut. Padahal apabila hasil tambang di Aceh tidak dieksploitasi sekalipun, rakyat Aceh tidak akan lapar, karena masih banyak potensi sumber daya alam Aceh yang dapat dimanfaatkan untuk kesejahteraan dan kemakmuran rakyat yang belum optimal dimanfaatkan, misalnya sektor perikanan dan kelautan, sektor peternakan, sektor pertanian dan perkebunan, sektor jasa dan pariwisata, justru seharusnya sektor-sektor ini yang perlu segera dikembangkan dan dioptimalkan potensi kelolanya baik oleh Pemerintah, dunia usaha  maupun masyarakat.

Untuk itu, menyahuti berbagai persoalan di Aceh terkait pengelolaan pertambangan tersebut, Lembaga Kajian Lingkungan Hidup (LKLH) Aceh mendesak Gubernur Aceh untuk segera mengeluarkan Instruksi atau Peraturan Gubernur tentang Moratorium Tambang (Penghentian Sementara Pemberian Izin Usaha Pertambangan) di Aceh.

Hal ini sesuai dengan komitmen dan apa yang pernah diucapkann Gubernur Aceh dr. Zaini Abdullah pada saat menerima kunjungan Duta Besar China untuk Indonesia Liu Jianchao di Banda Aceh beberapa waktu lalu. Pada saat itu Gubernur Aceh mengatakan bahwa Pemerintah Provinsi Aceh memutuskan untuk segera memberlakukan moratorium pertambangan.

Keputusan ini merupakan pelaksanaan dari komitmen Pemerintah Provinsi Aceh untuk menjaga keseimbangan dan kelestarian lingkungan hidup di Aceh. Dan Moratorium Tambang juga bertujuan untuk menjaga cadangan alam seperti emas dan bijih besi serta hasil-hasil tambang lainnya sehingga masih dapat dimanfaatkan oleh generasi mendatang. []

 

read more