close

21/01/2014

Flora Fauna

Kambing Gunung Sumatera yang Langka Akhirnya Mati

Kambing gunung sumatera (Capricornis sumatraensis) langka dari Gunung Sinabung yang ditangkap warga akhirnya mati setelah berada di Medan, Sumatera Utara (Sumut). Hasil pemeriksaan, paru-parunya penuh dengan abu vulkanik.

Dalam keterangannya kepada wartawan, Sabtu (18/1/2014), Kepala Balai Besar Konservasi Sumber Daya Alam (BBKSDA) Sumut, Ristanto menyatakan kambing itu mati sekitar pukul 20.00 WIB di Medan Zoo, pada Jumat 17 Januari kemarin. Sudah sempat dilakukan penanganan, namun kondisi kesehatannya sudah memburuk.

“Sebelumnya, sejak dibawa dari Karo memang kondisinya sudah lemas. Tidak mau makan. Setelah sampai di Medan, sudah dikasih macam-macam, tetapi tak bisa juga bertahan. Akhirnya mati,” kata Ristanto.

Setelah dipastikan kematiannya, petugas kemudian melakukan autopsi. Ternyata di paru-parunya ditemukan banyak abu vulkanik yang bersumber dari letusan Gunung Sinabung. Kondisi inilah yang paling utama menyebabkan kematiannya.

“Kondisinya seperti terkena TBC begitu. Jadi memang sudah parah, karena terpapar abu vulkanik sudah cukup lama,” kata Ristanto.

Kambing gunung sumatera yang biasa disebut warga setempat dengan sebutan beidar ini, ditemukan Jumat siang di lahan pertanian warga di Desa Beras Tepu, Kecamatan Simpang Empat, Kabupaten Karo. Diduga hewan ini turun gunung karena sumber makanan maupun sumber air minumnya di hutan sudah tidak ada sebab tertimbun abu vulkanik Gunung Sinabung yang meletus sejak September 2013 hingga hari ini.

BBKSDA Sumut segera membawa binatang itu ke Medan untuk kepentingan pemeriksaan kesehatan. Pemeriksaan itu merupakan prosedur tetap yang harus dilakukan, sebelum melepasliarkan binatang itu kembali.

“Tempat yang memungkinkan untuk memeriksakan hewan itu di Medan Zoo, maka kita bawa ke sana,” kata Ristanto.

Setelah kematiannya, saat ini satwa endemik di Pulau Sumatera yang tergolong dalam kelompok Appendix 1 itu, dalam proses pengawetan. Nantinya akan menjadi bahan pelajaran, penyuluhan. []

Sumber: tgj/detik.com

read more
Flora Fauna

Ini Tanaman yang Tahan Banjir

Curah hujan tinggi seperti saat ini membuat tanaman senantiasa dalam keadaan basah, bahkan berada di air menggenang. Tanaman mudah rusak dan mati.

Menurut Laura G. Jull dari Departemen Holtikultur University of Winconsin-Extension, menumbuhkan tanaman dalam tanah basah yang tidak memiliki saluran memadai cukup sulit. Terlebih, jika ingin menumbuhkan tanaman dalam kondisi banjir dan curah hujan tinggi. Tanaman-tanaman kayu dan tanaman herba bisa rusak dan mati.

Jull mengatakan bahwa kekuatan tanaman-tanaman kayu dan tanaman herba tergantung pada durasi banjir dan tingkat sensitivitas tanaman tersebut. Tanaman yang bisa “berhibernasi” relatif lebih kuat menghadapi banjir ketimbang tanaman lain. Terutama, tanaman yang terus tumbuh sepanjang tahun.

Jull mengatakan, tanaman jenis semak tergolong mampu bertahan terhadap banjir. Tanaman-tanaman tersebut antara lain Alnus incana, Cephalanthus occidentalis, Cornus alba, Cornus amomum, Cornus sanguinea, Cornus stolonifera, Ilex verticillata, Salix alba, Salix chaenomeloides, Salix caprea, Salix discolor, Salix elaeagnos, Salix gracilistyla, Salix integra, Salix purpurea, Salix udensis, dan Vaccinium macrocarpon.

Sumber: kompas.com

read more
Ragam

Ruang Hijau, Banjir dan Kesehatan Mental

Banjir kembali melanda Jakarta. Banjir juga melanda Manado dan kota-kota lain di Indonesia. Masalah ini terus berulang seolah menjadi momok yang tak bisa diatasi. Padahal, sudah banyak konsep pengelolaan lingkungan dan tata ruang yang kita baca dan temui. Sebagaimana kemarau, masalah banjir tidak lepas dari konsep mengelola air.

Sudah merupakan siklus alam bahwa air hujan ditampung dan diserap oleh tanah kemudian dialirkan dari hulu ke hilir. Namun saat fungsi peresapan tanah dan pengaliran air terganggu atau dirusak, terutama di daerah aliran sungai, bencana menjadi hal yang tidak dapat dielakkan.

Salah satu kelemahan aplikasi kebijakan yang menonjol adalah kurangnya atau ketiadaan ruang terbuka hijau (RTH). Ruang terbuka hijau adalah ruang dimana vegetasi tumbuh dengan dengan subur sehingga wilayah tersebut selain bisa mengurangi polusi juga bisa menyerap air.

Di Jakarta dan kota-kota lain di Indonesia, rata-rata luas ruang terbuka hijau di Indonesia masih dibawah 10% dari 30% ruang terbuka hijau publik dan privat yang disyaratkan oleh pemerintah.

Tidak hanya di pusat kota, lahan-lahan lain di daerah aliran sungai seperti di perbukitan dan lereng gunung di sekitar Jakarta, banyak yang telah mengalami alih fungsi. Lereng gunung dan perbukitan banyak yang gundul. Di wilayah lindung, vila-vila dibangun. Bantaran sungai menjadi lokasi perumahan, aturan jarak minimal perumahan dan bantaran sungai tidak dipatuhi, memersempit dan merusak aliran sungai mengganggu aliran dan resapan air.

Sungai-sungai di Indonesia juga menjadi lokasi pembuangan sampah terpanjang di dunia oleh warga yang tidak disiplin menjaga kebersihan. Perilaku menjaga kebersihan ini seharusnya bisa ditanamkan melalui pendidikan menciptakan rasa malu. Sementara di pusat kota, mal-mal dan jalan aspal dibangun mengurangi wilayah resapan air. Sehingga tidak heran jika air yang seharusnya bisa dikelola dan diserap, menjadi liar, mengalir ke mana-mana, merusak pemukiman warga.

Masalah banjir – sebaqaimana kemarau – memicu stres tidak hanya pada mereka tergenang air, namun pada masyarakat luas. Saat banjir atau hujan besar kemacetan sering kita temui. Aktivitas keluarga, kerja dan bisnis menjadi terganggu.

Penelitian terbaru dari European Centre for Environment and Human Health menyimpulkan, keberadaan ruang terbuka hijau (RTH) tidak hanya mampu mencegah banjir dan memerbaiki kualitas udara, namun juga bisa meningkatkan kesehatan mental secara signifikan dan berkelanjutan.

Penelitian yang diterbitkan dalam jurnal Environmental Science & Technology ini menyatakan, pindah ke wilayah yang lebih hijau akan meningkatkan kesehatan mental dalam jangka panjang. Menurut tim peneliti dari University of Exeter Medical School, yang menjadi lokasi ECEHH, memerluas ruang terbuka hijau di perkotaan – dalam bentuk taman dan kebun – akan membawa manfaat signifikan bagi kesehatan masyarakat.

Temuan ini adalah hasil analisis jangka panjang atas British Household Panel Survey, kuisener yang diisi oleh 1000 responden yang tinggal di Inggris Raya. Para peneliti menfokuskan penelitian pada dua kelompok masyarakat yaitu mereka yang pindah ke wilayah yang lebih hijau dan mereka yang pindah ke wilayah yang lebih gersang.

Hasilnya, para peneliti menemukan, rata-rata mereka yang pindah ke wilayah yang lebih hijau akan mengalami peningkatan kesehatan mental secara langsung. Peningkatan kesehatan mental ini akan berlangsung setidaknya dalam 3 tahun setelah mereka pindah ke wilayah yang lebih hijau. Sementara penduduk yang pindah ke wilayah yang lebih padat dan gersang akan mengalami stres bahkan sebelum mereka pindah ke wilayah tersebut.

Tim peneliti menghilangkan faktor-faktor lain seperti tingkat pendidikan, pendapatan dan jenis pekerjaan dan fokus pada dampak ruang terbuka hijau. Menurut Dr Ian Alcock yang memimpin penelitian ini, dampak dari temuan ini sangat penting: “Kita menemukan bahwa penduduk yang pindah ke wilayah yang lebih hijau akan mengalami peningkatan kesehatan mental yang signifikan. Dan ini berdampak dalam jangka panjang. Temuan ini sangat penting untuk menjadi masukan bagi para ahli tata ruang agar memerkenalkan RTH-RTH baru di kota-kota mereka,” tuturnya.

Kerusakan lingkungan, banjir dan stres harus diatasi. Dimulai dengan memerluas, memertahankan, menjaga ruang hijau, terutama di daerah aliran sungai.

Sumber: Hijauku.com

read more