close

24/01/2014

Flora Fauna

Ilmuwan Brazil Temukan Spesies Lumba-Lumba Sungai

Para peneliti dari Brasil telah menemukan spesies baru lumba-lumba di sungai yang ada sejak akhir Perang Dunia Pertama 1918. Lumba-lumba ini dinamakan Araguaia sesuai dengan nama sungai tempat ditemukannya. Spesies yang ditemui ini adalah yang kelima diketahui dari jenisnya di seluruh dunia. Temuan ini sudah diterbitkan dalam jurnal sains, Plos One.

Seperti dilansir dari laman BBC, Kamis, 23 Januari 2014, para peneliti mengatakan, lumba-lumba ini terpisah dari spesies sungai Amerika Selatan lainnya, selama lebih dari dua juta tahun lalu. Ilmuwan meyakini ada sekitar 1.000 makhluk hidup yang tinggal di lembah sungai Araguaia.

Lumba-lumba sungai merupakan makhluk paling langka di dunia. Menurut IUCN (International Union for Conservation of Nature), hanya ada empat spesies yang dikenal, dan tiga diantaranya berada dalam daftar merah, yang berarti mereka terancam punah. Salah satu spesies yang paling dikenal , lumba-lumba Sungai Yangtze atau Baiji diyakini telah punah sekitar 2006.

Lumba-lumba Araguaia hanya punya sedikit keterkaitan dengan sepupu jauh mereka yang hidup di laut. Perbedaan mencoloknya adalah, mereka mempunyai paruh panjang yang digunakan untuk berburu ikan di lumpur dasar sungai. Ada juga beberapa perbedaan, yaitu dari jumlah gigi dan ukuran gigi yang lebih kecil.

Amerika Selatan adalah rumah bagi lumba-lumba sungai Amazon, yang juga dikenal sebagai lumba-lumba merah muda atau Boto. Lumba-lumba jenis ini dikenal sebagai yang paling cerdas dari semua spesies sungai.

Para ilmuwan meyakini Araguaia punya kemiripan dengan lumba-lumba yang ada di Amazon, meskipun spesies ini sudah terpisah 2 juta tahun lalu.

“Yang kami temukan ini sangat mirip dengan yang lain. Temuan ini sesuatu yang tak terduga,” kata pemimpin peneliti, Thimas Hrbek dari Federal University of Amazonas, Brasil. Ia melanjutkan, sungai Araguaia adalah tempat dimana orang-orang biasa datang dan melihat sepanjang waktu, dan lumba-lumba adalah mamalia besar. “Masalahnya adalah tidak ada yang benar-benar nampak, dan ini sangat menarik.”

Dengan menganalisis sampel DNA dari puluhan lumba-lumba di kedua sungai, tim menyimpulkan makhluk sungai Araguaia memang spesies baru. “Dalam ilmu Anda tidak pernah bisa yakin tentang apa pun,” kata Hrbek.

Ilmuwan melihat DNA mitokondria yang pada dasarnya melihat garis keturunan, dan tidak ada pembagian garis keturunan. “Kelompok-kelompok yang kami lihat, haplotype, jauh lebih erat berhubungan satu sama lain daripada mereka kelompok di tempat lain. Agar hal ini terjadi, kelompok harus terisolasi satu sama lain untuk waktu yang lama,” ujarnya.

Para peneliti kemudian mengusulkan bahwa spesies baru lumba-lumba ini disebut dengan Araguaian Boto.

Mereka memperkirakan ada sekitar 1.000 makhluk yang hidup di sungai tersebut mengalir ke utara selama lebih dari 2.600 kilometer untuk mencapai Amazon.

Para peneliti prihatin tentang masa depan lumba-lumba baru, tampaknya memiliki tingkat keragaman genetik yang sangat rendah. Mereka juga khawatir dengan perkembangan manusia.

“Sejak tahun 1960-an aliran sungai Araguaia mengalami tekanan antropogenik yang signifikan karena kegiatan pertanian dan peternakan, dan pembangunan bendungan hidroelektrik,” kata mereka dalam studinya.

Salah satu kekhawatiran populasi lumba-lumba Araguaian Boto adalah sumber makanan spesies ini berupa ikan-ikan kecil. Dan peneliti yakin, nelayan tak akan suka jika harus berebut makanan dengan lumba-lumba ini karena akan mengurangi jumlah tangkapan ikan nelayan. Karena itulah, ia mendesak agar spesies ini dikategorikan sebagai spesies “Terancam Punah” dalam Daftar Merah.

Sumber: tempo.co

read more
Energi

Peneliti UGM Produksi BBM dari Limbah Biomassa

Riset selama dua tahun terakhir, yang dilakukan oleh Profesor Arief Budiman bersama delapan mahasiswa S3 dan S2 bimbingannya, menghasilkan temuan teknologi menarik. Pengajar Jurusan Teknik Kimia, Fakultas Teknik, Universitas Gadjah Mada itu menemukan cara memproduksi bensin dan minyak tanah dari bahan sisa-sisa tanaman perkebunan, hutan dan pertanian alias biomassa.

“Kami sedang menyempurnakan riset ini agar bisa diaplikasikan di industri energi terbarukan,” kata Arief kepada Tempo di kampus Fakultas Teknik UGM pada Jumat, (10/1/2014).

Arief menguji teknologinya ini ke biomassa dari sisa-sisa tanaman yang berstruktur pejal, seperti tandan kelapa sawit, ranting dan cabang kayu hutan produksi serta ampas sisa perasan tebu atau bagasse. Dalam catatannya, aktivitas perkebunan kelapa sawit di Indonesia diperkirakan menghasilkan 20 juta ton tandan kosong selama 2014.

Sementara kegiatan penebangan kayu di hutan produksi biasanya hanya mengambil 40-60 persen dari komponen pohon saja. Jumlah biomassa berstruktur pejal lebih besar lagi apabila ditambah dengan sisa kayu perkebunan dan ampas perasan tebu di pabrik gula yang kerap terbuang percuma. “Batang padi sisa panen petani juga bisa dimanfaatkan sebagai bahan,” kata dia.

Dia memperkirakan saat ini Indonesia memiliki bahan limbah tandan kelapa sawit dan kayu hutan serta perkebunan sekitar 98 juta ton per tahun. Teknologi hasil penelitiannya menemukan cara memerah bensin dari biomassa dengan hasil 10 persen dari bahan. “Dari 98 juta ton biomassa bisa didapatkan 9,8 juta ton minyak atau 235.000 barrel per hari, jadi 20 persen dari kebutuhan BBM nasional,” kata dia.

Secara ringkas, teknologi pengubahan biomassa menjadi bahan bakar minyak ini terbagi dalam tiga tahap. Menurut Arief, bahan biomassa di tahap awal diolah dalam proses bernama pirolisis. Tahapan ini berupa mengonversi biomassa padat menjadi gas, cairan dan arang atau char lewat pemanasan dengan oksigen minim pada suhu 500-an derajat celcius.

Cairan hasil proses pirolisis, yang berwarna hitam pekat seperti kopi kental, merupakan bio-oil. Bahan ini sebenarnya berpotensi menjadi beragam produk jadi berbahan minyak seperti bensin, minyak tanah, oli hingga biodiesel alias solar. “Saya lebih fokus ke bensin karena ini yang paling dibutuhkan saat ini,” kata akademikus yang menekuni riset energi terbarukan sejak 1997 ini.

Menurut Arief bio-oil kemudian dimasukkan dalam peralatan lain untuk menjalani proses cracking atau perengkahan. Perengkahan dalam suhu 700 derajat celcius dilakukan dengan melibatkan zat katalis untuk membuat proses pemecahan rantai molekul lebih efektif. “Banyak zat katalis yang potensial dipakai, salah satu yang kami manfaatkan ialah zeolit,” kata Arief.

Cairan hasil dari proses perengkahan tersebut kemudian menjalani proses distilasi atau pemisahan zat dengan membedakan titik didih. Hasilnya, dua jenis cairan, yakni gasolin alias bensin dan kerosin atau minyak tanah. Gasolin berupa cairan berwarna kuning keemasan, sementara kerosin, kuning kehitaman.

Dia mengaku belum menguji tingkat efektivitas bensin dari bahan biomassa ini pada mesin, meskipun unsur kimiawinya sudah mirip seperti bensin dari bahan fosil. Arief masih mendalami kemungkinan efek tingkat keasaman yang tinggi dari bahan itu. “Kami akan kerja sama dengan peneliti di teknik mesin UGM,” kata Arief.

Dia juga menjelaskan ada satu teknologi lagi yang melengkapi hasil riset ini agar bisa teraplikasi secara mudah dalam industri. Dia merakit alat khusus yang berfungsi menyerap gas panas dari dua tabung baja tempat proses pirolisis dan perengkahan berlangsung. Fungsinya menyimpan limbah gas bersuhu tinggi untuk dimanfaatkan lagi dalam proses pirolisis atau perengkahan selanjutnya.

Arief menyebut alat tersebut berfungsi melakukan oksidasi parsial. Intinya menyimpan panas hasil proses di dua alat lain agar limbah gas tak terbuang dan mengurangi kebutuhan energi penaik suhu.

Dengan begitu, proses produksi bensin dari biomasaa ini miskin limbah. Sebabnya, arang hasil proses pirolisis atau biochar juga bisa dipakai untuk menyerap karbon tanah karena tekstur dalamnya yang berongga. “Bisa di tanam di lapisan tengah tanah dan membantu kesuburan karena menyerap karbon,” kata Arief.

Kalau ketiga peralatan tadi diintegrasikan, maka sudah layak jadi skema industri energi terbarukan. Kebetulan dia sudah membuat miniatur model industri yang memakai konsep pengintegrasian alat itu di laboratoriumnya. “Masih kami teliti lagi agar konsepnya matang,” kata dia.

Seorang mahasiswa S3 bimbingan Arief yang pernah berkunjung ke Brazil, Dani mengatakan model industri energi terbarukan yang terintegrasi sudah lazim dipraktikkan di negeri samba itu. Di sana semua pabrik gula memproduksi gula sekaligus etanol untuk bahan bakar kendaraan. “Kalau gula harganya naik, dipakai untuk produksi gula, tapi kalau turun, etanol yang diproduksi pabrik tebu di sana,” kata dia.

Semua proses riset teknologi mengubah biomassa jadi bensin ini dilakukan di laboratorium sederhana seluas separuh lapangan tenis. Dindingnya terbangun dari tumpukan batako tanpa pelapis semen tembok. Lokasinya ada di tebing pinggiran Kali Code yang meliuk tepat di belakang kompleks kampus Fakultas Teknik UGM.

Sumber: tempo.co

read more
Green Style

Peneliti LIPI: Biopori Kurang Efektif Cegah Banjir

Pada 20 Desember 2013 silam, Walikota Bandung Ridwan Kamil meluncurkan Gerakan Sejuta Biopori di Kota Kembang. Gerakan ini dibuat untuk mengurangi risiko banjir, menabung air tanah, mengelola sampah organik, dan menyuburkan tanah.

Meskipun memang sebuah gerakan yang baik, namun peneliti hidro-geologi LIPI (Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia), Edi Prasetyo Utomo punya pendapat lain. Lubang resapan biopori tak terlalu efektif mengurangi risiko banjir.

“Biopori memang baik untuk membasahi tanah pertanian. Supaya tanaman tetap mendapat air. Namun penyerapannya (biopori) kecil, dimensi kecil,” ujar Edi di LIPI Gatot Subroto, Jakarta Selatan, Kamis (23/1).

Pada saat peluncuran Gerakan Sejuta Biopori, Ridwan Kamil pun sudah menyadari hal tersebut sebagai solusi jangka panjang. Ia mengatakan akan membuat danau untuk menampung air. Biopori ia galakkan karena biaya rendah dan bisa dibuat oleh siapa saja.

Edi pun mendukung gerakan tersebut karena punya manfaat baik. Apalagi ia tinggal di Bandung, dan di lingkungan sekitar tempat tinggalnya pun terdapat banyak lubang resapan biopori (LRB).

Namun untuk mengurangi risiko banjir, ada cara lain yang lebih efektif meskipun butuh biaya lebih tinggi daripada membuat LRB. Cara yang ia maksud adalah membuat kolam infiltrasi.

Kolam infiltrasi adalah kolam berukuran 21x13x3 m3, dengan tiga sumur injeksi berkedalaman 12 meter. Kapasitas tampungnya mencapai 400 m3/hari. Air hujan yang turun akan ditampung, alih-alih dibuang ke saluran drainase. Sehingga tercipta cadangan air tanah yang bisa digunakan pada musim kemarau.

“Bagaimanapun juga kolam ini lebih baik daripada biopori untuk pencegahan banjir dan menabung air. Biayanya lumayan, Rp 100 juta. Namun ada pula yang ukuran lebih kecil, Rp 3 juta. Kalau dibagi dengan 10 rumah tangga saya rasa tetap low cost. Kalau dinilai (skala 0-10), biopori nilainya 7, yang kolam 9,” ujar Edi.

“Konsep ini sangat baik diterapkan di berbagai institusi pemerintah sipil dan non sipil,” tambahnya.

Rekayasa air tanah dengan konsep ini sudah memenuhi baku mutu air bersih menurut PP No. 82 Tahun 2001 tentang pengelolaan kualitas air dan pengendalian pencemaran air, kelas I (air baku untuk air minum. Edi mengatakan kalau konsep ini sudah dilakukan dibeberapa tempat selain LIPI, salah satunya di wilayah Depok. Namun untuk kawasan Jakarta, baru kompleks gedung Sasana Widya Sarwono yang menggunakan kolam infiltrasi sebagai salah satu solusi mengatasi banjir.

Sumber: beritasatu.com

read more