close

10/02/2014

Ragam

BMKG Pantau Titik Api di Aceh, Sumut, dan Riau

Berdasarkan pemantauan Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika (BMKG), wilayah Sumatera Selatan masih aman dari titik panas yang berpotensi menyebabkan kebakaran hutan dan lahan perkebunan, meski beberapa hari terakhir beberapa provinsi di Sumatera mulai banyak terdeteksi titik panas (hotspot).

“Berdasarkan pantauan melalui satelit pada Februari 2014, wilayah provinsi yang memiliki 15 kabupaten dan kota ini belum terdeteksi satupun titik api. Bahkan masih terdapat cukup sering turun hujan dengan intensitas sedang,” kata Kasi Observasi dan Informasi Stasiun Klimatologi Kenten BMKG Sumsel, Indra Purnama di Palembang, Minggu.

Dia menjelaskan, berdasarkan pantauan melalui satelit Terra dan Aqua terdeteksi titik panas di daratan Sumatera sekarang sebanyak 16 titik api. Dimana antara lain tersebar di Provinsi Aceh ada delapan titik api, di Sumatera Utara terdapat tiga titik dan di Riau terdeteksi ada lima titik api.

Jumlah titik api yang terdeteksi saat ini, sangat jauh menurun jika dibandingkan dengan beberapa hari sebelumnya yang mencapai 189 titik api.

Untuk mengetahui perkembangan jumlah titik api di wilayah Sumatera dan kemungkinan meluas hingga ke wilayah Sumatera Selatan, menurut Indra, pihaknya akan melakukan pengawasan secara intensif. Sehingga bisa disiapkan langkah-langkah penanggulangannya.

Berdasarkan kondisi cuaca di wilayah provinsi berpenduduk sekitar 8,6 juta jiwa ini, menurutnya, masih terdapat cukup sering turun hujan. Sehingga diperkirakan beberapa bulan ke depan, daerah ini relatif aman dari ancaman titik api yang dapat mengakibatkan kebakaran hutan dan lahan perkebunan atau pertanian.

Wilayah Sumsel sekarang ini masih relatif aman dari titik api, meskipun demikian diimbau kepada seluruh lapisan masyarakat dan pihak terkait dalam penanggulangan bencana agar mulai melakukan langkah antisipasi penanggulangan kebakaran hutan dan lahan. Sehingga, menurut Indra, tidak menimbulkan masalah gangguan kabut asap seperti yang mulai terjadi di wilayah Riau dan sekitarnya.

Sementara Koordinator Taruna siaga Bencana Sumsel Ms Sumarwan mengatakan, menghadapi kondisi cuaca sekarang ini, pihaknya telah meningkatkan kesiap siagaan personel dan peralatan pendukung untuk membantu masyarakat jika terjadi suatu bencana.

Dalam kondisi sekarang ini, anggota Tagana fokus menyiapkan diri membantu masyarakat menanggulangi bencana banjir dan tanah

Meskipun demikian, ancaman kebakaran hutan dan lahan juga menjadi pehatian. Karena di beberapa provinsi tetangga mulai mengalami masalah gangguan kabut asap akibat terjadinya kebakaran hutan dan lahan, kata Sumarwan.

Sumber: TGJ

read more
Perubahan Iklim

Modifikasi Cuaca Bukan Solusi Perubahan Iklim

Pemanasan global, yang dicirikan dengan terus bertambahnya emisi gas rumah kaca, akan meningkatkan curah hujan di bumi rata-rata 7% dibanding masa praindustri. Peningkatan curah hujan ini – bersama dengan korupsi dan salah kelola lingkungan – meningkatkan risiko bencana alam seperti banjir, erosi dan tanah longsor.

Sejumlah negara – tak terkecuali Indonesia – berupaya mengatasi dan mengurangi dampak pemanasan global ini dengan memodifikasi iklim. Teknik modifikasi ini dikenal dengan istilah “geoengineering”. Penelitian terbaru dari National Center for Atmospheric Research (NCAR) mengungkapkan, modifikasi iklim ternyata berdampak negatif pada lingkungan.

Modifikasi iklim akan mengurangi curah hujan, meningkatkan risiko kekeringan dan kekurangan air di berbagai wilayah di bumi. Menurut NCAR, modifikasi iklim akan menurunkan curah hujan hingga 5-7% di wilayah Amerika Utara, Asia Timur dan wilayah-wilayah lain. Secara rata-rata, modifikasi iklim akan menurunkan curah hujan di bumi hingga 4,5%.

“Modifikasi tidak bisa menjadi solusi (untuk mengatasi krisis iklim),” ujar Simone Tilmes, ilmuwan NCAR yang memimpin penelitian ini. “Curah hujan tidak akan bisa kembali normal seperti pada masa praindustri,” tuturnya.

Ilmuwan memertimbangkan beberapa jenis modifikasi iklim untuk mengurangi dampak pemanasan global dan perubahan iklim. Jenis modifikasi tersebut adalah dengan menangkap CO2 sebelum masuk ke atmosfer serta penyebaran partikel sulfat serta menempatkan kaca di atmosfer untuk memantulkan kembali radiasi matahari ke luar angkasa.

Penelitian ini berfokus pada upaya modifikasi yang kedua yaitu upaya “memayungi” bumi dari radiasi matahari. “Jika Anda tidak menyukai pemanasan global, Anda bisa mengurangi cahaya matahari yang mencapai bumi. Upaya ini akan mendinginkan iklim. Namun jika hal itu Anda lakukan, curah hujan akan menurun dalam jumlah besar. Tak ada solusi yang saling menguntungkan di sini,” tuturnya.

Tim peneliti menyatakan, ada dua alasan penurunan curah hujan jika radiasi matahari dicegah memasuki bumi. Alasan pertama adalah menurunnya proses evaporasi/penguapan air laut. Dalam siklus hujan, sinar matahari menguapkan air laut. Uap air laut ini kemudian memasuki atmosfer membentuk awan hujan. Awan hujan ini kemudian terbawa angin menyebar ke berbagai wilayah.

Alasan kedua berhubungan dengan tanaman. Saat emisi CO2 semakin banyak, tanaman akan menutup sebagian stomata mereka. Stomata adalah celah-celah pada daun yang berfungsi menyerap CO2 dan melepaskannya kembali dalam bentuk O2 melalui proses fotosintesis.

Saat stomata tertutup sebagian, jumlah air yang menguap dari tanaman akan semakin sedikit. Sehingga, saat radiasi berkurang, kapasitas fotosintesis juga akan berkurang, stomata akan semakin tertutup. Alhasil, penguapan air dari tanaman makin berkurang, atmosfer akan semakin dingin dan lahan akan semakin gersang.

Sumber: Hijauku.com

read more
Hutan

Merancang Masa Depan Penjaga Hutan Aceh

Sejumlah LSM internasional berinisiasi melaksanakan program menjaga hutan dengan merekrut warga sebagai penjaga hutan atau yang biasa disebut Ranger. Donor pun banyak memberikan bantuan pendanaan dan teknis pelaksanaan. Namun sejatinya proyek, tentu tidak bisa berjalan terus menerus, selalu ada masa berakhirnya. Salah satu proyek yang kini tutup adalah Program Community Ranger Programme yang dilaksanakan di enam kabupaten Aceh.

Program ini dilaksanakan oleh LSM Fauna dan Flora International (FFI) dengan dukungan World Bank yang memakai dana bantuan Pemerintah Australia dan Belanda. Program Ranger jaga hutan ini sendiri berada di bawah payung besar program yang bernama Consolidating Peace Development in Aceh yang berlangsung dari tahun 2011-2013.

Di akhir program, FFI melakukan ekspose program pada hari Senin (10/2/2014) bertempat di Aula Balai Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA) Aceh yang dihadiri sejumlah aktivis LSM dan Dinas Kehutanan propinsi dan kabupaten. Staff FFI, Munawar Kholis, melakukan presentasi menjelaskan capaian-capaian program.

Community Ranger ini didesain bukanlah untuk menjalankan penegakan hukum kehutanan dalam kegiatannya. ” Tidak ada upaya represif dari Community Ranger karena tidak ada kewenangannya selama 1,5 tahun bertugas,” kata Kholis. Ada 18 Community Ranger di enam kabupaten yang masuk dalam wilayah Hutan Ulumasen dengan total anggota 350 anggota, tambahnya.

Community Ranger ini melakukan pemantauan kondisi hutan untuk mencegah kerusakan hutan melalui kegiatan patroli rutin. Ranger dalam melaksanakan tugasnya sering menemukan illegal logging, perburuan dan ancaman terhadap satwa liar langka, penanggulang konflik satwa dan penanggulangan bencana kebakaran hutan.

” Hasil pemantauan ini kemudian dilaporkan dalam bentuk angka-angka dan dibuat pemetaannya (Mapping and Reporting). Dengan kata lain Ranger melakukan pemantauan hutan secara halus karena mereka sering berpatroli di daerah yang tinggi temuan. Memang tidak diambil tindakan hukum karena tidak ada kewenangannya,” jelas Kholis.

Namun dengan patroli rutin yang dilakukan, temua-temuan semakin lama menunjukan trend berkurang jumlahnya. Patroli sering menemukan jerat yang dipasang untuk hewan liar dan mereka membongkar jerat-jerat tersebut. Seperti di daerah Pidie, kata Kholis, tim pernah menemukan 23 jerat harimau yang sengaja dipasang. ” Ada indikasi kuat perburuan Harimau di Pidie,” ucapnya.

Sekali jalan, tim patroli yang beranggotakan 3 sampai 4 orang bisa menghabiskan waktu 2 atau 3 hari berada dalam hutan. Ranger tidak diberi gaji, hanya diberi dana operasional semata namun mereka diberikan bantuan untuk meningkatkan mata pencarian dibidang pertanian atau peternakan.

Hasil-hasil temuan ini selain dilaporkan secara resmi ke organisasi juga disampaikan kepada masyarakat sekitar hutan melalui kegiatan Community Outreach (pertemuan dengan masyarakat) untuk dicarikan solusinya. Hasilnya semakin lama intensitas logging semakin berkurang. Ranger berpatroli di luar wilayah kawasan hutan lindung tetapi mereka memastikan bahwa temuan-temuan mereka berasal dari bagian dalam hutan lindung.

” Patroli bukanlah solusi dari kerusakan hutan, tapi ini alat pemantauan hutan melalui kegiatan patroli. Mungkin kalau ada penindakan hukum trendnya akan berkurang terus,” kata Kholis. Kholis juga menyampaikan anggota Ranger enggan melaporkan pelanggaran hukum kepada aparat yang berwenang karena berefek kepada mereka sendiri. Misalnya saja mereka ikut diperiksa ataupun mendapat ancaman dari pelaku perusakan hutan.

Koordinasi dengan Pemerintah

Kepala Balai Besar Taman Nasional Gunung Leuser (TNBL) Andi Basrul yang hadir dalam acara tersebut menyarankan ke depan dilakukan koordinasi yang erat bersama aparat pemerintah. ” Libatkan orang BKSDA dalam patroli, dan harus disiapkan landasan hukum yang kuat,” katanya.

Ketua lembaga Strategic Resource Initiative (SRI), Yacob Ishadamy, menyatakan bahwa selama ini ada inisiatif dari masyarakat untuk menjaga hutan. ” Namun ke depan bagaimana? Setelah program ini berakhir bagaimana dengan pendampingan masyarakat di tingkat basis? Harus ada kebersamaan dalam menjaga hutan,” ujarnya. Federasi Ranger yang telah dibentuk bagaimana ke depan? Sambungnya.

Saat ini telah dibentuk Federasi Ranger Aceh pada tanggal 15 Desember 2013 dengan Sekjen Yacob Ishadamy. Federasi ini menaungi sekitar 364 orang.

Saat diskusi dari peserta lain juga banyak bermunculan pertanyaan bagaimana dengan nasib penjaga hutan ini di masa depan? Para Ranger telah mendapatkan pelatihan SAR, navigasi dan penggunaan GPS, survival, Patroli Monitoring, identifikasi biodiversity, community Outreach dan sebagainya. Ini merupakan asset yang sangat besar dan sangat disayangkan jika tidak dimanfaatkan. Apalagi penjaga hutan dari pemerintah atau Polisi Hutan tidak banyak berfungsi, kurang bergerak di lapangan, lebih banyak mangkal di kantor saja dengan alasan tidak ada dana.

Sebelumnya beberapa program serupa juga telah dilaksanakan oleh Aceh Forest and Environment Project (AFEP) yang dilaksanakan sekitar tahun 2009. Proyek ini juga mendedikasikan diri kepada penyelamatan hutan melalui pembentukan Ranger di berbagai tempat. Sayangnya usai proyek, tidak terdengar lagi kabarnya.

Kholis, menanggapi kekhawatiran peserta mengatakan bahwa Ranger bentukan FFI ini tetap melaksanakan patroli usai dukungan dari program berakhir. ” Mereka tetap melakukan monitoring konflik satwa,tetapi tentu usahanya tidak sebesar dulu lagi. Kehadiran patroli sangat simpel, jika ada temuan catat dan laporkan. Hal ini membuat segan para pelaku,” kata Kholis. Anggota ranger ada juga yang bekas pelaku illegal logging, mantan kombatan dan pemburu hewan liar. Jadi mereka tahu persis medan.

read more