close

15/02/2014

Flora Fauna

ProFauna Kirim Tim Penyelamat Ternak Korban Kelud

Lembaga konservasi satwa liar dan hutan, ProFauna Indonesia mengirimkan tim penyelamat satwa ke sekitar kawasan korban bencana erupsi Gunung Kelud yang ada di Kecamatan Ngantang dan Kasembon.

“Tim berjumlah lima orang sudah diberangkatkan sejak Jumat dini hari, untuk melakukan pengecekan dan memastikan kondisi satwa atau ternak yang ditinggalkan pemiliknya karena mengungsi,” kata Chairman ProFauna Indonesia, Rosek Nursahid, di Malang, Sabtu.

Rosek menambahkan bahwa sangat dimungkinkan untuk melakukan penambahan personel kalau dibutuhkan lagi. Mulai kemarin, tim masih melakukan penyisiran dan pemantauan ke sejumlah kawasan yang terdampak erupsi Gunung Kelud.

Hasil pantauan sementara, katanya, cukup banyak ternak warga di beberapa desa yang telantar karena ditinggalkan pemiliknya mengungsi. Di beberapa desa ada kambing dan sapi yang telantar karena desanya kosong ditinggal mengungsi, seperti di Ngantang, Kediri, maupun Kasembon.

Namun, tambahnya, belum ada laporan dari tim terkait jumlah ternak milik warga yang terlantar dan perlu dievakuasi.

Setelah terdata, tim yang bertugas akan melakukan tiga hal yaitu memberi makan kepada ternak, melakukan pengobatan terhadap ternak yang sakit, melakukan penandaan (tagging) sesuai pemiliknya, dan mengevakuasi ternak ke tempat aman.

Ia menjelaskan, ternak-ternak yang terlantar, pada umumnya kesulitan mencari makan sendiri, karena sumber pakan mereka rusak terkena abu vulkanik. Selain itu, banyak ternak yang terluka, sehingga harus diobati.

Tim juga disertai dokter hewan, jelas Rosek, namun evakuasi ternak ke tempat yang lebih aman saat ini belum dilakukan karena masih dilakukan koordinasi dengan pihak-pihak terkait.

“Kami masih melakukan berkoordinasi dengan Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) untuk menentukan langkah yang harus kami ambil, termasuk menyediakan shelter bagi ternak yang telantar dan kekurangan pasokan pakan tersebut,” tegasnya.

Sumber: antaranews.com

read more
Ragam

Gunung Kelud dan Fenomena Cincin Api

Gunung Kelud adalah satu dari 130 gunung berapi yang masih aktif di Indonesia. Banyaknya jumlah tersebut antara lain dikarenakan jalur cincin api pasifik yang melewati wilayah Indonesia.

Letusan Gunung Kelud yang terakhir terjadi tahun 1990. Saat itu asap dan lava menewaskan lebih dari 30 orang dan ratusan lainnya mengalami luka-luka. Tahun 1919, letusan hebat yang masih terdengar dari kejauhan ratusan kilometer menewaskan 5160 orang.

Di tahun 2014, gunung berapi setinggi 1731 meter ini sudah bergolak sejak beberapa minggu lalu. Kamis (13/02/14), Gunung Kelud akhirnya meletus. Ketinggian semburan abu mencapai hingga 30 km ke udara, yang mengakibatkan jalanan tertutupi abu tebal, 2 hingga 3 cm.

Cincin api
Kelud adalah satu dari 130 gunung berapi yang masih aktif di Indonesia. Secara keseluruhan ada sekitar 400 gunung api di Indonesia. Penyebab banyaknya jumlah gunung berapi antara lain karena Indonesia dilintasi oleh jalur cincin api pasifik.

Kepulauan Indonesia terletak di antara kawasan dengan gelombang seismik paling aktif di dunia, cincin api pasifik, dan sabuk alpide. Cincin api pasifik adalah sabuk gempa bumi terbesar di dunia, karena melewati jalur dari Chile hingga Jepang dan Asia Tenggara.

Di jalur cincin api pasifik ada 40 persen gunung berapi yang masih aktif. Jalur ini berbentuk seperti tapal kuda mengelilingi cekungan samudera pasifik dengan panjang kurang lebih 40.000 km.

Pertemuan lempeng tektonik
Selain berada di jalur cincin api, Indonesia juga dilalui oleh jalur pertemuan 3 lempeng tektonik. Yakni, lempeng Indo-Australia, lempeng Eurasia, dan lempeng Pasifik. Jika salah satu lempengan bergerak, maka akan menyebabkan gempa bumi, letusan gunung berapi dan bahkan tsunami.

Menurut penelitian badan survey geologi Amerika Serikat (USGS) sejak tahun 1900 di sepanjang jalur cincin api setiap tahunnya rata-rata terjadi 20 gempa bumi dengan kekuatan lebih dari 7,0 skala Richter.

Gempa bumi besar dengan dampak yang paling parah terjadi 26 Desember 2004 dengan kekuatan 9,3 skala Richter, atau lebih dikenal dengan sebutan bencana Tsunami. Gelombang banjir yang terjadi setelahnya menewaskan lebih dari 220.000 orang. 160.000 di antaranya adalah penduduk provinsi Aceh.

Sumber: dw.de

read more
Kebijakan Lingkungan

Ekologi, Ekonomi dan Kemiskinan

“Kegagalan dalam merencanakan, adalah merencanakan kegagalan itu sendiri”

Negeri yang namanya Negara Kesatuan Republik Indonesia, sebagai sebuah negeri  Zamrud di khatulistiwa, Negerinya kolam susu (kata Koes Plus) semua bisa tumbuh. Negara yang terkenal kaya akan SDA, ternyata permasalahan kemiskinan menjadi persoalan yang sangat rumit, negeri yang berbasis agraris, pertanian, ternyata harus mengimport beras, gula pasir, susu, dll. Suatu hal yang cukup ironis, sehingga pertanyaan diatas cukup menggelitik semua pihak, baik ekonom, eksekutif, dan legislative, LSM, dan pertanyaan tersebut tidak hanya menggelitik, tetapi membutuhkan jawaban, sementara ini jawaban itu belum jelas dan belum akurat.

Sudah banyak pakar ekonom mencoba menafsirkan kemiskinan melalui indikator kemiskinan, solusi kemiskinan, penyebab kemiskinan, namun pengentasan kemiskinan belum bisa tuntas, bahkan cenderung meningkat di Indonesia. Tentunya timbul sebuah pertanyaan “ ada apa dengan kemiskinan di Indonesia ?”.

Perlu kita simak pertanyaan  Prof Mubyarto mempertanyakan hal yang lebih mendasar “Apakah kriteria kemiskinan diperlukan pemerintah, dan apakah perlu indikator tertentu bagi keluarga miskin? Apa gunanya indikator atau kriteria kemiskinan? Apakah agar program-program penanggulangan kemiskinan lebih mengena sasaran?. Jika kebijakan-kebijakan, strategi dan program-program penanggulangan kemiskinan selama ini ternyata tidak efektif mencapai sasaran, apakah berarti kriteria kemiskinan yang dipakai tidak tepat atau indikatornya keliru?

Dari beberapa catatan diatas, belum jelasnya Indikator Kemiskinan, sehingga dengan ketidak jelasnnya indikator kemiskinan, membuat program-program penanggulangan kemiskinan belum menyentuh sasaran. Kenyataan ini, walaupun berbagai departemen memiliki program pengentasan kemiskinan, ternyata pengentaskan kemiskinan belum berhasil.

Pengertian dan indikator Human Development Report (HDR) adalah satu konsep yang melihat pembangunan secara lebih komprehensif, di mana pembangunan harus menjadikan kesejahteraan manusia sebagai tujuan akhir, bukan menjadikan manusia sebagai alat pembangunan. Di dalam konsep ini, juga dijelaskan bahwa pembangunan manusia pada dasarnya adalah memperluas pilihan-pilihan bagi masyarakat.

Hal yang paling penting di antara pilihan-pilihan yang luas tersebut adalah hidup yang panjang dan sehat, untuk mendapatkan pendidikan dan memiliki akses kepada sumber daya untuk mendapatkan standar hidup yang layak. Pilihan penting lainnya adalah kebebasan berpolitik, jaminan hak asasi manusia dan penghormatan secara pribadi, sehingga HDR bahwa pembangunan harus terfokus pada tujuan akhir menjadikan kesejahteraan manusia.

Dari Index Kemiskinan Manusia atau Human Poverty Index (HPI), kemiskinan di Indonesia semakin  bertambah, untuk mengatasi kemiskinan telah dilakukan dan akan terus dilakukan kegiatan pengentasan kemiskinan melalui program pengentasan, namun jumlah kemiskinan semakin bertambah, sehingga timbul pertanyaan ”Ada apa dengan kemiskinan Indonesia ?” beberapa kemungkinan jawaban antara lain ”Apakah tujuan dan fokus pembangunan yang belum tepat ? (sesuai dengan potensi yang ada), ”Apakah Indikator dan penyebab kemiskinan yang belum  jelas ?”, kalau keduanya belum jelas tentunya program pengentasan kemiskinan juga tidak akan menghasilkan hasil yang diharapkan

Sebagaimana statemen Duta Besar PBB untuk Millenium Development Goals (MDGs) Asia Pasifik, Erna Witoelar menyatakan perusakan lingkungan menyebabkan masyarakat semakin miskin karena rusaknya sumber daya potensial. “Angka kemiskinan akan terus naik seiring dengan kerusakan lingkungan,” Berdasarkan hasil evaluasi program MDGs di Asia Pasifik, tahun 2006 Indonesia dinilai mengalami penurunan pencapaian target MDGs.”Penurunannya sangat parah,” kata Erna dalam diskusi “Pemenuhan dan Pemulihan Keadilan Ekologis,”. Penyebab utamanya adalah bencana alam akibat kerusakan ekologis dan konflik politik. Mundurnya pencapaian pembangunan itu, menyebabkan masyarakat semakin miskin, akses pada sarana pendidikan dan kesehatan minim dan lingkungan yang semakin rusak.

Memang kenyataan ini, belum banyak dilirik dalam mengentaskan kemiskinan di Indonesia, sehingga beberapa kajian Indikator dan penyebab kemiskinan serta upaya pengentasan kemiskian secara lintas sektoral di Indonesia. Aspek ekologis sangat minim diperhatikan terutama mengurangi kerusakan ekologis seperti deforestrasi, bahkan di era  otonomi daerah, banyak keinginan untuk melakukan kegiatan Investasi yang cenderung  tidak memperhatikan aspek ekologis/Sumber Daya Alam, namun  hanya memperhatikan aspek ekonomi untuk mendapatkan fuinancial benefit sebesar-besarnya atau Pendapatan Asli Daerah (PAD) semata-mata selama berkuasa, dengan mengabaikan Penilaian ekonomi Sumber Daya Alam (yang memiliki dimensi non administratif bahkan berdimensi regional dan global).

Sehingga kerusakan ekologis sebagai suatu penyebab kemiskinan terbesar baik di desa maupun di kota secara bertahap dan kontinyu serta pasti. Fakta ini sudah dibuktikan dengan kerusakan hutan baik secara legal melalui Hak pengusahaan Hutan, Pertambangan dan investasi lain membawa dampak akses ekonomi masyarakat pinggir hutan terbatas, bahkan menjalar ke daerah hilir, yang akan membawa pengaruh pada masyarakat secara ekonomi menurun dan dampak ekologis lainnya yaitu bencana alam banjir dan kekeringan, dan penyakit. Sedangkan sumber Pendapatan masyarakat utama adalah pertanian, dan akan membawa pengaruh secara regional  terhadap pusat-pusat ekonomi yang ada di kota.

Kalau kita simak statemen Pengamat ekonomi Rizal Ramli menilai perbaikan ekonomi bisa dilakukan seiring dengan perbaikan ekologis dengan syarat ada perbaikan kesejahteraan. Oleh karena itu, yang harus diprioritaskan oleh pemerintah adalah meningkatkan kesejahteraan dan pendapatan perkapita.

Kemiskinan dan  kerusakan ekologis sesuatu yang  sangat sulit dipisahkan. Kerusakan ekologis menyebabkan kemiskinan, sebaliknya kemiskinan menyebabkan kerusakan ekologis semakin tinggi, sehingga faktor ekologis merupakan salah satu faktor utama penyebab kemiskinan Indonesia.

Pemimpin spiritual India Mahatma Gandhi pernah mengingatkan, bumi menyediakan cukup kebutuhan seluruh umat manusia, tapi bukan untuk kerakusan. Memang, orang-orang yang rakus senantiasa tidak pernah puas dan merasa kurang, sekalipun sudah berkelimpahan. Peringatan Mahatma Gandhi sangat relevan dengan situasi global, lebih-lebih saat ini.

Kerakusan tidak hanya menciptakan kemiskinan bagi sesama manusia, tapi juga bisa merusak alam. Keserakahan membuat alam dieksplorasi secara berlebihan, yang akan menimbulkan bencana, hanya melihat alam sebagai sumber financial semata-mata, sedangkan alam merupakan ekolgis yang memiliki nilai ekonomi tidak langsung yang mendukung nilai ekonomi secara langsung.

Dari beberapa sumber dan fakta lapangan, bahwa kerusakan ekologis mejadi salah satu faktor utama kemiskinan di Indonesia. Hal ini dibuktikan di pesisir Jawa, sampai akhir tahun 2003, jumlah desa terkena banjir meningkat 3 kali lipat yaitu 2.823 desa dibandingkan tahun 1996-1999, yang juga merupakan implikasi dari rusaknya ekosistem pesisir akibat dari konversi lahan, destructive fishing, reklamasi, hingga pencemaran laut (dimana 80% industri di Pulau Jawa berada disepanjang pantai utara Jawa).

Kekeringan adalah bencana lain yang semakin kerap terjadi di Indonesia. Belakangan ini musim kemarau di Indonesia semakin panjang dan tidak beraturan, meski secara geografis dan alamiah Indonesia berada di lintasan Osilasi Selatan-El Nino (ENSO), misalnya kemarau 2003 termasuk normal, namun tercatat 78 bencana kekeringan di 11 propinsi, dengan wilayah yang terburuk dampaknya adalah Jawa Barat dan Jawa Tengah.

Dampak kekeringan yang utama adalah menurunnya ketersediaan air, baik di waduk maupun badan sungai, yang terparah adalah pulau Jawa. Dampak lanjutannya adalah pada sektor air bersih, produksi pangan serta pasokan listrik. Kekeringan juga terkait dengan kebakaran hutan, karena cuaca kering memicu perluasan kebakaran hutan dan lahan serta penyebaran asap.

Pemerintah tidak melakukan kajian menyeluruh mengenai pola dan penyebab bencana tersebut, yang akan menyebabkan kemiskinan secara bertahap akan bertambah, sedangkan upaya pengentasan telah dilakukan, namun minim sekali melihat aspek ekologis. Pengentasan kemiskinan cenderung dilakukan mengabaikan aspek ekologis, sehingga penyelesaian kemiskinan tidak komprehensif dan terpadu.

Masalah kerusakan lingkungan di Indonesia lebih rumit, dimana di era otonomi daerah, peraturan dan kebijakan belum sepenuh berpihak penuh pada ekologis dan menghentikan kerusakan  serta mengembalikan fungsi ekologis, karena peraturan dan kebijakan merupakan lanjutan dari kebijakan pemerintah sebelumnya yang mengeksploitasi SDA untuk kepentingan financial semata-mata menuntut agar daerah dapat lebih besar menikmati hasil eksploitasi sumberdaya alam dan lingkungan, yang dapat memicu motivasi negatif untuk mengeksploitasi terus-menerus demi kepentingan jangka pendek.

Bahkan saat ini kecenderungan terjadi eksploitasi SDA dengan beragai alasan, untuk mengeksploitasi hutan bahkan mengancam hutan konservasi untuk mendapatkan dan menggelembungkan PAD tanpa memperhatikan dampak dari kegiatan tersebut jangka panjang.  Hingga hari ini masih tampak jelas adanya konflik pengelolaan/penggunaan sumber daya alam, terlalu kuatnya ego sektoral, lemahnya koordinasi dan penegakan hukum, lemahnya kepekaan SDM, dan alasan klasik terbatasnya dana dalam mengelola lingkungan hidup. Dengan mengatasnamakan upaya untuk keluar dari krisis ekonomi ataupun investasi, aktivitas ekonomi yang memperkosa alam seakan memperoleh pembenaran. Upaya konservasi sumber daya alam dan lingkungan hidup dikorbankan atau bahkan dijadikan tumbal untuk menutup kerugian ekonomi.

Ditambah lagi fakta politik di Indonesia, untuk menjadi pimpinan daerah dan nasional bahkan anggota legeslatif melalui pemilihan dengan biaya tinggi, tentunya peluang pimpinan dan anggota legeslatif lebih cenderung berinvestasi pada kegiatan politik, yang sebelumnya berusha untuk merebut dan mempertahankan kekuasanan dengan mebayar mahal dan mendapat keuntungan setelah menjabat cenderung menjadi incaran bagi orang kaya menduduki jabatan politik.

Pembangunan pada masa lalu sampai sekarang memang cenderung untuk meminimalkan nilai lingkungan, bahkan menghilangkannya, yaitu semenjak tahun 1971 Hutan dijadikan areal HPH sebagai modal Pembangunan yang menghasilkan devisa utama dalam pembangunan, dan pembangunan perkotaan, Industrial dll. Lingkungan dan ekosistem yang ada banyak dialihfungsikan untuk kepentingan ekonomi semata-mata, sehingga keadaan lingkungan suatu daerah berkembang dan memberikan nilai ekonomi jangka pendek, namun secara ekologi dan ekonomi menurun dalam jangka panjang.

Ekologi diabaikan, padahal nilai ekologi lebih penting daripada perkembangan nilai ekonomi jangka pendek. Sehingga tidak mengherankan terganggunya keseimbangan ekosistem, langsung maupun tidak langsung seperti meningkatnya suhu udara di perkotaan, pencemaran udara (meningkatnya kadar karbonmonoksida, ozon, karbondioksida, oksida nitrogen, belerang, dan debu), menurunnya air tanah dan permukaan tanah, banjir atau genangan, instrusi air laut, meningkatnya kandungan logam berat dalam air tanah, dan masih banyak lagi dampak lainnya yang ada ataupun yang belum terasa baik secara regional maupun global.

Sistim ekonomi yang dianut cenderung ke sistem ekonomi kapitalis dalam permasalahan pembangunan yang mengakibatkan kerusakan lingkungan, akan menuju kepada permasalahan ekonomi dan sosial-budaya dalam jangka panjang. Hubungan manusia dengan lingkungan “sebagai penguasa alam” membuat alam tidak harmonis dan tak seimbang akan turut juga memicu krisis sosial-budaya, kemiskinan, yang muncul diawali degradasi lingkungan di sekitar suatu obyek ekologi justru akan menciptakan ekonomi biaya tinggi. Yang melahirkan opportunity cost baik Perusahaan maupun masyarakat bagaimana memperoleh air bersih atau melakukan treatment untuk udara dan air yang tercemar, banjir, kekeringan, longsor, dll

Hal ini tentunya diikuti dengan terjadinya krisis sosial-budaya termasuk kesehatan masyarakat di sekitar obyek/perusahaan tersebut. Bahwa Sumber daya alam merupakan sumber dan tata kehidupan yang memberikan ecological benefit, economical benefit, dan social benefit. Yang merupakan tolok ukur pembangunan yang menjadi acuan bagi Pemerintah dalam melaksanakan pembangunan berkelanjutan, dimana manusia menjadi bagian dari lingkungan yang akan saling mempengerahi tatanan sosial, budaya dan ekonomi, karena tanpa SDA manusia tidak akan bisa hidup di planet ini

Pembangunan dalam mewujudkan kesejahteraan yang madani tidaklah cukup mengandalkan pendekatan ilmu ekonomi konvensional semata-mata. Kegagalan-kegagalan pembangunan ekonomi di negara berkembang, diakibatkan berbagai degradasi sumber daya alam serta lingkungan tidak bisa semata-mata didekati dari kebijakan ekonomi fiskal dan moneter. Misalnya penghitungan nilai-non pasar sebuah pohon, yang umumnya diukur nilai ekonomi kubikasi kayu dengan menebang dan menjual kayunya saja. Melalui perhitungan Penilaian Ekonomi Sumber Daya Alam (PESDA) pohon yang dibiarkan dianggap tak memiliki nilai ekonomis sama sekali.

Padahal pohon hidup ini bila dikonversi/diuangkan dengan memperhitungkan nilai ekologi akan memiliki nilai ekonomis yang jauh lebih tinggi. Nilai non-market tersebut misalnya keteduhan, kesejukan, kesuburan tanah, tempat bersarang berbagai burung dan hewan serta keseimbangan dan kelestarian alam. Penempatan nilai ekologi dalam ekonomi yang sebenarnya juga sangat diperlukan dalam menghitung kerugian seperti akibat pencemaran lingkungan yang dilakukan suatu perusahaan, kerusakan hutan, kerusakan lahan, pantai, laut dan sebagainya.

Manusia memang tidak bisa lepas dari ekosistem yang besar (planet bumi) sebagai penyedia jasa dan produk dari kehidupan manusia itu sendiri. Salah satu pernyataan seorang militer Prussia, Carl von Clausewitz (1780-1831) ekonomi terlalu penting untuk diserahkan pengelolaannya hanya kepada para ekonom saja. Sementara itu, arus utama pemikiran ekonomi terlalu menitikberatkan pada pelaku sosial (social sphere/anthropocentric) dengan mendiskusikan persoalan yang terkait dengan nilai keputusan (value decisions), tingkah laku pelaku ekonomi (economic actors/agents) dan mekanisme pasar (market mechanism). Mereka sering lupa atau bahkan melupakan diri bahwa distribusi kesejahteraan yang dihasilkan dari pasar itu berasal dari dunia material (ekosistem), lingkungan, sistem planet bumi itu sendiri.

Pengabaian peran ekologi sesungguhnya tidak ditemukan dalam sejarah pemikiran ekonomi. Pengabain ini pantas disebut sebagai kecelakaan sejarah karena dalam perkembangannya telah banyak ilmuwan baik dari kalangan ecologists maupun economists yang mengkritik pemikiran dari penganut ortodoks neoklasik. Khususnya pemikiran yang menganggap sumberdaya (biosfer bumi) tidak ada batasannya dan tidak mempercayai hukum yang berlaku di alam. Demikian juga dengan pemikiran antroprocentric (manusia) yang mengabaikan peran ekosistem sebagai penyedia sumberdaya sekaligus penerima limbah dari kegiatan ekonomi. Hal ini lumrah bagi mereka yang memberi ‘penilaian yang rendah’ terhadap proses-proses ekosistem sebagai penyedia sumberdaya maupun sebagai penyerap limbah kegiatan ekonomi.[]

read more