close

20/02/2014

Green Style

IFW 2014, Kental Sentuhan Ramah Lingkungan

Direktur Indonesia Fashion Week (IFW) 2014, Dina Midiani, mengatakan pada ajang yang akan berlangsung hari ini hingga 23 Februari, akan kental dengan Green Movement. Gerakan ramah lingkungan ini sebagai arus baru di dalam fashion lokal.

Kepada media, beberapa waktu lalu, Dina menjelaskan pentingnya produk fashion yang ramah lingkungan yang biasa disebut sustainable fashion atau eco-fashion.

“Artinya adalah produk yang diproduksi dengan memperhatikan dampaknya terhadap Bumi dan efek sosial yang ditimbulkan. Pada penggunaan bahan ramah lingkungan, produk yang tahan lama, meminimalisir jejak karbon hingga kesejahteraan pekerja adalah hal-hal yang termasuk dalam eco-fashion,” kata Dina.

Dia juga menerangkan tentang tempat tinggal sebagai hal yang mendukung green movement. Menurutnya, selama kita masih tinggal di Bumi, tentu segala hal yang terjadi di Bumi akan mempengaruhi kehidupan kita.

“Rasanya, bagaimana mungkin kita bisa hidup tenang sementara udara yang kita hirup semakin terpolusi? kemudian bagaimana juga caranya hidup sehat apabila semakin banyak sampah yang tidak bisa didaur ulang? Lalu soal air tercemar dan sebagainya. Karena itu, tanggung jawab kita  menjaga Bumi masih berada di pundak kita. Dan menjadikan bumi ini dengan ramah lingkungan,” ungkapnya panjang lebar.

Kemudian Dina juga menjelaskan tentang resiko tang tanggung jawab manusia untuk mengolah dan memakai sumber kekayaan alam.

“Adalah tugas dan tanggung jawab kita supaya sumber alam tidak habis dan rusak. Jangan berdalih untuk mendapatkan keuntungan yang sebesar-besarnya, kita rela memproduksi sesuatu yang merusak Bumi.”

Dina menyebutkan di bidang fashion misalnya, betapa mudahnya mendapatkan produk murah yang sebegitu murahnya tanpa memikirkan proses pembuatannya yang memakai zat-zat berbahaya. “IFW 2014 menekankan pentingnya proses pembuatan produk yang ramah lingkungan. dan soal kualitas kita sudah mengujinya dengan baik,” ujar dia.

Perancang yang bisa memakai tenun Indonesia pada setiap karyanya ini juga menggarisbawahi soal masyarakat di dunia yang sudah mulai menerapkan eco-fashion sejak tahun 1990-an. Dina menyebutkan banyak perancang di Tanah Air yang mencoba menciptakan produk-produk yang ramah lingkungan dan memperhatikan proses produksi dengan seksama, termasuk kesejahteraan para pekerjanya.

Menurutnya, Indonesia yang memiliki target menjadi pusat fashion dunia seharusnya mulai aktif berpartisipasi dalam gerakan ini. “Penjualan katun organik untuk busana dan produk rumah di negara barat telah mencapai US 4.3 milyar di tahun 2009 dan terus meningkat hingga sekarang. Bahkan Eropa Timur dan Asia Timur juga mulai mengkonsumsi produk eco-fashion.”

Hal lain yang juga dirasakan sangat penting, adanya dukungan selebriti dunia dan Indonesia terhadap produk ramah lingkungan. Seperti banyak selebriti dunia Natalie Portman, Cameron Diaz, Alicia Silverstone, Jennifer Aniston hingga Salma Hayek yang sangat peduli dengan item fashion yang mereka pakai dari bahan yang digunakan hingga proses produksi.

“Mereka setuju bahwa tampil stylish seharusnya bisa selaras dengan kepedulian terhadap Bumi. dan hal yang sama juga kami ajak selebriti Indonesia untuk mau menjadi konsumen yang lebih bertanggung jawab,” kata Dina.

Diingatkan Dina. tidak sulit untuk memulai melakukan gerakan ecp-fashion. Dina menyarankan hal ini bisa dimulai dengan soal kecil. Misalnya meminimalisir limbah produksi. Lalu memaksimalkan penggunaan material yang digunakan seperti sebaiknya hindari penggunaan tas plastik. “Para perancang sebagai pelaku industri fashion harus berani membuat tas ramah lingkungan dari bahan daur ulang,” kata dia.[]

Sumber: tempo.co.id

read more
Energi

Google Siapkan US$1 Miliar untuk Energi Terbarukan

Sekitar sepertiga dari operasional Google didukung oleh energi terbarukan saat ini. Namun, perusahaan raksasa itu masih terus mengambil langkah terobosan. Dikabarkan Google siap menanamkan investasi lebih dari US$1 miliar untuk energi alternatif.

Rick Needham, direktur dari divisi Google’s Energy and Sustainability mengatakan, sudah 34 persen daya operasi mesin pencari Google sekarang bergantung pada sumber daya energi terbarukan. Bila semua berjalan sesuai rencana, maka mereka akan  meningkatkan pemanfaatkan energi baru tersebut hingga 100 persen.

Needham juga mengatakan, selama kuartal terakhir Google telah menghabiskan biaya sebesar $2,25 miliar untuk membangun pusat data beserta infrastrukturnya.

“Kami telah menginvestasikan lebih dari semiliar dollar di 15 proyek yang memiliki kapasitas untuk menghasilkan energi sebesar 2 gigawatt,” tutur Needham.

Salah satunya, terungkap pada beberapa waktu lalu, perusahaan ini sedang memulai proyek besar tenaga surya di Ivanpah, California-Nevada, yang menggunakan hingga 357.000 cermin matahari (sun-facing mirrors) untuk menghasilkan daya 394 megawatt — tenaga yang mampu memenuhi kebutuhan listrik untuk sebuah kawasan sampai dengan 140.000 rumah.

Sekretaris Energi AS Ernest Moniz sempat mengemukakan, dalam pernyataan kepada Associated Press yang dikeluarkan dalam pembukaan resmi The Ivanpah Solar Electric Generating Station, hari Kamis (13/2/2014): “Proyek Ivanpah adalah satu contoh bagaimana AS menjadi yang terdepan di dunia dalam hal pengembangan energi matahari.”

Mengutip Needham, ditegaskan kembali, “Di Google kami berinvestasi dalam proyek-proyek energi terbarukan yang inovatif dan berpotensi mengubah lanskap energi dan membantu memberikan lebih banyak pasokan energi [listrik] ke industri ataupun rumah-rumah di seluruh dunia. Ivanpah adalah langkah merealisasikan hal itu, dan kami senang menjadi bagian dari padanya.”

Dan panel surya bukan satu-satunya proyek yang menjadi investasi Google akhir-akhir ini. Google pun dilaporkan telah menggelontorkan jutaan di akuisisi perusahaan di bidang-bidang robotika dan kecerdasan buatan (artificial intelligence/AI). Nampaknya Google juga berniat membuat tambahan baru dari bagian utama mereka  —di samping berinvestasi untuk energi terbarukan.

Seperti dikatakan seorang tim engineer Google, Scott Huffman, saat tahun lalu berbicara pada Independent, bahwa kemajuan baru AI akan “memungkinkan komputer perusahaan ini untuk segera mengerti konteks percakapan dan lebih manusiawi”.

Sumber: CNBC, IB Times & NGI

read more
Flora Fauna

Mau Dibawa Kemana Gajah Sumatera?

Menarawang Pulau Sumatera 30 tahun kedepan seperti apa,  masihkah berhutan? Atau yang ada hanya bayangan suram yang melemahkan niat  kita untuk konservasi, semua hutannya sudah hilang seperti terjadi di Pulau Jawa.
Menganalisa secara sederhana, jika hutan Sumatera musnah  maka  gajah Sumatera dapat dijadikan simbol mandulnya pengelolaan hutan. Gajah sebagai mahluk hidup bergantung pada hutan.

Saat ini gajah Sumatera dapat dianggap sebagai wakil terbaik dari struktur keanekaragaman hayati hutan hujan tropis yang berkualitas tinggi.

Usaha konservasi gajah yang tepat guna belum menemui titik terang. Usaha tersebut harusnya dapat menjadi contoh terbaik pengelolaan hingga bisa menjadi andalan bagi formula konservasi dan berdampak pada  pengelolaan hutannya.

Analisa lain dari pengelolaan hutan Sumatera dapat dilihat berbagai aspek, seperti sosial dan  politik. Faktor kebijakan adalah salah satu penyebab deforestrasi dan rendahnya kemauan politik (political will) untuk usaha konservasi, ditambah lagi dengan kentalnya sistem desentralisasi. Kekuasaan daerah begitu kuat dalam pengelolaan sumber daya alam dan isinya. Jangan berharap banyak pada kesuksesan jangka panjang dalam mengelola kawasan konservasi  di Pulau ini.

Walau ada panduan pembangunan di setiap daerah  melalui Rencana Tata Ruang Wilayah Wilayah/Kabupaten (RTRWP/RTRWK), akan tetapi kebijakan RTRWP /RTRWK sangat  mudah diotak atik di tingkat lapangan. Apalagi Provinsi yang belum menyelesaikan rencana tata ruang Provinsi maupun Kabupaten, daerah ini  sangat mudah dieksploitasi sumber daya alamnya.

Pengelolaan hutan Sumatera terkait erat dengan politik dan ekonomi wilayah, ujung – ujungnya berimbas pada Gajah Sumatera. Secara tak langsung gajah dikonfrontasi dengan masyarakat sekitar hutan, konflik lahan terjadi  antara perkebunan dan masyarakat. Ini mungkin akibat iklim  politik yang tidak sehat, lahan dihutan begitu mudah diakses. Banyak kejadian dan kasus – kasus  gajah yang  muncul karena hutan rusak dan gajah akan berkonflik dengan manusia disekitar lintasannya.  Kejadian ini terus berulang tanpa ada solusi jangka panjang.

Kirab Gajah Sumatera
Pengelolaan gajah Sumatera memang berat, baik dari segi sumber daya dan pendanaan hingga pengusahaan lahan untuk proteksi dan relokasi. Model pengelolaan  Pusat Konservasi Gajah Sumatera di Pusat Konservasi Gajah (PKG) terkadang menjadi beban daerah dan pusat. Tapi formula konservasi harus terus diupayakan untuk pelestarian gajah Sumatera.

Salah satu solusinya adalah di setiap provinsi di Sumatera yang masih ada gajahnya,  membentuk Kawasan Khusus Konservasi Gajah (Elephant Sanctuary) dengan menyediakan lahan seluas  20.000  hektar.  Jika perlu lahan ini  dipagari dan dijaga ketat pihak pengelola di pintu akses ke kawasan lainnya melalui skema koridor.

Kedua, membuat koridor hutan sebagai lintasan gajah. Koridor dapat dibuat dengan panjang ribuan km,  membentang dari Lampung hingga Aceh dan lebar koridor berkisar 3 hingga 5 km  tergantung situasi daerah. Koridor adalah hutan yang berfungsi sebagai penghubung hutan dan hutan lainnya.

Koridor lintasan gajah ini harus dapat dikoneksikan dengan cek point kawasan khusus gajah (elephant sanctuary) seluas  20 ribu hektar, menjadikan wilayah ini sebagai zona inti gajah Sumatera. Pengkoneksian ini dengan sistem koridor ini bisa dibagi dalam tiga zonasi. Dimulai dari Zona Selatan Pulau Sumatera, antara Lampung, Palembang dan Bengkulu menghubungkan ke Zona Sumatera Tengah  antara  Riau, Jambi dan Sumatera Barat dan Zona Utara Sumut – Aceh. Upaya ini dapat juga diaplikasi  hingga di tingkat kabupaten.

Konsep Elephant Sanctuary  dan koridor ini ibaratnya seperti jalan raya bebas hambatan atau  jalan lintas Sumatera bagi gajah. Jika ini terlaksana dapat disebut dengan Kirab Gajah Sumatera, dimana pada zaman dahulu diceritakan Gajah Sumatera melintas memutar mengiringi hutan dari Lampung hingga Aceh,  berotasi selama ratusan tahun.

Untuk pihak pengelola dapat dilaksanakan oleh pemerintah dan lembaga konservasi,  bahkan dunia usaha dapat berinvestasi di sektor ini. Zona khusus ini  jadikan ini sebagai kekuatan politik lokal dan nasional sebagai kebijakan daerah untuk investasi konservasi jangka panjang. Bayangkan saja, jika ini terjadi dapat menjadi investasi asset wisata seluruh Provinsi di Sumatera, jika perlu zona ini dibuat Perda dan Peraturan Nasional sebagai asset wisata ekologi.

Mungkin kirab Gajah Sumatera dari Aceh ke Lampung akan dilihat ratusan ribu turis menjadi atraksi menarik apalagi jika setiap daerah menyediakan fasiltas dan paket wisata khusus untuk kegiatan ekowisata berbasis gajah liar. Ini bisa menjadi solusi jangka panjang dan berbasis bisnis konservasi. Upaya ini dapat diperkuat beriringan dengan kebijakan seperti Perpres tentang Tata  Ruang Sumatera No 13 Tahun 12 tentang Rencana Tata Ruang Sumatera dan upaya perbaikan hutan dengan skema restorasi habitat.

Bandingkan dengan investasi oleh perkebunan sawit dan Hutan Tanaman Industri (HTI) yang membuka lahan yang  luas ribuan hektar, kenapa usaha konservasi gajah tidak meniru usaha perkebunan sawit dengan membeli lahan yang luas? Perusahaan sawit dan HTI menjaga assetnya dengan  manajemen yang baik, juga sebaliknya usaha konservasi harus menjaga asset biodiversitasnya dengan baik pula.

Kembali menerawang Pulau Sumatera 30 tahun ke depan, apa yang terjadi dengan adanya konsep kawasan  khusus gajah. Mungkin masih  terdapat tempat khusus untuk melihat satwa besar gajah Sumatera dan sisa hutannya. Gajah Sumatera belum punah dan tidak mudah punah tapi dikelola dengan manajemen yang baik atau semua ini mustahil dilakukan karena kita menyerah dengan keadaan. Investasi pengusaha perkebunan sawit dan HTI semakin melemahkan niat konservasi dalam menjaga rimba Sumatera. Mau dibawa kemana Gajah Sumatera? []

read more