close

23/02/2014

Kebijakan Lingkungan

Mengukur Efektivitas Proyek Mata Pencaharian

Sejak 1980, pemerintah, donor, organisasi konservasi dan pembangunan melakukan upaya  besar-besaran untuk proyek “mata pencaharian alternatif” yang mendorong masyarakat menghentikan aktivitas merusak lingkungan dan menggantinya menjadi kegiatan berkelanjutan.

Tetapi karena terdapat kekurangan bukti apakah proyek ini bekerja, kajian pembuktian sistematis tengah dilakukan – dan memerlukan masukan.

Proyek mata pencaharian alternatif diperkenalkan dalam beragam konteks: di Uganda mendukung konservasi gorila dan di Afganistan untuk mengurangi ketergantungan petani terhadap pertanian opium. Proyek ini  mendorong masyarakat menanam rumput laut dibanding memancing, menggunakan kompor irit-bahan bakar sebagai alternatif kayu bakar tradisional, dan peternakan, serta mengkonsumsi tikus tebu pengganti hewan liar.

Beberapa pengembang proyek REDD+, yang bertujuan mereduksi emisi karbon dari deforestasi dan degradasi hutan, mengakui kebutuhan untuk menjamin masyarakat lokal memiliki sumber alternatif pemasukan sebelum menerapkan aspek lain skema ini, antara lain pembayaran untuk perlindungan hutan.

“Jika Anda tidak menawarkan mata pencaharian alternatif berkelanjutan,” kata Erin Sills, mitra senior Pusat Penelitian Kehutanan Internasional (CIFOR) pada 2011, “bentuk apapun intervensi hanya akan menggeser atau menunda deforestasi.”

Beragam hasil
Pada hasil terbaiknya, proyek mata pencaharian alternatif dipuji sebagai cara untuk mendorong baik konservasi maupun pembangunan. Wilayah ekowisata Missool di Raja Ampat, Indonesia, adalah contoh program konservasi dan pelibatan masyarakat. Program ini mempekerjakan 120 masyarakat lokal, mendukung sekolah dan menjadi penting dalam membangun wilayah dilarang membawa hasil memancing serta perlindungan hiu dan pari.

Banyak proyek lain menjadi kontroversial. Para praktisi menyebarkan anekdot buruknya perencanaan dan gagalnya intervensi. Bukan kejutan, jika proyek sering menimbulkan masalah ketika mereka mengabaikan keperluan sosioekonomi masyarakat dalam wilayah potensi konservasi. Contohnya, masyarakat adat direlokasi dari Taman Nasional Nagarhola di India sejak lama mengeluhkan pilihan mata pencaharian baru mereka tidak sesuai dengan kehilangan dari tempat sebelumnya.

Setelah semua uang, upaya dan waktu dikeluarkan, menjadi bahan perdebatan apakah inisiatif konservasi keragaman hayati dan pengurangan kemiskinan, termasuk proyek mata pencaharian alternatif, bisa disebut berhasil. Hanya sedikit bukti dari apa yang bekerja, apa yang belum dan mengapa?

Laporan terbaru mempertanyakan mengapa bukti keberhasilan, baik dalam konservasi keragaman hayati maupun pengurangan kemiskinan begitu terbatas. Apakah pendekatan tersebut gagal atau bukti yang benar tidak dikumpulkan untuk merekam “langkah menuju berhasil,”?

Kurangnya bukti membuat Kongres Konservasi Dunia IUCN mengeluarkan resolusi tahun lalu meminta kajian kritis bagi kemanfaatan keragaman hayati proyek mata pencaharian alternatif.

Bermitra bersama, IIED, CIFOR dan Zoological Society of London melakukan kajian sistematis terhadap bukti-bukti. Kajian akademik atau literatur abu-abu (materi publikasi informal seperti laporan projek) dilakukan untuk menentukan jika ada bukti proyek mata pencaharian alternatif mengurangi ancaman terhadap keragaman hayati. Hasilnya akan tersedia musim panas ini.

Menambah kebingungan, proyek ini digambarkan secara sangat beragam: ‘Mata pencaharian alternatif’, ‘aktivitas meningkatkan-pemasukan’, ‘dukungan mata pencaharian’, ‘diversifikasi mata pencaharian’, ‘peralihan mata pencaharian’, dan lain-lain.

Organisasi seperti Internasional Fauna & Flora kini menghindari penggunaan istilah ‘mata pencaharian alternatif’ dan mengadopsi istilah ‘diversifikasi mata pencaharian’ atau ‘pendekatan mata pencaharian berkelanjutan’ untuk menunjukkan pendekatan lebih holistik yang lebih merefleksikan kompleksitas hidup dan mata pencaharian masyarakat.

Apakah proyek ‘mata pencaharian alternatif’ adalah cara yang efektif untuk mengurangi kemiskinan dan melindungi keragaman hayati? Percayakah Anda pelaku proyek membesar-besarkan keberhasilan untuk memuaskan donor? Dapatkah Anda menunjukkan sebuah proyek ‘mata pencaharian alternatif’ yang berhasil (atau tidak berhasil) dalam meningkatkan status konservasi elemen tertentu keragaman hayati?

Hal ini bisa menjadi, contohnya, sebuah perubahan status konservasi spesies tertentu, menurun (atau tidak) kecepatan deforestasi, atau sekadar apakah aktivitas yang menurunkan kualitas lingkungan berlanjut atau berhenti.

Sumber: Cifor

read more
Hutan

Sinergi Baru Awasi Kerusakan Hutan

Google, Program Lingkungan PBB (UNEP), World Resources Institute (WRI), bersama lebih dari 40 mitra lain bersinergi luncurkan sistem pengawasan hutan baru berbasis Internet, Jum’at, 21 Februari 2014.

Sistem bernama Global Forest Watch (GFW) ini adalah sistem pertama yang menyatukan teknologi satelit terkini, prinsip keterbukaan informasi (open data) dan kerja gotong royong (crowdsourcing) guna menjamin akses informasi hutan secara cepat dan tepat. Sistem GEF mampu memonitor kerusakan hutan secara hampir bersamaan (near real time).

Menurut data University of Maryland dan Google, dunia telah kehilangan 2,3 juta kilometer persegi atau 230 juta hektar tutupan pepohonan (tree cover) dalam periode 2000 hingga 2012. Tingkat kerusakan hutan ini sama setara dengan 50 lapangan bola setiap menit, sehari selama 12 tahun berturut-turut.

Negara dengan tingkat kerusakan hutan dan kehilangan tutupan pepohonan tertinggi adalah Rusia, Brasil, Kanada, Amerika Serikat dan Indonesia.

Sistem Global Forest Watch berimplikasi luas. Tidak hanya pemerintah, lembaga finansial juga bisa menggunakan sistem ini untuk mengevaluasi risiko investasi perusahaan. Pembeli minyak kelapa sawit, kedelai, kayu dan daging sapi bisa memonitor apakah produk mereka diproduksi sesuai dengan komitmen dan standar yang lestari.

Masyarakat adat juga bisa memanfaatkan peta ini untuk melaporkan dan mengunggah foto-foto kerusakan dan pelanggaran yang terjadi di tanah mereka. Sementara lembaga swadaya masyarakat bisa menggunakannya untuk memantau deforestasi, memobilisasi aksi dan mengumpulkan bukti-bukti pelanggaran yang dilakukan pemerintah atau perusahaan.

Sumber: Hijauku.com

read more
Flora Fauna

Spesies Hiu Asal Halmahera Ini Bisa Berjalan

Sebuah penelitian dari badan konservasi internasional menemukan spesies baru ikan hiu yang bisa berjalan. Spesies baru itu berada di perairan Indonesia. Laut Indonesia memang begitu kaya. Kondisi ini dimanfaatkan Badan Konservasi Internasional Amerika Serikat untuk meneliti perairan bumi pertiwi.

Yang menakjubkan, mereka berhasil menemukan spesies baru ikan hiu di perairan Pulau Halmahera, Maluku Utara. Namanya Hemiscyllium Halmahera.

Uniknya, ikan hiu ini bisa berjalan di dasar laut dengan menggunakan sirip yang berfungsi sebagai kaki. Panjangnya hanya 70 centimeter dan diklaim tidak berbahaya bagi manusia.

Selain meneliti perairan Halmahera, badan konservasi itu juga mengunjungi Raja Ampat, Papua, untuk melihat kawasan perlindungan ikan pari manta terbesar di dunia. Ikan pari manta merupakan spesies ikan pari terbesar dengan panjang maksimal 7,5 meter.

Pemerintah Daerah Raja Ampat, Papua, sendiri telah menetapkan kawasan perlindungan ikan pari manta ini sebagai lokasi tujuan wisata pari manta terbesar kedua di dunia.[]

Sumber: liputan6

read more