close

February 2014

Tajuk Lingkungan

Hijau = Islam = Kemakmuran

Kita sering mendengar ungkapan, ” matanya hijau kalau melihat duit.” Atau ada ungkapan lain yang mencerminkan bahwa sesuatu itu berkaitan dengan Islam,”Ijo royo-royo”. Selain itu ada konotasi yang sangat kuat untuk merekatkan kata “Hijau” dengan lingkungan, terlebih dalam bahasa Inggris. Green technology, green building, green farming, dan sebagainya. Ada banyak ungkapan yang beredar di masyarakat yang pada intinya menunjukan bahwa hijau itu adalah hal bagus.

Hijau menjadi kata yang sangat populer, semua orang menyukainya tapi apakah mereka yang menyukainya berusaha untuk menjaganya? Misalnya manusia senang dengan tanaman hijau yang bisa menyegarkan pandangan mata, apakah dia mau untuk menanam dan merawatnya sendiri? Mengucapkan tentu lebih mudah daripada menjalankan tetapi disinilah tantangannya.

Dalam agama Islam,yang identik dengan hijau, manusia disuruh untuk menjaga alam, lingkungan dan sebagainya agar manusia terhindar dari kebinasaan. Salah satu ayat Alquran yang populer dan sering digunakan dalam kampanye lingkungan antara lain adalah,” “Telah nampak kerusakan di darat dan di lautan disebabkan karena perbuatan tangan (maksiat)  manusia, supaya Allah merasakan kepada mereka sebagian dari (akibat) perbuatan mereka, agar mereka kembali (ke jalan yang benar)” (QS Ar Ruum:41).

Sebenarnya masih sangat banyak lagi dalam Islam, manusia disuruh menjaga lingkungan, penjelasan tentang fenomena alam dan kehancuran yang terjadi jika manusia tidak merawat lingkungan. Jadi tidak heran kalau Islam itu identik dengan “hijau”, sementara itu hijau identik dengan alam.

Sebuah daerah yang makmur juga diidentikan daerah yang hijau, baik secara konotasi maupun fakta di lapangan. Lihat saja negara-negara yang makmur seperti Singapura, walau tak punya hutan tapi berhasil menghijaukan kota-kotanya. Dari sini kita kembali bisa mengambil kesimpulan bahwa “Hijau” juga sama dengan kemakmuran.

Jadi tidak salah kalau saya menyebutkan bahwa Hijau itu identik dengan Islam dan identik dengan kemakmuran. Kalau demikian adanya, mengapa manusia masih merusak lingkungan, yang berarti merusak Islam dan mencegah kemakmuran muncul.

read more
Hutan

Kisah Perempuan Suku Anak Dalam Mendapatkan Tanahnya

Di Indonesia minyak sawit merupakan sumber perekonomian, tetapi sekaligus sebagai salah satu pemicu deforestasi atau kerusakan hutan. Bulan Desember tahun lalu, perusahaan pedagang minyak sawit terbesar di dunia, Wilmar Internasional telah berkomitmen untuk menghentikan perdagangan minyak sawit kotor yang terhubung dengan deforestasi atau konflik sosial, sebuah harapan bagi hutan hujan Indonesia, dan itu juga adalah tanggung jawab yang  harus dijalankan oleh seluruh pemasok minyak sawit. Tetapi, seperti yang disaksikan langsung oleh Annisa Rahmawati, Juru kampanye hutan Greenpeace Asia Tenggara, Ganda – pemasok Wilmar – terlibat dalam konflik sosial dan  lingkungan.

Apakah Ganda akan bertindak untuk menyelesaikan masalah ini?

Maya, 23 tahun, adalah perempuan dari Suku Anak Dalam, masyarakat adat yang tinggal di Sumatera, Indonesia. Ia telah menikah dan memiliki seorang putra, yang dirawatnya dalam tenda terpal, rumah mereka. Usianya tidak terpaut jauh dengan saya, tapi hanya dalam hitungan bulan, hidupnya berubah menjadi kisah tentang kehilangan dan ketidakpastian.

Tanggal 12 Desember tahun lalu, Maya dan ibunya yang sedang sakit lari masuk ke hutan ketika gerombolan pria bersenjata sekitar 1000 orang menembaki ternak peliharaan dan dinding rumah mereka. Maya bercerita pada saya, betapa takutnya ia. Serangan brutal itu berlangsung selama setengah hari. Ketika Maya kembali keesokan harinya, ia mendapati rumah dan hampir seluruh desanya sudah dihancurkan, rata dengan tanah.

Apa yang terjadi membuat Maya terguncang. Dengan paksa, Maya digusur karena tanah tempat ia tinggal – tanah yang dimiliki sejak jaman nenek moyangnya, dirampas oleh sebuah perusahaan minyak sawit.

Sekitar 1.500 masyarakat Suku Anak Dalam sekarang tinggal terpencar di kamp-kamp pengungsian dan di Balai Adat Melayu Jambi. Seperti Maya, mereka berhadapan  langsung dengan kekerasan dan sekarang tinggal di tenda-tenda darurat di pinggir jalan, di hutan atau hidup bertahan di dalam perkebunan kelapa sawit.

Saya terbang dari Jakarta, melintasi perkebunan kepala sawit sejauh mata memandang, bermaksud bertemu Maya dan kelompoknya karena kegigihan dan keberanian mereka mempertahankan hak hidup di atas tanah moyang mereka. Selama berpuluh-puluh tahun masyarakat Suku Anak Dalam berhadapan dengan penganiayaan – bahkan sejak sebelum Maya lahir. Perusahaan dibalik pengusiran dan penggusuran  yang terjadi baru-baru ini adalah : PT.Asiatic Persada.

Minyak Sawit kotor
PT Asiatic Persada adalah perusahaan perkebunan kelapa sawit yang sudah banyak berpindah kepemilikan sejak didirikannya, dengan jaringan yang cukup kompleks. Pemilik perusahaan ini adalah Ganda Group, pemasok untuk pedagang minyak sawit internasional Wilmar.

Komitmen Kebijakan Nol Deforestasi Wilmar yang diumumkan pada bulan Desember lalu mendapat sambutan positif dari banyak pihak termasuk Greenpeace, sebagai sebuah kemenangan bagi hutan dan konsumen. Kebijakan Wilmar termasuk komitmen yang spesifik  untuk menghormati hak masyarakat adat dan menyelesaikan konflik tanah yang terjadi di konsesi pemasok mereka.

Mengapa kami mengklaim ini sebagai kabar baik? Karena minyak sawit, merupakan sumber minyak nabati yang stabil dan murah, dimana produknya hampir bisa dipastikan berada dalam banyak produk yang sehari-hari kita pakai mulai dari sabun cuci hingga coklat –  sekitar 50% produk yang Anda jumpai di Supermarket mengandung minyak sawit atau turunannya. Jika pedagang minyak sawit  besar seperti Wilmar – yang menyumbang lebih dari sepertiga minyak sawit  global – menghentikan pencucian minyak sawit kotor yang berasal dari perusakan hutan, konflik dan pembersihan lahan gambut, maka ini akan dapat mentransformasi seluruh rantai pasok industri dari perkebunan sampai perusahaan yang membuat coklat, shampoo dan sabun cuci yang Anda gunakan.

Dan Maya, yang terjebak di tengah konflik lahan kelapa sawit, sekarang hidup tanpa tempat tinggal, ingin kisahnya didengar. Tergerak oleh perjuangannya, saya  ingin meneruskan gaung kisahnya  hingga ke ruang pertemuan tempat para pembuat keputusan di Jakarta ataupun di Singapura.

Sekarang adalah tugas kita untuk memastikan komitmen yang diambil, diterjemahkan dalam aksi yang nyata di lapangan. Bagaimanakah cara agar pemasok minyak sawit seperti Ganda mencapai persyaratan sosial dan perlindungan hutan sebagaimana yang  dikomitmenkan oleh pelanggannya?

Sejarah singkat tentang mengapa tidak bertanam kelapa sawit
Suku Anak Dalam, telah menetap di kawasan Jambi selama berabad-abad, mereka mendapatkan segala kebutuhannya dari hutan. Komunitas mereka kecil, egaliter dan dikenal dengan gaya hidup nomaden dan subsisten.

Tapi pohon kelapa sawit yang menguntungkan, komoditas dengan permintaan yang terus bertambah dari pasar yang berkembang seperti di China, India dan Eropa, termasuk Indonesia sendiri – telah mengubah semuanya. Kemudian masuklah PT Asiatic Persada. Sejak awal beroperasi, perusahaan ini sudah berhadapan dengan perlawanan dari masyarakat lokal dan kelompok-kelompok adat. Berbagai kelompok ini termasuk yang didampingi oleh LSM lokal telah mencatat sejarah panjang intimidasi, pembongkaran dan penggusuran paksa – yang seringkali diback-up oleh pihak kepolisian atau militer – sejak tahun 1987, 2002, 2008, 2010, 2011 dan baru-baru ini pada tahun 2013.

Insiden yang baru-baru ini terjadi pada bulan Desember tahun lalu, berkaitan dengan re-klaim lahan sebesar 3.550 hektar oleh Suku Anak Dalam di kawasan PT Asiatic Persada, lahan yang diakui pemerintah sebagai milik sah Suku Anak Dalam.

Konsesi PT Asiatic Persada tercatat seluas 40.000 hektar didirikan pada tahun 1985  yang sebelumnya bernama PT Bina Desa Utama – lebih dari sepertiganya adalah habitat harimau. Sejak saat itu, kepemilikannya telah berpindah lima kali ke perusahaan termasuk Cargill, pedagang minyak sawit internasional (Januari-November 2006) dan Wilmar (2006-2013).

Ketika Wilmar menjual PT Asiatic Persada ke Ganda Group, proses mediasi yang melibatkan perusahaan, masyarakat dan pemangku kepentingan lainnya tengah berlangsung. Ganda mengabaikan hasil proses ini dan ini bukanlah satu-satunya masalah di perkebunan yang di miliki oleh Ganda Group.

Kebakaran di lahan perkebunan baru-baru ini juga terjadi lagi, mengancam hubungan antara Indonesia dengan negara-negara tetangga seperti Singapura yang dalam beberapa tahun terakhir, ikut terkena dampak asap yang berasal dari kawasan perkebunan di Kalimantan dan Sumatera. Salah satu konsesi Ganda turut terlibat: PT Patiware, anggota RSPO (Roundtable for Sustainable Palm Oil). Berdasarkan data titik api dari NASA diidentifikasi ada  beberapa titik api disebagian besar wilayah lahan gambut.  Hasil wawancara Greenpeace juga menunjukan adanya keluhan masyarakat terhadap  pencemaran air sungai yang diduga dari operasi perusahaan tersebut.

Saat ini kelapa sawit yang dipanen dari tanah leluhur Maya masuk dalam rantai pasok minyak sawit Indonesia dan kemungkinan besar juga masuk di pasar global; sulit untuk diketahui dimana berakhirnya karena perusahaan-perusahaan yang ada tidak menjamin keterlacakann produk mereka hingga tingkat perkebunan.

Kisah Maya menunjukan betapa pentingnya perusahaan-perusahaan seperti Ganda untuk membersihkan operasi mereka dan memenuhi komitmen sebagaimana yang tertulis dalam kebijakan baru Wilmar. Greenpeace telah mempertanyakan hal ini pada Ganda dan menyampaikan bukti-bukti pendukung, dan saat ini kami sedang menunggu tanggapan Ganda.

Hal ini juga penting bagi Wilmar untuk menunjukan kesungguhan mereka dalam menjalankan kebijakannya. Sementara ini, Wilmar mengklaim tidak membeli dari PT Asiatic Persada, tetapi mereka membeli dari Ganda Group. Komitmen untuk tidak berbisnis dengan perusahaan-perusahaan yang terlibat dalam perusakan hutan dan pelanggaran hak asasi manusia harus ditegakkan dalam semua lini operasi mereka.

Konsumen internasional seperti Unilever, Nestle dan Procter&Gamble harus menekan semua pemasok, termasuk Wilmar, untuk menjalankan komitmen Nol Deforestasi  dengan sungguh-sungguh dan bertanggung jawab untuk setiap masalah yang dihadapi oleh rantai pasokannya.

Sumber: greenpeace.org

read more
Kebijakan Lingkungan

Belajar Mengelola Sampah dari Surabaya

Kota Surabaya di Jawa Timur dipilih menjadi tuan rumah Hari Peduli Sampah 2014. Di antara alasannya, Kota Surabaya dinilai berhasil mengelola sampah. Bagaimana cara kota ini mengelola sampahnya?

Menurut Wali Kota Tri Rismaharini, Surabaya menghasilkan rata-rata 1.200 ton sampah per hari. Sampah tersebut tidak dibuang, tetapi dimanfaatkan kembali.

Pemanfaatan kembali itu berupa pengolahan sampah menjadi kompos untuk tanaman di taman kota, untuk bahan pembangkit listrik, dan sebagian lagi direproduksi menjadi bahan yang bernilai ekonomis.

“Kami mau bangun tempat pengolah kompos dan tempat khusus pengolah sampah menjadi bahan pembangkit listrik berkapasitas 40.000 watt di tiga kecamatan,” kata Risma seusai acara Deklarasi Menuju Indonesia Bersih 2020 di halaman Balaikota Surabaya, Senin (24/2).

Konsep pemanfaatan sampah sebagai bahan pembangkit listrik sebelumnya juga sudah ada di tempat pembuangan akhir (TPA) di Kecamatan Keputih. “Bahkan di sana kapasitasnya sudah 60.000 kilowatt,” tambahnya.

Risma mengaku bersyukur bahwa warga kota sudah mulai berpikir memanfaatkan sampah menjadi bahan yang bernilai ekonomis, baik oleh lembaga maupun perorangan. Pemerintah Kota Surabaya juga melatih banyak fasilitator lingkungan, mulai dari ibu-ibu rumah tangga sampai kalangan pelajar.

Selain itu, kerap pula digelar lomba kebersihan di kampung-kampung yang memicu masyarakat peduli terhadap lingkungan. “Prinsipnya, semakin sedikit sampah dibuang ke TPA, semakin baik,” pesan Risma.

Sumber: NGI/Kompas.com

read more
Sains

Abu Vulkanik Bisa Dibuat Batu Bata Ringan

Abu vulkanik erupsi gunung api yang berbahaya bagi kesehatan manusia, dapat dimanfaatkan sebagai pupuk, abu vulkanik juga bisa jadi bata ringan.

Ismail Hermana, salah satu penggagas batu bata ringan berbahan abu menuturkan, saat erupsi 2010, gunung Merapi mengeluarkan banyak material vulkanik. Mulai dari batu, abu maupun pasir. Material berupa batu dan pasir sudah banyak dimanfaatkan. Namun untuk abu yang berbentuk pasir halus, masih dianggap kurang berguna.

“Pak Gozali teman saya merasa penasaran, lalu melakukan penelitian selama satu tahun. Melihat kegunaan abu vulkanik gunung Merapi,” jelas Ismail Hermawan, salah satu pemilik usaha batu bata dari abu vulkanik saat ditemui di rumahnya di Gondang Pusung, Wukirsari, Cangkringan, Sleman, Senin (24/2/2014) petang.

Hermawan menuturkan, setelah lama melakukan penelitian, hasilnya abu vulkanik gunung api bisa digunakan untuk membuat bata ringan. Hanya, formulanya harus tepat agar bisa menghasilkan batu bata ringan yang kuat dan ringan.

“Di 2012 pak Gozali menemukan formulanya. Baru April 2013 saya dan pak Gozali membuat usaha ini,” katanya.

Selain abu vulkanik gunung api, bahan yang digunakan untuk membuat bata ringan antara lain pasir, gamping, semen, air dan busa foam (cairan pengembang).

Proses pembuatannya adalah pasir, abu vulkanik gunung api dan semen dicampur. Setelah menyatu, lalu tambahkan busa foam dan gamping, kemudian aduk kembali. Setelah bercampur, adonan itu kemudian dicetak.

Dalam sehari, produksi bata ringan berbahan abu vulkanik gunung api bisa mencapai 4-5 kubik. Satu kubik dijual seharga Rp 700.000.

Selama ini, bata ringan yang diberi label Merapicon ini dipasarkan di Jawa Tengah hingga Bogor. “Abu gunung Kelud juga bisa, asal halus. Selama ini kita masih memanfaatkan pasir halus gunung api,” katanya.

Sumber: NGI/Kompas.com

read more
Green Style

Menteri LH Canangkan 2020, Indonesia Bebas Sampah

Enam tahun mendatang, pemerintah menargetkan Indonesia bersih dari sampah. Target tersebut seiring kampanye pembudayaan kegiatan “Reduce, Reuse, dan Recycle” sampah (3R) kepada seluruh lapisan masyarakat.

Komitmen tersebut ditegaskan dalam “Deklarasi Menuju Indonesia Bersih 2020” yang digelar di Taman Surya depan Balaikota Surabaya, Senin (24/2/2014).

Hadir dalam deklarasi nasional tersebut Menteri Lingkungan Hidup Balthasar Kambuaya, Wali Kota Surabaya Tri Rismaharini, sejumlah lembaga terkait, dan perwakilan daerah serta provinsi seluruh Indonesia.

Menurut Balthasar, pertambahan penduduk Indonesia pada 2025 akan mencapai 270 juta dari total 237 juta saat ini. Dengan jumlah penduduk itu, diperkirakan akan dihasilkan 130 ribu ton sampah per hari.

“Saat ini sampah masih dianggap penyebab polusi, padahal dapat direproduksi untuk bahan energi,” katanya.

Pemerintah sendiri untuk mendukung kegiatan 3R tersebut sudah mengembangkan sejumlah proyek percontohan 3R di sejumlah provinsi. Sejak 2010, melalui Kementerian Pekerjaan Umum, sudah dibangun 336 fasilitas 3R.

“Namun upaya tersebut tidak akan optimal tanpa dukungan semua elemen masyarakat dalam membudayakan 3R,” tambahnya.

Poin deklarasi antara lain menurunkan timbunan sampah dengan target sampah terolah 3R minimal 20 persen pada 2019, menurunkan emisi gas rumah kaca dari sektor sampah sebesar 6 persen pada 2020, dan mengubah cara pandang masyarakat bahwa sampah adalah bahan berguna dan bermanfaat.

Surabaya ditunjuk sebagai tuan rumah Hari Peduli Sampah karena dinilai memiliki kelebihan dalam hal penanganan masalah sampah, serta sebagai kota yang memiliki komitmen program ramah lingkungan.

Sumber: kompas

read more
Sains

Benarkah Cuaca Buruk, Baik Untuk Iklim?

Cuaca buruk banyak terjadi akhir-akhir ini. Apakah hal ini berkaitan dengan perubahan iklim?

Bahkan di negara seperti Inggris yang terkenal akan perubahan cuaca dengan tingkat hujan dan jumlah angin yang tinggi, orang-orang pun bertanya-tanya apa yang terjadi dengan cuaca saat ini. Beberapa bulan terakhir penduduk negara Inggris dilanda banjir dan badai yang memecahkan semua rekor. Hal ini memicu penerbitan sebuah studi “Perspektif global terhadap badai dan banjir di Inggris” oleh badan meteorologi Inggris, Met Office.

Para penulis studi tersebut menggambarkan rangkaian badai yang terjadi saat musim dingin sebagai sesuatu yang luar biasa, baik dari segi frekuensi maupun durasi. Dalam studi tersebut, mereka menyebut bulan Desember-Januari sebagai masa terbasah di Inggris sejak awal adanya pencatatan cuaca .

Kombinasi antara curah hujan dan badai yang kuat serta gelombang tinggi telah memicu terjadinya banjir di sebagian besar Inggris, serta menjadi penyebab terjadinya kerusakan-kerusakan di pesisir pantai dan menjadi sumber permasalahan besar bagi manusia, ekonomi dan Infrastruktur.

Akibat pemanasan global
Dalam waktu bersamaan Kanada dan Amerika mengalami suatu periode yang tak biasa. Para ahli meteorologi di Inggris menghubungkan kejadian cuaca ekstrim di kedua belah sisi samudra Atlantik tersebut dengan gejolak terus menerus yang terjadi pada arus udara yang bergerak melewati Pasifik dan Amerika Utara. Inilah yang pada gilirannya membuat Met office juga para ilmuwan lain mengaitkan kejadian cuaca ekstrim tersebut dengan curah hujan di Indonesia dan di bagian barat pasifik. Cuaca adalah sebuah fenomena kompleks- sehingga tak heran jika hal ini berkaitan dengan udara dan arus laut di seluruh dunia.

Cuaca dipengaruhi oleh udara dan temperatur, sehingga sangatlah mungkin jika kenaikan suhu bumi ikut bertanggung jawab atas perubahan-perubahan yang terjadi. Para penulis studi tersebut menulis tentang adanya peningkatan jumlah data-data yang membuktikan adanya intensifikasi jumlah curah hujan yang terjadi setiap hari. Mereka berpendapat, hal tersebut sesuai dengan ilmu fisika yang telah kita pelajari bahwa penghangatan suhu bumi bisa menyebabkan kenaikan intensivitas curah hujan.

Laporan Stern
Di sebuah artikel yang dimuat oleh koran Inggris, The Guardian– Nicholas Stern mantan kepala eknomi bank dunia menyatakan cuaca ekstrim merupakan pertanda jelas bahwa kita telah merasakan akibat dari perubahan cuaca. Sejak tahun 2000 Inggris telah mengalami empat dari lima kali musim dingin dengan curah hujan paling tinggi dan tujuh kali tahun terpanas sejak dimulainya pengukuran cuaca.

Stern menulis, Atmosfir yang lebih hangat yang mengandung kelembaban lebih serta kenaikan permukaan laut yang menyebabkan terjadinya badai kuat adalah faktor-faktor yang mempertinggi bahaya banjir di Inggris. Dalam tulisannya, Stern juga menyebutkan rekor gelombang panas di Australia dan Argentina, juga banjir di Brazil dan Taifun Haiyan di Filipina adalah bagian dari pemanasan global yang seharusnya tak boleh dilupakan.

Atas nama pemerintah Inggris, Stern, yang saat ini menjadi profesor di sekolah ekonomi London menulis sebuah laporan tahun 2006 yang disebut dengan “Stern Report“. Laporan tersebut untuk pertama kalinya memuat akibat-akibat dari perubahan cuaca terhadap ekonomi dalam bentuk angka. Sejak saat itu resiko perubahan cuaca menjadi makin besar, tulis Stern. Hal tersebut diakibatkan oleh peningkatan emisi CO2 yang kuat dan juga beberapa akibat perubahan cuaca sperti pengurangan laut es di kutub utara yang terjadi lebih cepat dari yang diramalkan.

Cuaca ekstrim juga telah menginspirasi beberapa politisi untuk menempatkan perubahan cuaca pada daftar prioritas yang lebih tinggi. Presiden Amerika, Barack Obama dan presiden Perancis, Francois Hollande, menuntut agar dalam konferensi perubahan cuaca tahun 2015 yang akan diselenggarakan di Paris bisa dicapai kesepakatan bersama terkait iklim global dan mulai bisa diberlakukan tahun 2020.

Kepala sekertariat PPB untuk iklim, Christiana Figueres dalam sebuah wawancara meyampaikan keprihatinan bahwa peningkatan perhatian yang ada terkait tema iklim merupakan dampak dari meningkatnya bencana dan peristiwa alam.

Sumber: dw.de

read more
Perubahan Iklim

Kriminalitas Semakin Tinggi Akibat Perubahan Iklim

Perubahan iklim ternyata tak hanya membuat makhluk hidup harus beradaptasi. Namun, penelitian terbaru membuktikan bahwa hal ini juga membuat angka kriminalitas makin tinggi.

Seperti yang dilansir Daily Mail (21/2/2014), Matthew Ranson of Abt Associates meyakini bahwa di akhir abad ini perubahan iklim akan menimbulkan masalah kriminalitas yang cukup tinggi. Diperkirakan, akan ada 22 ribu kasus pembunuhan dan 18 ribu kasus perkosaan akibatnya.

Data ini juga didukung oleh beberapa lembaga lain. Kelompok Cendikiawan Cambridge Massachusetts misalnya, juga menyatakan akan ada kerugian sosial sebesar USD 115 miliar di Amerika Serikat saja akibat perubahan iklim.

Faktanya, sejak 2010, makin hangatnya suhu bumi menyebabkan adanya peningkatan kasus kekerasan buruk sebanyak 1,2 juta, kekerasan sebanyak 2,3 juta, perampokan 260 ribu, pencurian 1,3 juta. Parahnya, jumlah kasus tersebut terjadi tiap harinya.

Dari sini ditemukan bahwa pemanasan global akan meningkatkan kasus kriminal sebanyak dua persen untuk pembunuhan dan tiga persen untuk pemerkosaan. Dampak sosialnya, akan terjadi kerugian USD 38 hingga 115 miliar di Amerika Serikat saja.

“Konteksnya, perubahan iklim akan mengubah cara hidup kita dalam banyak hal,” sebut para peneliti.

Sumber: merdeka.com

read more
Kebijakan Lingkungan

Mengukur Efektivitas Proyek Mata Pencaharian

Sejak 1980, pemerintah, donor, organisasi konservasi dan pembangunan melakukan upaya  besar-besaran untuk proyek “mata pencaharian alternatif” yang mendorong masyarakat menghentikan aktivitas merusak lingkungan dan menggantinya menjadi kegiatan berkelanjutan.

Tetapi karena terdapat kekurangan bukti apakah proyek ini bekerja, kajian pembuktian sistematis tengah dilakukan – dan memerlukan masukan.

Proyek mata pencaharian alternatif diperkenalkan dalam beragam konteks: di Uganda mendukung konservasi gorila dan di Afganistan untuk mengurangi ketergantungan petani terhadap pertanian opium. Proyek ini  mendorong masyarakat menanam rumput laut dibanding memancing, menggunakan kompor irit-bahan bakar sebagai alternatif kayu bakar tradisional, dan peternakan, serta mengkonsumsi tikus tebu pengganti hewan liar.

Beberapa pengembang proyek REDD+, yang bertujuan mereduksi emisi karbon dari deforestasi dan degradasi hutan, mengakui kebutuhan untuk menjamin masyarakat lokal memiliki sumber alternatif pemasukan sebelum menerapkan aspek lain skema ini, antara lain pembayaran untuk perlindungan hutan.

“Jika Anda tidak menawarkan mata pencaharian alternatif berkelanjutan,” kata Erin Sills, mitra senior Pusat Penelitian Kehutanan Internasional (CIFOR) pada 2011, “bentuk apapun intervensi hanya akan menggeser atau menunda deforestasi.”

Beragam hasil
Pada hasil terbaiknya, proyek mata pencaharian alternatif dipuji sebagai cara untuk mendorong baik konservasi maupun pembangunan. Wilayah ekowisata Missool di Raja Ampat, Indonesia, adalah contoh program konservasi dan pelibatan masyarakat. Program ini mempekerjakan 120 masyarakat lokal, mendukung sekolah dan menjadi penting dalam membangun wilayah dilarang membawa hasil memancing serta perlindungan hiu dan pari.

Banyak proyek lain menjadi kontroversial. Para praktisi menyebarkan anekdot buruknya perencanaan dan gagalnya intervensi. Bukan kejutan, jika proyek sering menimbulkan masalah ketika mereka mengabaikan keperluan sosioekonomi masyarakat dalam wilayah potensi konservasi. Contohnya, masyarakat adat direlokasi dari Taman Nasional Nagarhola di India sejak lama mengeluhkan pilihan mata pencaharian baru mereka tidak sesuai dengan kehilangan dari tempat sebelumnya.

Setelah semua uang, upaya dan waktu dikeluarkan, menjadi bahan perdebatan apakah inisiatif konservasi keragaman hayati dan pengurangan kemiskinan, termasuk proyek mata pencaharian alternatif, bisa disebut berhasil. Hanya sedikit bukti dari apa yang bekerja, apa yang belum dan mengapa?

Laporan terbaru mempertanyakan mengapa bukti keberhasilan, baik dalam konservasi keragaman hayati maupun pengurangan kemiskinan begitu terbatas. Apakah pendekatan tersebut gagal atau bukti yang benar tidak dikumpulkan untuk merekam “langkah menuju berhasil,”?

Kurangnya bukti membuat Kongres Konservasi Dunia IUCN mengeluarkan resolusi tahun lalu meminta kajian kritis bagi kemanfaatan keragaman hayati proyek mata pencaharian alternatif.

Bermitra bersama, IIED, CIFOR dan Zoological Society of London melakukan kajian sistematis terhadap bukti-bukti. Kajian akademik atau literatur abu-abu (materi publikasi informal seperti laporan projek) dilakukan untuk menentukan jika ada bukti proyek mata pencaharian alternatif mengurangi ancaman terhadap keragaman hayati. Hasilnya akan tersedia musim panas ini.

Menambah kebingungan, proyek ini digambarkan secara sangat beragam: ‘Mata pencaharian alternatif’, ‘aktivitas meningkatkan-pemasukan’, ‘dukungan mata pencaharian’, ‘diversifikasi mata pencaharian’, ‘peralihan mata pencaharian’, dan lain-lain.

Organisasi seperti Internasional Fauna & Flora kini menghindari penggunaan istilah ‘mata pencaharian alternatif’ dan mengadopsi istilah ‘diversifikasi mata pencaharian’ atau ‘pendekatan mata pencaharian berkelanjutan’ untuk menunjukkan pendekatan lebih holistik yang lebih merefleksikan kompleksitas hidup dan mata pencaharian masyarakat.

Apakah proyek ‘mata pencaharian alternatif’ adalah cara yang efektif untuk mengurangi kemiskinan dan melindungi keragaman hayati? Percayakah Anda pelaku proyek membesar-besarkan keberhasilan untuk memuaskan donor? Dapatkah Anda menunjukkan sebuah proyek ‘mata pencaharian alternatif’ yang berhasil (atau tidak berhasil) dalam meningkatkan status konservasi elemen tertentu keragaman hayati?

Hal ini bisa menjadi, contohnya, sebuah perubahan status konservasi spesies tertentu, menurun (atau tidak) kecepatan deforestasi, atau sekadar apakah aktivitas yang menurunkan kualitas lingkungan berlanjut atau berhenti.

Sumber: Cifor

read more
1 2 3 4 11
Page 2 of 11