close

08/03/2014

Hutan

Menyelamatkan Hutan Dimulai dari Rumah

Saya ini wong ndeso, menikmati masa kanak-kanak yang menyenangkan di tepian hutan kecil tak begitu jauh dari Taman Nasional Baluran, Situbondo-Jawa Timur. Hanya sebentar saja sempat numpang hidup di kota terbesar kedua Indonesia di Surabaya, untuk kuliah. Kini saya juga hidup tak begitu jauh dari hutan, hanya sekitar 60 kilometer dari Kawasan Kawah Ijen (Bondowoso-Jawa Timur).

Saya seorang PNS dan ibu dua anak yang sedang bergairahnya melihat dunia. Mereka sungguh berjiwa petualang. Mbolang, begitu kami sering menamakan aktifitas berpetualang kami. Hutan kota, hutan Perhutani, sawah, dan alam bebas adalah destinasi yang sungguh membuat kami bersemangat. Suatu saat kami bercita-cita, harus dapat berpetualang ke “hutan betulan”. Kelak jika keduanya sudah cukup usia.

Sebagai seorang ibu, mengikuti perkembangan berita terkait hutan tropis kita, bukan hal yang melegakan. Kita menghancurkan hutan kita sendiri, dan kerusakan hutan menyumbang 20% dari emisi GRK setiap tahun. Kita membutuhkan hutan dengan luasan besar untuk ‘meredam’ dan melawan perubahan iklim dan menjaga bumi. Tetapi yang terjadi kita melakukan sebaliknya. Bagaimana nantinya nasib kedua Bolang saya?

Soal manfaat hutan, tak perlu kita bahas, semua pasti sepakat. Hutan adalah paru-paru dunia penghasil oksigen dan pengatur siklus hidrologi yang juga menyimpan begitu banyak kehidupan dan kekayaan keaneka-ragaman hayati. Hutan juga merupakan rumah bagi jutaan orang asli yang untuk bertahan hidup bergantung dari hutan –baik secara fisik maupun spiritual. Ya, hutan tak ubahnya gambaran surga yang diturunkan Tuhan di dunia. Surga milik warga dunia. Milik kita. Jadi…. Protect Paradise!

Saya tak bisa bicara hal yang ndakik-ndakik tentang bagaimana kita menyelamatkan hutan. Saya hanya akan ngobrol hal-hal yang sederhana yang sudah kami lakukan. Semua dari ranah domestik, sesuai dengan tugas saya sebagai istri, sebagai ibu dari dua bolang.

Menyelamatkan Hutan dari Perut
Kami ini orang desa. Hidup sederhana, begitu juga dengan makan. Kami tak biasa makan fast-food. Ayam goreng berlumuran tepung itu, tak terlalu menarik bagi kami. Apalagi konon makanan tersebut selain kurang baik buat kesehatan, juga ternyata tak ramah bagi hutan.

Cemilan bagi kami juga sederhana saja. Yang penting sedap dan nyaman di perut. Buah-buahan dan sayuran itu camilan utama kami. Juga aneka makanan kukus dan rebus. Jagung rebus, singkong kukus, kacang rebus, ahh…semua menggugah selera. Sesekali pingin meniru gaya orang kota, snacking kata mereka, contohnya makan coklat. Waduh, ternyata harus pilih-pilih ya. Jangan-jangan malah nanti kami sekeluarga ikut jadi penyebab rusaknya hutan.

Less Tissue, Kembali Ke Serbet dan Saputangan
Kalau yang di atas itu sih, bahasanya orang kota. Bagi kami sudah biasa. Kebiasaan menenteng saputangan kemana-mana diwariskan turun temurun. Mulai dari embah putri juga ibu mempunyai kebiasaan selalu membawa sapu tangan. Bedanya, kalau embah biasanya menyelipkan di antara bebatan stagennya. Ibu biasa menaruh saputangan di tasnya.

Tadinya saya kira, bahan pembuat tisu itu khusus kayu dari pohon yang dibudidayakan. Eh, ternyata pakai kayu dari hutan tropis juga. Aduh, makin bersalah saja kalau pas terpaksa sesekali pakai tisu. Padahal bisa dibayangkan berapa kebutuhan tisu dalam setahun? Lha wong, warung kopi pinggir jalan saja, sekarang pada menyediakan tisu. Kena minyak gorengan dikit, langsung lap dengan tisu. Padahal embah putri dan ibu selalu mengajarkan saya menyediakan wijikan lengkap dengan serbet kecil, saat menghidangkan kudapan. Hemat, dan menurut saya malahan terkesan lebih mriyayeni. Elegan, gitu lo!

Sekarang Jamannya E-book
Meski terlahir sebagai wong ndeso, kami dibesarkan dalam atmosfer membaca yang cukup kental. Bapak seorang PPL kutu buku. Yang dibawa ke rumah selain Trubus, Sinar Tani, dan aneka modul pelatihannya, juga kerap Intisari dan sejumlah buku pengetahuan (meski intisarinya lebih sering bekas).

Budaya membaca terbawa hingga saat ini. Membaca, sambil membaui aroma kertas memang sungguh nikmat. Namun kami putuskan untuk memprioritaskan e-book. Bentuk buku yang satu ini kami anggap lebih ramah untuk hutan.

Meski Ndeso Saya Seorang Blogger Meski ndeso, saya punya sedikit kemampuan nge-blog. Ini sebenarnya hobi saja.Di sela-sela rutinitas yang kadang menjemukan, blogging menjadi semacam “me time” (haisshh…ini sih minjem istilah orang kota lagi) yang ampuh untuk mengusir penat saya. Pun, aktifitas ini menjadi semacam cara untuk “meneriakkan” apa yang ada dalam kepala dan hati saya. Seperti apa yang ingin saya sampaikan sekarang, lewat tulisan ini, Protect Paradise!

copyright by http://wyuliandari.wordpress.com
Sumber: greenpeace.or.id
* Tulisan adalah Pemenang Pertama Lomba Blog Hutan Greenpeace.

read more
Perubahan Iklim

Limbah Stasiun Penelitian Antartika Meracuni Lingkungan

Antartika adalah salah satu lingkungan yang paling murni di Bumi, tetapi kini bergulat dengan pencemaran. Ironisnya, orang-orang yang bekerja paling keras untuk melindungi benua itulah yang bertanggung jawab atas pencemaran tersebut.

Di Antartika, air limbah berasal dari puluhan stasiun penelitian. Stasiun tersebut merupakan perumahan yang dihuni 5.000 orang pada satu waktu. Sebagian besar dari mereka adalah ilmuwan. Stasiun penelitian itu melepaskan zat kimia jahat ke lingkungan. Zat tersebut mencemari penguin dan hewan liar lainnya.

Yang terbaru adalah zat yang memperlambat kobaran api (flame retardant) yang disebut Hexabromocyclododecane atau HBCD. Zat beracun itu biasanya digunakan dalam isolasi, bahan bangunan, termoplastik, dan peralatan penelitian, termasuk komputer.

Da Chen, seorang ahli pencemaran lingkungan dari Southern Illinois University, dan beberapa rekan ilmuwan kelautan, baru-baru ini menguji tentang HBCD di stasiun penelitian AS, McMurdo, di ujung selatan Ross Island, dan di sebuah pangkalan Selandia Baru terdekat. Penelitian menggunakan sampel dari debu dan lumpur limbah.

Para ilmuwan juga menguji jaringan satwa liar serta endapan dari daerah air limbah dari dua stasiun, yakni air yang mengandung limbah, bahan organik dan anorganik, racun, lumpur, patogen, obat-obatan yang tumpah ke McMurdo Sound.

HBCD didapati di tiap tempat yang dapat dilihat para ilmuwan. Mereka ada dalam debu dari stasiun, endapan, dan dalam jaringan hewan, antara lain penguin Adelie, ikan, sampai ke spons dan cacing laut.

Oleh karena itu, tidak mengherankan bila sedimen yang terdekat dengan sumber air limbah memiliki cemaran HBCD tertinggi. Namun, apa yang tak terduga adalah tingginya tingkat pencemaran tersebut menyaingi level yang biasanya bisa didapati di beberapa sungai yang berada di sekitar daerah paling padat penduduk di AS dan Eropa.

Para ilmuwan melaporkan temuan mereka di pertemuan the Society of Environmental Toxicology and Chemistry pada akhir 2013. Namun, mereka sebenarnya sudah mendapat liputan kecil terkait hal ini di media.

Meskipun banyak yang yakin bahwa sejumlah penguin dan hewan Antartika lainnya dapat menahan paparan HBCD, paparan kimia pada hewan pengerat dan ikan telah terbukti mengganggu hormon tiroid makhluk-makhluk tersebut. Hal itu memengaruhi pencernaan dan perkembangan otak.

Tingkat pencemaran yang ditemukan pada hewan, dalam studi baru-baru ini, tampaknya tidak menyebabkan masalah. Meski demikian, beberapa ilmuwan tetap prihatin.

“Kami menduga kondisi iklim yang dingin dapat mencegah tingkat pencemaran HBCD menurun,” kata Chen. Dengan demikian, bahan kimia dapat berlama-lama menghadirkan ancaman lingkungan yang berkelanjutan.

Andrea Kavanagh, yang memimpin program Pew Charitable Trust-Konservasi Penguin Global, mengatakan, mungkin terlalu dini untuk menilai jumlah korban bahan kimia ini pada satwa liar karena tubuh punya cara bertindak.

“Isolator api khususnya disimpan dalam jaringan lemak, dan terjadi bioakumulasi,” katanya. “Ini berarti bahwa bahan kimia terus ada dan terus membangun di dalam tubuh, lebih cepat dari usaha untuk menghilangkannya atau ketika rusak.”

Kavanagh mengatakan, penelitian sebelumnya telah menemukan zat yang memperlambat kobaran api lainnya. Zat yang kini sudah dilarang itu berupa senyawa bromin, yang digunakan dalam pelapis elektronik dan furnitur. Zat tersebut ditemukan pada satwa liar yang tinggal di dekat aliran air limbah Stasiun McMurdo.

“Belum ada aturan baku untuk mencegah agar hal itu tidak terjadi lagi,” katanya.

Ilmuwan dan wisatawan
Lebih dari 30 negara mempertahankan sekitar 70 stasiun penelitian di Antartika. Stasiun itu merupakan perumahan yang dihuni 1.000 sampai 5.000 penduduk. Selain itu, wisatawan juga mengunjungi stasiun penelitian.

Tiap-tiap stasiun menggunakan metode yang bervariasi dalam pengolahan air limbah. Namun, ada beberapa stasiun yang tidak melakukan pengolahan sama sekali. Banyak yang menggunakan proses dasar yang dikenal sebagai maceration. Salah satunya untuk memecah endapan besar (seperti kotoran manusia) supaya menjadi potongan-potongan kecil yang dapat dipompa keluar. Namun, mereka tidak melakukan apa pun untuk menghilangkan bahan kimianya.

Beberapa stasiun telah menerapkan sistem yang lebih baik dalam satu dekade terakhir. Walau demikian, upaya mereka lebih terfokus pada membunuh mikroorganisme daripada membersihkan bahan kimia. Sementara itu, masih sedikit yang diketahui tentang berapa lama hal-hal seperti obat-obatan dan produk perawatan pribadi menetap atau bagaimana mereka mempengaruhi satwa liar.

“Kebanyakan orang, termasuk sejumlah ilmuwan, percaya bahwa pencemar dari belahan Bumi selatan adalah sumber pencemaran utama untuk Antartika,” kata Chen. “Pencemaran dari sumber lokal sangat diabaikan.” []

Sumber: kompas/National Geographic Indonesia

read more
Ragam

Hotel di Bali Mulai Lirik Lampu Ramah Lingkungan

Beberapa hotel berbintang di Bali kini tertarik mengaplikasikan sistem penerangan lampu yang ramah lingkungan dan lebih efisien.  Salah satu teknologi pencahayaan yang mulai ekspansi ke Bali adalah produsen lampu Philips dengan memperkenalkan “Luminous Textiles”.

Teknologi itu sebagai salah satu inovasi terbarunya yang terintegrasi dengan panel akustik “kvadrat soft cells”.

“Ini solusi yang memberi kebebasan pemilik hotel untuk menciptakan pengalaman yang mengesankan bagi pengunjung,” terang Senior Manager Professional Lighting Channel PT Philips Indonesia Sigit Yustinus di Nusa Dua, Bali, Jumat (7/3/2014).

Luminous Textile, merupakan terobosan baru yang revolusioner untuk menunjang interior dengan cahaya, tekstur, dan konten visual yang dinamis.

Sebuah sistem pencahayaan ruangan yang unik, yang mengintegrasikan LED berbagai warna pada panel tekstil putih atau berwarna secara halus.

“Hotel-hotel dapat mengitegrasikan panel ini sebagai bagian dari arsitektur hotel dan menciptakan konten yang dinamis dan personal, disesuaikan nuansa hotel itu sendiri,” imbuh dia.

Pihaknya terus memperkenalkan ke kalangan industri hotel di Bali di mana teknologi itu juga mendukung program pemerintah dalam melakukan hemat energoi dan ramah lingkungan.

Salah satu hotel berbintang yang tertarik mengaplikasikan itu ke beberapa property adalah Sun Island Hotel Bali.

Chief Engineer Sun Island Hotel Bali, Ira Kamajaya mengungkapkan, secara bertahap pihaknya berupaya mengaplikasikan teknologi dan sistem pencahayaan, yang lebih hemat dan ramah lingkungan.

Pencahayaan merupakan cara mengurangi biaya paling signifikan. Sebanyak 42 persen penggunaan energi hotel berasal dari pencahayaan. Dengan mengaplikasikan solusi pencahayaan terintegrasi Philips LED di 954 titik cahaya.

Hal itu bisa menekan biaya operasional secara signifikan lebih rendah dibandingkan menggunakan pencahayaan konvensional. Teknologi pencahayaan mendukung pemilik hotel memberikan solusi pencahayaan yang dapat memberikan pengalaman lebih kepada seluruh pengunjung hotel.

“Pencahayaan yang tepat bisa menghadirkan suasana yang unik, nyaman dan mengesankan, mulai lobi ke ruang pertemuan, kamar hingga area luar ruangan,” tutupnya.[]

Sumber: okezone.com

read more