close

17/03/2014

Tajuk Lingkungan

Politik Hijau Pemilu 2014

Pemilu legislative dan presiden tahun 2014 akan berlangsung. Pemilu legislative tanggal 9 April 2014, dan pemilu presiden pada tanggal 9 Juli 2014.

Total pemilih pada pemilu 2014 adalah 186.612.255 pemilih. Dengan penghitungan jumlah surat suara adalah total pemilih +10% cadangan. Perkiraan surat suara yang akan dicetak sekitar 205 juta surat suara. Apabila pemilihan akan dilaksanakan 2 kali dengan asumsi pemilihan presiden 1 putaran, maka jumlah surat suara 410 juta surat suara. Spesifikasi surat suara adalah jenis kertas HVS 80 gram, Ukuran 42 X 55 cm (dilipat), Komposisi warna 4 X 4 atau 4 X 2, Jenis tinta khusus Jenis cetakan security printing Packaging hologram dan disegel, jumlah gambar kurang dari 30 partai politik, berat 20 gram per surat suara

Asumsinya setiap 15 rim kertas ukuran A4 itu akan menebang 1 pohon. Setiap 7000 eksemplar koran yang kita baca setiap hari itu akan menghabiskan 10-17 pohon hutan. Untuk kertas berkualitas baik, memerlukan pohon dengan kayu keras dan lunak. Jika seandainya kita menghemat 1 ton kertas, berarti kita juga menghemat 13 batang pohon besar, 400 liter minyak, 4100 Kwh listrik dan 31.780 liter air.  Dalam memproduksi 1 ton kertas, dihasilkan gas karbondioksida kurang lebih 2,6 ton. Jumlah ini setara dengan gas buang yang dihasilkan sebuah mobil selama 6 bulan.

Bisa dibayangkan apabila 410 juta surat suara dengan berat @ 20 gram dicetak maka total berat surat suara 8200 ton. Berarti paling tidakmembutuhkan106 ribu pohon, 3,3 juta liter minyak, 33,6 juta Kwh listrik, 261 juta liter air dan menghasilkan gas karbondioksida sebesar 21.320 ton. Yang berarti pemilu legislative dan presiden menyebabkan peningkatan pemanasan global, karena gas CO2 adalah salah satu gas rumah kaca penyebab pemanasan global.

Apabila pemilihan dilakukan secara e-voting atau e-election, maka kita masih dapat menyelamatkan hutan Indonesia yang luasnya tinggal 120 juta ha dan mengurangi dampak pemanasan global. E-voting atau e-Election adalah sebuah teknologi yang menjanjikan untuk memperbaiki banyak masalah pada pemungutan suara yang dilakukan secara konvensional, dan secara komprehensif memiliki potensi untuk memecahkan masalah yang ada selama ini terutama solusi untuk meminimalkan kemungkinan kerugian walaupun masih terdapat satu masalah yang akan selalu ada pada semua jenis sistem elektronik yaitu kemungkinan kehilangan suara (Carter, 2003).

Sistem e-voting pernah dilakukan pada Pemilihan Ketua Ikatan Alumni ITB periode 2011-2015. Proses pemilihan itu menggunakan 22 mesin electronic voting buatan ITB serta Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT).  Pemilih tinggal menunjuk calon pilihannya pada layar sentuh di bilik suara.

Selain jumlah surat yang perlu mendapat perhatian pada pemilu legislative dan presiden 2014 adalah promo tools yang digunakan oleh para calon legislative. Menurut ketua KPU (Komisi Pemilihan Umum) Husni Kamil Manik, jumlah calon legislative baik DPR, DPRD 1 dan DPRD 2 lebih kurang 200 ribu orang di tahun 2014. Apabila masing-masing calon legislatif menggunakan promo tools spanduk, baliho, billboard, poster, leaflet, brosur, stiker  dan sebagainya yang berpotensi menimbulkan sampah, maka Indonesia tidak hanya pesta demokrasi tetapi juga terjebak pada pesta sampah. Walaupun KPU telah melarang pemasangan baliho dan billboard, namun alat kampanye lain masih dibolehkan.

Padahal alat kampanye seperti silaturahmi, advokasi kebutuhan masyarakat, media social dapat lebih efektif dibanding penggunaan promo tools yang hanya menghasilkan sampah.

Jumlah suara dan promo tools adalah aspek fisik sedangkan aspek non fisik seperti visi misi, platform, dan program kerja perlu juga dikritisi. Hal-hal yang perlu diperhatikan pada pemilu 2014 adalah : Pilih partai, calon legislative atau calon presiden yang memiliki visi, misi, platform dan program kerja yang berwawasan lingkungan. Misalnya visinya menjadikan kota X sebagai kota hijau, program kerjanya memberikan bantuan bibit pohon kepada masyarakat. Atau calon presiden yang akan menjaga sumber daya alam Indonesia sehingga dapat dinikmati tidak hanya generasi sekarang tetapi juga generasi yang akan datang. Program kerja capres tersebut adalah melakukan penanaman pohon di hutan-hutan kritis di Indonesia

Pilih partai, calon legislative atau calon presiden yang memiliki rekam jejak lingkungan yang baik. Misalnya pilih calon legislative yang berani berkata tidak kepada pemerintah apabila pemerintah mengeluarkan izin penebangan hutan, dan pilih calon presiden yang mendukung kerja gerakan lingkungan di Indonesia

Pilih partai, atau calon legislative yang dapat menjadi penengah konflik social antara masyarakat dan eksekutif. Tidak hanya menjadi penyampai aspirasi masyarakat kepada eksekutif tetapi mampu memasukkan aspirasi masyarakat local menjadi kebijakan.

Pilih partai atau calon legislative yang dapat menyediakan wadah bagi partisipasi masyarakat untuk mengontrol, mengevaluasi dan memberikan masukan baik kepada lembaga legislatif maupun eksekutif. Masyarakat diberdayakan sehingga paham hak dan kewajibannya.

Jangan pilih partai, calon legislative dan calon presiden yang tidak pro lingkungan. Jangan memilih calon legislative ditengarai mendukung atau punya perusahaan tambang yang merusak lingkungan, jangan pilih calon presiden yang mendukung atau punya pandangan bahwa ekonomi lebih penting daripada lingkungan, dan sebagainya.

Jangan pilih partai, calon legislative, dan calon presiden yang menyebarkan promo tools dimana-mana sehingga menimbulkan sampah. Memasang, menempelkan brosur, leaflet atau promo tools lain di fasilitas umum dan atau fasilitas sosial. Apalagi sampai merusak pohon hanya untuk memasang promo tools. Partai, calon legislative dan calon presiden yang seperti ini perlu di blacklist. Belum jadi pimpinan saja sudah merusak lingkungan apalagi kalau sudah jadi pemimpin.

Mudah-mudahan point-point diatas dapat menjadi pedoman dalam menyambut pesta demokrasi 2014.

Sumber: bangzul.com

read more
Kebijakan Lingkungan

Kebakaran Hutan di Indonesia Capai Level Tertinggi

Di awal Maret 2014, kebakaran hutan dan lahan gambut di provinsi Riau, Sumatera, Indonesia, melonjak hingga titik yang tidak pernah ditemukan sejak krisis kabut asap Asia Tenggara pada Juni 2013. Hampir 50.000 orang mengalami masalah pernapasan akibat kabut asap tersebut, menurut Badan Penanggulangan Bencana Indonesia. Citra-citra satelit dengan cukup dramatis menggambarkan banyaknya asap polutan yang dilepaskan ke atmosfer, yang juga berkontribusi kepada perubahan iklim.

Minggu lalu Global Forest Watch, sebuah sistem online baru yang mencatat perubahan tutupan hutan serta kebakaran hutan secara online melaporkan bahwa pembukaan lahan untuk agrikultur menjadi pendorong utama terjadinya kebakaran ini. Seperti yang terjadi sebelumnya, sekitar setengah dari kebakaran tersebut berlangsung di lahan yang dikelola oleh perusahaan tanaman industri, kelapa sawit, serta kayu. Global Forest Watch menunjukkan bahwa sebagian dari kebakaran yang paling besar berada pada lahan yang telah sepenuhnya ditanami, terlepas dari fakta bahwa banyak dari perusahaan ini yang berkomitmen untuk menghentikan penggunaan api dalam praktik pengelolaan mereka.

Berulang kembalinya peristiwa kebakaran ini—serta intensitasnya—memunculkan beberapa pertanyaan penting. Di bawah ini, kami menggunakan data Global Forest Watch untuk lebih jauh menelusuri pertanyaan-pertanyaan tersebut.

1. Berapa Banyak Kebakaran yang Terjadi Dibandingkan Juni 2013?
Sejak 20 Februari hingga 11 Maret, Global Forest Watch mendeteksi 3.101 peringatan titik api dengan tingkat keyakinan tinggi di Pulau Sumatera dengan menggunakan Data Titik Api Aktif NASA. Angka tersebut melebihi 2.643 total jumlah peringatan titik api yang terdeteksi pada 13-30 Juni 2013, yaitu puncak krisis kebakaran dan kabut asap sebelumnya.

Fakta bahwa jumlah kebakaran kini terjadi lebih sering dibandingkan dengan Juni 2013 sangatlah mengkhawatirkan, terutama melihat usaha-usaha yang telah dilakukan oleh pemerintah Indonesia serta negara lainnya untuk mengatasi masalah kebakaran sejak saat itu. Krisis terakhir ini jelas berhubungan dengan kekeringan ekstrim yang sekarang melanda kawasan, yang juga membuat pembakaran semakin mudah serta meningkatkan kemungkinan api menyebar dengan tidak terkendali.

Menariknya, liputan media terhadap kebakaran yang baru terjadi tidak sebesar Juni 2013 karena fakta bahwa pola angin telah meniup asap dan kabut menjauh dari kota-kota besar seperti Singapura, menuju wilayah pedesaan di Sumatra.

2.Dimanakah Kebakaran Terjadi?
Selama bulan Juni 2013, mayoritas kebakaran yang terjadi terpusat di Provinsi Riau, Pulau Sumatera, Indonesia. Angka yang cukup mengejutkan, yaitu sebanyak 87 persen dari peringatan titik api di sepanjang Sumatera pada 4-11 Maret berada di Provinsi Riau. Lihat animasi di bawah yang menunjukkan wilayah dimana kerapatan titik api paling banyak terjadi di Riau selama 12 hari terakhir.

Terlebih lagi, sekitar setengah dari peringatan titik api di Sumatera terletak di lahan yang dikelola oleh konsesi kelapa sawit, HTI, serta HPH, menurut data dari Kementrian Kehutanan Republik Indonesia. Selain itu, beberapa dari area kebakaran yang paling besar tampak terjadi di konsesi yang dimiliki perusahaan-perusahaan besar.

Investigasi lebih lanjut perlu dilakukan oleh pemerintah Indonesia sebelum membuat kesimpulan definitif mengenai ada tidaknya perusahaan yang melakukan pelanggaran terhadap hukum yang membatasi penggunaan pembakaran.

3. Kenapa Masalah Ini Tetap Terjadi?
Krisis minggu ini menjadi yang terakhir dari daftar panjang mengenai episode kebakaran yang mempengaruhi Indonesia dan negara-negara tetangga. Meskipun kita sudah dapat menentukan ukuran kebakaran dan dimana lokasinya, masih banyak hal yang belum kita ketahui. Salah satunya, mengapa pemerintah Indonesia gagal untuk menerbitkan informasi dimana perusahaan sawit, kertas, dan kayu beroperasi. Meskipun Global Forest Watch memasukkan data konsesi terakhir yang tersedia, masih banyak kesenjangan informasi serta masalah seputar akurasi.

Tersedianya peta batas konsesi serta kepemilikan lahan terbaru dapat memperbaiki koordinasi di antara institusi pemerintah yang berusaha menghentikan api, peningkatan penegakkan hukum di sekitar kawasan, serta tentu saja, akuntabilitas yang lebih baik untuk perusahaan maupun institutsi pemerintah terkait.

Kedua, investigasi lebih lanjut di lapangan menjadi prioritas yang mendesak, termasuk penelitian dan survei mendalam untuk dapat mengerti proporsi pembakaran yang dilakukan oleh perusahaan besar dibandingkan dengan operasi ukuran menengah maupun kecil. Tentu saja, petani miskin tidak memiliki alternatif selain menggunakan api ketika melakukan pembersihan lahan. Mereka juga dapat menggunakan api untuk merusak ataupun melakukan klaim atas lahan yang berada di bawah manajemen perusahaan besar.

Konflik lahan seperti ini sangat umum di seluruh Indonesia. Pemerintah maupun organisasi peneliti independen, perlu secara cepat melakukan investasi lebih untuk mengerti akar masalah dari kebakaran ini serta menyusun program yang lebih baik untuk mencegah kebakaran.

Terkait dengan hal ini, beberapa progres telah dibuat. Pemerintah Indonesia dan Singapura, serta kelompok ASEAN yang lebih besar, sedang melakukan usaha-usaha untuk menurunkan risiko kebakaran. Deteksi api dan usaha pemadaman telah ditingkatkan, serta penegakkan hukum Indonesia telah melakukan beberapapenangkapan yang signifikan. Singapura bahkan mengajukan undang-undang mendobrak baru yang memungkinkan pemerintah untuk menjatuhkan sanksi kepada perusahaan—domestik maupun asing—yang menyebabkan kabut asap lintas-negara yang merugikan pemerintah negara tersebut.

Pada Bulan Oktober, pemerintah negara-negara ASEAN telah sepakat untuk bekerja sama dan membagi data mengenai titik api dan penggunaan lahan, meskipun data ini tidak tersedia untuk publik. Lebih lanjut, banyak perusahaan yang telah, sejak saat itu, mengumumkan secara public kebijakan tidak menggunakan pembakaran, serta melakukan investasi terhadap system pengawasan dan pengendalian api mereka.

Akan tetapi, seperti yang ditunjukkan oleh angka yang belum pernah terjadi sebelumnya ini, usaha-usaha tersebut belum menjawab pertanyaan apa yang diperlukan untuk menghentikan krisis ini. Nasib hutan, kualitas air, serta kesehatan masyarakat Indonesia—serta orang-orang dan hewan liar yang hidup dari pada hutan ini—bergantung pada penegakkan hukum, informasi yang transparan, koordinasi yang lebih baik antara institusi pemerintah, serta tanggung jawab perusahaan yang lebih baik lagi.[]

Sumber: NASA FIRMS FAQ Morton, D., R. DeFries, J. T. Randerson, L. Giglio, W. Schroeder, and G. van der Werf. 2008. Agricultural intensification increases deforestation fire activity in Amazonia. Global Change Biology 14:2262-2276.

read more
Hutan

TKPRT Minta Pemerintah Tindak Pembakar Tripa

Terhitung sejak 1 – 14 Maret 2014, sepanjang pantai barat khususnya dikawasan Rawa Tripa terdapat 69 titik Api yang  berada dalam wilayah Izin Usaha Perkebunan, 51 titik api terdapat di areal konsesi PT. GSM, sementara PT. Kallista Alam (KA) menjadi HGU penyumbang terbanyak kedua, yaitu 14 titik. Selanjutnya ada PT. SPS 2 dan PT. CA yang menduduki peringkat 3 bersama dengan masing-masingnya menyumbang 2 titik api.

Sampai saat ini belum ada upaya nyata yang dilakukan oleh para pemegang HGU untuk memadamkan api. ” Jika terus dibiarkan maka akan semakin menambah parah kerusakan ekosistem Rawa Tripa, ” ujar juru bicara Tim Koalisi Penyelamatan Rawa Tripa (TKPRT), Fadila Ibra kepada media hari ini.

Rawa Tripa masuk dalam Kawasan Ekosistem Leuser (KEL), terletak di Kabupaten Aceh Barat Daya dan Kabupaten Nagan Raya, dengan luas mencapai + 61.803 Ha. Rawa Tripa merupakan 1 dari 3 (Tripa, Kluet dan Singkil) kawasan rawa gambut di pantai barat Provinsi Aceh.

Setiap pemegang ijin dapat dipastikan telah menanda-tangani surat pernyataan kesanggupan untuk menyediakan sarana, prasarana dan sistem tanggap darurat yang memadai untuk menanggulangi terjadinya kebakaran dalam pembukaan dan/atau pengelolaan lahan.

” Coba cek ke lapangan, direalisasikan ngak ? Fakta lapangan ini harus menjadi rujukan bagi tim evaluasi HGU yang telah di-SK-kan oleh Gubernur Aceh, hasil kerjanya kita nantikan, ” kata Fadila.

Pemerintah Aceh dan Pemerintah Kabupaten/Kota wajib melakukan upaya pembinaan dan pengawasan usaha perkebunan dengan tujuan untuk meningkatkan kinerja dan kualitas usaha perkebunan. Jika kewajiban ini tidak dilaksanakan, Pemerintah Aceh dan Pemerintah Kabupaten telah melakukan tindak pidana korupsi, sanksi pidana menanti, ujar Kepala Rumoh Transparansi Atjeh (RUTAN Atjeh) Ilham Sinambela, S.Hut, MT.

Sudah saatnya Pemerintah Aceh dan Kabupaten meminta pertangung jawaban dari para pemegang ijin, wajib hukumnya bagi mereka untuk memastikan tidak terjadi pembakaran lahan di areal konsesi mereka. Jika mereka tidak memenuhi kewajiban, cabut izinnya, ujar Ilham lebih lanjut.

Sejak akhir 80-an kawasan rawa gambut Tripa menjadi areal konsesi perkebunan kelapa sawit. Di kawasan Tripa terdapat 5 perkebunan besar swasta, yaitu PT. Kallista Alam, PT Surya Panen Subur 2 (eks PT Agra Para Citra), PT Gelora Sawita Makmur, PT Dua Perkasa Lestari dan PT Cemerlang Abadi dengan total luas areal konsesi keseluruhan mencapai 35.000 ha. Operasi perkebunan pernah terhenti karena konflik di Aceh.

“Informasi terakhir yang kita terima dari masyarakat, kabut asap yang tebal, abu sisa-sisa pembakaran lahan berterbangan di wilayah pemukiman penduduk Alue Bilie,” ujar Fadila. [rel]

read more