close

19/03/2014

Flora Fauna

Ribuan Nelayan Jaga Lumbung Ikan

Masyarakat nelayan di Teluk Kolono, Konawe Selatan, Sulawesi Tenggara, menunjukkan kebanggaan akan potensi lautnya melalui Festival Teluk Kolono di desa Lambangi, 12–14 Maret 2014.

Kepala Dinas Kelautan dan Perikanan (DKP) Kabupaten Konawe Selatan, Ir. Abdul Rahman K. menuturkan, “Perairan Teluk Kolono kaya akan berbagai ikan karang bernilai ekonomi tinggi seperti Kerapu, Kakap, Kuwe, Baronang, Tenggiri, Pari, Awu-awu dan Layang Juga biota laut yang dikonsumsi oleh masyarakat seperti Lobster, Gurita, Cumi-cumi, dan Sotong.

Potensi laut yang tinggi ini menyadarkan masyarakat untuk melestarikan lumbung ikan di perairannya. Untuk pertama kalinya, masyarakat nelayan Teluk Kolono terlibat aktif, duduk bersama merumuskan Peraturan Desa mengenai pengelolaan Daerah Perlindungan Laut (DPL) Teluk Kolono sebagai sumber perikanan berkelanjutan.”

Staf DKP Konawe Selatan sekaligus Manajer Kampanye Program Pride di DPL Teluk Kolono, Musriyadi, S.Pi. menginformasikan, ”Festival Teluk Kolono merupakan bagian Program Pride bagi Perikanan Berkelanjutan di DPL Teluk Kolono, kerja sama antara DKP Konawe Selatan dan Rare sejak Juni 2012. Program Pride mendorong masyarakat nelayan di desa Lambangi, Tumbu-Tumbu jaya, Ngapawali, Batu Putih dan Rumba-Rumba untuk terlibat aktif dalam pembentukan Peraturan Desa mengenai pengelolaan DPL Teluk Kolono serta menjadi anggota Kelompok Masyarakat Pengawas (Pokmaswas) untuk mengawasi pemanfaatan sumber daya perikanan di DPL Teluk Kolono. Kini telah terbentuk dua DPL di perairan desa Ngapawali dan desa Tumbu-tumbu Jaya dengan luas total lebih dari 50 hektar.

Nelayan didorong untuk menangkap ikan di luar batas DPL. Di akhir Program Pride pada Juni 2014, diharapkan tercapai dampak konservasi berupa stabilnya tutupan terumbu karang hidup dan sehat di DPL Teluk Kolono yang pada akhirnya akan menjamin ketersediaan sumber daya perikanan bagi masyarakat Teluk Kolono.”

“Dulu hasil tangkapan banyak. Biar pakai obor, turun memancing bisa dapat ikan banyak. Tapi sekarang hasil mulai berkurang. Biar pakai lampu yang terang, kadang nda ada hasil sama sekali. Lima tahun yang lalu, terumbu karang masih bagus. Sekarang sudah banyak yang rusak karena banyak yang tangkap ikan pakai bom.” M. Yamin, nelayan dari desa Tumbu-tumbu Jaya menceritakan kondisi perikanan saat ini.

“Penelitian kualitatif oleh DKP Konawe Selatan dan Rare pada Oktober 2012 di desa Lambangi, Tumbu-Tumbu Jaya, Ngapawali, Batu Putih dan Rumba-Rumba, menyebutkan bahwa rata-rata nelayan mengalami penurunan hasil tangkapan dibandingkan dengan sepuluh tahun yang lalu, ukuran ikan yang tertangkap semakin kecil serta lokasi tempat mencari ikan semakin jauh. Salah satu penyebab kondisi ini ialah penggunaan bahan peledak dan racun potas untuk menangkap ikan oleh sejumlah oknum nelayan yang tidak bertanggung jawab sehingga mengakibatkan rusaknya ekosistem terumbu karang sebagai rumah ikan.

Monitoring bawah laut oleh DKP Konawe Selatan dan Rare di DPL desa Ngapawali dan desa Tumbu-tumbu Jaya pada Januari 2013 menunjukan persentase luas tutupan karang keras hidup dan sehat di kedua DPL tersebut berada pada kategori ‘rusak sedang’ sebesar 31% dan 35% sesuai Kriteria Baku Kerusakan Terumbu Karang, Keputusan Menteri Lingkungan Hidup No.04 tahun 2001. Oleh karena itu, pembentukan kawasan perlindungan laut guna pelestarian ekosistem terumbu karang menjadi salah satu solusi yang digagas dan dikembangkan bersama masyarakat nelayan Teluk Kolono.

“Kecamatan Kolono merupakan salah satu dari sedikit kawasan di Kabupaten Konawe Selatan yang bebas dari pertambangan. Masyarakat nelayan sadar bahwa pertambangan akan merusak ekosistem terumbu karang dan sumber daya laut Teluk Kolono. Masyarakat tergugah hatinya untuk berpartisipasi menjaga DPL supaya ikan senantiasa ada untuk kita dan anak cucu kelak,” jelas Camat Kolono, Drs. Muh. Yusuf.

“Program Pride ini menggugah rasa bangga masyarakat nelayan Teluk Kolono akan kekayaan sumber daya laut karunia Allah SWT. Mari kita bersama-sama mengelola DPL untuk melestarikan terumbu karang sebagai rumah ikan, supaya ikan selalu ada dan bertambah banyak. Jaga rumahnya agar melimpah. Ini sesuai dengan visi pembangunan Kabupaten Konawe Selatan sebagai ‘Kabupaten Minapolitan’ yang dijabarkan melalui misi yakni ‘Mewujudkan Masyarakat Konawe Selatan Sejahtera Berbasis Pedesaan’. Untuk mewujudkannya, mari kita bekerja keras bersama-sama bagi kesejahteraan nelayan di masa kini dan masa mendatang,” tegas Bupati Konawe Selatan, Drs. H. Imran, M.Si saat membuka Festival Teluk Kolono.

Bupati Konawe Selatan juga berdiskusi dengan nelayan dan mencanangkan Gerakan Pelestarian Teluk Kolono. Pembukaan festival ini disaksikan oleh Ketua Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Kabupaten Konawe Selatan, Ketua Badan Pengendali Dampak Lingkungan Daerah (Bapedalda) Konawe Selatan, Kepala DKP Konawe Selatan, Camat Kolono dan 31 orang Kepala Desa di wilayah Kecamatan Kolono.

Lebih dari 3.000 orang masyarakat nelayan teluk Kolono memadati festival ini. Festival ini dimeriahkan dengan berbagai lomba bagi masyarakat nelayan seperti lomba perahu hias, lomba dayung, lomba balap katinting, lomba masak olahan tradisional hasil laut, lomba foto lingkungan perairan, lomba cipta lagu konservasi, lomba tarik tambang perahu, stand desa dengan makanan tradisionalnya, tarian tradisional dan lainnya.

“Festival Teluk Kolono yang baru pertama kali dilaksanakan ini merupakan kegiatan positif dalam melestarikan lingkungan perairan pesisir Teluk Kolono. Juga melestarikan budaya-budaya lokal yang keberadaanya mulai terkikis oleh perubahan zaman. Oleh karena itu, Festival Teluk Kolono akan dijadikan sebagai kegiatan tahunan oleh Pemerintah Daerah Kabupaten Konawe Selatan,” tambah Bupati Konawe Selatan, Drs. H. Imran, M.Si.

Sumber: hijauku.com

read more
Kebijakan Lingkungan

Pemerintah Beri Perusahaan Pro Lingkungan Ekolabel

Kabar baik bagi perusahaan yang telah menyandang ekolabel multikriteria. “Perusahaan itu otomatis masuk ke daftar e-catalog Lembaga Kebijakan Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah (LKPP),” kata Deputi Menteri Lingkungan Bidang Pembinaan Sarana Teknis Lingkungan dan Peningkatan Kapasitas, Henry Bastaman, seusai acara Peluncuran Peraturan Menteri Lingkungan Hidup Nomor 2 Tahun 2014 di Jakarta, Rabu, 19 Maret 2014.

Henry menjelaskan kebijakan baru itu sebagai bentuk insentif dari pemerintah bagi para pengusaha yang pro atau ramah lingkungan. Selain itu, pembelanjaan negara akan mengarah ke produk-produk yang ramah lingkungan. Hingga saat ini ada 24 produk dari empat perusahaan yang siap disertifikasi. Dia berharap produk-produk ini bisa segera masuk e-catalog LKPP.

Rabu, 19 Maret 2014, Kementerian Lingkungan Hidup meluncurkan Peraturan Menteri Nomor 2 Tahun 2014 tentang pencantuman logo ekolabel. Ada 12 jenis produk yang didorong mendapatkan logo ini, yaitu kertas fotokopi, kertas majalah, kertas kemas, kertas tisu kebersihan, tekstil, produk tekstil, kulit jadi, sepatu kasual dari kulit, serbuk deterjen, baterai kering, cat tembok, ubin keramik, dan kantong belanja plastik.

Ada dua jenis ekolabel yang dapat digunakan sebuah produk, yaitu logo ekolabel swadeklarasi dan ekolabel multikriteria. Ekolabel swadeklarasi adalah klaim awal dari pengusaha atas sebuah produk yang telah memenuhi aspek lingkungan tertentu. Adapun ekolabel multikriteria adalah sertifikasi Kementerian Lingkungan Hidup bahwa produk tersebut ramah lingkungan.

“Dalam peraturan tersebut ekolabel berlaku selama tiga tahun dan dapat diperpanjang,” kata Asisten Deputi Standarisasi dan Teknologi, Kementerian Lingkungan Hidup, Nur Adi Wardoyo.  Perpanjangan tersebut akan diperoleh setelah Kementerian Lingkungan Hidup mengevaluasi produsen pemohon. KLH menyatakan untuk produsen, ekolabel disebut akan meningkatkan daya saing di pasar domestik dan internasional.

Sumber: tempo.co.id

read more
Energi

Industri Batubara Memperburuk Kemiskinan

Lembaga pemerhati lingkungan Greenpeace menilai industri ekstraktif batubara tidak hanya mengakibatkan kerusakan, tapi juga telah melukai ekonomi nasional, memperburuk kemiskinan, dan mengancam penghidupan masyarakat yang tinggal di sekitar operasi pertambangan batubara.

Menurut Arif Fiyanto, Jurukampanye Iklim dan Energi Greenpeace Indonesia, industri ekstraktif seperti pertambangan batubara mengguncang perekonomian Indonesia dan menyebabkan fluktuasi besar dalam neraca pembayaran dan nilai tukar.

Dampak dari fluktuasi ini juga menghambat pembangunan jangka panjang industri dengan nilai tambah yang lebih tinggi karena mengalihkan dan menghalau investasi modal awal.

“Pengembangan batubara tidak membantu masyarakat miskin pedesaan, karena pertambangan batubara justru membawa dampak yang sangat negatif pada pertanian, perikanan dan sektor lain dimana jauh lebih banyak orang bergantung untuk penghidupannya,” kata Arif dalam siaran pers yang berkaitan dengan laporan terbarunya berjudul Batubara Melukai Perekonomian Indonesia.

Selain itu, terdapat kelemahan sistemik di pasar batubara global, sehingga tidak bijaksana bila Indonesia terus berinvestasi dalam meningkatkan kapasitas ekspor batubara. Permintaan impor batubara Cina cenderung melemah, dengan berbagai faktor yang mendorong turunnya permintaan. Salah satu faktornya adalah bahwa selama dua tahun terakhir,  tingkat polusi di Cina telah mencapai mencapai rekor dengan tingkat PM 2,5 (polusi partikulat kecil berukuran diameter 2,5 mikrometer) pada Januari 2013. Ini adalah lebih dari 30 kali tingkat yang aman menurut Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) yaitu 25 mikrogram per meter kubik.

Selain itu, kebijakan baru di 26 provinsi di China untuk memangkas produksi dan konsumsi batubara akan mengurangi permintaan batubara China secara signifikan.

“Pemerintah harus segera menghentikan pembangunan ekonomi yang berbasis pada energi kotor batubara, seperti dampaknya yang merusak lingkungan dan mengganggu kesehatan warga. Apabila Indonesia masih terus melanjutkan pembangunan ekonomi yang bertopang pada batubara, maka dalam jangka panjang batubara dapat melukai perekonomian Indonesia, dan menjauhkan negara ini dari jalur pembangunan ekonomi rendah karbon,”pungkas Arif.

Sumber: okezone.com

read more