close

22/03/2014

Hutan

Biofuel dan Hutan: Jalan Panjang Perdebatan

Besarnya optimisme akan kontribusi bahan bakar hayati atau biofuel terhadap ketahanan energi, mitigasi dan pembangunan pedesaan membuka jalan bagi pandangan skeptis tentang keberlangsungan ekonomi dan publisitas buruk soal perebutan lahan terkait serta perusakan lingkungan.

Dalam diskursus yang sangat terpolarisasi antara “mendukung” dan “menentang”, debat menunjukkan sedikit nuansa dan terbawa menjadi dipenuhi asumsi berkualitas rendah. Dengan kondisi sektor biofuel masih dalam masa pertumbuhan, apakah asumsi-asumsi ini benar-benar menopang kecermatan lebih lanjut atau apakah biofuel secara prematur diabaikan?

Hingga saat ini bukti untuk menyatakan ada interaksi antara ekonomi biofuel dan hutan, produksi pangan, serta hak masyarakat miskin desa selalu rumit dalam pengambilan keputusannya, dan tidak seharusnya di-generalisasi dan disederhanakan secara berlebihan. Daripada mengabaikan biofuel begitu saja, perhatian lebih besar seharusnya diberikan pada membangun mekanisme yang tepat untuk mengembangkan sektor-sektor potensial pengembangan, seraya memitigasi potensi kerugiannya.

Biofuel Generasi pertama 
Sebagai respon terhadap perubahan kondisi global, beberapa negara membangun target konsumsi dan produksi biofuel sebagai bagian sebuah pergeseran menuju penggabungan lebih besar sumber energi terbarukan menuju bauran energi dan peningkatan ekonomi rendah karbon.

Pasar besar seperti Uni Eropa, AS, dan akhir-akhir ini Brasil mewajibkan campuran biofuel.

Untuk menjamin campuran biofuel memenuhi tujuan lingkungan di Uni Eropa dan AS, mereka harus memenuhi kriteria ketat keberlanjutan. Bagaimanapun, kritikus menyatakan bahwa tindakan tersebut belum memadai sebagai perlindungan terhadap seluruh rentang potensi dampak merugikan kebijakan seperti itu.

Contohnya, dengan merangsang permintaan untuk apa yang disebut tanaman-pertanian-flex (yaitu tanaman yang bisa digunakan untuk beragam kegunaan, termasuk pangan), hal ini dinyatakan bisa mengalihkan pertanian pangan untuk konsumsi energi, mengancam pemenuhan pangan dan stabilitas harga.

Sebagai tambahan, banyak yang berpendapat bahwa ketika perubahan lahan tidak langsung (iLUC) terjadi, banyak biofuel tidak akan memenuhi target reduksi gas rumah kaca (GRK), yang biasanya hanya dipertimbangkan terhadap perubahan lahan langsung. Sebagai respon terhadap kritik ini, pada 2013 Uni Eropa menerapkan pendekatan baru, termasuk membatasi jumlah biofuel berbasis-pangan yang bisa digunakan dan sebagai kriteria tambahan berkaitan dengan GRK yang diemisi dari iLUC.

Lebih jauh lagi, banyak negara mulai mempertanyakan keberlangsungan ekonomi biofuel, sejalan dengan rendahnya harga bahan bakar seringkali membutuhkan subsidi substansial untuk menjamin bahwa produsen biofuel tidak malah mengincar pasar pangan yang lebih menguntungkan, di tengah ekspansi besar tuntutan pasar pangan.

Biofuel Hanya Menambah Tekanan 
Kekhawatiran ini, seharusnya dipandang sebagai satu perspektif. Walaupun produksi total biofuel berkembang lebih dari sepuluh kali lipat antara 2000 dan 2010, hanya 9 persen minyak sayuran produksi global digunakan untuk membuat biofuel.

Di banyak negara, ethanol banyak diproduksi dari sisa molases dan bukan dari jus tebu. Oleh karena itu, hubungan antara biofuel dan jenis perubahan penggunaan lahan yang tidak diinginkan seperti deforestasi seringkali tidak langsung dan tidak dalam proporsi untuk memberi tekanan dari ujung lain pasar. Yang terakhir mendapat dorongan kuat dari tuntutan manfaat pangan mereka dan meningkatnya konsumsi daging di negara yang ekonominya bangkit seperti India dan China.

Mengingat batasan penggunaan tanaman kunci bagi produksi biofuel, debat mengenai dampak terbesar ada di wilayah proyeksi. Lebih jauh, walaupun upaya analitis penting telah dilakukan sejauh ini, menduga dampak iLUC terhadap konversi hutan masih sulit dibangun dalam praktik dan masih membutuhkan perbaikan metodologis secara substansial. Sebagai tambahan, penelitian menyarankan bahwa emisi GRK yang dikembangkan dari konversi lahan untuk bahan baku biofuel bisa memerlukan beberapa dekade atau bahkan abad untuk dibalikkan. Hingga saat ini, bagaimanapun, jejak lingkungan rinci mengenai biofuel masih belum jelas.

Sumber: blog.cifor.org

read more
Green Style

Orang Indonesia Boros Pakai Air

Diperkirakan sekitar 321 juta jiwa penduduk Indonesia akan mengalami kelangkaan air bersih pada tahun 2025. Pertumbuhan penduduk yang tidak sebanding dengan ketersediaan air dan perilaku masyarakat yang boros air menjadi penyebab utamanya.

Berdasarkan data dari Indonesia Water Institute, pada tahun 2013, pemakaian air per hari rata-rata rumah tangga di perkotaan di Indonesia untuk golongan ekonomi menengah ke bawah adalah 169,11 liter/orang, sedangkan untuk golongan ekonomi menengah ke atas adalah 247,36 liter/orang untuk kegiatan sehari-hari seperti mencuci tangan, menggosok gigi, mandi, toilet, mencuci baju, mencuci piring, memasak, menyiraam tanaman, dan mencuci kendaraan.

Firdaus Ali, Pendiri dan Ketua Indonesia Water Institute memaparkan tentang kondisi air bersih di Indonesia, “Sebenarnya, sejak tahun 2000 telah terjadi kelangkaan air bersih di beberapa kawasan di Indonesia. Data memperlihatkan bahwa Pulau Jawa telah mengalami defisit air sebesar 2,809 miliar meter kubik, Sulawesi 9,232 miliar meter kubik, Bali 7,531 miliar meter kubik dan NTT 1,343 miliar meter kubik”.

“Di Jakarta sendiri, sampai tahun 2013, cakupan layanan air bersih baru mampu menjangkau sekitar 38 persen dari total jumlah populasi (10,1 juta jiwa). Jika sepersepuluh dari warga Jakarta dapat mengubah perilakunya untuk menghemat air, maka dapat bantu memperlambat laju krisis air.”

Untuk mengajarkan perilaku penggunaan air secara optimal, peran ibu dalam rumah tangga sangat besar. Ibu dapat mulai mengubah perilaku keluarga dalam penggunaan air bersih dari sekarang secara optimal melalui 3P: Pengurangan, Penggunaan kembali, dan Pelestarian air.

“Melestarikan air untuk kehidupan anak di masa depan dapat dimulai perlahan dalam keseharian. Ibu sebagai penggerak rumah tangga dituntut untuk menjadi panutan keluarga agar langkah kecilnya dalam menghemat air mudah ditiru dan diikuti oleh anggota keluarga yang lain.

“Banyak hal yang dapat dilakukan untuk menghemat air melalui 3P. Di rumah, saya membiasakan menggunakan hanya satu gayung dan waslap saat mandi untuk mengurangi penggunaan air, menampung air hujan agar dapat kembali untuk menyiram tanaman, serta membuat lubang resapan biopori atau menanam tanaman yang mampu menyimpan banyak air,” jelas Riyani Djangkaru, Ibu dari satu orang putra sekaligus pecinta lingkungan, dalam puncak acara “Molto Save Our Water for the Next Generation”, Sabtu (22/3/2014) di Taman Banteng, Jakarta.

Sumber: beritasatu.com

read more
Kebijakan Lingkungan

Diduga Rusak Lingkungan, Eropa Blokir CPO Indonesia

Produk sawit Indonesia terus mendapatkan tekanan di luar negeri, khususnya di negara Eropa. Dirjen Pengembangan Ekspor Nasional (PEN) Kementerian Perdagangan,Nus Nuzulia Ishak,mengungkapkan, ada 3 negara di Uni Eropa yang menyuarakan isu negatif tentang sawit Indonesia.

Umumnya suara negatif dilakukan oleh lembaga sosial masyarakat (LSM).”Hanya dari NGO (non government organization) yang melakukan kampanye hitam. Ada di Perancis tidak boleh menggunakan CPO dengan menggunakan label. Jadi kita mapping juga di Brussel (Belgia) dan Roma (Italia),” ungkap Nus Jumat (21/3/2014).

Nus menyebut, cara ketiga negara menyudutkan produk sawit Indonesia juga bermacam-macam, dari mulai isu tidak ramah lingkungan sampai kesehatan.”Kampanye anti sawit di Belgia banyak ditemukan di sektor makanan dengan menggunakan isu dampak negatif kesehatan, lingkungan hidup. Di beberapa supermarket banyak ditemukan beberapa produk yang menggunakan label anti sawit seperti No oil Palm, Zero Percent oil Palm dan Palm Oil Free,” tuturnya.

“Lalu yang lainnya Perancis. Roma ada tekanan kampanye soal deforestasi dan lingkungan jadi sudah macam-macam isunya. Kemudian petaninya tidak sejahtera,” imbuhnya.

Nus mengatakan, yang dituduhkan ketiga negara tersebut kepada sawit Indonesia tidak benar. Tuduhan ketiga negara itu lebih disebabkan karena perang dagang. Oleh sebab itu harus dilawan.”Saya kira kita harus membangkitkan dan memberikan perspekif positif kepada pelaku usaha di luar negeri bahwa kita tidak melanggar HAM tidak melanggar apapun yang mereka tuduhkan. Makanya kita lakukan promosi dalam rangka membangun image. Kita harus counter (serang balik), ini perang dagang,” cetusnya.

RI Melawan
Wakil Menteri Perdagangan Bayu Krisnamurthi mengatakan Uni Eropa bakal kesulitan mendapatkan bahan baku pengganti minyak sawit mentah atau crude palm oil (CPO) apabila mereka terus melakukan ‘kampanye hitam’. Larangan atau hambatan CPO di Uni Eropa justru akan memicu inflasi bagi negara-negara di Eropa.

“Masyarakat Eropa sudah paham betul mereka tidak mungkin tidak mengonsumsi sawit, baik secara teknis maupun nonteknis. Eropa akan terjadi inflasi tinggi bila tidak menggunakan sawit. Produktivitas sawit 9 kali lebih banyak bila dibandingkan kedelai,” tuturnya.

Bayu menjelaskan,ekspor CPO Indonesia ke Eropa cukup besar. Bahkan Indonesia adalah pemasok utama kebutuhan CPO Eropa. Setiap tahun rata-rata ekspor CPO Indonesia ke Eropa mencapai 3,5 juta ton sedangkan kebutuhan CPO Eropa mencapai 6,3 juta ton.”Indonesia jadi supplier terbesar ke Eropa,” imbuhnya.

Dia meminta Uni Eropa bisa menghilangkan kampanye hitam atas sawit Indonesia. Alasannya Indonesia adalah negara terbesar penghasil sawit bersertifikat ramah lingkungan dan berkelanjutan di dunia (RSPO).”Hasilnya kita sudah bisa meyakinkan sawit kita itu sustainable. Dari 8,2 juta ton sawit yang bersertifikat berkelanjutan di dunia, 4,8 juta ton diantaranya diproduksi di Indonesia. Jadi Indonesia adalah produsen sawit bersertifikat berkelanjutan terbesar di dunia,” jelasnya.

Bayu juga menyampaikan kembali keseriusan dan komitmen penuh pemerintah Indonesia dalam menerapkan sustainable palm oil.”Indonesia sudah memiliki Indonesian Sustainable Palm Oil (ISPO) yaitu suatu peraturan pemerintah yang wajib diberlakukan kepada industri dan petani sawit agar memproduksi minyak sawit Indonesia yang berkelanjutan melalui penerapan sertifikasi.”

Menurut Bayu, melalui implementasi ISPO, pemerintah Indonesia menunjukkan dukungan akan pentingnya produksi minyak sawit yang berkelanjutan. Selain ISPO, ada lagi sistem sertifikasi lainnya seperti Roundtable on Sustainable Palm Oil (RSPO) yang diterapkan sejak 2004.

Rencananya, pemerintah Indonesia akan bekerja sama dengan RSPO untuk menyusun kesesuaian standar yang dapat dijadikan acuan standar global mengenai minyak sawit berkelanjutan.

Untuk menanggapi perlakuan diskriminatif terhadap minyak sawit, Bayu mengusulkan agar dikembangkan tidak hanya sustainable palm oil, tetapi juga sustainable vegetable oil, bagi semua jenis minyak nabati termasuk rapeseed, minyak kedelai, minyak zaitun, minyak biji matahari, dan minyak nabati lainnya.

Dia mengemukakan pula bahwa bila tetap mendapatkan tolakan dari Uni Eropa maka Indonesia akan banyak menyerap sawit untuk konsumsi di dalam negeri.”Kami tegaskan, rencana kebijakan biofuel di Indonesia yang akan memprioritaskan konsumsi minyak sawit sebagai biofuel di dalam negeri, apabila minyak sawit terus mendapatkan tantangan masuk ke pasar UE,” katanya. []

Sumber: medanbisnisdaily.com

read more