close

March 2014

Tajuk Lingkungan

Komprador Perusak Lingkungan

Semalam saya membaca kembali buku-buku tua; sejarah, kebudayaan,  catatan-catatan tentang revolusi, pemberontakan dan pengkhianatan. Paragraf yang paling sadis adalah ketika adegan seorang politikus membunuh cinta dalam jiwanya agar perasaan ingin berkuasa tetap dominan. Perasaan cinta dan kasih sayang yang ia
tikam berkali-kali, sampai mampus.

Agama, nilai-nilai, cinta dan kasih sayang dianggap sampah yang memperbudak akal. Hidup adalah kekuasaan atas segala sesuatunya. Maka kerakusan dan kebengisan adalah perkara yang wajar. Nilai-nilai harus disingkirkan dan diganti dengan kesombongan rasionalitas. Rezim efektif menemukan ladangnya.

Inilah tragedi paradoksal dahsyat yang menghipnotis kita dengan mimpi-mimpi pepesan kosong; demokrasi, imajinasi, cyber, dan kesintingan kolegtif. Maka orang selalu ingin merampas apa yang bukan miliknya.

Pengeksploitasian.
Di atas permukaan, rezim yang mendapat kekuasaan dari legitimasi pemilu yang menurut mereka cukup demokratis itu bergaya seolah-olah ikut prihatin dengan keterpurukan mayoritas rakyat. Tetapi sesungguhnya mereka adalah komprador dari gurita kapitalisme; faktanya, sebagian tokoh komprador swasta dan komprador negara dari rezim masa lalu kini masih memegang kunci dalam sistem politik dan ekonomi Indonesia.

Ketergantungan negara ini kepada badan-badan pembangunan internasional di bawah PBB, dan modal asing lainnya justru semakin meningkat.

Dan bagi hutan serta sumber daya alam bernilai tinggi lainnya di sana, juga belum sepenuhnya dikembalikan kepada pribumi. Mereka di lembaga-lembaga terhormat negara pada rezim yang baru, segera bermetamorfosis menjadi komprador-komprador baru, terlibat dalam pemberian bermacam kemudahan bagi mesin-mesin kapital dan neoliberalisme lewat kebijakan tata ruang; menikmati pembagian royalti tinggi dan fasilitas mereka yang begitu mewah, di atas penderitaan rakyat.

Di sini, manuver dan pengaburan substansi kebenaran menjadi bagian skenario besar. Mereka sungguh-sungguh membangun kartel secara sistemik pada semua relung kehidupan, bermanifestasi di sentra-senta kekuasaan negara.

Bertahun-tahun rakyat terasing dari sumber daya alamnya yang mewah. Begitulah, rakyat yang sudah lebih dulu diracuni memang mudah terseret ke dalam mobilisasi politik para komprador; hubungan yang tak berguna.

Sumber: hutan-tersisa-blogspot.com

read more
Ragam

Ratusan Aktivis Lingkungan Segel Hotel di Bandung

Sebanyak 100 orang aktivis lingkungan berunjukrasa di depan proyek hotel Pullman dan International Bandung Convention Center (IBCC) di Jalan Diponegoro, Kamis (27/3/2014). Massa menyegel pintu masuk proyek karena dinilai kedua proyek ini melanggar izin.

Organisasi yang terlibat aksi adalah dari Walhi Jabar, LSM Cadas, DPKLTS, LBH Bandung, Bandung Heritage dan Ambu. Massa awalnya berdemo di depan Gedung Sate. Hanya lima menit orasi di sana, massa kemudian bergerak menuju lokasi proyek yang berjarak sekitar 50 meter.

Dalam aksinya massa membawa sejumlah spanduk dan beberapa demonstran mengenakan topi berbentuk tikus. “Pemerintah tidak tahu malu bertekuk lutut di depan pengusaha,” teriak salahsatu orator.

Massa lalu memasang tiga spanduk putih sekitar 1,5x 1 meter yang disambung dengan tali merah, di pintu masuk.

“Aksi ini protes warga karena pemkot Bandung tidak tegas. Padahal dalam proses (proyek ini), jelas-jelas ada yang salah,” ujar Direktur Walhi Jabar Dadan Ramdan. Ia juga mengungkapkan dua mata air yang ada di atas lahan proyek kini sudah hilang.

Menurutnya Pemkot mengekuarkan izin IMB, padahal Amdal yang merupakan syarat keluarnya IMB belum terpenuhi. “Lebih miris lagi karena proyek ini pada saat peletakan batu pertama dilakukan Gubernur Jabar pada Maret 2013,” katanya. Dadan juga menduga proyek ini diwarnai gratifikasi dan korupsi.

Sumber: detik.com

read more
Flora Fauna

Sepuluh Orangutan Kembali ke Habitat Mereka di Hutan Kalimantan

Beberapa minggu lalu, Yayasan Bos Samboja Lestari kembali melepasliarkan sebanyak 10 individu orangutan. Kesepuluh individu orangutan tersebut telah melewati sekolah alam selama lebih dari 10 tahun. Pelepasliaran ini juga merupakan salah satu target dalam strategi dan rencana aksi konservasi orangutan Indonesia 2007-2027.

Rencana aksi ini sendiri dicanangkan oleh Presiden Republik Indonesia dalam Konferensi Perubahan Iklim di Bali tahun 2007, yang menyatakan bahwa semua orangutan di pusat rehabilitasi harus dikembalikan ke habitatnya paling lambat pada tahun 2015, dan telah disepakati oleh seluruh jajaran pemerintah, baik di tingkat provinsi maupun kabupaten.

10 Orangutan yang dilepasliarkan dari Yayasan BOS Samboja Lestari dengan semangat Hari Kehutanan Sedunia yang jatuh pada tanggal 21 Maret 2014,Yayasan Penyelamatan Orangutan Borneo (Yayasan BOS) dari Pusat Reintroduksi Orangutan Kalimantan Timur di Samboja Lestari, ke habitat alami mereka.

Sebelumnya Samboja Lestari, Kalimantan Timur, telah melakukan pelepasliaran 12 orangutan lintas propinsi, orangutan dari Pusat Reintroduksi Orangutan Kalimantan Timur di Samboja Lestari ke Kalimantan Tengah. Memasuki tahun 2014 ini, Yayasan Penyelamatan Orangutan. Borneo (Yayasan BOS) memulai kegiatan pelepasliarantahun 2014 ini dengan melepasliarkan 10 orangutan rehabilitan lagi ke wilayah Hutan Kehje Sewen, Kalimantan Timur.

Enam orangutan betina dan empat orangutan jantan telah di berangkatkan dari Program Reintroduksi Orangutan Kalimantan Timur di Samboja Lestari menuju lokasi pelepasliaran di Hutan Kehje Sewen, Kabupaten Kutai Timur dan Kutai Kartanegara pada tanggal 20 dan 21 Maret 2014. Delapan orangutan yang terbagi dalam dua kelompok, masing-masing empat orangutan, diberangkatkan pada tanggal 20 Maret 2014 dari Bandar Udara Sepinggan, Balikpapan, Kalimantan Timur menuju Bandara PT Swakarsa Sinar Sentosa, Kecamatan Muara Wahau dalam dua kali penerbangan, untuk selanjutnya diterbangkan dengan helikopter (sling load) menuju Kehje Sewen. Dua orangutan yang lain diberangkatkan keesokan harinya, 21 Maret 2014 dengan rute dan armada yang sama.

Hutan Kehje Sewen yang dikelola oleh PT Restorasi Habitat Orangutan Indonesia (RHOI) telah mendapatkan Izin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu Restorasi Ekosistem (IUPHHK-RE) dari Kementerian Kehutanan. RHOI adalah perusahaan yang didirikan oleh Yayasan BOS pada 21 April 2009 dengan tujuan tunggal untuk dapat mengelola kawasan hutan secara lestari serta menyediakan habitat alami yang layak dan aman bagi orangutan rehabilitan dari Samboja Lestari, di mana mereka dapat hidup bebas dan akhirnya menciptakan populasi orangutan liar yang baru dan berkelanjutan untuk menjaga kelestarian spesies ini.

Pelepasliaran orangutan ini merupakan hasil nyata kolaborasi Yayasan BOS dengan para pemangku kepentingan, antara lain Pemerintah Provinsi Kalimantan Timur, Pemerintah Kabupaten Kutai Timur dan Kutai Kartanegara, Balai Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA) Kalimantan Timur, serta masyarakat Kutai Timur dan Kutai Kartanegara. Selain itu, Yayasan BOS juga berterima kasih atas dukungan moral, finansial, dan logistik dari organisasi-organisasi mitra BOS Switzerland dan Orangutan Protection Foundation UK, sektor swasta seperti First State Indoequity Peka Fund yang dikelola oleh First State Investments Indonesia dan distribusikan eksklusif oleh Citibank, Salim Ivomas, dan Bank BCA serta juga dari donor perseorangan, dan organisasi konservasi di seluruh dunia yang peduli atas usaha pelestarian orangutan di Indonesia.

“Kami sangat gembira melihat kegiatan pelepasliaran orangutan yang dilaksanakan secara kontinyu ini. Sangat penting bagi kita semua untuk terus memerhatikan kelangsungan hidup orangutan di tempat di mana seharusnya mereka berada, yaitu di hutan alami. Perlu kita ingat selalu, sehatnya suatu hutan dapat dilihat dari kesejahteraan satwa yang ada di dalamnya, terutama orangutan.” Kepala BKSDA Kaltim, Ir. Y. Hendradi Kusdiharjo, MM

Sementara itu CEO Yayasan BOS, Dr. Ir. Jamartin Sihite menyatakan , pihaknya akan terus melakukan pelepasliaran sesuai dengan target. “Kami terus berusaha untuk memenuhi target yang dicanangkan dalam Rencana Aksi Konservasi Orangutan Indonesia 2007-2017. Kerjasama antara pemerintah, sektor swasta dan donor sangat berperan penting dalam kegiatan ini. Semoga untuk kedepannya akan semakin bertambah dukungan yang diberikan dari pemangku kepentingan. Mari kita sadari bahwa ini adalah tugas kita bersama.” Kata Jamartin.

Begitu pula dengan drh. Agus Irwanto, Manajer Program Samboja Lestari mengatakan pihaknya optimis akan melepaskan orangutan lebih banyak lagi ke habitatnya. , “Tahun 2014 kami mulai dengan melepasliarkan 10 orangutan. Selanjutnya kami optimis untuk melepasliarkan lebih banyak lagi orangutan ke habitat alaminya. Tentu saja ini harus didukung dengan ketersediaan hutan yang layak dan aman. Kami sangat berharap kepada para pemangku kepentingan untuk terus mendukung baik dalam pelaksanaan kegiatan pelepasliaran ini, juga dalam penyediaan hutan yang layak dan aman di masa depan.” Kata Agus.

Namun laju deforestasi hutan di Indonesia yang sangat tinggi, tentu menjadi ancaman tersendiri bagi upaya pelepasliaran orangutan. Tanpa upaya pelestarian hutan, kegiatan konservasi orangutan tidak dapat berjalan lancar. Sebagai akibatnya, target yang telah dicanangkan dalam Rencana Aksi Konservasi Orangutan Indonesia 2007-2017, tidak akan tercapai.

10 Orangutan Kembali Menghirup Alam Bebas

Pelepasliaran orangutan tidaklah mudah, pasalnya selain membutuhkan biaya yang besar, juga membutuhkan waktu untuk proses adaptasi individu orangutan dan kesediaan tempat. “Sebelum orangutan itu dilepasliarkan pastinya harus dilakukan pengecekan DNA, untuk memastikan apakah DNA orangutan yang akan dilepasliarkan sesuai dengan habitatnya,” kata Agus.

Sebelum melakukan pelepasliaran orangutan, pihak BOS Samboja Lestari harus melakukan tes DNA sebelum melakukan pelepasliaran, setelah ketahuan apakah DNA tersebut untuk mengetahui orangutan kaltim apa bukan, bila saat pengetesan DNA diketahui bahwa individu orangutan tersebut adalah orangutan Kaltim, maka akan dilepaskan di hutan Kaltim namun bila tidak maka akan dilepaskan sesuai dengan DNA nya.

“Pada pelepasliaran sebelumnya, terjadi pelepasliaran individu orangutan lintas propinsi, yakni Kaltim dan Kalteng, dan ada baiknya bila ada penyitaan orangutan, biaknya pihak pemerintah sebelum menyerahkan ke lembaga konservasi terlebih dahulu melakukan tes DNA untuk mengetahui orangutan dari mana,” papar Agus.

ACUL

Acul tiba dari Bontang ke Samboja Lestari pada tanggal 25 Juni 2001 saat usianya masih 4 tahun. Karena sifatnya yang semi-liar, kemampuan Acul di Sekolah Hutan cepat berkembang. Ia pintar memilih pakan alaminya, membuat sarang, dan banyak beraktivitas di pepohonan. Acul adalah orangutan jantan dominan dengan bantalan pipi yang kini mulai tumbuh menghiasi wajahnya. Meskipun dominan, Acul tidak pernah bersifat agresif terhadap teman-temannya. Kini usia Acul sudah 17 tahun dengan berat badan 62 kilogram. Tak lama lagi Acul yang gagah akan menikmati kebebasannya menjelajah Hutan Kehje Sewen.

NILA

Nila tiba di Samboja Lestari dari Bontang pada 22 April 1998 saat usianya masih 4 tahun dengan berat badan 4 kilogram. Anak orangutan liar ini ditempatkan di kandang sosialisasi di mana ia bertemu dengan Titin, Juminten dan Sarmi yang kini telah dilepasliarkan di Hutan Kehje Sewen.

Nila kemudian ditempatkan di Pulau 6 dan mengasah keterampilannya dalam bertahan hidup di alam liar di pulau itu. Salah satu teman pulau-nya yang akan dilepasliarkan bersamanya adalah orangutan betina bernama Oneng.

Nila merupakan orangutan penyendiri dan tidak menyukai kehadiran manusia. Nila juga terampil memilih pakan alaminya sehingga ia lebih banyak mencari makan sendiri ketimbang memakan buah-buahan menu harian yang diberikan oleh teknisi. Makanan kesukaan Nila adalah dedaunan.

Kini Nila berusia 20 tahun dengan berat badan 68 kilogram. Orangutan betina dewasa yang aktif di pepohonan ini tak lama lagi akan menjelajah hutan Kehje Sewen rumah sejatinya.

ONENG

Oneng yang saat itu masih berusia 3 tahun tiba di Samboja Lestari pada 5 April 2006 setelah disita oleh BKSDA Tenggarong dari seorang warga Muara Wahau yang menjadikannya hewan peliharaan. Oneng mengasah kemampuan bertahan hidupnya di alam liar di Pulau 6 bersama Nila yang akan dilepasliarkan bersamanya dan Sarmi yang sudah lebih dulu dilepasliarkan ke Kehje Sewen pada Oktober 2013.

Oneng yang kini berusia 11 tahun dengan berat badan 41 kilogram ini merupakan orangutan termuda yang dilepasliarkan kali ini. Meskipun masih muda, Oneng terkenal cerdik dan pandai melarikan diri dari pulau dengan cara berenang di kanal. Kemampuan Oneng dalam mengenal pakan alami dan membuat sarang sudah tak diragukan lagi. Kini orangutan betina Kalimantan Timur ini tinggal menghitung hari saja untuk menikmati rumah sejatinya di Hutan Kehje Sewen.

LEKE

Leke menjadi hewan peliharaan seorang warga di Balikpapan sebelum akhirnya masuk ke Samboja Lestari pada 23 April 2001. Saat itu orangutan betina ini masih berusia 3 tahun dengan berat badan 5,5 kilogram serta mengalami dehidrasi, diare parah dan malnutrisi sehingga harus mendapatkan perawatan intensif dari Tim Medis. Leke belajar di Sekolah Hutan mulai tahun 2001 hingga 2005 dan mendapat predikat sebagai murid yang pintar sehingga ditempatkan di Halfway House hingga 2008 untuk mempersiapkannya menjadi kandidat pelepasliaran.

Leke yang berperawakan besar dan kekar ini merupakan orangutan betina dominan yang tak kalah bersaing dengan orangutan jantan untuk mendapatkan makanan. Kini di usianya yang ke-16 dengan berat badan 51 kilogram, Si cantik Leke yang pemberani siap menjalani hidup barunya di rimba yang sesungguhnya.

INDO

Indo dijadikan hewan peliharaan oleh seorang warga di Samarinda sebelum akhirnya masuk ke Samboja Lestari pada 10 April 2001. Saat itu anak orangutan jantan ini baru berusia 5 tahun dengan berat badan 11,5 kg. Indo menjadi lulusan terbaik Sekolah Hutan dan ditempatkan di Halfway House pada tahun 2004 hingga 2005 untuk mengasah kemampuan alaminya sebelum dipersiapkan sebagai kandidat pelepasliaran.

Indo yang terampil mengenali pakan alaminya ini merupakan orangutan jantan dominan, namun memiliki sifat yang kalem. Kini di usianya yang ke-18 dengan bobot 60 kilogram, Indo siap menguji kemampuannya sebagai lulusan terbaik Sekolah Hutan di habitat alaminya.

MADURI

Maduri masuk ke Samboja Lestari pada 16 Desember 1998 setelah sebelumnya menjadi hewan peliharaan seorang warga di Kecamatan Muara Wahau, Kabupaten Kutai Timur. Saat pertama kali tiba di Samboja Lestari, orangutan betina ini masih berusia 2 tahun dengan berat badan 3 kilogram. Setelah lulus dari Sekolah Hutan, Maduri masuk ke Halfway House untuk menjalani

tahap akhir proses rehabilitasinya mulai tahun 2003 hingga 2007. Maduri yang pandai mengenal pakan alaminya dan banyak beraktivitas di pepohonan ini pun dipersiapkan sebagai kandidat pelepasliaran.

Orangutan cantik dengan wajah yang berwarna terang ini kini berusia 18 tahun dengan berat badan 43 kilogram. Maduri yang telah menjelma menjadi orangutan betina dewasa ini siap pulang ke rumah sejatinya di Hutan Kehje Sewen.

UPI

Upi diserahkan langsung ke Samboja Lestari oleh seorang warga Balikpapan yang menjadikannya sebagai hewan peliharaan pada 4 Juli 2001. Saat itu usianya masih 5 tahun dengan berat badan 16 kilogram. Sebelum dipersiapkan sebagai kandidat pelepasliaran, Upi belajar di Sekolah Hutan dan Halfway House pada 2004. Upi termasuk orangutan betina yang pintar dalam memilih pakan alaminya. Kebiasaan Upi yang paling diingat oleh para babysitter adalah mengeluarkan suara mencicit terhadap babysitter yang tidak disukainya.

Kini Upi berusia 18 tahun dengan berat badan 44 kilogram. Tak lama lagi orangutan betina cantik ini akan merasakan senangnya tinggal di rumah barunya di Hutan Kehje Sewen.

BAJURI

Bajuri diserahkan oleh Kebun Raya Universitas Mulawarman Samarinda kepada Samboja Lestari pada tanggal 17 Maret 2006. Saat itu orangutan jantan ini masih berusia 6 tahun.

Semasa di Sekolah Hutan, Bajuri sangat aktif, mandiri, dan tidak tergantung kepada babysitter-nya. Ia juga terampil mengenali pakan alaminya dan membangun sarang.

Karena kemandirian dan kemampuannya itu Bajuri dipersiapkan sebagai kandidat pelepasliaran. Bajuri yang dominan namun tidak agresif terhadap teman-temannya ini kini berusia 14 tahun dengan berat badan 49 kilogram. Tak lama lagi ia akan membuktikan kemandirian dan kemampuannya bertahan hidup di belantara Kehje Sewen.

KENT

Kent tiba dari Sangkulirang ke Samboja Lestari pada tanggal 25 Maret 1999. Saat itu bayi orangutan liar yang diselamatkan dari kebun warga ini masih berusia 2 bulan dengan berat badan 5 kilogram. Selain tiba dalam keadaan tanpa induk, bayi orangutan jantan ini juga mengalami dehidrasi dan diare parah akibat infeksi cacing. Belajar di Sekolah Hutan Samboja Lestari, Kent lulus pada 2004 dan ditempatkan ke Halfway House untuk mempersiapkannya sebagai kandidiat pelepasliaran.

Kent yang mandiri, terampil bertahan hidup di alam liar dan tidak menyukai kehadiran manusia ini kini telah berusia 16 tahun dengan berat badan 45 kilogram. Tak lama lagi Kent akan kembali menikmati hidupnya sebagai orangutan liar sejati di Hutan Kehje Sewen.

WANI

Wani tiba di Samboja Lestari pada 26 Juni 2002 setelah disita oleh BKSDA Tenggarong dari seorang warga di Samarinda yang menjadikannya hewan peliharaan. Saat itu orangutan betina ini berusia 5 tahun dengan berat badan 17 kilogram. Wani dipisahkan dari induknya dan ditangkap di Desa Bengalon saat usianya masih 2 bulan.

Wani yang pintar lulus dari Sekolah Hutan pada 2004 dan melanjutkan pembelajarannya di Halfway House hingga 2007. Ia sangat terampil memilih pakan alaminya dan hanya mau berinteraksi dengan babysitter yang disukainya saja. Wani kini berusia 17 tahun dengan berat badan 34 kilogram. Orangutan betina yang cantik dan pintar ini tak lama lagi akan pulang ke Hutan Kehje Sewen, rumah sejatinya.

Sumber : mongabay.co.id

read more
Ragam

Caleg Jarang Sentuh Masalah Lingkungan

Calon LegislatiF DPR yang bertarung pada Pemilihan Umum 2014 di sebanyak 77 daerah pemilihan di Indonesia hampir tidak menyentuh persoalan pertambangan, dan bahkan para caleg tersebut mengabaikan persoalan pertambangan selama ini, ketika terjadi konflik pertambangan dengan masyarakat.

Bahkan, akibat perusakan pertambangan mengakibatkan rusaknya lingkungan sekitar, dan lahan pertanian tergusur akibat pertambangan dan properti.

Jaringan Advokasi Tambang (JATAM) dalam diskusi mengemukakan, para legislator yang terpilih kerap lupa pada pemilihnya. JATAM merilis beberapa persoalan masyarakat dengan pengembang dalam konflik yang terjadi selalu pihak masyarakat yang dirugikan.

“Para caleg selama ini hampir jarang menyentuh masalah lingkungan, dan kalau pun membicarakan lingkungan ketika terpilih selalu lupa akan janji-janji yang dilakukan selama ini, “ujar Koordinator JATAM Hendrik Siregar, dalam diskusi bertajuk “Peta Krisis Dapil dan Politik Penjarahan”, di Kedai Kopi Deli, Jakarta, Rabu (26/3).

Hendrik mengemukakan, Pemilu tahun ini lebih mengedepankan Pemilu yang bersih dan jujur, namun melupakan esensi pemilu adalah mencari para caleg yang peduli lingkungan. Sayangnya, masalah lingkungan hanya sekedar slogan tanpa adanya implementasi dari para caleg setelah jadi.

“Dan itu terbukti setelah jadi mereka jadi lupa akan janji, dan bahkan ketika konflik terjadi meninggalkan masyarakat. Bila ada pembelaan biasanya hanya sekedar, selebihnya masyarakat menyelesaikan masalahnya sendiri,” ujarnya.

Di tempat yang sama, warga korban Lumpur Lapindo Sidiarjo, Jawa Timur, Herawati mengatatan, selama 8 tahun mencari keadilan diabaikan pemerintah dan DPR dari daerah pemilihan jawa Timur, khususnya daerah Sidiardjo.

“Mereka tidak bisa diharapkan dan hanya janji-janji saja,” paparnya. Lebih lanjut dia mengemukakan, Pemilu 2009 selama ini tidak menyelesaikan apa-apa mengenai korban bencana lumpur Lapindo.

“Mereka (DPR) duduk di kursi yang empuk, tapi tidak tahu apa yang akan dilakukan,” ujar Herawati.

Dia mengemukakan, masyarakat Porong Sidiardjo pada Pemilu 2014 tidak akan berharap adanya perubahan pada Pemilu 2014.  Bahkan, katanya, masyarakat lebih memilih tidak memilih (golput) dalam menghadapi pesta demokrasi tahun ini.

Sementara, Pengamat Kebijakan Publik Universitas Indonesia Adrinof Chaniago mengemukakan, hampir semua Partai politik memiliki anggota pengusaha Tambang. Menurutnya, tidak heran bila kasus  Lapindo tidak dapat terselesaikan sampai saat ini.

“Bagaiman mungkin anggota DPR daerah pemilihan yang mewakili Sidiardjo, Jawa Timur dapat menyelesaikan masalah masyarakat korban lumpur Lapindo sementara pemilik pengembang perusaahaan yang bermasalah adalah milik Ketua Umum Partai Golkar Abu Rizal Bakrie,” ungkap Andrinof.

Sumber: jaringnews.com

read more
Energi

Inovasi Bahan Bakar Bio dari Buah Zaitun

Buah zaitun bukan hanya cemilan lezat, namun juga dianggap berharga karena minyak yang dihasilkan. Kini zaitun dimanfaatkan periset dalam membuat bahan bakar nabati untuk mengurangi emisi CO2.

Para ilmuwan Universitas Teknologi Wina bekerja di sekitar sebuah konstruksi baja setinggi hampir enam meter. Ini adalah generasi baru ‘instalasi gasifikasi,’ yang dicetuskan pertama kali oleh universitas tersebut dua dekade lalu. Instalasi mampu mengubah biomassa menjadi gas, dan di Austria serta sejumlah negara Eropa lainnya, gas ini digunakan untuk menjalankan generator dan memproduksi listrik.

Kini masalahnya adalah membeli biomassa yang terjangkau agar dapat bersaing dengan sumber energi terbarukan dan bahan bakar fosil. Mengingat harga kayu dan hasil pertanian yang terus melambung, Uni Eropa membiayai sebuah proyek yang bertujuan mengubah pomace – apa yang tersisa dari buah zaitun setelah minyaknya diperas – menjadi bahan bakar bio.

“Pada akhir proses terdapat residu dan tidak ada minyak zaitun lagi yang tersisa. Jadi ini semacam materi limbah dari kilang minyak zaitun, namun konten energinya masih cukup tinggi,” ungkap Stefan Müller, seorang periset senior di Universitas Teknologi Wina, kepada DW.

Lebih dari sekedar cemilan
Proyek Phenolive bertujuan memaksimalkan nilai buah zaitun. Di laboratorium Phenobia, sebuah start-up yang digagas Universitas Bordeaux, para peneliti mengidentifikasi senyawa yang dapat diambil dari pomace zaitun setelah minyaknya diperas dan sebelum diubah menjadi energi.

“Laboratorium khusus menganalisa fenol dari berbegai tipe bahan mentah untuk produk akhir seperti kosmetik, suplemen makanan atau makanan,” papar direktur Xavier Vitra kepada situs Perancis LaBiotech. Ia menambahkan bahwa mengambil polifenol akan menambah nilai bagi pomace.

Menekan konsumsi energi
Sejumlah wilayah produsen zaitun di Eropa telah membakar pomace zaitun sebagai bahan bakar, namun Müller ingin menganalisa residu dan sepenuhnya menginvestigasi potensi energinya. Kegunaan lain dari pomace termasuk kompos dan pupuk.

Tim riset universitas juga memproduksi bahan bakar cair dari biomassa. Dan mereka mengatakan ini berpotensi memungkinkan industri zaitun untuk menjalankan kendaraan transportasi mereka dengan bahan bakar dari hasil residu zaitun. Sebuah instalasi gasifikasi yang dikembangkan di Güssing, Austria, sudah memproduksi bahan bakar cair bagi kendaraan.

“Idenya adalah penyulingan bio. Sumber daya terbarukannya memproduksi bahan bakar masa depan,” ucap insinyur Johannes Schmid. Targetnya, katanya, adalah untuk mendemonstrasikan bahwa penyulingan tidak perlu membakar bahan bakar fosil.

Eropa memproduksi 80 juta ton pomace minyak zaitun setiap tahun, menurut proyek Phenolive. Apabila proyek ini berhasil, tentu industri zaitun akan menguat dan biayanya, terutama untuk energi, akan banyak berkurang.

Sumber: dw.de

read more
Kebijakan Lingkungan

Anggaran Lingkungan Hidup Pemerintah Minim

Anggaran untuk lingkungan hidup masih minim. Tahun ini saja, pemerintah pusat hanya mampu mengalokasikan 0,07 persen dari total APBN untuk lingkungan hidup. Padahal, untuk memerbaiki kerusakan lingkungan ini dibutuhkan anggaran yang cukup besar.

Staf Ahli Menteri Lingkungan Hidup RI Bidang Budaya dan Kesehatan Lingkungan, Inar Ichsana Ishak, mengatakan, dengan anggaran yang minim ini, pemerintah jelas tak mampu bila harus menangani kerusakan lingkungan dengan sendirinya. Karena itu, perlu kerja sama dengan swasta.

Menurut Inar, pihaknya telah menerapkan prinsip polluter pays principles. Dalam prinsip ini, mekanisme pengelolaan lingkungan hidup turut dibebankan kepada perusahaan-perusahaan. Atau mereka yang mengeluarkan polutan.

“Karena pihak-pihak tersebutlah yang telah memanfaatkan lingkungan hidup secara gratis,” ujarnya, di Karawang, Jawa Barat, Rabu (26/3/2014).

Karena itu, bila ada perusahaan yang tidak memerhatikan lingkungan, bisa dikenakan sanksi tegas. Sebab, mereka merupakan salah satu penyumbang kerusakan tersebut.

Sumber: republika.co.id

read more
Hutan

Kisah Penyelamat Anggrek Hutan Jambi

Tanpa harus menunggu, Adi Ismanto (34) segera bergerak. Ia memberi tahu rekan-rekannya saat mendengar hutan Lubuk Raman di Muaro Jambi, Jambi, akan ditebang dan dibuka menjadi lahan perkebunan sawit. Sejumlah rencana pun disusun untuk mendahului alat berat para penebang sebelum menghancurkan ekosistem tanaman anggrek hutan.

Tak lama kemudian, aktivis pemuda dari Desa Jambi Tulo, Mudung Darat, dan Bakung, Kecamatan Maro Sebo, Kabupaten Muaro Jambi, berkumpul menuju Lubuk Raman yang berjarak sekitar 12 kilometer dari desa mereka. Untungnya, hutan rawa itu masih belum terjamah.

Hutannya masih sangat rimbun. Pepohonan masih tegak menjulang, di antaranya banyak yang berdiameter lebih dari 1 meter. Namun, yang paling menarik adalah anggrek-anggrek hutan yang menempel di atas pepohonan tua. Tanaman-tanaman tersebut tengah memamerkan bunga-bunganya. Bentuk dan warnanya beraneka ragam.

Di ketinggian pohon, anggrek-anggrek tersebut tampak tumbuh subur. Salah satunya adalah anggrek macan (Grammatophyllum speciosum) yang sangat indah. Dikenal sebagai anggrek terbesar di dunia, anggrek macan punya ukuran sebesar rumah. Tingginya hampir 4 meter.

Anggrek itu tampak “memeluk” salah satu dahan besar di pucuk pohon. “Kami terpukau melihat temuan sangat langka ini. Ekosistemnya di tempat yang tinggi dan rimbun,” ujar Adi menceritakan upaya penyelamatan anggrek hutan Lubuk Raman pada Januari lalu, Sabtu (15/3/2014).

Penjual anggrek
Lubuk Raman memang tak hanya rumah anggrek macan. Ini “kerajaan” anggrek! Di sana, misalnya, ada kerabat anggrek hitam yang langka dan dikenal sebagai anggrek khas Kalimantan. Bentuknya mirip anggrek hitam (Coelogyne pandurata), bunganya coklat, bermotif tutul, dan berwarna kuning.

“Kami menyebutnya anggrek bawang (Coelogyne asperata),” kata petani yang pernah menjadi penjual anggrek keliling sebelum bersama sejumlah pemuda mendirikan perkumpulan penyelamatan anggrek dan pakis-pakisan hutan. Kelompok ini didirikan pada 2009 dengan nama Gerakan Muaro Jambi Bersakat (GMJB). Anggota kelompok berjumlah 20 orang yang bermata pencarian sebagai petani padi dan sayuran.

Adi dan kawan-kawan juga menemukan sejumlah anggrek yang belakangan diketahui tak pernah ada di wilayah Jambi. Di antaranya anggrek hutan jenis Dendrobium lampongense yang diselamatkan dari hutan dan kini dirawat di salah satu rumah warga. Dari hasil penyisiran, GMJB berhasil menyelamatkan sekitar 40 spesies anggrek. Seperti Dendrobium, semua anggrek ditanam di halaman rumah atau di sela-sela kebun anggota kelompok. “Kami berharap suatu saat dapat ditanam kembali dalam habitat aslinya,” ucap Adi.

Dalam bahasa Melayu, sakat berarti ‘anggrek dan pakis-pakisan hutan’. Anggrek yang pernah dijualnya dihargai Rp 1.000 per helai daun. Ia bisa memperoleh lebih dari Rp 10 juta sekali berdagang. Sebab, sekali jual, ia bisa melepas ratusan anakan anggrek yang dipanen langsung dari hutan. Pengepul kemudian mengekspor anggrek-anggrek itu.

“Dulu, hutan masih luas sehingga mudah untuk mendapatkan anggrek dan dijual. Namun, sekarang sulit. Jumlah yang dipanen semakin sedikit, ” ungkap Adi. Penyebabnya ternyata pembukaan hutan menjadi kebun sawit dan akasia yang marak. Belum lagi banyaknya pemilik modal yang membeli hutan-hutan rakyat. Kawasan Muaro Jambi memang cocok untuk kebun sawit karena lokasinya cenderung datar. Apalagi, lokasinya dekat dengan Sungai Batanghari dan Pelabuhan Talang Dukuh yang memudahkan pengangkutan hasil panen sawit.

Edwar Sasmita, Ketua GMJB, pun menyatakan, “Sakat tak akan selamat dari pembabatan hutan kecuali jika ditangkarkan dengan baik. Oleh karena itu, setiap kali mendapat informasi rencana pembukaan hutan, GMJB langsung bergerak menyelamatkan sakat. Mereka beradu cepat dengan alat berat di lapangan. Ada kalanya mereka terlambat dan hutan sudah rata dengan tanah. Mereka pun cuma bisa memunguti anggrek dari pohon-pohon yang tumbang.”

Sejauh ini, lebih dari 80 spesies anggrek berhasil diselamatkan. Beberapa di antaranya anggrek macan, Dendrobium, Bulbophyllum, Cymbidium, Appendicula, Pomatocalpa, Phalaenopsis atau Eria, Trichotosia Ferox, Thelasis, Flicking Coelogyne, dan Javanica. Namun, anggrek yang ditanam di tempat yang bukan habitat aslinya berubah pigmen. Anggrek keris (Dendrobium aporum aloifolium), misalnya, yang bunganya ungu terang, saat ditanam di halaman rumah, warna ungunya memudar dan berubah menjadi hijau seperti daunnya.

Perlu “rumah” baru
Namun, apa pun, GMJB bertekad mengembalikan seluruh anggrek ke habitatnya. GMJB mengusulkan satu kawasan hutan seluas 600 hektar di Pematang Damar, Muaro Jambi, sebagai “rumah” baru anggrek-anggrek hutan itu.

Kepala Dinas Kehutanan dan Perkebunan Muaro Jambi Nazman Efendi mendukung usulan hutan konservasi anggrek dari GMJB. Namun, belum diputuskan di mana lokasinya. Hutan di Pematang Damar itu dipilih karena cuma kawasan itu yang dianggap masih tersisa meski perambahan liar mulai merasuk juga.

Saat ini, areal hutan di Muaro Jambi mencapai 154.642 hektar. Sebagian lahannya bisa digunakan untuk konservasi anggrek, misalnya taman hutan raya yang memang diperuntukkan bagi kepentingan konservasi, penelitian, dan wisata.

Kompas melihat jejaknya berupa semak belukar dan pohon-pohon kecil. Tampak bekas tebangan kayu dan sejumlah kanal untuk menghanyutkan kayu-kayu bulat sisa penebangan di masa lalu. Meski demikian, kawasan itu masih bisa diharapkan sebagai pengganti hutan konservasi asal pelestariannya benar-benar dijaga.

“Kawasan konservasi hutan itu bisa menghidupkan masyarakat di sekitarnya. Minat wisatawan pun akan meningkat. Pengunjung Candi Muaro Jambi, yang jaraknya sekitar 2 kilometer dari hutan Pematang Damar, bisa juga menikmati keindahan anggrek hutan di habitat barunya,” ucap Edwar.

Meski demikian, pakar anggrek dari Universitas Jambi, Syafrial, tetap menganggap Muaro Jambi sebagai kawasan yang paling cocok bagi koleksi alam di hutan dataran rendah Jambi.

Sumber: NGI/Kompas

read more
Ragam

Isu Lingkungan Bisa Jadi Berita Seksi dan Layak Jual

Wartawan senior AS Dale Wilmann dan pemimpin proyek SCP Indonesia Dr. Edzard Ruehe mengajari belasan editor media di Surabaya tentang cara menjadikan isu lingkungan sebagai berita yang “seksi” atau layak baca dan jual.

“Isu lingkungan hidup itu bukan soal sains, biologi atau kimia, tapi isu yang terkait dengan cerita tentang manusia, seperti kesehatan, politik, sosial, dan sebagainya,” kata Dale Wilmann dalam Diskusi-Pelatihan Editor Media di Surabaya, Senin (24/3).

Dalam Diskusi-Pelatihan tentang “Sustainable Consumption and Production Policy Support” (SCP) atau isu Produk Konsumsi Ramah Lingkungan (SCP) yang digelar AJI Surabaya, ia mencontohkan air keruh (kesehatan), asap (politik), dan kotoran hewan (sosial) sebagai isu lingkungan yang “seksi”.

“Jadi, isu lingkungan itu merupakan berita yang seksi atau menarik dan ‘marketable’ bila terkait dengan persoalan lokal yang ada di sekitar kita, bukan isu lingkungan yang ada di Kalimantan atau Sumatera sana,” katanya dalam diskusi yang dipandu jurnalis senior untuk isu lingkungan, Harry Suryadi.

Wartawan yang sudah 40 tahun menekuni isu lingkungan dan pernah bekerja di CNN dan BBC itu, menyebut dua hambatan dalam melihat isu lingkungan secara “seksi”, yakni pemahaman tentang isu lingkungan dan konflik kepentingan terkait iklan anti-lingkungan.

“Tapi, kalau kita konsisten dalam menulis isu-isu lingkungan yang bersifat lokal, tentu akan ada perusahaan yang tertarik memberi iklan, karena perusahaan sekarang ingin mendapatkan citra sebagai perusahaan hijau (ramah lingkungan),” katanya.

Senada dengan itu, pemimpin proyek SCP Indonesia Dr Edzard Ruehe menegaskan bahwa isu-isu lingkungan terkait Produk Konsumsi Ramah Lingkungan (SCP) itu meliputi empat bidang, yakni makanan, transpor, bangunan, dan energi.

“Makanan itu terkait limbah, transpor itu terkait polusi yang tinggi, bangunan itu terkait desain yang tidak ramah lingkungan, dan energi itu terkait pemanfaatan teknologi seperti AC, listrik, komputer, atau lainnya yang berlebihan,” katanya.

Dalam diskusi itu, sebagaimana diwartakan Antara, para editor media mengulas masalah penyebab isu lingkungan tidak “seksi”, di antaranya konflik kepentingan pemilik media (bisnis/iklan), lembaga rating (politik), tingginya biaya investigasi, dan kurangnya inovasi dalam menyoroti isu lingkungan.

Tim SCP menyebut pola hidup “hijau” harus menjadi tren, bukan karena tidak boleh hidup nyaman dengan AC, listrik, televisi, komputer, gadget terbaru, dan sebagainya, melainkan hidup hemat energi itu penting, misalnya AC cukup 22-24 derajat celsius, bukan 18 derajat celsius.

Untuk itu, Tim Proyek SCP menggagas Pola Konsumsi Hijau dan Pola Produksi Hijau melalui kebijakan yang bekerja sama dengan Kementerian Lingkungan Hidup (KLH), pemerintah daerah, industri, dan media terkait produk ramah lingkungan dan pola hidup ramah lingkungan. []

Sumber: gatra.com

read more
1 2 3 4 12
Page 2 of 12