close

April 2014

Ragam

Polhut Memergoki Manusia Kerdil di TN Way Kambas

Polisi Kehutanan (Polhut) Taman Nasional Way Kambas (TNWK) memergoki belasan manusia kerdil saat melakukan patroli di kawasan hutan tersebut.

Manusia kerdil yang sempat dipergoki tersebut, menurut petugas Polhut, berambut gimbal, memegang tombak kayu, tinggi badannya tak lebih dari 50 cm, dan tidak mengenakan penutup tubuh sedikit pun. “Panjang rambutnya ada yang sampai sepinggul,” ujar Humas TNWK Sukatmoko di kantornya kemarin (22/3/2014) seperti dilansir laman lampost.co.

Menurut Sukatmoko, keberadaan manusia kerdil itu diketahui petugas Polhut yang tengah berpatroli di hutan pada Minggu (17-3) lalu, menjelang magrib.

Saat itu sekelompok liliput yang jumlahnya sekitar 15 orang tengah berjalan menyusuri rawa. Rombongan Polhut sempat memantau keberadaan mereka sekitar 5 menit pada jarak pandang sekitar 35 meter.

Ketika petugas hendak mendekat, orang-orang kerdil itu langsung menyelinap ke balik pohon lebat dan segera menghilang. “Orang-orang kerdil itu larinya cepat luar biasa dan loncatannya jauh,” ujar Sukatmoko.

Petugas juga tidak bisa memastikan apa yang sedang dilakukan oleh rombongan manusia langka tersebut karena jaraknya cukup jauh. “Yang jelas, dari belasan orang itu, satu di antaranya tengah menggendong bayinya,” kata Sukatmoko.

Rabu (20/3) lalu, lanjutnya, anggota Polhut TNWK yang sedang berpatroli kembali melihat keberadaan mereka di tempat yang sama, tetapi dari jarak lebih jauh dan lebih singkat waktunya.

Pasang Kamera

Sukatmoko belum bisa memastikan apakah orang kerdil tersebut memang bertempat tinggal di hutan TNWK atau pendatang dari pulau lain. Untuk merekam keberadaan mereka, kini pihak Balai TNWK mengirim sejumlah peralatan elektronik dan kamera yang menggunakan lampu inframerah.

“Dengan alat tersebut, jika manusia kerdil itu keluar pada malam hari, tetap akan terekam. Kami berusaha mengetahui perkumpulan orang kerdil itu melalui kamera tersembunyi,” kata dia.

Menurut Sukatmoko, bila sudah tertangkap gambar dan benar terbukti ada perkampungan orang kerdil, pihaknya segera menginformasikan kepada Menteri Kehutanan, bahkan kepada Presiden, guna meminta petunjuk langkah apa yang akan diambil.

“Jika sudah ditemukan, kami juga berharap pemerintah bisa melindungi perkumpulan manusia langka itu. Anggota kami sudah mengetahui dengan mata secara langsung, tetapi belum bisa mengabadikan dengan kamera karena pada waktu itu tidak ada persiapan kamera,” ujar Sukatmoko.

Kisah manusia kerdil sudah dikenal di sejumlah hutan di Indonesia, di antaranya di wilayah Kerinci Seblat, Sumatera Barat; Liang Bua di Flores; dan di Bone, Sulawesi Selatan. Di Kerinci, mereka dikenal dengan sebutan orang pendek, di Flores sebagai Homo floresiensi, sedangkan di Bone dikenal sebagai Suku Oni. Di Gunung Kerinci, makhluk itu digambarkan memiliki kaki terbalik, telapak kakinya menghadap ke belakang, tetapi dapat bergerak lincah di antara lebatnya hutan.

Meskipun sudah banyak yang mengaku melihatnya, belum ada yang berhasil mengabadikan dengan kamera karena waktu pertemuan yang sangat singkat atau ketiadaan kamera. (Lampost.co).

Sumber: beritalingkungan.com

read more
Sains

Ilmuwan Jerman Membuat Nilon dari Sampah Kayu

Metode produksi nilon tanpa minyak bumi sudah lama dicari, dan tidak seperti produksi plastik sintesis lainnya, solusinya diharapkan tak memakai tanaman pangan. Periset Jerman menawarkan bakteri tanah.

Galur kuman bernama Pseudomonas putida atau lebih spesifiknya P. putida KT2440 dapat menguraikan lignin atau zat kayu untuk memproduksi asam adipat, yang menjadi komponen dasar nilon berkualitas tinggi.

“Produksi bioteknis menjadi alternatif bagi produksi nilon dari minyak bumi yang menyerap energi dan menghasilkan gas rumah kaca,” ujar Christoph Wittmann, seorang profesor sistem bioteknologi berusia 47 tahun dari Universitas Saarland.

Sejak April 2014, riset oleh Wittmann dan para koleganya bertujuan mengoptimalkan proses mensintesis sehingga nantinya dapat digunakan oleh industri. Mereka telah mengamankan paten untuk temuan ini.

Bioplastik menjawab
Sumber daya alam yang terus menipis dan ledakan populasi global mendorong naiknya kebutuhan atas plastik dari bahan mentah terbarukan. Pakar bioteknologi di seluruh dunia sibuk mengembangkan teknik baru untuk menggantikan produksi plastik dari minyak bumi.

Jumlah plastik organik atau bioplastik, yang sebagian atau sepenuhnya terbuat dari bahan terbarukan, saat ini baru sepersekian dari total plastik yang diproduksi secara global. Menurut European Bioplastics, sebuah asosiasi di Berlin yang menaungi sekitar 70 perusahaan, jumlahnya masih di bawah 1 persen. Sebuah studi oleh Nova Institute, yang fokus pada bioteknologi, menemukan jumlahnya sekitar 1,5 persen atau 3,5 juta ton pada tahun 2011.

Berapapun jumlah pastinya, para pakar sepakat bahwa porsi plastik organik akan meningkat. Nova Institute memperkirakan jumlah bioplastik akan berlipat ganda pada tahun 2020, dan European Bioplastics memperkirakan mulai tahun 2017 produksi plastik organik akan mencapai 7 juta ton per tahun.

Harus tahan lama
Studi Nova Institute menunjukkan bagaimana bahan kimia baru dapat dengan cepat mengubah pasar. Sejak Coca Cola Company menggunakan botol yang sebagian terbuat dari plastik berbahan organik, yang disebut PET, produksi tahunan botol jenis ini akan naik dari 600.000 ton menjadi 5 juta ton pada tahun 2020.

Raksasa kimia BASF juga tengah menggelar riset penggunaan lignin, yang terkonsentrasi pada dinding sel kayu, dan berada di peringkat kedua setelah selulosa sebagai bahan organik dengan jumlah terbanyak di muka bumi.

“Sebagai molekul makro yang sangat kompleks, lignin bisa dimanfaatkan sebagai material organik,” jelas Carsten Sieden, direktur riset biokatalis BASF.

Ini akan menjadi alternatif yang bagus karena seringkali lignin pada batang pohon hanya menjadi sampah, contohnya di pabrik produsen kertas.

Nilon asli adalah produk yang lebih tahan lama ketimbang jenis plastik lain yang telah diproduksi secara bioteknis, seperti contohnya kantong plastik untuk belanja. Tidak hanya digunakan untuk stoking perempuan, nilon juga dipakai untuk produk yang dimaksudkan untuk bertahan berdekade lamanya seperti onderdil mobil, steker dan tali.
Nilon awalnya diciptakan sebagai alternatif sintetis bagi sutra

Uji coba produk
Wittmann memandang berkurangnya kebutuhan energi membuat metode produksi nilon gagasannya lebih unggul daripada proses petrokimia yang konvensional. Dan keunggulan lainnya adalah asam adipat bisa diproduksi dari lignin, yang biasanya dianggap sampah, dan bukan tanaman pangan seperti jagung atau bit gula.

“Ini penting mengingat debat ‘pangan atau bahan bakar,” catatnya, merujuk pada kontroversi seputar pengalihan lahan pertanian untuk biofuel atau produksi bioplastik.

Namun sejumlah kendala masih harus diatasi sebelum metode ini dapat dipakai industri.

“Harus dibuktikan dulu bahwa produk bioteknis kualitasnya sama bagus dengan produk petrokimia,” ungkapnya.

Inilah target Wittman dan timnya dalam tiga tahun mendatang, dalam sebuah proyek yang mendapat kucuran dana senilai 1,4 juta Euro dari Kementerian Riset dan Pendidikan Jerman.[]

Sumber: dw.de

read more
Hutan

Perusahaan Perusak Berkomitmen “Lindungi dan Pulihkan” Hutan

Ada banyak berita besar yang menyertai kampanye panjang untuk menghentikan tabiat deforestasi Asia Pulp and Paper (APP) yang membuat saya berpikir tidak akan pernah menulis ini.Tetapi di atas berita besar itu, berita tahun lalu bahwa APP berkomitmen untuk Tidak Deforestasi, adalah satu di antaranya.

Lebih dari sepuluh tahun kampanye APP telah menjadi contoh dari segala sesuatu yang salah dalam pengelolaan hutan, namanya identik dengan kerusakan hutan Indonesia dan segala upaya pencitraan hijau (greenwash) yang dilakukan.

Berita hari ini menyatakan perusahaan tersebut akan bekerja dengan multipihak untuk melindungi dan memulihkan area yang luasnya setara dengan perkebunan yang telah dibangun perusahaan dan pemasoknya dan ini menjadi bukti lainnya bahwa  APP sedang berubah haluan. Ini langkah maju yang besar bagi APP dan untuk konservasi di Indonesia – dan dibangun di atas komitmen yang dibuat dalam kebijakan perlindungan hutan APP untuk melaksanakan hasil penilaian konservasi independen di seluruh rantai pasokan dan untuk melindungi seluruh hutan yang tersisa di dalam konsesinya.

Komitmen itu akan fokus pada lansekap hutan kunci di Sumatra dan Kalimantan dan memasukkan kerja untuk mendukung konservasi harimau Sumatra, Gajah dan spesies lainnya. Hal itu juga menetapkan peristiwa sangat penting – aksi sektor swasta untuk mendukung konservasi pada skala yang mengakui dampak terhadap hutan sebelumnya.

Meski berita ini sangat positif, namun besarnya tantangan yang dilibatkan tidak bisa diremehkan. Perlindungan hutan di Indonesia membutuhkan komitmen dan tindak lanjut bukan saja dari satu perusahaan, meskipun ini signifikan, tetapi dari seluruh pelaku bisnis yang telah memperluas perkebunanannya hingga ke kawasan hutan. Ini juga membutuhkan reformasi peraturan di Indonesia dan kemauan untuk menegakkan hukum yang sudah ada – pada saat ini kondisinya sangat buruk yang bahkan taman nasional kita seperti Tesso Nilo di Riau menderita akibat deforestasi ilegal untuk perkebunan.

Sektor pulp di Indonesia didominasi oleh dua kelompok bisnis – APP dan Raja Garuda Emas (RGE) (termasuk APRIL dan Toba Pulp Lestari). Komitmen keberlanjutan APP menghentikan keterlibatannya dalam deforestasi  diterapkan di seluruh kelompoknya dan dengan pengumuman hari ini yang termasuk komitmen pemulihan yang setara dengan kawasan yang dikuasai APP dan pemasoknya di perkebunan.

Komitmen RGE hanya berlaku untuk satu perusahaan di kelompoknya yakni APRIL, yang memungkinkan untuk melanjutkan deforestasi dan hanya mencakup aspirasi untuk memulihkan kawasan yang sama dengan yang dimiliki perusahaan di perkebunan.

Greenpeace mendesak seluruh pelanggan perusahaan pulp RGE untuk segera menunda kontrak sampai kelompok tersebut menghentikan keterlibatannya di deforestasi dan melengkapi kekurangan lainnya dari komitmen perlindungan hutan mereka.

Sumber: greenpeace.co.id

Zulfahmi adalah Juru Kampanye Hutan Greenpeace Asia Tenggara – Indonesia

read more
Flora Fauna

Konservasionist Asal Aceh Raih Penghargaan Lingkungan Goldman

Usaha ahli biologi Rudi Putra menutup perkebunan kelapa sawit gelap penyebab kehancuran hutan besar-besaran menjadi dasar pemberian Penghargaan Lingkungan Goldman 2014.

Rudi Putra meneliti deforestasi di Ekosistem Leuser, Sumatra Utara yang menghancurkan tempat tinggal badak Sumatra yang terancam punah. Dia mulai tertarik dengan alam dan binatang saat di sekolah menengah di Aceh.

Rudi kemudian mempelajari biologi konservasi di Institut Pertanian Bogor dan “jatuh cinta” dengan Klik badak Sumatra.

Dia menjadi peneliti ahli dan memimpin tim perlindungan badak pada ekspedisi pencarian pemburu gelap di Ekosistem Leuser, hutan lindung di Provinsi Aceh dan Sumatra Utara seluas lebih 24 ribu meter persegi.

Hutan tropis Indonesia adalah salah satu yang paling beragam di dunia, tempat tinggal 12% spesies mamalia yang dikenal di dunia.

Hanya setengahnya tersisa saat ini karena tingginya tingkat pengrusakan hutan, sekitar delapan ribu meter persegi setiap tahun.

Penyebab utama tingginya deforestasi di Indonesia karena tingginya permintaan minyak kelapa sawit dunia yang di antaranya digunakan untuk pembuatan kue, bubur, dan keripik kentang.

Selain Rudi, terdapat lima pemenang lainnya dari Afrika Selatan, Rusia, India, Peru, dan Amerika Serikat. Penghargaan dijadwalkan diberikan di San Fransisco, Amerika Serikat pada Senin malam 28 April.[]

Sumber: BBC.co.uk

read more
Kebijakan Lingkungan

Kuntoro Puji Gubernur Jambi Lestarikan Lingkungan

Ketua Unit Kerja Presiden Bidang Pengawasan dan Pengendalian Pembangunan (UKP4) Kuntoro Mangkusubroto memuji komitmen Gubernur Jambi Hasan Basri Agus dan seluruh jajaran pemerintahannya dalam upaya pelestarian lingkungan hidup.

Pernyataan ini disampaikannya saat menghadiri “Workshop for South East Asia on Ecosystem Conservation and Restoration to Support Achievement of Aichi Biodiversity” di Jambi, Senin, (29/04/2014).

Acara Workshop ini akan berlangsung 28 April sampai 2 Mei 2014 akan mambahas rencana strategis Keanekaragaman hayati yang merupakan kerangka kerja 10 tahun untuk mendukung implementasi Konvensi Keanekaragaman Hayati (CBD).

Kerangka kerja tersebut mencakup kesepakatan akan pencapaian Target Global Keanekaragaman Hayati atau yang dikenal dengan “Aichi Target”, untuk mengurangi laju kerusakan keanekaragaman hayati berikut komitmen negara-negara anggota CBD untuk memutakhirkan strategi dan rencana aksi keanekaragaman hayati guna mencapai Aichi Target.

Kuntoro mengatakan, Jambi dijadikan sebagai percontohan dikarenakan Gubernur Jambi begitu terbuka terhadap ide-ide terhadap perbaikan lingkungan hidup hal ini ditunjukkan dengan dua hal yaitu adanya pembuatan pemetaan hutan dan adanya kesepakatan untuk mereview kembali perizinan kebun dan kawasan hutan.

“Hal ini menurut saya adalah satu yang mendasar bahwa Gubernur mau membuat kesepakatan untuk mereview kembali perizinan kebun dan kawasan hutan. Jambi adalah provinsi kedua yang dijadikan percontohan setelah Kalimantan Tengah,” katanya.

Namun permasalahan yang dihadapi tidak sama, di Kalteng terdapat kebijakan yang kurang tepat, yaitu pemanfaatan lahan gambut untuk sawah, sedangan di Jambi tidak, permasalahan yang ada yaitu tentang keanekaragaman hayati yang harus mendapatkan perlindungan, ujar Kuntoro.

Ia menjelaskan, diharapkan dengan adanya program REDD+ ini dapat juga mengokomodir kebutuhan dan kebijakan bagi para masyarakat yang memanfaatkan dan bergantung kepada hasil alam di sekitar hutan.

Sementara itu Gubernur Jambi dalam sambutannya menyatakan dengan adanya kerja sama dengan REDD telah mengawali langkah nyata di Provinsi Jambi melalui kegiatan penataan perizinan yang ke depannya akan dibangun sistem pengelolaan informasi perizinan.

“Saya menilai bahwa kegiatan ini merupakan tonggak sejarah bagi perjalanan pembangunan Provinsi Jambi dalam mempertahankan kelestarian hutan dari kegiatan degradasi dan deforestasi,” katanya.

Gubernur menilai bahwa tersusunnya dokumen SRAP REDD+ Provinsi Jambi hal tersebut sangat beralasan, mengingat sekitar 43 persen dari luas wilayah Jambi (2,2 juta hektare), terdiri dari kawasan hutan, dan sekitar 8,7 persen (191 ribu hektare) terdiri dari hutan lindung gambut.

Selain itu, di Provinsi Jambi terdapat empat Taman Nasional, yaitu Taman Nasional Kerinci Seblat, Taman Nasional Bukit 30, Taman Nasional Bukit 12, dan Taman Nasional Berbak.[]

Sumber: antaranews.com

read more
Kebijakan Lingkungan

Oxfam Tuding Perbankan Australia tidak Peka Lingkungan

LSM Oxfam menuding sejumlah bank besar Australia tidak peka secara sosial dan lingkungan karena mendukung pembiayaan perusahaan-perusahaan yang terlibat dalam illegal logging, mempekerjaan anak-anak, serta merampas tanah hak ulayat masyarakat.

Demikian terungkap dalam laporan Oxfam, Senin (28/4/2014). Menurut CEO Oxfam Dr Helen Szoke, empat bank utama Australia yakni National Australia Bank (NAB), Commonwealth (CAB), Westpac dan ANZ, tidak bisa menjaga citranya sebagai bank yang mendukung pembangunan berkelanjutan.

Laporan Oxfam berjudul Banking on Shaky Ground, menunjuk empat kasus di Kamboja, Papua Nugini, Indonesian dan Brasil, dimana bank-bank besar Australia secara langsung dan tidak langsung membiayai perusahaan yang dituduh melakukan perampasan lahan masyarakat.

“Terdapat kesenjangan antara apa yang dikampanyekan keempat bank ini dengan apa yang mereka lakukan di lapangan,” jelas Dr Szoke.

Menurut to Dr Szoke, penelitian Oxfam menunjukkan bank-bank tersebut terlibat dalam pendanaan sebesar 20 miliar dollar dalam perusahaan-perusahaan agrikultur.

Laporan ini menyatakan Bank Westpac di Papua Nugini ikut membiayai perusahaan kayu asal Malaysia WTK Group, yang dituduh melakukan illegal logging.

Westpac menolak dikonformasi atas kaitannya dengan WTK, namun menurut Siobhan Toohil dari bank tersebut, bank ini telah meninggalkan pembiayaan bagi klien yang tidak memenuhi standar lingkungan dan sosial yang ditetapkan.

Pengacara WTK di Port Moresby Robert Bradshaw membantah tuduhan ini.

Sementara itu, Bank ANZ dituduh terkait dengan perusahaan gula di Kamboja, Phnom Penh Sugar, milik seorang politisi setempat bernama Ly Yong Phat.

Menurut laporan media lokal di tahun 2013, anak-anak umur 7 tahun dipekerjakan di kebun tebu yang menjadi pemasok pabrik gula tersebut. Dilaporkan, sekitar 500 KK harus kena gusur karena pembukaan lahan kebun bagi perusahaan ini.

Pihak ANZ kepada ABC menyatakan terus mereview aktivitas Phnom Penh Sugar dalam memenuhi tanggung jawab sosial dan lingkungan.

Laporan Oxfam juga menuding Bank NAB terkait dengan perusahaan minyak sawit raksasa asal Singapura Wilmar, serta Bank CBA dengan perusahaan gula Brasil bernama Bunge.

Majalah Newsweek menyebut Wilmar sebagai perusahaan dengan kebijakan lingkungan paling buruk di tahun 2012.

NAB kepada ABC menyatakan, pihaknya tidak bisa menyampaikan informasi terkait kliennya, namun menyatakan mendukung aksi yang mempromosikan aspek sosial dan lingkungan.

Sementara itu CBA menginvestasikan dana 14 juta dollar bagi Bunge, perusahaan komoditas pertanian terbesar di dunia, yang dituduh memasok gula tebu dari perkebunan yang lahannya dirampas dari penduduk asli Guarani  di Brasil. Pihak CBA membantah punya kaitan langsung dengan Bunge.
Sumber: radioaustralia.net.au

read more
Tajuk Lingkungan

An Inconvenient Truth: Sebuah Kabar Tentang Bumi

An Inconvenient Truth, adalah sebuah film dokumenter bergenre scientific yang diluncurkan tahun 2006 dan berhasil menjadi salah satu film dokumenter terlaris di negara asalnya, Amerika Serikat (AS).

Film dokumenter An Inconvenient Truth atau yang dalam bahasa Indonesia diartikan sebagai sebuah kebenaran yang tidak menyenangkan, berisikan tentang presentasi Al-Gore, mantan Wakil Presiden Amerika Serikat masa Bill Clinton, tentang isu lingkungan, perubahan iklim, dengan menitik beratkan global warming (pemanasan global) sebagai poin bahasan presentasinya. Sejak kekalahannya dari George W. Bush dalam Pilpres Amerika Serikat, Al-Gore mendedikasikan hidupnya untuk memberikan kuliah umum tentang isu lingkungan dari satu kota ke kota lainnya di Amerika Serikat.

Dalam film berdurasi 100 menit ini, Al-Gore dengan apik menjelaskan tentang kondisi bumi yang banyak tidak diketahui oleh manusia. Berbagai fakta dan penelitian para ilmuwan tentang pemanasan global, dijelaskan dalam film ini. Meningkatnya konsentrasi gas karbondioksida (CO2) yang menyebabkan efek rumah kaca, peningkatan suhu bumi di berbagai kota di dunia, melelehnya gletser di Kutub Utara dan Kutub Selatan, dan hal-hal buruk lainnya yang terjadi akibat pemanasan global.

Bahkan, efek parah lainnya, yang juga dijelaskan dalam film ini apabila gletser-gletser mencair, adalah terancamnya ketersediaan air bersih, dan pada jangka panjang akan turut menyumbang peningkatan level air laut dunia, daratan juga akan berkurang. Berbagai video visualisasi yang ditampilkan dalam film ini juga menambah kekayaan dari isi film.

Terlepas dari berbagai hal ilmiah yang sungguh sangat menyedihkan diatas, film ini secara garis besar akan sangat membosankan bila dicicipi untuk sekedar sebagai “tontonan”. Namun, film ini menjadi menarik ketika berbagai upaya tentang penyelamatan bumi harus berbenturan dengan kepentingan politik penguasa. Ketidakberdayaan AS dalam menghadapi isu lingkungan, juga menjadi daya tarik dari film dokumenter ini. Isu lingkungan terus diperjuangkan para aktifis lingkungan, bahkan sampai ke tingkat parlemen di AS dengan berbagai jalan, namun pemerintah AS justru memberikan tanggapan yang tidak seharusnya.

Mereka tidak menganggap serius isu ini dengan alasan akan mengancam keseimbangan ekonomi, bahkan dibeberapa kesempatan, film ini mengutip perkataan ‘sadis’ orang-orang berpengaruh di Amerika, seperti George W. Bush, yang sangat mendiskreditkan aktifis lingkungan dalam hal ini Al-Gore.

Menyambung tentang ketidakberdayaan AS atas isu lingkungan ini, dalam video digambarkan analogi tentang kebijakan politik AS yang mejadikan ekonomi sebagai alasan untuk tidak fokus memperhatikan isu lingkungan, yaitu dengan menganalogikan emas dan bumi dalam satu timbangan yang sama, mana yang lebih dipilih? AS memilih emas, lalu, apalah arti emas jika tanpa bumi ? Analogi ini sungguh menarik.

Begitu banyak pelajaran yang bisa dipetik dari film dokumenter “An Inconvenient Truth”.  Film ini membuka mata banyak manusia, termasuk saya, akan kondisi bumi yang sedang ‘sakit’ dan akan terus-terusan ‘sakit’, jika kita tidak mulai ‘menyembuhkannya’. Kita bisa mulai berbuat untuk bumi dengan minimal peduli dan yakin dengan kebenaran isu lingkungan seperti yang dipaparkan dalam film ini.

Lebih dari sekedar itu, kita harus mencoba untuk membiasakan gaya hidup sederhana yang go green, seperti, tidak menggunakan air secara berlebih, mengurangi penggunaan kendaraan pribadi, mengurangi penggunaan AC, dan masih banyak hal-hal yang sebenarnya sangat mudah kita lakukan, namun, hanya sulit jika kita belum memulai dan biasakan.

Saya punya cerita tentang kegiatan Go Green unik yang dilakukan dosen saya dan diceritakan di kelas, beliau bercerita, bahwasanya beliau jarang mencuci kendaraan pribadi miliknya dengan alasan penghematan air. Ini, keren.

Diluar isu lingkungan, saya melihat film ini bisa dijadikan sebagai gaya baru dalam berkampanye, menonjolkan sisi positif seseorang, dan disisi lain mem-blow-up sisi negatif rivalnya. Terakhir, lagi-lagi harus sama-sama kita sadari, seperti perkataan Al-Gore yang saya kutip dalam film ini, “…pada akhirnya, isu lingkungan bukanlah sekedar masalah politik, lebih dari itu, ini adalah masalah moral.”

“What gets us into trouble, is not what we don’t know.
It’s what we know for sure that just ain’t so.”
(Mark Twain)

Penulis adalah mahasiswa Fisip Unsyiah dan artikel ini merupakan tugas Mata Kuliah Politik Lingkungan Global dan Sumber Daya Alam.

read more
Ragam

Menjelajahi Krueng Aceh Nan Asri

Tali senar berumpan udang dari joran dilempar Bahrul (30). Belum lima menit, tali itu sudah meliuk-liuk. Bahrul lekas menarik joran dan ikan bulan-bulan sepanjang 60 sentimeter didapat.

Tak terasa Bahrul telah mendapatkan 55 ikan bulan-bulan dari empat jam memancing di Krueng (Sungai) Aceh yang melintasi Kota Banda Aceh. ”Di Krueng Aceh, kalau air pasang pasti banyak ikan. Paling banyak ikan bulan-bulan yang sejenis ikan bandeng,” ujar warga asli Banda Aceh itu saat saat ditemui awal Februari lalu.

Krueng Aceh adalah salah satu sungai terbesar di Aceh. Sungai sepanjang 145 kilometer itu mengalir dari hulu di Cot Seukek, Aceh Besar, ke hilir di Gampong (Kampung) Nelayan Lampulo, Banda Aceh.

Kelestarian lingkungan sungai ini masih terjaga. Setidaknya hal itu tampak pada lebih kurang 10 kilometer aliran Krueng Aceh di Banda Aceh. Air sungai masih bersih dengan warna hijau kebiruan. Ikan pun masih banyak. Itu yang membuat pemancing berdatangan saat air pasang.

Bahkan, sejumlah warga, salah satunya Bahrul, menjadikan memancing sebagai kegiatan sampingan. Sehari-hari Bahrul bekerja sebagai pedagang jus, tetapi pekerjaan itu ditinggalkan ketika Krueng Aceh pasang.

Ia mengatakan paling sering mendapatkan ikan bulan-bulan. Ikan itu dijual seharga Rp 5.000 per ekor. ”Sekali memancing paling sedikit dapat 30 ikan bulan-bulan. Lumayan bisa menambah penghasilan,” ujarnya.

Bagi warga, memancing di Krueng Aceh bisa menjadi pelepas penat. Juanda Arjuna (34), contohnya. Pria pegawai negeri sipil ini sering meluangkan waktu untuk memancing di sungai itu selepas bekerja. ”Di sini, ikan masih banyak. Ketika dapat rasanya lega, stres hilang,” ucapnya.

Warga pun menjadikan Krueng Aceh sebagai tempat rekreasi. Sore adalah waktu terbaik para keluarga berkumpul di pinggiran sungai. Mereka bercengkerama sembari makan rujak buah dari pedagang keliling.

Kondisi itu sangat didukung suasana sungai yang masih asri. Di pinggiran sungai masih ada tanah lapang selebar 5-10 meter yang ditumbuhi pepohonan rimbun, semisal pinus.

Krueng Aceh mempunyai peranan yang sangat penting dalam menunjang aktivitas warga Banda Aceh. Banyak warga yang memanfaatkan air sungai untuk mandi dan mencuci pakaian. Perusahaan Daerah Air Minum Tirta Daroy Banda Aceh menjadikan air sungai itu sebagai sumber air baku.

Di muaranya, Krueng Aceh menjadi tempat kapal-kapal nelayan bersandar. Aktivitas kehidupan masyarakat di muara sungai telah berlangsung lama. Tercatat Gampong Pande di sisi barat muara sungai itu dibangun Sultan Alaidin Johansyah pada 22 April 1205. Permukiman ini diyakini menjadi cikal bakal Kerajaan Aceh Darussalam dan Banda Aceh sekarang.

Belum maksimal
Warga berharap pemerintah setempat bisa memaksimalkan dan melestarikan Krueng Aceh. Sungai ini belum dikelola dengan baik. Belum ada fasilitas memadai yang membuat warga nyaman menikmati sungai itu, semisal jalur khusus pedestrian, tempat duduk, dan pondokan.

Di beberapa sudut sungai, warga harus duduk lesehan di sembarang tempat. Wadah sampah pun tak banyak sehingga warga masih membuang sampah sembarangan di pinggiran sungai atau ke sungai.

Mahasiswa Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Syiah Kuala (Unsyiah), Rere Meiliza (21), berpendapat, pemerintah patut berkaca pada Malaysia yang cerdik menggarap tempat wisata sekalipun tak terlalu istimewa. ”Di sini, Krueng Aceh bersih dan asri. Itu modal untuk mengembangkan sektor pariwisata Aceh dan Banda Aceh,” kata warga asal Kota Langsa ini.

Warga pendatang berpendapat serupa. Mahasiswa Fakultas Ilmu Sosiologi dan Ilmu Politik Unsyiah asal Medan, Sumatera Utara, Alfri Sinulingga (22), menilai, dibandingkan sungai-sungai di daerahnya, Krueng Aceh jauh lebih baik. ”Wisatawan akan sangat betah di sini kalau ditunjang fasilitas untuk pedestrian, tempat duduk, dan gazebo yang nyaman. Apalagi kalau ada sarana perahu wisata,” ucapnya.

Pemerintah Kota (Pemkot) Banda Aceh telah berupaya memaksimalkan potensi Krueng Aceh. Pada 2010, mereka membangun lima dermaga di sepanjang sungai yang melintasi kota itu. Tujuannya, sebagai penunjang warga dan wisatawan yang ingin menggunakan fasilitas perahu wisata. Sayang, fasilitas itu terbengkalai.

Kepala Badan Perencanaan Pembangunan Daerah Banda Aceh Muhammad Bahagia mengungkapkan, program itu belum berjalan karena dangkalnya air Krueng Aceh. ”Saat itu, perahu yang dioperasikan tidak bisa jalan karena terhalang sampah sisa tsunami yang memenuhi sungai tersebut,” katanya.

Pada 2013, Pemkot Banda Aceh dan Direktorat Jenderal Sumber Daya Air Kementerian Pekerjaan Umum menandatangani nota kesepahaman untuk mengeruk sampah di Krueng Aceh sepanjang 5 kilometer. Proyek itu dikerjakan dengan dana dari APBN Rp 10 miliar. ”Nantinya bukan hanya untuk pariwisata. Sungai ini pun akan dimaksimalkan sebagai jalur utama transportasi air,” kata Bahagia.

Kepala Badan Pusat Statistik (BPS) Aceh Hermanto mengatakan, Pemerintah Provinsi Aceh harus berupaya meningkatkan kualitas wisatawan yang berkunjung ke Aceh. Wisatawan perlu dipikat agar mau tinggal dalam waktu lama. Semakin lama mereka di Aceh, kian banyak pula uang yang berputar di daerah itu.

Merujuk Aceh dalam Angka 2013, kunjungan wisatawan domestik dan mancanegara meningkat tiga tahun ini. Tamu domestik ke Aceh pada 2010 sebanyak 720.079 orang. Jumlah itu meningkat menjadi 959.545 orang (2011) dan 1.026.800 orang (2012). Adapun tamu mancanegara ke Aceh sebanyak 20.648 orang pada 2010. Jumlah itu meningkat menjadi 28.054 (2011) dan 28.993 (2012).

Namun, dunia wisata Aceh hanya meningkat dari segi kuantitas wisatawan, tetapi tidak dalam kualitasnya. Data BPS Aceh 2013 menunjukkan, lama kunjungan wisatawan justru menurun setahun terakhir.

Menurut Hermanto, kondisi itu karena kurangnya fasilitas pendukung di sejumlah tempat wisata di Aceh sehingga wisatawan tidak ingin berlama-lama. []

Sumber: kompas.com

read more
1 2 3 10
Page 1 of 10