close

14/04/2014

Sains

Papan Iklan Ini Mampu Ubah Udara Menjadi Air

Sebuah Universitas Teknologi di Lima Peru UTEC (University of Engineering and Technology of Peru) menciptakan sebuah proyek yang memberikan dampak luar biasa terhadap warganya.

Sebuah papan iklan (Billboard) yang bisa mengubah udara menjadi air. Dampak dari proyek ini luar biasa karena memberikan solusi bagi sebagian besar warga kota Lima yang hidup dengan keterbatasan sumber air bersih yang layak minum.

Lima adalah Ibukota Peru yang merupakan kota terbesar kedua di dunia yang terletak di wilayah padang pasir. Dimana masih banyak warganya yang kekurangan sumber air layak minum. Intensitas hujan di kota ini pun sangat rendah, bahkan hampir sama sekali tidak ada hujan dalam setahun. Akan tetapi kota ini memiliki kelembaban udara yang cukup tinggi yaitu sebesar 98%.

Atas dasar hal tersebut UTEC bekerjasama dengan sebuah agensi marketing global FCB (Foote, Cone & Belding) menciptakan sebuah proyek untuk memanen kelembaban udara yang tinggi tersebut dan kemudian secara otomatis diolah menjadi air layak minum. Proyek ini juga sekaligus menandai dibukanya gelombang pendaftaran tahun 2013 bagi para calon mahasiswa UTEC.

Billboard ini bekerja dengan menyerap udara sekitar yang memiliki kelembaban tinggi lalu mengolahnya melalui sistem reverse osmosis dan menampung hasil filtrasi berupa air pada sebuah tanki berukuran 96 liter.

Hingga saat ini papan iklan tersebut berhasil memproduksi ribuan liter air sejak diluncurkan dan mendapatkan sambutan yang sangat tinggi dari warga Lima. Billboard yang menghabiskan biaya pembangunan sebesar 1200 dollar ini kini menjadi ikon terbaru kota Lima Peru.

Sumber: greenersmagz

read more
Ragam

Sumber Air Baru Berpotensi Mengubah Kenya

Penemuan cadangan air di bagian utara Kenya yang kering dapat mengubah kehidupan warga di seluruh penjuru negeri. Namun muncul kekhawatiran bahwa korupsi dapat menghambat hak warga atas air.

Empat perempuan berjalan melewati wilayah yang kering dan tandus. Tidak ada awan di langit dan panasnya menyengat. Jalan berdebu antar desa membawa mereka menuju sumber daya baru yang berharga, sebuah pompa air di kota Turkana.

Keempatnya bergabung dengan barisan warga di fasilitas air baru. Cadangan air yang melimpah di Turkana berada di bawah kaki-kaki mereka.

Ekai Amase memandang dengan tidak percaya. “Kami bermasalah dengan air sebelumnya di sini,” jelasnya, sembari menambahkan bahwa dirinya harus berjalan berkilo-kilometer jaraknya untuk mendapatkan komoditas berharga ini.

“Saat kami ingin mengambil air, terkadang perlu tiga hari untuk menemukannya,” ucap Amase. “Ketika berjalan pulang seringkali kami kehilangan hewan ternak yang mati akibat kehausan.”

Tempat dan waktu yang tepat
Turkana adalah salah satu wilayah terpanas di Afrika. Banyak peternak nomaden di wilayah ini yang turun temurun menghadapi langkanya suplai air.

Namun semuanya berubah tahun 2013 saat pemerintah bekerjasama dengan UNESCO dan perusahaan Radar Technologies International, menemukan cadangan air tanah yang berlimpah terkubur jauh di bawah Turkana. Cadangan air ini jumlahnya diperkirakan mencapai 250 miliar meter kubik.

Penemuan ini akan mampu menyelesaikan ketegangan politik. Kelangkaan air kerap mendesak peternak menyeberang perbatasan ke negara lain, untuk menghidupi hewan ternak. Ini mendorong kompetisi dengan warga negara tetangga dan sampai memicu konflik perbatasan.

Target Keberlanjutan
Namun penemuan begitu banyak air bersih menimbulkan pertanyaan mengenai siapa yang akan mengontrolnya. Saat minyak bumi ditemukan di wilayah ini dua tahun lalu, warga setempat mengharapkan pekerjaan dan keuntungan namun sebuah perusahaan asing, yang mendapat tanggung jawab menambang, tidak berbuat banyak untuk membantu warga.

“Prioritas pertama tentunya menyuplai air bagi warga sekitar yang selama ini kekurangan air,” ujar Judy Wakhungu, menteri lingkungan Kenya, dalam sebuah wawancara dengan DW.

Wakhungu mengatakan Kenya mengonsumsi sekitar 3 miliar meter kubik air per tahun. Cadangan air di Turkana mengandung lebih dari cukup untuk memenuhi kebutuhan negeri dalam 70 tahun mendatang. Bahkan cadangan air ini bisa bertahan lebih lama, apabila dikelola dengan baik, tambahnya. Warga sekitar juga dapat menggunakannya untuk mengembangkan metode irigasi dan industri.

Sumber Daya tak Habis Habis?
Namun, kritik mengingatkan tantangan besar yang menanti. Menurut analis risiko Andrea Bohnstedt, penemuan sumber daya alam dapat merugikan industri apabila pemerintah tidak berhati-hati.

“Benar-benar tergantung pada kualitas institusi,” kata Bohnstedt, sembari menambahkan bahwa korupsi terus menjadi masalah di Kenya.

Sekarang ini warga Turkana masih merayakan kenyataan bahwa mereka mendapatkan akses air minum di wilayah mereka. Jane Loyar, seorang warga, melihat ini sebagai peluang bagi semua orang.

“Sebelum ada penemuan ini, kami menderita,” kisahnya. “Namun sejak ditemukan sumber air, saya melihat begitu banyak perubahan.”

Sumber: DW.DE

read more
Perubahan Iklim

PBB: Skenario Terburuk Iklim Bisa Dihindari

Laporan Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) menunjukkan negara-negara dunia masih bisa menghindari konsekuensi serius perubahan iklim. Asalkan, mereka bertindak cepat dan agresif guna memangkas laju percepatan emisi gas rumah kaca.

Berdasarkan laporan, emisi gas rumah kaca menguat cepat antara tahun 2000 dan 2010. Laju penguatan lebih kencang dibanding dalam tiga dekade sebelumnya. Krisis ekonomi global pada 2007 dan 2008 secara temporer mengurangi emisi. Namun, kondisi itu tidak mengubah tren keseluruhan, sebut laporan.

Laporan terbaru PBB menjadi perhatian utama para perancang kebijakan di seluruh dunia. Sebab, laporan berfokus pada berbagai skenario guna memangkas pemanasan global. Dipresentasikan hari Minggu di Berlin, laporan merupakan episode ketiga dalam catatan komprehensif empat bagian yang disusun Panel Antar-Pemerintah PBB tentang Perubahan Iklim (IPCC).

Panel mendesak koordinasi internasional untuk mengatasi tantangan perubahan iklim. Banyak cara bisa dilakukan, misalnya mendirikan institusi penetapan harga karbon, mempromosikan pajak karbon dioksida (CO2), serta menambah investasi untuk energi terbarukan.

Penundaan aksi hanya akan memperdalam risiko dan ongkos yang harus dibayar di kemudian hari. Ottmar Edenhofer, wakil ketua kelompok kerja III IPCC, mengingatkan bahwa mitigasi perubahan iklim tak akan tercapai, jika perusahaan dan pemerintah “memajukan kepentingan mereka secara mandiri.”

Menurut Edenhofer, tindakan bukan berarti “masyarakat dunia mesti mengorbankan pertumbuhan [ekonomi]. … Kebijakan iklim memang bukan makan siang gratis, tetapi makan siang ini layak dibeli.”

Dengan laporan ini, “pembuat kebijakan diberi pelbagai opsi. Mereka bisa memutuskan apapun yang mereka inginkan,” kata Ed Hawkins, ilmuwan iklim di University of Reading, Inggris. Ia merupakan salah satu penulis laporan IPCC sebelumnya.

Pesan kunci dalam laporan terbaru IPCC adalah skenario mengkhawatirkan masih dapat dihindari. “Hanya dengan perubahan besar-besaran dari sisi teknologi dan kelembagaan, kita bisa mencapai peluang lebih baik untuk mencegah pemanasan global melampaui ambang batas,” demikian kesimpulan sementara panel PBB.

Pada 2010, sekitar 200 negara sepakat mengurangi emisi untuk mencegah kenaikan suhu dunia mencapai ambang batas tertentu. Batas kenaikan itu adalah dua derajat Celsius di atas level sebelum era industri.

Untuk sampai ke titik itu, kata IPCC, pada pertengahan abad ini emisi gas rumah kaca mesti bisa dipangkas sebesar 40% sampai 70% dibanding level tahun 2010. Emisi mesti dipangkas hampir nol pada akhir abad.

Bagaimanapun, perubahan skala besar—khususnya yang melibatkan pemerintah serta pelaku industri pembangkit listrik serta transportasi—akan membutuhkan pengeluaran besar. Kenyataan itu sudah menjadi subjek kontroversi dan pertentangan besar di banyak tempat.

Dalam konferensi pers di Berlin, ketua IPCC Rajendra Pachauri menyatakan analisis biaya dan manfaat mitigasi merupakan “pertanyaan yang kompleks.” Namun, ia mengajak semua untuk tak lagi memperhitungkan nilai dolar, jika berkaitan dengan hilangnya nyawa manusia serta rusaknya ekosistem darat dan laut yang dipicu perubahan iklim.

“Kita harus memikirkan kembali tentang apa yang mungkin terjadi, jika kita tidak mengambil tindakan yang diperlukan,” katanya.

Sumber: WSJ Indonesia

read more