close

May 2014

Ragam

Menurut Walhi Visi-Misi Jokowi-JK Soal Lingkungan Lengkap

Kepala Bidang Kajian dan Pengembangan Walhi, Khalisah Khalid berpendapat visi-misi pasangan calon presiden dan calon wakil presiden Jokowi-JK mampu membaca akar masalah soal lingkungan hidup dibandingkan Prabowo-Hatta.

“Kalau menurut kami, visi dan misi Jokowi-JK memang lebih komprehensif dan mampu membaca akar masalah soal lingkungan hidup,” ujar Khalisah Khalid di Kantor Indonesia Corruption Watch (ICW), Jakarta, Senin (26/5).

Menurut dia, visi misi Prabowo-Hatta memang memperhatikan soal isu lingkungan namun tidak dijelaskan secara detail dan masih harus ada penajaman atas hal itu.

“Memang masih harus ada penajaman. Karena menurut kami masih mengawang-ngawang,” tukasnya.

Selain itu, lanjutnya, sangat penting sebenarnya peradilan lingkungan itu dibentuk. Pengelolaan lingkungan itu juga harus menjadi perhatian. Itu yang secara detail dimuat dalam visi misi Jokowi-JK.

“Karena selama ini kita tahu, penjahat lingkungan itu tidak punya kekuatan apa-apa.

Jadi secara kewenangan ini, bukan hanya di level nasional, tapi juga di level daerah kebetulan visi dan misinya Jokowi-JK juga ada soal desentralisasi.

“Nah itu dalam penilaian kami, secara general visi-misi Jokowi-JK lebih komprehensif dan mendekati apa yang kami harapkan. Di Prabowo-Hatta ada menyebutkan soal lingkungan, karena dia dalam dokumennya juga menyebutkan sangat singkat ya,” ujar dia.

Sumber: antaranews

read more
Flora Fauna

Krisis Populasi Badak Indonesia

Kritis  adalah kata yang tepat untuk menggambarkan status populasi badak  di Indonesia, dua spesies badak di Indonesia yaitu badak Jawa (Rhinoceros sondaicus) dan badak Sumatera (Dicerorhinus sumatrensis) diambang punah. Apa yang dikhawatirkan saat ini adalah struktur populasi badak yang ada sekarang lokasinya  terpencar dan terisolir.

Kantung habitat badak Jawa,  hanya terdapat di Taman Nasional Ujung Kulon Banten, populasi badak Jawa di kawasan ini diketahui sebagai populasi  yang  jumlahnya  tidak  lebih  dari  50  individu. Rata-rata perkembangan populasinya tidak  lebih dari 1%  setiap tahunnya (Hariyadi et al. 2011). Kondisi habitat  yang ada saat ini diduga  mengalami  perubahan  perlahan  akibat  suksesi  alami  yang  berakibat  pada berubahnya  struktur  vegetasi (tumbuhan)  yang  ada.

Sedangkan di pulau Sumatera, jumlah kantong habitat badak Sumatera hanya tersisa empat kantong utama yakni di Taman Nasional Bukit Barisan Selatan, Taman Nasional Way Kambas dan Taman Nasional Gunung Leuser serta Kawasan ekosistem Leuser, jumlah badak Sumatera diperkirakan populasi kurang dari 200 ekor (Adhi Hariyadi. 2012), untuk sebaran dan jumlah populasi badak Sumateradi Kalimantan masih kekurangan data.

Dewasa ini, perubahan fungsi hutan di areal kawasan konservasi di Indonesia terjadi melalui berbagai macam bentuk, misalnya pembangunan jalan, peminjaman atau pelepasan kawasan. Diperparah lagi dengan adanya pembangunan jalan yang membelah Taman Nasional,akibatnya hilangnya jenis-jenis pohon yang berakibat pada perubahan struktur vegetasi dan komposisi tumbuhan merupakan salah satu dampak tersebut dan menyebabkan hutan terfragmentasi. Hilangnya habitat memiliki konsekuensi lebih signifikan bagi kelangsungan hidup (viability) spesies.

Seiring fragment hutan mengecil, populasi cenderung lebih rentan untuk punah, karena resiko-resiko demografik, lingkungan atau genetik (Gilpin, 1987; Goodman, 1987).

Satwa  badak merupakan satwa herbivora dimana sangat tergantung terhadap pakan, komposisi pakan badak yang besar dengan terganggunya vegetasi (tanaman), maka badak akan kehilangan pakan, profil  pakan  badak  berkorelasi  dengan  ruang  jelajah yang  ditempuhnya  dan  habitat  tumbuhan  di sekitarnya.

Badak  Jawa dan badak   Sumatera   juga   merupakan   browser  yang  meragut  tumbuhan  pakan menggunakan  bibir  bagian  atas. Secara  anatomis, semua  spesies  badak  merupakan hewan  monogastrik  dengan  sistem  pencernaan  yang  mengandalkan  fermentasi  dan penguraian selulosa pada sekum (Pough 1989).

Secara prilaku,badak Sumatera merupakan satwa yang rentan terhadap perubahan habitat, seperti aktivitas pembalakan liar  dan pembukaan jalan di hutan, aktvitas para pencari getah gaharu, secara alami badak akan selalu mencari habitat terbaik yang terbebas dari aktivitas manusia (Wawancara dengan Mike Grifith, 2013).

Sebagai contoh terjadi di Taman Nasional Bukit Barisan Selatan untuk kasus pembukaan jalan di Taman Nasional Bukit Barisan Selatan pada tahun 1993. Dulunya populasi badak Sumatera sering dijumpai, akan tetapi sejak dibangunnya jalan tembus Lampung -Bengkulu yang membelah Taman Nasional Bukit Barisan Selatan, akibatnya dalam beberapa tahun terakhir,  badak Sumatera sangat susah ditemui di kawasan ini.

Begitu pula di Provinsi Aceh, pembangunan jalan Ladia Galaska dan pembangunan  jalan poros tengahAceh telah membelah Kawasan Ekosistem Leuser, badak Sumatera semakin sulit ditemui, belum lagi adanya ancaman perburuan cula yang marak di kawasan ini.

Aksi Cepat Penyelamatandi Indonesia
Contoh pengelolaan dapat diambil dari negara India dan Nepal. Kedua Negara ini telah sukses mengelola spesies badak (Rhinoceros unicornis ), total perkiraan populasi Mei 2007 diperkirakan 2.575 individu dengan perkiraan total dari 378 di Nepal dan 2.200 di India ( Asia Rhino Specialist Group 2007).

Secara keseluruhan jumlah badak Asia hanya tersisa 3,500 invidu, di India dan Nepal dulunya badak terus diburu hingga berada diambang kepunahan. Dengan perlindungan yang ketat dari otoritas satwa liar India dan Nepal selama lebih dari empat dekade, maka populasi badak India dapat di pulihkan (Dr. Christy Williams, WWF Internasional. 2013).

Cerita sukses ini dapat menjadi pelajaran berharga bagi negara Indonesia, bagaimana memulihkan dan meningkatkan jumlah populasi badak di alam liar,  baik itu badak  Jawa dan Sumatera. Periode stabilisasi populasi, manajemen pengelolaan kedua Negara ini gunakan juga dapat di modifikasidi Indonesia.

Kata kunci penyelamatan badak di Indonesia adalah meningkatnya jumlah individu di habitatnya, untuk pengelolaan badak Jawa titik tekan pada pengelolaan pengkayaan habitat  dan pengembangan habitat kedua (second habitat/ second population) di luar Taman Nasional Ujung Kulon. Sedangkan untuk badak Sumatera titik tekan pengelolan pada sistem patroli konvensional mencegah perburuan. Aksi ini tentu harus diiringi dengan perbaikan habitat, upaya lainnya adalah memasukan habitat badak dalam Rencana Tata Ruang Nasional dan sangat dibutuhkan adanya Perpres yang menaungi khusus perlindungan badak ini untuk menjawab kondisi individu yang sangat kritis dan hampir punah.

Penyelamatan badak Indonesia baik Jawa dan Sumatera sudah harus menjadi prioritas utama, baik itu di Ujung Kulon Banten, Taman Nasional  Way Kambas, TN BBS di Lampung, di Taman Nasional Gunung Leuser Aceh. Kawasan Ekosistem Leuser Aceh  dan Kutai barat di provinsi Kaltim harus menjadi skala prioritas konservasi di Indonesia.

Langkah ini merupakan hal  yang penting dalam menentukan secara jelas wilayah dalam menyediakan informasi yang dibutuhkan negara untuk segera berindak nyata dalam usaha konservasi badak di Indonesia.

Aksi  ini  juga berfungsi untuk menjawab tindakan apa yang perlu diambil di masa mendatang di semua wilayah konservasi badak di empat provinsi ini,  badak dikawasan ini dapat ditingkatkan status hukumnya dan harus diteliti untuk kepentingan konservasi.

Disamping itu, disisi pengelolaan Badak untuk dapat dengan mudah diterjemahkan di level Pemerintah Provinsi, Kabupaten dan yang terpenting lainnya adalah masyarakat lokal di sekitar habitat Badak yang diharapkan menjadi pelindung utama dalam menjaga populasi badak  di Indonesia. Pada dasarnya satwa badak membutuhkan hutan berkwalitas sangat baik. Badak  merupakan interior terbaik hutan Indonesia. maka sudah seharusnya  Negara memberikan habitat terbaik bagi satwa ini. Jika ini terjadi, maka  badak Jawa – Sumatera bisa diselamatkan.

Penulis adalah Alumnus Sekolah Tinggi Ilmu Kehutanan TGK Chik Pantee Kulu Banda Aceh

read more
Kebijakan Lingkungan

Menhut Minta LSM Kritik Perusahaan Pengelola Hutan

Lembaga swadaya masyarakat dan aktivis lingkungan diharapkan terus mengritik perusahaan pengelola hutan agar peduli terhadap lingkungan dan bersama membangun ekosistem demi menjaga keseimbangan alam, kata Menteri Kehutanan Zulkifli Hasan.

“Bagi saya NGO (Non Government Organization/LSM) merupakan rekanan dalam upaya membangun lingkungan,” kata Menhut kepada pers usai menghadiri acara penanaman pohon perdana Program Restorasi Ekosistem Riau (RER) bertema “Pohon Untuk Kehidupan” di Pulau Muda, Kecamatan Teluk Meranti, Kabupaten Pelalawan, Riau, Kamis sore.

Menurut dia, LSM atau NGO merupakan pihak yang sangat berperan dalam menyuarakan persoalan-persoalan lingkungan.

“Jadi kami tidak mempersoalkan jika selama ini mereka mengritik dan memberikan masukan-masukan terhadap pemerintah untuk melakukan pemeliharaan lingkungan atau alam,” katanya.

Peran LSM lingkungan ini, kata dia, ke depan diharapkan akan lebih baik, namun mengritik dengan cara-cara yang bijak dan cerdas sehingga tidak malah mengganggu pertumbuhan ekonomi nasional.

Saat ini, menurut dia, untuk sebagian perusahaan khususnya bidang kehutanan (HTI) telah memberikan kontribusi nyata bagi lingkungan nasional, seperti di Provinsi Riau.

Sangat diharapkan, kata Menhut, ke depan tidak hanya perusahaan kehutanan saja, namun juga perusahaan pertambangan yang selama ini mengambil hasil bumi namun tidak pernah menjaga keutuhan lingkungan dan alam.

Perusahaan HTI yang dimaksud Menhut adalah kelompok Asia Pacific Resources International Holding Limited (APRIL). Perusahaan ini telah menjalankan Program RER di kawasan suatu pulau pada daerah Kecamatan Teluk Meranti, Kabupaten Pelalawan.

RER adalah kemitraan antara pelaku bisnis yang dimotori kelompok APRIL dengan aktivis lingkungan untuk memulihkan kerusakan hutan akibat pembalakan, perambahan, dan kebakaran hutan rawa gambut di Semenanjung Kampar.

Proyek berdurasi 10 tahun itu bakal merevitalisasi hutan seluas 20.265 hektare untuk tahap awal dengan dana yang disiapkan mencapai 17 juta dolar AS.

Sumber: antaranews.com

read more
Kebijakan Lingkungan

Investasi Kakao di Aceh Jangan Sampai Merusak Lingkungan

Hampir 23 kabupaten/kota di Aceh termasuk daerah yang potensial untuk pengembangan komoditi Kakao, namun demikian masih perlu dilakukan survey kesesuaian lahan. Dengan demikian, akan tercipta keseimbangan lingkungan.

“Kecocokan lahan perlu di tinjau dari dua hal yang meliputi dari segi produksi dan ekonomis, seperti areal hutan produktif tidak boleh dijadikan untuk areal lahan kakao karena dinilai telah merugikan dan merusak ekosistem alam sekitar karena fakta dilapangan banyak areal hutan produktif digunduli secara massal”, begitu ujar Akademisi Universitas Abulyatama (Unaya), Banda Aceh Zulkarnaen, Rabu (21/5/2014).

Optimalisasi produksi perkebunan secara umum tidak mempertimbangkan harmonisasi lingkungan. Pada akhirnya juga, sejumlah habita margasatwa terganggu dan berujung pada konflik margasatwa dengan manusia.

Untuk itu dia berharap pemerintah dapat mengedepankan survey kelayakan lahan sehingga investasi di Aceh tidak membawa musibah.

“Karena ada beberapa daerah yang membuka areal lahan dengan sesuka hatinya tanpa memikirkan banyak pihak yang dirugikan,” pungkasnya.

Sumber: theglobejournal.com

read more
Ragam

Mahadewi Ikut Tanam Trembesi Pantura

Grup vokal Mahadewi mengaku peduli terhadap lingkungan. Makanya mereka mendukung program ‘Menanam Pohon Trembesi’ 1.350 Km dari Merak – Banyuwangi bersama Djarum Foundation.

“Kita sangat senang menanam pohon trembesi di kota Rembang. Ini merupakan bentuk kecintaan kita terhadap lingkungan,” tutur Anissa Nabila, personel Mahadewi, usai menanam pohon di Alun-alun Kota Rembang, Jawa Tengah, kemarin.

Anissa menjelaskan, dengan ikut kampanye lingkungan hidup berarti dirinya telah menyelamatkan pencemaran udara. “Pohon trembesi merupakan pohon yang bisa mengurangi polusi dengan menyerap karbondioksida dan mengeluarkan oksigen,” papar Anissa.

Grup vokal yang digawangi oleh Frischa Putri Yulisa, Lusi Sibarani dan Anissa Nabila ini akan terus ikut melestarikan lingkungan. Selain menanam pohon, Mahadewi juga tampil menghibur masyarakat Rembang dengan lagunya berjudul Sumpah I Love U, Satu-Satunya Cinta dan lainnya.

Jalur Pantura
Pihak Djarum Foundation mengatakan, mereka tidak hanya melakukan penanaman, namun juga perawatan selama 3 tahun terhadap 36.357 pohon trembesi yang nantinya tertanam di sepanjang jalur pantura Pulau Jawa.

“Dengan komitmen yang tidak pernah putus inilah, maka Djarum Trees For Life terus berusaha melakukan penanaman pohon dan ikut berperan serta dalam meningkatkan kualitas hidup masyarakat,” tandas F.X Supanji, Vice President Director Djarum Foundation. []

Sumber: poskotanews.com

read more
Green Style

Serangga Bisa Jadi Pangan Ramah Lingkungan

Konferensi ‘Serangga sebagai Pangan Dunia’ telah digelar 14-17 Mei lalu. Lebih dari 450 peneliti dan delegasi dari lembaga internasional mengikuti acara yang digelar di Ede, Belanda, ini.

Menurut Arnold van Huis, profesor di Wageningen University, Belanda, ada 2.000 jenis serangga yang bisa dikonsumsi. “Serangga adalah peluang dan pasar besar,” ujarnya, seperti ditulis AFP (14/05/2014).

Mei tahun lalu, Badan Pangan dan Pertanian (FAO) PBB mengatakan bahwa serangga bukan hanya penting sebagai sumber vitamin dan asam amino, tapi juga berdampak baik bagi lingkungan.

Belalang, semut, cacing, ulat, dan jenis serangga lain bisa jadi langkah yang aman dan murah untuk memberi makan jutaan orang di dunia di tengah kerusakan lingkungan dan meledaknya populasi.

FAO memperkirakan, dunia perlu meningkatkan produksi pangan hingga 70% pada 2050 untuk memenuhi kebutuhan populasi global sebanyak 9 miliar jiwa.

Produksi pakan hewan kini bersaing dengan makanan manusia dan produksi bahan bakar dalam memperebutkan sumber daya alam seperti lahan dan air. Namun, 70% lahan agrikultur di dunia sudah diperuntukkan secara langsung maupun tak langsung untuk produksi daging.

Serangga sudah mulai digunakan sebagai pakan ternak. Satu ton tepung lalat black soldier hanya menghabiskan biaya $1.000 (Rp 11,5 juta) dibanding pakan ikan seharga $13.000 (Rp 149,5 juta). Di beberapa restoran, seranggapun mulai dijadikan konsumsi manusia.

Namun, kata van Huis, ini baru permulaan. Ketertarikan masyarakat kini berkembang sangat cepat. “Bicara soal pakan ternak, serangga akan segera menjadi populer. Namun untuk konsumsi manusia, butuh 5-10 tahun,” ujarnya.

Paul Vantomme yang menangani program konsumsi serangga di FAO menilai perlunya diversifikasi pangan. Pasalnya, 90% produksi kedelai bergantung pada Argentina, Brazil, dan Amerika Serikat. Sementara itu, setiap tahun 12 juta ton ikan dikeruk dari lautan sebelum diolah menjadi pakan ternak. Langkah ini tentu tak berkelanjutan bagi lingkungan.

Di lain pihak, serangga hanya menyumbang jejak yang sangat sedikit dalam emisi karbon dan penggunaan air jika dibandingkan sumber makanan konvensional. Risiko serangga menularkan penyakit ke manusia juga lebih rendah dibanding beberapa jenis hewan ternak.

Serangga memiliki efisiensi konversi pangan yang tinggi karena berdarah dingin. “Rata-rata serangga bisa mengonversi dua kg pakan menjadi satu kg massa serangga, sedangkan hewan ternak memerlukan delapan kg pakan untuk menghasilkan satu kg pertambahan berat badan hewan,” jelas FAO.[]

Sumber: detik.com

read more
Perubahan Iklim

Pulau-pulau Kecil Indonesia Terancam Tenggelam

Yayasan Keanekaragaman Hayati Indonesia (Kehati) mengatakan, keberadaan pulau-pulau kecil di Indonesia yang kaya potensi terancam perubahan iklim dan pemanfaatan yang merusak.

“Pemanasan global yang mengakibatkan cairnya es di kutub dan akhirnya membuat muka laut menjadi lebih tinggi dapat menenggelamkan pulau-pulau kecil di Indonesia,” kata Program Officer Ekosistem Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil Yayasan Kehati Basuki Rahmad di Jakarta, Kamis (22/5).

Seperti diberitakan Antara, pemanasan global juga memberi dampak pada kerusakan terumbu karang yang sangat rentan pada perubahan suhu di laut.

Kondisi itu, katanya, diperburuk dengan kerusakan yang diakibatkan kegiatan manusia. Padahal proses pertumbuhan terumbu karang rata-rata satu sentimeter untuk setiap tahunnya. Jika kerusakan menimpa lima meter terumbu karang, maka pemulihannya bisa mencapai waktu 500 tahun.

Terumbu karang merupakan organisme yang sangat penting bagi pulau-pulau kecil sebagai benteng bagi pantai atau pulau dari gerusan arus laut. Jika tidak ada karang yang melindungi maka pengikisan pantai akan semakin cepat terjadi.

Selain itu, rusak atau hilangnya terumbu karang juga mempengaruhi produksi perikanan, sebab ikan melakukan pemijahan (mencampur jantan dan betina) di sekitar karang. Tanpa adanya karang, ikan-ikan ini akan pergi dan sulit untuk ditangkap.

Ancaman lain dari kegiatan manusia di antaranya reklamasi pantai serta berubahnya muka tanah di pulau-pulau kecil karena perkebunan dan pertambangan.

Selain itu, kata Basuki Rahmad, pulau-pulau kecil yang tersebar di seluruh Indonesia juga memiliki isu serius dari sisi kedaulatan negara. Masih banyak pulau-pulau berpenghuni yang belum mendapatkan perhatian serius dari pemerintah.

“Mereka merasa diambil sumberdayanya akan tetapi tidak mendapatkan imbal balik yang setimpal. Kekecewaan seperti ini tentunya mengancam kesatuan negara ini,” kata Basuki.

Bertepatan dengan Hari Keanekaragaman Hayati Dunia, 22 Mei 2014, Yayasan Kehati mengajak masyarakat Indonesia untuk peduli pada pulau-pulau kecil sesuai dengan tema tahun ini “island biodiversity”.

Sumber: merdeka.com

read more
Flora Fauna

Keberadaan Gajah di Aceh Semakin Terancam

Papa Genk. Nama itu kini hanya tinggal cerita atas ganasnya perilaku manusia terhadap gajah di hutan Aceh.Gajah dewasa berusia 30 tahun itu mati mengenaskan dengan kondisi leher putus setelah terjebak ranjau besi di Desa Ranto Sabon, Kecamatan Sampoiniet, Aceh Jaya, pada 13 Juli 2013. Gading Papa Genk seberat 25 kg (setara dengan Rp 250 juta) juga hilang diambil pembunuhnya. Kematian Papa Genk meninggalkan duka mendalam bagi Rosa dan Suci, istri dan anaknya. Kedua mereka berhari-hari “meratapi” kematian Papa Genk dalam perasaan getir. Kasus Papa Genk merupakan potret betapa buramnya nasib gajah-gajah di Aceh saat ini. Satwa yang dilindungi dan kerapa dipanggil dengan nama Po Meurah–bermakna “Raja Yang Mulia”–itu semakin terancam kehidupannya.

Sepanjang 2012-2014, setidaknya 22 ekor gajah ditemukan mati di hutan Aceh. Semua gajah ini mati dalam kondisi mengenaskan. Ada yang ditombak, diracun, masuk dalam jebakan maut, hingga dibunuh ramai-ramai. Kasus terakhir terjadi pada 11 April 2014. Seekor gajah kembali ditemukan tewas mengenaskan di kawasan hutan Desa Teupin Panah, Kecamatan Kawai IV, Kabupaten Aceh Barat yang terjerat perangkap pemburu gajah liar. Kepalanya putus dipotong mesin chainsaw dan kedua gadingnya lenyap.

“Selama ini tidak ada satu pun kasus kematian gajah yang terungkap dan pelakunya diadili. Kecuali hanya kasus kematian Papa Genk,” kata Communication Officer World Wildlife Fund (WWF) Perwakilan Indonesia, Chik Rini kepada Serambi, Sabtu (17/5/2014). Kasus kematian Papa Genk sempat mengundang perhatian serius Presiden Susilo Bambang Yudhoyono. SBY meminta diusut kasus itu. Polisi pun ketika itu menetapkan 14 orang sebagai tersangka.

Lembaga International Union for Conservation of Nature memasukkan gajah Sumatera (Elephant Maxiumus Sumatranus) ke dalam daftar binatang yang hampir punah karena penyusutannya sangat drastis. Pada 1985, gajah Sumatera masih berjumlah 5.000 ekor. Kini, jumlahnya tinggal 2.000-an ekor. Sedangkan WWF Indonesia melaporkan, pembunuhan gajah Sumatera cukup tinggi. Selama 2012, 14 gajah mati, sebagian besar diracun di perkebunan sawit. Peristiwa ini terjadi di Aceh Barat, Aceh Jaya, Aceh Selatan, Aceh Utara, Aceh Timur, dan Bireuen. Tahun 2013, tercatat sudah tujuh gajah mati di Aceh Utara, Aceh Jaya, dan Aceh Timur.

Tahun 1996, populasi gajah di Aceh, diketahui berkisar antara 600-700 ekor (hasil riset lembaga IUCN). Tapi kini tersisa hanya sekitar 400 ekor saja. Gajah-gajah itu, antara lain, tersebar di kawasan hutan Ulu Masen dan Kawasan Ekosistem Leuser (KEL). Padahal, jumlah gajah di Aceh sebelum tahun 2003-2004 masih sekitar 800 ekor. Communication Officer WWF-Indonesia, Chik Rini, menilai populasi gajah di Aceh semakin terancam menyusul banyaknya kasus kematian gajah. “Keberadaan gajah Sumatera saat ini sudah dalam status meningkat dari kritis menjadi terancam punah. Gajah di hutan Sumatera sudah berkurang 50 persen dalam sepuluh tahun terakhir. Jika pembunuhan gajah ini terus terjadi, maka 10 sampai 15 tahun ke depan gajah akan punah di hutan liar,” ujarnya.

Mengancam populasi
WWF Indonesia memetakan setidaknya ada tujuh wilayah yang dikategorikan sebagai “kantong gajah” di Aceh, yaitu: Bireuen, Bener Meriah, Aceh Jaya, Aceh Barat, Aceh Tenggara, Pidie, dan Aceh Timur. Untuk wilayah hutan Sumatera, Aceh merupakan benteng terakhir dari keberadaan populasi gajah hutan Sumatera, setelah Lampung dan Riau. Gajah di tingkat lokal kedua provinsi itu sudah punah.

Ironisnya, di wilayah kantong populasi gajah ini kerap dilaporkan banyak gajah yang mati. “Setiap kasus gajah mati ditemukan tidak ada lagi gading. Pelakunya juga kerap tidak tertangkap,” ujarnya.

Menurut Chik Rini, berkurangnya populasi gajah di Aceh terjadi seiring meningkatnya kerusakan hutan dan alih fungsi lahan hutan di Aceh dalam beberapa tahun terakhir. Pemerintah tidak menyiapkan tata ruang wilayah hutan yang baik sehingga banyak lahan hutan yang semestinya menjadi lahan konservasi diolah sebagai hutan produksi atau perkebunan. Akibatnya, banyak gajah masuk ke perkebunan rakyat atau area hutan produksi. Maka terjadilah konflik antara gajah dan manusia. Gajah-gajah yang merusak tanaman perkebunan dan pertanian,  kemudian dibunuh. Selain itu, pemerintah selama ini juga kerap tidak memperhatikan keberadaan gajah yang berada di luar wilayah konservasi.

Menurut Chik Rini, gajah merupakan hewan yang unik. Mereka butuh makan banyak dan hidup berkoloni dengan wilayah jelajah yang luas (home range). Namun faktanya, wilayah jelajah gajah ini telah diambil alih manusia dengan membuka lahan perkebunan sawit, karet dan lainnya. Terlebih, kata Chik Rini, gajah sangat menyukai sawit dan karet. Keberadaan kebun sawit dan karet mengundang gajah untuk masuk. Sehingga konflik antara gajah dan manusia tak terhindarkan. Ada manusia yang mati dibunuh gajah, maupun sebaliknya. “Manusia kemudian membenci gajah karena dianggap sebagai pengganggu yang mengancam jiwa,” ujarnya.

Padahal, kata Chik Rini, membuka lahan sawit dan karet atau sejenisnya di wilayah yang dijelajahi gajah adalah tindakan yang salah

Berkurangnya populasi gajah di Aceh juga disebabkan perburuan liar gading gajah. Hampir semua gajah mati sudah tanpa gading saat ditemukan. Diduga kuat kematian gajah di Aceh akibat perburuan gading gajah yang melibatkan mafia yang membentuk sindikasi. Di Aceh Barat polisi membekuk enam warga yang diduga terlibat dalam kasus pembunuhan gajah liar pada 15 April 2014. Kasus serupa juga terjadi di Kabupaten Aceh Jaya.

“Diduga memang ada sindikat perdagangan gading di Aceh. Mungkin bukan hanya gading, tapi juga kulit harimau,” tegas Chik Rini. Perdagangan gading gajah tergolong bisnis menggiurkan. Penelusuran Serambi, harga gading dengan panjang rata-rata 30 cm berkisar Rp 20 juta. Untuk 1 kg gading paling murah Rp 2,5 juta. Kalau perkiraan harga bisa sampai 5-10 juta/kg. Jika ada gading yang beratnya sekitar 25 kg, maka bisa menghasilkan uang Rp 250 juta.

Di pasar-pasar gelap Eropa, harganya bisa mencapai lebih dari satu miliar rupiah untuk satu gading berkualitas super. “Jumlah gajah yang terbunuh tanpa gading selama ini hanya beberapa kasus yang diketahui. Mungkin banyak gajah yang mati dibunuh di dalam hutan tidak diketahui masyarakat,” ujarnya.

Kepala Balai Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA) Provinsi Aceh Genman S Hasibuan kepada Serambi tidak menampik jika berbagai kasus kematian gajah di Aceh melibatkan para sindikat. Tindakan itu diancam pidana karena melanggar UU Nomor 5 Tahun 1990.

“Kalau tidak ada indikasi adanya perburuan gading, maka setiap gajah yang mati mestinya tetap utuh bersama gadingnya. Ini kan tidak logis. Untuk lebih detailnya, memang harus dilakukan pembuktian,” tegas Genman.

Menurutnya, konflik antara gajah dan manusia kerap menjadi dalih masyarakat membunuh gajah. Namun pada kenyataannya hal itu tidak selalu benar. Justru banyak faktor yang menyebabkan konflik itu terjadi. Salah satunya, habitat gajah sudah dirambah manusia dengan berbagai aktivitas perkebunan.

Menurut Genman, konflik antara manusia dan gajah harus ditangani bersama dengan melibatkan semua instansi karena hal itu sudah mencakupi masalah sosial ekonomi. “Soal adanya indikasi pembunuhan gajah untuk diambil gadingnya masih kami telusuri berkerja sama dengan polisi,” demikian Genman. []

sumber: serambinews.com

read more
1 2 3 4
Page 1 of 4