close

May 2014

Sains

Peneliti MIT Memanen Air dari Kabut Gurun Pasir

Di beberapa belahan di dunia, seperti di daerah gurun Chile, air merupakan komoditi yang sangat langka. Bekerja sama dengan salah satu universitas di negara tersebut, peneliti dari MIT tengah berupaya mendapatkan air di gurun dengan cara yang unik.

Memanen awan, terdengar seperti suatu hal yang mustahil, tapi hal ini tampaknya tidak berlaku untuk para peneliti dari salah satu universitas berbasis teknologi terbaik di dunia ini.

Menurut Engadget (16/5/2014), menggunakan teknologi baru berbentuk jala yang ditempatkan di alam terbuka, peneliti menegaskan telah berhasil ‘mengekstrak’ air dari kabut yang biasa melewati gurun Atacama. Gurun yang terletak di Chile ini adalah salah satu tempat terkering di dunia.

Peneliti MIT mengaku mendapatkan inspirasi untuk proyek ini setelah mempelajari tanaman dan hewan seperti rumput dan kumbang yang mampu menangkap air yang terkandung dalam kabut. Mereka juga telah membangun jala dalam ukuran besar untuk proses panen kabut ini.

Dengan teknologi fog-collecting atau pengumpulan kabut, mereka bisa mendapatkan 500 persen air lebih banyak di banding alat yang digunakan sebelumnya.

Meskipun penelitian ini masih dilaksanakan dalam skala kecil, tapi mereka sudah mampu menghasilkan setengah galon air menggunakan jala seluas kurang lebih 1 meter persegi. Air yang terkumpul ternyata sudah bisa digunakan untuk air minum hingga kegiatan bercocok tanam lidah buaya untuk ‘konsumsi’.

Menurut peneliti MIT, teknologi ini tergolong murah dan mudah untuk diterapkan karena hanya menggunakan bahan plastik ekonomis yang banyak tersedia di pasaran.

Untuk ke depannya, teknologi jaring-jaring kabut ini akan dikembangkan untuk dapat memanen tiga galon air per meter persegi.[]

Sumber: merdeka.com

read more
Flora Fauna

Orangutan Dianiaya Hingga Sekarat, Polisi Buru Pelaku

Polres Kutai Timur, Kalimantan Timur, segera menyelidiki temuan orangutan terluka yang diserahkan warga ke Balai Taman Nasional Kutai (TNK). Kapolres Kutai Timur Ajun Komisaris Besar Polisi Edgar Diponegoro menyatakan akan segera menurunkan satuan Reskrim, dan memerintahkan polsek di mana orangutan tersebut ditemukan untuk mengungkap penyebab satwa langka dan dilindungi itu mengalami kekerasan.

“Kami akan segera menurunkan satuan Reskrim dan meminta Polsek di mana orangutan itu ditemukan,” ungkap Edgar Diponegoro, Kamis (15/5). Demikian tulis Antara.

Polisi, lanjut AKBP Edgar Diponegoro, akan segera melakukan penyelidikan terkait ditemukannya orangutan terluka itu.

“Ini harus diungkap, sebab kekerasan terhadap orangutan tentu akan menjadi perhatian masyarakat, bukan hanya di Indonesia tetapi juga dunia internasional sebab hewan ini merupakan satwa lagka dan dilindungi. Kami akan melakukan penyelidikan untuk mengungkap siapa yang melakukan kekerasan itu,” tegas Edgar Diponegoro.

Sementara itu, Kepala Seksi Pengelolaan TNK Wilayah 1 Sangatta Hernowo Supriyanto yang juga dihubungi dari Samarinda, mengatakan “pongo pygmeaus morio” atau Orangutan Kalimantan itu mengalami luka yang sangat parah.

“Ternyata, di kaki kanannya ada luka dan sudah bernanah, sepertinya akibat ditembak atau ditombak. Telapak kaki kanan juga luka, sehingga sudah tidak bisa lagi memanjat. Cari urat saja untuk diinfus sulit dan dikasih makan juga susah mengunyah karena mulutnya hancur. Jadi, sangat sedih melehatnya,” ungkap Hernowo Supriyanto.

Orangutan terluka itu kata Hernowo Supriyanto diserahkan seorang warga Desa Separi Selatan, Kecamatan Bengalon, Kutai Timur, masih dalam kondisi terikat dan terluka itu pada Rabu (14/5).

“Kemarin (Rabu), kami menerima satu individu orangutan dari seorang pekerja sawit di Bengalon. Kondisi orangutan itu sangat lemah dan hampir mati, kaki dan tangan terikat, mulutnya robek, gigi dan gusinya hancur serta terdapat beberapa luka seperti luka bacok,” ungkap Hernowo Supriyanto.

Sementara warga yang menyerahkan orangutan terluka itu, Badrul Arifin, mengaku menemukan primata langka dan dilindungi itu sudah dalam kondisi terluka dan terikat.

“Awalnya, saya bingung mau bawa kemana sebab di Kutai Timur tidak ada kebun binatang. Namun yang saya tahu, ada TNK sehingga saya bawa ke Pos Sangkima. Wajar kalau warga marah sebab selama ini orangutan sering masuk ke kebun warga dan saya sempat mengingatkan warga agar tidak membunuhnya karena hewan itu dilundungi,” kata Badrul Arifin.

Selama ini kata warga tadi, kerap terlihat orangutan memasuki kebun warga, akibat tergerusnya habitat mereka oleh aktivtas perkebunan kelapa sawit dan tambang batubara.

“Mereka (orangutan) hanya mencari makan dan kerap terlihat pada pagi dan sore hari. Kadang, orangutan itu juga terlihat di sungai dan hutan. Warga banyak yang tidak tahu kalau orangutan itu dilindungi bahkan menganggapnya sebagai hama karena kerap mengganngu kebun mereka,” ungkap Badrul Arifin.

Sumber : merdeka.com

read more
Ragam

Balthasar Kunjungi Kawasan Pembuangan Limbah Rancaekek

Menteri Lingkungan Hidup Balthasar Kambuaya mengunjungi daerah terkena dampak pembuangan limbah industri tekstil di Kecamatan Rancaekek, Kabupaten Bandung, Jawa Barat, Rabu.

“Kita harus melakukan sinergi. Masyarakat harus bisa makan dan minum sehat termasuk memperoleh lingkungan sehat,” kata Balthasar di sela-sela kunjungannya ke Rancaekek.

Sebagaimana diberitakan, warga Rancaekek sempat mendesak Pemerintah Provinsi Jawa Barat agar mengatasi pencemaran sungai dari limbah industri di lingkungan mereka.

Polusi sungai tersebut memicu kerusakan lingkungan dan menjalar ke lahan pertanian milik warga setempat. Dengan begitu membuat ratusan hektare sawah, sumber air dan perikanan milik warga menjadi tidak produktif.

Pencemaran limbah industri itu melanda sejumlah sungai-sungai di kawasan Rancaekek seperti Sungai Cikijing, Cimande dan Cikeruh.

Diduga pencemaran sungai itu terjadi karena banyak pabrik yang membuang limbah tanpa mengolah terlebih dahulu. Padahal warga di kawasan tersebut bergantung pada sungai, di antaranya untuk pengairan pertanian, perikanan, sumber mata air dan untuk kebutuhan penunjang hidup lainnya.

Dengan pencemaran sungai tersebut membuat air sungai tidak mendukung untuk dimanfaatkan secara optimal oleh masyarakat. Berdasarkan pantauan Antara, sungai nampak hitam pekat yang mengindikasikan tidak ada daya dukung untuk kehidupan. []

Sumber: antaranews.com

read more
Kebijakan Lingkungan

Indonesia, Timor-Leste dan Australia Teken Perjanjian Kelautan

Sebuah kawasan tropis penting yang memainkan peran utama dalam sirkulasi laut dunia akan mendapatkan manfaat Deklarasi Kementerian yang ditandatangani hari ini. Para menteri dari Timor – Leste, Indonesia dan Duta Besar Australia untuk Indonesia mengesahkan Program Aksi Strategis regional yang akan mempromosikan pemulihan, konservasi dan pengelolaan ekosistem laut dan pesisir untuk lautArafura dan Timor – yang dikenal sebagai kawasan ATS .

Kawasan signifikan ini, yang menghubungkan Samudra Hindia dan Pasifik, memberikan mata pencaharian bagi jutaan orang dan memberikan kontribusi besar terhadap pangan domestik dan ekspor. Kawasan laut ini mempunyai ekosistem pesisir dan laut yang paling murni dan sangat terancam punah di dunia, menekankan kebutuhan mendesak untuk pengelolaan lintas batas.

Kedua laut juga memainkan peranan ekonomi dan ekologis penting di tiga negara yang berbatasan dengan mereka yaitu: Indonesia , Timor – Leste dan Australia . Kawasan ini sangat kaya akan sumber daya kelautan serta cadangan minyak dan gas.

“Kerjasama dan kolaborasi regional semacam ini sangat penting untuk melindungi dan mengelola sumber daya global yang berharga ini, ” kata Country Director United Nations Development Programme (UNDP), Beate Trankmann.

Deklarasi ini mendukung hal-hal utama yang berkaitan dengan lingkungan dalam Program Aksi Strategis regional tersebut, termasuk memulihkan dan mempertahankan perikanan; memulihkan habitat yang rusak; mengurangi polusi berbasis lahan dan sumber polusi laut ; melindungi spesies laut dan mendukung adaptasi terhadap dampak perubahan iklim di sektor terkait.

UNDP bekerja sama dengan kementerian terkait menyediakan keahlian teknis untuk membantu membentuk Program Aksi Strategis regional tersebut, mengumpulkan dana yang diperlukan untuk pelaksanaannya, dan akan mendukung pelatihan, kebijakan, tata kelola dan proyek berbasis masyarakat untuk melaksanakan program tersebut.

Deklarasi yang mendukung Program Aksi Strategis tersebut ditandatangani oleh Menteri  Kelautan dan Perikanan RI, Sharif Cicip Sutardjo; Menteri Pertanian dan Perikanan Timor -Leste, Dr. Mariano Assanami Sabino; dan Duta Besar Australia untuk Indonesia, Greg Moriarty.

Deklarasi ini juga menyetujui pembentukan sebuah mekanisme regional antara Pemerintah Indonesia, Republik Demokratik Timor Leste dan Pemerintah Australia untuk memastikan koordinasi dan kapasitas yang memadaiuntuk pengelolaan yang berkelanjutan dan terpadu di kawasantersebut. Pemerintah Indonesia telah berkomitmen untuk menyediakan Sekretariat Regional untuk mekanisme koordinasi ini di Bali.[]

read more
Hutan

Indonesia Masih Kesulitan Kelola Hutan Hujan Alami

Meski ada larangan penebangan, hutan-hutan alami terus dibabat untuk industri, sebagian karena lemahnya penegakan hukum dan korupsi yang merajalela. Indonesia adalah tempat dengan wilayah hutan hujan tropis terbesar di dunia, dan memiliki salah satu tingkat deforestasi tertinggi. Saat ini, tanda-tanda kemajuan telah terlihat dalam upaya untuk menyeimbangkan pertumbuhan ekonomi dengan konservasi hutan hujan alami.

Pada dekade-dekade terakhir, jutaan hektar hutan Indonesia telah hilang lewat penebangan ilegal dan pembukaan perkebunan untuk industri-industri kayu, pulp dan kertas serta minyak kelapa sawit.

Pada 2010, pemerintah Norwegia dan Indonesia menandatangani kontrak 1 miliar dolar untuk memberlakukan moratorium pembukaan lahan gambut dan hutan alami. Perjanjian itu dilihat sebagai cara untuk membantu Indonesia memenuhi tujuan ambisius untuk mengurangi emisi karbon sampai 26 persen pada 2020.

Namun meski ada larangan tersebut, hutan-hutan alami terus dibabat untuk industri, sebagian karena lemahnya penegakan hukum dan korupsi yang merajalela. Selama bertahun-tahun para ilmuwan dan ahli lingkungan telah kesulitan meyakinkan daerah-daerah di Indonesia bahwa perlindungan hutan adalah kepentingan jangka panjang mereka.

Ilmuwan Eric Meijaards mengatakan pesannya sudah mulai menyebar karena orang-orang menyadari ada biaya ekonomi tinggi dalam menghancurkan hutan. Selama bertahun-tahun, Meijaard telah melakukan pemetaan persepsi orang mengenai kehancuran hutan di Kalimantan.

Beberapa perusahaan besar yang beroperasi di industri kelapa sawit dan pulp dan kertas di Indonesia baru-baru ini telah berkomitmen atas “deforestasi nol,” sementara pemerintah juga mulai menghukum perusahaan-perusahaan yang secara ilegal menebang dan membakar hutan.

Fadhil Hasan, direktur eksekutif Asosiasi Kelapa Sawit Indonesia, mengatakan meski keberlanjutan tidak akan terjadi semalam, industri kelapa sawit sedang berjalan ke arah yang benar. Sebagai awal, Standar Kelapa Sawit Berkelanjutan Indonesia (ISPO), akan menjadi wajib pada akhir tahun ini.

Rukka Sombolinggi dari Aliansi Rakyat Nusantara mengatakan pemerintah telah lambat mengimplementasikan keputusan pengadilan. Seiring berjalannya proses rumit dalam memetakan hutan adat, pemerintah terus memberikan kontrak di wilayah hutan lindung, ujarnya.

“Masalahnya sekarang adalah karena hak kita tidak diakui dan dilindungi secara khusus, sangat mudah bagi pemerintah untuk memberikan izin terhadap sektor swasta, perusahaan swasta, tanpa menyadari bahwa ada suku asli tinggal di sana,” ujar Rukka.

Akibat pembabatan hutan secara signifikan, Indonesia adalah penghasil emisi gas rumah kaca terbesar ketiga di dunia setelah China dan Amerika Serikat.

Sumber: voaindonesia.com

read more
Ragam

Membangun Agama Ramah Lingkungan

Republik ini memang negeri multibencana. Setelah bencana yang satu berlalu, datang bencana baru. Saat kemarau tiba, kekeringan dan kebakaran hutan melanda, kini di musim hujan, datang banjir bandang dan tanah longsor di mana-mana. Ketika Jakarta dan Menado dilanda banjir, tidak sedikit yang menganggapnya sebagai ‘takdir’ Tuhan.

Kenapa Tuhan selalu ‘dikambinghitamkan’ setiap terjadi malapetaka. Hampir tidak pernah kita menuduh diri kita sendiri sebagai subjek yang bertanggung jawab terhadap malapetaka dan bencana tadi. Karena adanya keyakinan bahwa setiap malapetaka sebagai ‘siksa’ atau ‘cobaan’ dari Tuhan, maka setiap kali terjadi peristiwa yang menyayat kalbu itu, yang dilakukan umat beragama adalah berdoa, mohon ampun, istighotsah, menggelar zikir nasional sambil berderai air mata dan begitu seterusnya.

Saya tidak bermaksud meremehkan aktivitas ritual batin semacam ini, akan tetapi ‘terapi spiritual’ jenis ini, hemat saya, di samping merendahkan (bahkan ‘mengolok-olok’) martabat Tuhan karena menganggap-Nya sebagai zat yang ‘Maha Buas’, juga dengan cara demikian berarti kita seolah hendak ‘cuci tangan’, melepaskan tanggung jawab dari musibah kemanusiaan itu.

Padahal, jika kita menggunakan perspektif Schumacher dalam A Guide for The Perplexed, masalah krisis lingkungan ini sangat terkait dengan krisis kemanusiaan, dengan moralitas sosial serta krisis orientasi kita terhadap Tuhan. Mengikuti kerangka berpikir Schumacher ini, maka seharusnya manusia yang dipersalahkan dan bukannya Tuhan. Kitalah yang melakukan berbagai tindakan destruktif terhadap alam semesta, sehingga alam pun ‘marah’ dan ‘mengutuk’ kita dengan banjir, tanah longsor, dan sebagainya.

Perusakan lingkungan, penebangan liar, illegal loging, eksploitasi properti alam secara besar-besaran dan segala tindakan merusak alam lain merupakan ‘sumber’ malapetaka dan bencana tadi. Bukankah Alquran sendiri juga telah mengingatkan bahwa, “Kerusakan di darat dan laut adalah akibat ulah manusia yang tidak bertanggung jawab” ?

Jika Alquran sendiri menganggap manusia sebagai mastermind dari kerusakan lingkungan, lalu kenapa kita justru menyalahkan Tuhan? Bukankah, kita umat manusia – jika mengikuti alur cerita kitab suci Agama Semit – pada dasarnya ‘terlempar’ ke dunia yang gersang dan tandus ini juga akibat kecerobohan Adam yang tidak mengindahkan ajaran fundamental Tuhan, yakni kearifan ekologis? Sebab, Adam dan Hawa telah memakan dan merusak pohon kekekalan (buah kuldi).

Wawasan Teologi
Beberapa masalah di atas yang menimpa hampir semua agama adalah sangat terkait dengan wawasan teologis umat beragama itu sendiri. Dalam perspektif Islam, wawasan teologis yang dibangun selama ini hanyalah hal-ihwal yang berkaitan dengan dunia akhirat, kurang memberi respons proporsional mengenai masalah keduniaan.

Wawasan teologi umat Islam memandang masalah ibadah hanyalah yang berhubungan dengan ruang privat (bukan ruang publik). Bahwa pahala dan dosa dipandang hanya berkaitan dengan moralitas individual (bukan moralitas sosial). Bahwa ibadah yang fardlu ‘ain hanyalah yang berkenaan dengan ritual-individual (bukan sosial-komunal), dan seterusnya.

Pemahaman demikian hampir-hampir sudah menjadi bagian yang tak terpisahkan dari dunia kaum muslim: agama sudah menjadi bagian dari kebudayaan umat Islam. Inilah kira-kira yang dimaksud Emile Durkheim ketika ia berteori bahwa agama dan masyarakat merupakan dua entitas yang tidak bisa dipisahkan.

Pemikiran demikian tentu saja sangat sulit untuk ditembus dan dilawan. Padahal jika kita teliti dengan cermat, pemahaman keislaman seperti tadi merupakan produk dari pemahaman atau wawasan keislaman yang dibentuk masa imperium Islam (monarki Islam) klasik-skolastik, bukan berangkat dari semangat dan wawasan keislaman yang diusung Nabi Muhammad SAW, dan juga tidak dibangun dari cita-cita etik Alquran.

Kita tahu watak, semangat, dan mentalitas sebuah monarki adalah stabilitas. Logika stabilitas selalu menempati urutan pertama dari sebuah rezim politik, bukan keadilan, persamaan, kemaslahatan, kecerdasan, dan seterusnya.

Sementara spirit profetik dan cita-cita etik Alquran adalah terciptanya sebuah sistem atau tatanan kehidupan yang demokratis dalam segala hal, termasuk demokratis terhadap alam. Ini sejalan dengan cita-cita Islam yakni rahmatan lil alamin (rahmat bagi sekalian alam). Kata alam di sini jelas bukan hanya mahluk hidup seperti manusia dan binatang, tetapi juga alam semesta.

Sayang, pemahaman dan watak demokratis Islam yang ramah lingkungan ini tidak merembes menjadi living tradition-meminjam istilah Seyyed Hosein Nasr-dalam masyarakat Islam pasca kenabian. Bahkan, tragisnya para ulama fikih tidak menjadikan masalah ekologi sebagai bagian dari maqashid al-syari’ah, yakni tujuan disyariatkannya Islam. Imam Syathibi, misalnya, dalam kitabnya yang sangat populer, Al-Muwafaqat, merumuskan maqashid al-syari’ah menjadi lima hal: menjaga atau memelihara agama (hifdz al-din), menjaga jiwa (hifdz al-nafs), memelihara akal (hifdz al-aql), memelihara harta (hifdz al-mal) dan memelihara keturunan (hifdz al-nasl).

Ada yang menambahkan memelihara martabat (hifdz al-’irdh). Pendapat ini yang terus-menerus dijadikan sebagai pegangan dalam berijtihad untuk memecahkan masalah sosial-kemanusiaan. Sementara masalah lingkungan luput dari perhatian ulama fikih dan umat Islam tentunya. Mungkin hanya Yusuf Qardlawi yang menjadikan pemeliharaan lingkungan (hifdz al-‘alam) sebagai bagian dari maqashid al-syari’ah. Itupun sangat tidak populer bahkan dianggap kontraproduktif.

Di sinilah perlunya melakukan restorasi nalar pemikiran keislaman. Ada dua hal yang harus dilakukan. Pertama, menjelaskan hikmah perennial Islam tentang tatanan dan struktur alam, signifikansi religius, dan kaitan eratnya dengan setiap fase kehidupan manusia. Kedua, menumbuhkan dan mengembangkan kesadaran ekologis yang berspektif teologis atau membangun teologi yang berbasis kesadaran dan kearifan ekologis. Dalam konteks ini, maka para ulama fikih harus berani melakukan terobosan penting mengenai pemahaman keislaman yang digali langsung dari teks-teks otoritatif utama Islam: Alquran dan Alsunnah.

Walhasil, bahwa bencana alam bukanlah sebuah takdir Tuhan akan tetapi berkaitan erat dengan masalah moral manusia. Karena itu, jika Republik ini ingin bebas banjir maka seluruh komunitas agama memiliki tanggung jawab untuk berteriak tentang pentingnya pemeliharaan lingkungan dan bahaya pengrusakan alam bagi kehidupan ekosistem kita, bukan malah cuci tangan dan menganggapnya sebagai takdir Tuhan belaka. Saatnya membangun agama yang ramah lingkungan. Semoga.

Sumber: padangekspress.com

read more
Kebijakan Lingkungan

Puluhan Demonstran Anti Proyek Limbah Ditangkap

Polisi di China mengatakan telah menangkap sedikitnya 53 orang terkait demonstrasi lingkungan hidup yang berubah menjadi aksi kekerasan hari Sabtu (10/5/2014). Demonstrasi itu menentang rencana pembangunan sebuah tempat pembuangan limbah besar di kota Hangzhou Timur.

Dalam pernyataan yang rilis hari Senin (12/5/2014), polisi di Hangzhou mengatakan tujuh demonstran lainnya telah ditangkap karena “menyebarluaskan isu” tentang hal tersebut di situs-situs media sosial.

Demonstrasi di Hangzhou menjadi aksi kekerasan ketika pihak berwenang berupaya membubarkan demonstrasi tersebut. Sedikitnya 10 demonstran dan 29 polisi luka-luka dalam konfrontasi itu. Kantor berita resmi Xinhua mengatakan lebih dari 30 mobil dijungkirbalikkan.

Para pejabat mengatakan mereka akan mengupayakan dukungan publik bagi pembangunan proyek pembuangan limbah itu sebelum berupaya membangunnya.

Demonstrasi ini bukanlah aksi besar pertama menentang proyek-proyek industri di China, dimana banyak kota diselimuti kabut tebal hampir sepanjang tahun.
Sumber: voaindonesia.com

read more
Hutan

Tuntutan Kepada Direktur PT Kalista Alam Terlalu Ringan

Tim Koalisi Penyelamatan Rawa Tripa (TKPRT) menyambut baik atas kemajuan proses penegakan hukum terhadap PT. Kallista Alam (KA) pelaku pembukaan Lahan tanpa izin yang saat ini telah sampai pada penyempaian tuntutan Jaksa Penuntut Umum, namun TKPRT menilai tuntutan ini terlalu ringan dibandingkan dengan dampak kerusakan alam yang ditimbulkan paska pembukaan lahan di rawa gambut tripa tersebut. Dampak ekologis sering kali di abaikan dalam penegakan hukum lingkungan selama ini.

“Gugatan Pidana terhadap PT Kalista Alam Perkara no 132/pid.B/2013/PN MBO tentang pembukaan Lahan tanpa izin yang melanggar UU NO 18 tahun 2004 tentang perkebunan dituntut oleh Jaksa Penuntut Umum dari kajari Suka Makmur, Kabupaten Nagan Raya atas nama terdakwa Subianto Rasyid selaku Direktur PT Kalista Alam dengan tuntutan 10 Bulan dan denda 150 Juta dengan Subsider kurungan selama 3 bulan,”ujar Juru Bicara TKPRT Fadillah Ibra dalam siaran persnya kemarin.

Selain itu, dengan tuntutan seperti itu, sama sekali belum memberikan efek jera bagi para pelaku kejahatan lingkungan.

PT KA terindikasi telah melanggar UU Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup dan UU Nomor 18 Tahun 2004 tentang Perkebunan karena beroperasi tanpa izin. Termasuk telah melanggar UU No. 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Hayati dan Ekosistemnya karena beroperasi di Kawasan Ekosistem Leuser yang berstutas sebagai Kawasan Strategis Nasional. Jika mengacu pada Pasal 108 tentang pembakaran hutan dan lahan, tuntutan minimalnya seharusnya 3 hingga 10 tahun penjara dan denda 3 hingga 10 milyar rupiah. Untuk itu diharapkan kepada Jaksa untuk menelaah kembali tuntutanya tersebut.

Dari tuntutan JPU tersebut sangatlah ringan jika dibandingkan dengan tuntutan yang termuat didalam UU  perkebunan yakni  dengan hukuman maksimal mencapai 5 tahun penjara dan denda  2 Milyar Rupiah,  begitu juga dengan UU Konservasi. Sedangkan dari Tuntutan yang di berikan oleh JPU tidak mencapai setengahnya, hal ini dikhawatirkan tidak akan menimbulkan efek jera kepada pelaku perusakan lingkungan.

Seharusnya JPU menuntut pelaku minimal setengah dari maksimal tuntutan yang berlaku didalam UU, sehingga akan menimbulakn efek jera yang nantinya akan menjadi pengalaman bagi pelaku lainnya.

Dalam hal ini TKPRT meminta agar Pemerintah Aceh Segera menetapkan Kawasan 1.605 eks IUp-B PT kalista Alam agar segera Ditetapkan menjadi Kawasan Konservasi daerah, mengingat sejak pencabutan IUP-B terhadap kawasan tersebut dari akhir tahun 2011 hingga kini belum ada tindak lanjut dari pemerintah daerah, hal ini sangat di khawatirkan akan menjadi sumber konflik baru.[rel]

read more
1 2 3 4
Page 2 of 4