close

26/06/2014

Sains

Indonesia Gunakan Teknologi Tambak Ramah Lingkungan

Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) berkomitmen untuk menjadikan komoditi udang sebagai penghasil devisa negara. Setelah berhasil mengembangkan budidaya udang super intensif, kini model tambak udang Eco-Culture Vaname Estate, yaitu tambak udang ramah lingkungan bakal dikembangkan.

Sistem ini memadukan tambak teknologi super intensif dengan unit pembesaran, unit pengolahan air, unit pengolahan udang dan unit pendukung seperti gudang dan pemukiman petambak. Menteri Kelautan dan Perikanan, Sharif C. Sutardjo mengatakan sejalan dengan keberhasilan yang telah diraih, maka Indonesia dinilai telah mampu menguasai teknologi tambak udang yang ramah lingkungan.

“Prospek pengembangan tambak dengan teknologi super intensif menjadi peluang untuk mencapai peningkatan produksi udang nasional,” ujar Sharif melalui siaran pers yang diterima Investor Daily, Jakarta, Kamis (26/6).

Ia menerangkan salah satu perencanaan strategis yang lahir dari penelitian ini adalah konsep pengembangan Eco-Culture Vaname Estate. Salah satu hasil penelitian pada kawasan dengan kriteria layak produksi udang Vaname yang telah dipanen sebanyak tiga kali yaitu pada pemeliharaan hari ke 70, 90 dan hari ke 105.

Panen total dilakukan tanggal 25 Juni 2014 bertempat di lokasi penelitian Instalasi Tambak Percobaan Balai Penelitian dan Pengembangan Budidaya Air Payau (BPPBAP). Letaknya di Desa Punaga, Mangarabombang, Kabupaten Takalar, Sulawesi Selatan.

Total produksi dari tiga kali panen dengan tiga petak kepadatan 750 ekor/m2; 1.000 ekor/m2; 1.250 ekor/m2diestimasi sebesar 37 ton udang Vaname.

“Kinerja ini tentu menjadi prospek cerah bagi dunia usaha akuakultur karena pada tambak ukuran 1000 m2 didapatkan produksi yang besar,” ujar Sharif.

Kegiatan penelitian strategis dengan pengembangan budidaya udang Vaname super intensif di tambak kecil atau Small Scale Intensive Farm, sangat tepat untuk terus dikembangkan. Teknologi budidaya ini memiliki ciri luasan petak tambak sekitar 1.000 m2, kedalaman air > 2 m, padat penebaran tinggi, produktivitas tinggi, beban limbah minimal serta dilengkapi dengan tandon air bersih dan petak pengolah limbah budidaya.

“Inisiasi sistem akuakultur ini menjadi harapan pertumbuhan ekonomi bangsa melalui peningkatan produksi yang berdaya saing”, ujar Sharif.

Ia menjelaskan, pengembangan tambak dengan teknologi super intensif dengan labelEco-Culture Vaname Estate menitikberatkan pada prinsip akuakultur berkelanjutan dengan pendekatan blue economy. Dimana produksi yang tinggi dengan memanfaatkan ruang budidaya yang kecil harus menjamin kelestarian lingkungan hidup khususnya perairan pesisir dan laut bagi keberlanjutan usaha akuakultur yang berdaya saing tinggi.

BPPBAP telah mengkaji estimasi beban limbah pada budidaya udang vaname super intensif. Hasil penelitian menunjukkan karakteristik air limbah khususnya untuk variabel Fosfat, Bahan Organik Total, Padatan Tersuspensi Total telah melebihi ambang batas standar buangan air limbah budidaya udang.

Oleh karena itu menjadi kebutuhan dalam penerapan teknologi super intensif ini adalah Instalasi Pengelolaan Air Limbah(IPAL). Salah satu upaya yang dilakukan adalah pembangunan tandon air limbah yang terdiri dari kolam pengendapan, oksigenasi, biokonversi dan penampungan.

“Dengan adanya sistem tandon air limbah ini, maka buangan air limbah akan diolah sehingga kualitasnya berada pada kisaran yang dipersyaratkan,” jelas Sharif.

Sharif menegaskan, teknologi super intensif dapat dikembangkan dengan prasyarat adanya IPAL yang menjadi satu kesatuan sistem yang holistik. Meliputi proses pembesaran udang dan proses pengolahan buangan air limbah.

Apalagi potensi dampak akuakultur superintensif yaitu degradasi ekosistem dan penurunan biodiversitas pesisir akibat buangan limbah yang tidak dikelola ke perairan pesisir membawa pengkayaan nutrien, peningkatan bahan organik dan sedimentasi.[]

Sumber: beritasatu.com

read more
Hutan

FFI Gunakan Drone Pantau Hutan Aceh

Foto dan video udara yang dihasilkan oleh pesawat tanpa awak atau drone jadi referensi antara lain untuk penanggulangan konflik satwa, pengendalian kebakaran hutan maupun pemantauan lokasi bencana alam.

Biasanya pesawat diterbangkan di wilayah hutan untuk memantau kondisi tutupan hutan dan pergerakan satwa. Penerbangan di kawasan hutan juga berbahaya karena kondisi permukaan tanah yang tidak datar. Area pendaratan pesawat juga kadang sulit ditemui.

“Kami sudah berpuluh kali terbang di Cagar Alam Jantho serta beberapa tempat lain di Aceh. Mulanya, pesawat ini diterbangkan untuk memantau konflik gajah dengan manusia. Banyak gajah yang mengganggu kebun-kebun petani, tapi jarang yang mendapat informasi ke mana arah perginya gajah setelah merusak kebun,” papar staf FFI, Munirwan.

Dia menambahkan kalau tidak tahu ke mana arah perjalanan gajah, maka kita tidak dapat melakukan langkah antisipasi. Dengan mengetahui itu, biasanya masyarakat dan pemerintah dapat segera menghempang pergerakan gajah dan mengarahkannya kembali ke dalam hutan.

Namun sayangnya informasi drone belum terkoneksi dengan baik dengan sistem penanganan konflik satwa. Butuh upaya lebih untuk meyakinkan pemerintah agar dapat menangani konflik satwa secara menyeluruh.

Drone terbang melintasi perbukitan | Foto: Syafrizaldi
Drone terbang melintasi perbukitan | Foto: Syafrizaldi

Kalau sudah terbang, lanjut Munirwan, seringkali drone mendapatkan foto-foto udara yang menarik disimak. Tak jarang juga drone membawa pulang foto bekas pembalakan, pembukaan hutan untuk dijadikan tambang terbuka atau kebun, bahkan bekas kebakaran.

Informasi seperti ini penting bagi banyak pihak untuk memahami lebih jauh apa yang terjadi dengan habitat satwa liar. Setidaknya, foto-foto udara ini akan menjadi rujukan bila akan melakukan penanganan konflik satwa, penanganan kebakaran hutan, perambahan dan penegakan hukum.

Pada penerbangan di Krueng Raya, Aceh Besar, 19 Juni yang lalu, Munirwan mendapatkan foto dan video pantauan udara yang menggambarkan kondisi tutupan lahan kering.

Video drone menangkap bekas pembukaan lahan di Aceh Jaya | Foto: Dok. FFI IP Aceh)
Video drone menangkap bekas pembukaan lahan di Aceh Jaya | Foto: Dok. FFI IP Aceh)

Daerah ini memang dikenal dengan kegersangannya. “Tapi informasi ini akan bermanfaat kalau banyak pihak mau bekerja untuk melakukan perbaikan kondisi lahan,” imbuhnya.

Sebelumnya, Munirwan juga melakukan penerbangan di Pidie untuk memantau kondisi pasca gempa bumi pada November tahun lalu. Menurutnya, kerusakan akibat gempa juga dapat dipantau melalui udara.

Hasil pemantauan ini bermanfaat untuk menentukan lokasi mana saja yang membutuhkan penangan mendesak ketika jalur darat tidak bisa ditempuh.

Penggunaan drone sebagai alat bantu pemantauan udara tentunya tidak memerlukan biaya mahal. Pemerintah bisa menyediakan peralatan ini dan melatih pegawai untuk mengoperasikannya.  []

Sumber: NGI

read more
Perubahan Iklim

Melindungi Hutan Taiga Mongolia

Perlindungan Taiga di Mongolia didukung lembaga bantuan Jerman. Proyek ini menyusun aksi bagi adaptasi perubahan iklim, termasuk menghasilkan tenaga ahli terdidik untuk mewujudkan program itu.

Mula-mula semua cabang pohon harus digergaji. Setelah itu Enkzaya menebang pohonnya.Teman-teman sekolahnya membantu perempuan berusia 27 tahun itu. Sejak seminggu lalu, mereka belajar memilih pohon mana yang harus ditebang, bagaimana membuat jalur pencegah kebakaran dan manajemen kehutanan.

Enkzaya Enkhbat, yang belajar perlindungan kehutanan menceritakan: “Bekerja di luar bagi saya amat menyenangkan. Menebang pohon tidak susah. Banyak yang berpendapat, pekerjaan semacam ini hanya untuk lelaki. Tapi saya juga mempelajari, kerja di hutan cocok bagi perempuan. Pasalnya, kerjanya bukan hanya menebang pohon, melainkan juga membersihkan hutan.”

Hutan itu berada di utara Mongolia, tepatnya di Provinsi Selenge, sejarak 200 Kilometer dari ibukota Ulan Bator. Di hutan untuk pelatihan ini tumbuh cemara, pinus dan berk. Beberapa bulan sekali, para siswa sekolah kehutanan dari Dsüüncharaa datang untuk praktik di sini.

Di pegunungan Selenge dimulai zona Taiga Siberia. Ini perbatasan zona bagian selatan, yang kini terus bergeser ke utara. Pelahan tapi pasti hutan di sini musnah. Penyebabnya antara lain: perubahan iklim. Akibat suhu yanng makin hangat, tanah Permafrost mencair. Kelembaban naik drastis, yang memicu busuknya akar dan dampaknya: pohon mati sedangkan fauna liar di hutan kehilangan habitatnya.

Enkzaya Enkhbat,menjelaskan, “Hutan di Mongolia amat indah, karena masih alami. Beragam flora dan fauna hidup di sini. Saya bahagia hidup di sini, dan tidak ingin tinggal di kota. Juga jika saya diberi kesempatan, ketimbang melihat kota, lebih baik mengunjungi seluruh hutan di Mongolia. Di kota saya tidak akan bahagia.”

Energi dari kayu?
Yang dimaksud kota oleh Enkzaya adalah ibukota Ulan Bator. Sekitar separuh dari total populasi 2,8 juta warga Mongolia hidup di ibukota. Semua warga di sini perlu kayu, sebagai sumber energi dan bahan baku pembuatan rumah. Ekonomi negara itu kini menggeliat.

Terutama industri bahan mentah yang mendorong konjungktur. Pertambangan emas misalnya, menggunakan air dalam jumlah besar untuk produksinya. Dampaknya: udara makin kering. Kebakaran hutan makin sering terjadi. Aktivitas manusia, menjadi penyebab berikutnya bagi musnahnya Taiga.[]

Sumber: dw.de

read more