close

July 2014

Perubahan Iklim

Permukaan Samudera Pasifik Semakin Tinggi

Permukaan air laut terus naik di Samudra Pasifik di lepas pantai Filipina dan Australia Timurlaut karena manusia terus mengubah iklim, demikian  studi baru yang diungkapkan pada Rabu (23/7/2014).

Para peneliti menggabungkan data permukaan air laut belakangan ini yang dikumpulkan dari satelit dan tradisional untuk mengetahui seberapa banyak fenomena iklim yang terjadi secara alamiah dan disebut Pacific Decadal Oscillation (PDO) mempengaruhi pola kenaikan permukaan air laut di Pasifik.

PDO adalah pola temperatur di Samudra Pasifik, yang berlangsung rata-rata 20 sampai 30 tahun dan memberi pengaruh penting pada kecenderungan permukaan air laut.

Tim penelitian itu mereka ulang  permukaan air laut sejak tahun 1950.

Lalu, mereka menyisihkan dampak PDO sehingga bisa lebih memahami pengaruhnya pada peningkatan permukaan air laut di Pasifik saat ini.

“Anggapan selama ini ialah jika PDO dihilangkan dari persamaan, maka tidak ada kenaikan air laut ini di beberapa bagian Pasifik,” kata peneliti utama studi itu Asisten Profesor Benjamin Hamlington dari Colorado University di jejaring universitas tersebut.

“Tapi, kami mendapati bahwa kenaikan permukaan air laut di lepas pantai Filipina dan Australia Timurlaut tampaknya anthropoganic (disebabkan oleh manusia) dan akan terus berlangsung tanpa osilasi ini,” katanya.

Tim tersebut memperkirakan daerah samudra di dekat Filipina dan Australia Timurlaut naik sekitar satu sentimeter per tahun akibat pemanasan yang disebabkan oleh manusia.

Walaupun pola permukaan air laut tidak secara geografis seragam –kenaikan permukaan air laut di beberapa daerah berkaitan dengan turunya permukaan air laut di daerah lain– rata-rata kenaikan permukaan air laut global ialah tiga militer meter per tahun.

Beberapa ilmuwan memperkirakan permukaan air laut global mungkin naik sekitar satu mata atau lebih hingga akhir abad ini sebagai akibat dari pemanasan rumah kaca, kata para peneliti tersebut.

Studi baru itu memperlihatkan para ilmuwan mungkin bisa meneliti samudra lainnya guna mengukur dampak akibat ulah manusia, kata Hamlington.

“Jenis penelitian ini mungkin mulai mengungkapkan pola yang mungkin tidak kita duga,” katanya.[]

Sumber: antaranews.com

read more
Sains

Ilmuan Temukan Baterai Organik Bebas Kimia

Kini telah ditemukan baterai tanpa menggunakan logam atau bahan beracun. Baterai ini diciptakan untuk menyimpan listrik dalam skala besar yang dihasilkan oleh pembangkit listrik. Energi surplus yang dihasilkan dari sumber energi terbarukan, seperti matahari dan angin, dapat disimpan dalam baterai organik yang memiliki kapasitas besar ini sehingga cukup untuk memenuhi kebutuhan listrik.

“Penyimpanan energi skala besar merupakan masalah penting dalam masa depan energi terbarukan, diperlukan solusi yang murah dan ramah lingkungan,” kata Sri Narayan, profesor kimia di USC Dornsife College of Letters, Arts and Sciences dan koresponden pada Journal of the Electrochemical Society untuk karya tulis mengenai baterai organik ini.

Baterai organik temuan Sri Narayan dan Surya Prakash menggunakan kuinon yang diproduksi dari hidrokarbon alami.

Narayan berkolaborasi dengan Surya Prakash, profesor kimia dan direktur dari USC Loker Hydrocarbon Research Institute, serta USC Bo Yang, Lena Hoober-Burkhardt, dan Fang Wang.

“Baterai organik ini akan memiliki dampak perubahan yang luar biasa terhadap jaringan penyimpanan energi listrik karena lebih sederhana, lebih murah, lebih dapat diandalkan dan lebih berkelanjutan,” kata Prakash.

“Baterai ini tahan hingga sekitar 5.000 kali pengisian ulang, diperkirakan selama 15 tahun,” kata Narayan. “Baterai ion lithium hanya tahan hingga sekitar 1.000 kali pengisian ulang, dan biaya produksinya lebih mahal 10 kali lipat,” imbuhnya.

Baterai organik ini menggunakan desain aliran redoks – serupa dengan desain sel bahan bakar, dengan dua tangki bahan elektroaktif yang dilarutkan dalam air. Larutan ini dipompa ke dalam sel yang berisi membran antara dua cairan dengan elektroda di kedua sisi, melepaskan energi.

Desainnya memiliki kelebihan untuk memisahkan listrik dari energi. Kedua tangki bahan elektroaktif dapat dibuat sebesar yang diperlukan – meningkatkan jumlah total energi yang dapat disimpan oleh sistem – atau sel utama dapat diatur untuk melepaskan energi lebih cepat atau lebih lambat, mengubah sejumlah daya (energi yang dilepaskan dari waktu ke waktu) yang dapat dihasilkan oleh sistem.

Sementara desain baterai sebelumnya telah menggunakan logam atau bahan kimia beracun, Narayan dan Prakash ingin menemukan senyawa organik yang dapat dilarutkan ke dalam air. Sistem seperti ini akan menciptakan dampak minimal terhadap lingkungan, dan kemungkinan akan menjadi lebih murah.

Melalui kombinasi desain molekul dan uji coba, mereka menemukan bahwa beberapa kuinon alami – senyawa organik teroksidasi – telah sesuai. Kuinon tersebut ditemukan dalam tanaman, jamur, bakteri, dan beberapa hewan, dan ada di dalam fotosintesis dan respirasi sel.

“Ini adalah jenis molekul yang secara alami digunakan oleh alam untuk mentransfer energi,” kata Narayan.
Saat ini, kuinon yang dibutuhkan untuk baterai tersebut diproduksi dari hidrokarbon alami. Kedepan, ada peluang untuk mendapatkannya dari karbondioksida, kata Narayan.[]

Sumber: greener/phys.org

read more
Kebijakan Lingkungan

KPHA: Qanun RTRW Aceh Belum Ada Kepastian Hukum

Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Aceh beberapa waktu lalu telah menjadi Rancangan Qanun (Raqan) RTRWA dan mendapatkan koreksi dan evaluasi dari Kemendagri. Juru bicara Koalisi Peduli Hutan Aceh (KPHA) , Efendi Isma, S.Hut, dalam siaran persnya, Kamis (17/6/2014) mengatakan Qanun RTRW tersebut sudah mendapat koreksi dari Mendagri dan hasilnya dituangkan dalam SK Mendagri  No. 651-441 tahun 2014 pada tanggal 20 Februari 2014.

Hasil koreksi tersebut dimana antara lain memerintahkan Gubernur Aceh untuk menindaklanjuti hasil evaluasi yang telah dilakukan pihak Kemendagri, gubernur Aceh menetapkan Rancangan Qanun RTRWA menjadi Qanun RTRWA,  Gubernur Aceh melakukan sosialisasi Qanun RTRW Aceh kepada seluruh pemangku kepentingan termasuk masyarakat di wilayah provinsi Aceh dan menyampaikan hasil ketetapan Qanun RTRW Aceh tahun 2014-2034 kepada Kementrian Dalam Negeri RI cq. Ditjen Bangda untuk dilakukan klarifikasi lebih lanjut.

Namun menurut Efendi, Pemerintah Aceh tidak melaksanakan keputusan Mendagri tersebut lebih lanjut sebagaimana disebutkan pada diktum keempat bahwa “Dalam hal Gubernur Aceh tidak menindak lanjuti hasil evaluasi sebagaimana dimaksud pada diktum Kedua dan tetap menetapkan Rancangan Qanun Tata Ruang Wilayah Aceh tahun 2014-2034, akan dilakukan pembatalan oleh Mendagri.”

Realitas belum disetujuinya qanun RTRWA oleh Kemendagri melalui proses klarifikasi, menunjukkan bahwa pembangunan yang dilakukan di provinsi Aceh sekarang adalah pembangunan yang tidak memiliki konsep tata ruang, pembangunan yang tertuang dalam RPJM dan RPJP Provinsi Aceh pada kenyataannya tidak merujuk pada tata ruang, papar Efendi Isma.

Penerapan sebuah regulasi harus memiliki payung hukum yang jelas dan sesuai dengan asas pelaksanaan pemerintahan yang baik, bila penetapan Qanun RTRWA tidak mentaati aturan-aturan yang telah ditetapkan maka yang terjadi adalah pelanggaran hukum yang dilakukan oleh pemerintah.

KPHA (Koalisi Peduli Hutan Aceh) melihat fenomena di atas harus segera diselesaikan dengan tuntas oleh pemerintah, baik itu Pemerintah Aceh maupun Pemerintah Pusat dalam hal ini Mendagri.  RTRW Aceh menjadi salah satu regulasi yang penting untuk segera di implementasikan karena apabila tidak segera sah dan berlaku (secara legal formal) maka provinsi Aceh adalah provinsi dengan pembangunan yang tidak memiliki tata ruang sehingga dapat disebut sebagai provinsi dengan pembangunan yang buruk, lanjut Efendi.

Kejahatan pelanggaran ruang sejauh ini yang berhasil dipantau oleh KPHA terdapat di Kabupaten Aceh Barat Daya dan Aceh Tenggara, penegakan hukumnya masih memiliki kendala dengan penerbitan SP3 untuk kasus pelanggaran di Kabupaten Aceh Barat Daya dan pemberian hukuman di bawah 1 tahun untuk kasus pelanggaran ruang di Kabupaten Aceh Tenggara.

Seharusnya pelanggaran ruang pada kawasan hutan harus sepenuhnya dijerat dengan UU No. 41 tahun 1999 tentang Kehutanan dengan ancaman maksimal 15 tahun penjara dan denda sebesar 5 miliar rupiah.

Fenomena ini menimbulkan dampak yang sangat berat terhadap kepercayaan masyarakat dalam penegakan hukum untuk pelanggaran ruang, dimana dalam PP 26 tahun 2008 disebutkan arahan sanksi bagi pelangaran ruang hanya dikenakan sanksi administrasi tanpa ada sanksi pidana dan ganti rugi, runut Efendi lebih lanjut.

KPHA selama ini selaku elemen masyarakat sipil Aceh yang antara lain meminta  agar penyusunan RTRW secara lebih transparan dan aspiratif dengan memperbesar partisipasi public, memasukan wilayah kelola mukim seperti hutan adat ke dalam RTRW Aceh, memasukkan kembali nomenklatur KEL ke dalam substansi RTRW Aceh, memasukan Rawa Tripa sebagai kawasan lindung di luar kawasan hutan, pemerintah segera menyelesaikan kasus-kasus pelanggaran ruang yang terdapat di daerah sebelum melakukan perubahan fungsi/status kawasan tersebut dan pemerintah bersama CSO membentuk tim independen pemantau penyusunan, pelaksanaan dan pengawasan penataan ruang.

KPHA akan terus menyuarakan tuntutan terhadap tata ruang yang berkeadilan bagi rakyat dan lingkungan Aceh dengan harapan generasi penerus Aceh dapat menikmati ruang Aceh dengan nyaman dan sejahtera.[rel]

read more
Sains

Peneliti Usulkan Rawa Tripa Jadi Laboratorium Alam

Tim ahli Universitas Syiah Kuala (Unsyiah) Banda Aceh mengusulkan agar  Rawa Gambut Tripa di Propinsi Aceh dijadikan laboratorium alam (science park). Luas yang diusulkan mencakup 12 ribu hektar yang masih memiliki tutupan hutan. Ini adalah salah satu cara manajemen pengelolaan Tripa yang paling memungkinkan dilakukan oleh pemerintah.

Ketua tim ahli Unsyiah, Agus Halim menyebutkan wacana menjadikan Rawa Tripa sebagai laboratorium alam merupakan tindak lanjut dari penelitian yang telah dilakukan oleh tim ahli Unsyiah pada tahun 2013.

“Hasil studi kita mendapatkan ada 12 ribu hektar hutan yang masih bagus di Rawa Tripa yang bisa dikelola dengan manajemen konservasi berbasis masyarakat. Pilihan terbaik adalah menjadikan Tripa sebagai laboratorium alam yang bisa dimanfaatkan untuk ilmu pengetahuan, ekowisata dan pengembangan ekonomi masyarakat,” kata Agus sebagaimana dirilis Senin (14/7/2014).

Dari 12 ribu hektar sisa hutan yang ada di Rawa Tripa sebagian besar sudah menjadi areal konsesi Hak Guna Usaha (HGU) perkebunan kelapa sawit milik PT. Surya Panen Subur (SPS) II dan PT. Kalista Alam. Agus mengatakan, pemerintah, perusahaan dan masyarakat diharapkan bisa membangun komitmen bersama menyelamatkan rawa gambut Tripa.

Menurut Agus, Rawa Tripa Science Park tidak hanya bicara konservasi tapi perlu keterlibatan pemerintah dan perusahaan perkebunan kelapa sawit. “Kita berharap 12 ribu hektar itu sepakat untuk diselamatkan sebagai plasma nuftah (sumber genetik) yang dikembangkan ke depan untuk isu perubahan iklim,”katanya.

Banyak hal menarik yang bisa diteliti di Tripa untuk isu perubahan iklim. Para peneliti menemukan adanya tumbuhan khas rawa yang dapat beradaptasi pada genangan aerob yang merupakan pertemuan antara genangan air rawa dan pasang surut air laut. Tumbuhan tertentu didapatkan menggunakan zat aktif tertentu secara alami sehingga tahan hidup di daerah genangan pasang surut.

Rawa Tripa juga merupakan pusat kajian biologi akuatik karena merupakan daerah genangan yang memiliki banyak jenis ikan dan kerang (lokan) yang bisa menjadi sumber ekonomi masyarakat.

Luas total Rawa Tripa mencapai 60.657,29 hektar berada di dua kabupaten yakni Nagan Raya dan Aceh Barat Daya. Pembukaan perkebunan kelapa sawit sejak 1990 menyebabkan hutan gambut hanya tersisa 12.455,45 hektar saja.
Menurut Agus, dari 12 ribu hektar sisa hutan, hanya 8 ribu hektar saja yang masih terakumulasi dalam satu bentang besar, yang lainnya sudah terfragmentasi.

“Salah satu yang penting dilakukan adalah segera mengeluarkan regulasi untuk membangun koridor di sepanjang badan sungai dan sepadan pantai untuk menghubungi koridor yang terputus itu, agar satwa-satwa masih bisa bergerak bebas,” jelasnya.

Sejumlah pihak telah melakukan penelitian di Tripa di antaranya Unsyiah, ICRAF, Wetland, Yayasan Ekosistem Lestari (YEL), dan Pusat Penelitian Ilmu Tanah Bogor. Data yang didapat oleh para peneliti ini didorong untuk dijadikan kebijakan satu peta (one map) oleh Badan REDD+ agar tidak membingungkan para pihak di lapangan.

“Kami sudah memetakan ke dalam gambut yang mencapai lebih dari 3 meter yang layak untuk dilindungi,” kata Agus.
Data yang didapat menyebutkan Rawa Tripa  kaya akan keanekaragaman hayati dan merupakan spot penting di Kawasan Ekosistem Leuser yang layak dipertahankan hutannya. Pilihan untuk mengkonversi rawa gambut Tripa menjadi perkebunan kelapa sawit telah berdampak pada terancamnya flora dan fauna khas (endemik) di Rawa Tripa.

Dari kajian biodiversitas, Tripa merupakan ekosistem rawa gambut yang unik kaya akan jenis tumbuhan dan hewan, namun sangat rentan dan sulit untuk kembali ke bentuk semula jika rusak. Hasil survai lapangan menunjukkan jenis fauna yang ditemukan di Rawa Tripa saat ini tinggal sebanyak 91 jenis, di mana 18 jenis diantaranya memiliki nilai ekonomi dan ekologi dan 14 jenis memiliki nilai endemik dan harus dilindungi.

Hewan langka seperti orangutan, harimau, beruang madu, lutung hitam, rusa, trenggiling, burung bangau tongtong, burung punai, burung serindit hitam masih ditemukan keberadaannya di dalam hutan rawa gambut Tripa yang tersisa. Namun populasinya terus menyusut dan dilaporkan mulai jarang terlihat.  Keberadaan flora fauna dalam kawasan berada dalam daerah terisolir dan di lokasi yang terfragmentasi di sepanjang pantai.

Sumber: TGJ/Mongabay

read more
Ragam

Kafe Ini Jual Sukses Jual Makanan dari ‘Sampah’

Kafe kecil di kota Leeds, Inggris, khusus menghidangkan makanan yang telah dibuang oleh supermarket dan restoran. Tujuannya adalah mengurangi sampah makanan global yang masih bisa dimakan.

Kafe ‘Pay As You Feel’ atau ‘Bayar Sesuka Hati’ terletak di wilayah Armley di Leeds. Menunya berubah setiap hari, dan kualitas hidangannya secara mengejutkan patut diacungi jempol – terutama kalau mempertimbangkan bahan-bahan yang digunakan.

“Sejak Januari 2014 kami sudah menyelamatkan sepuluh ton makanan yang tadinya mau dibuang,” ujar Ed Colbert, salah satu direktur The Real Junk Food Project yang mengelola kafe.

“Proyek ini bertujuan mengurangi sampah makanan. Di Inggris saja, 15 juta ton makanan dibuang setiap tahun. Kebanyakan masih bisa dimakan. Pada tingkat global, masalahnya lebih berat,” jelas Colbert.

Menurut Colbert, sepertiga suplai makanan global berakhir di tempat sampah. Ini termasuk peternakan, supermarket dan rumah tangga.

Sebagian besar bahan makanan diambil dari supermarket atau gudang pengemasan yang memberitahu staf kafe kalau ada makanan yang mau dibuang.

Ada juga orang-orang yang hendak bepergian dan datang membawa makanan yang kemungkinan besar basi selama ditinggal berlibur.

Penganan musisi ternama
Terkadang bahan makanan juga datang dari sumber tak terduga.

“Musisi ternama yang konser di Leeds suka menggelar pesta dan makanannya berlebih,” ungkap Colbert.

Kafe ini pernah menyiapkan dan menghidangkan makanan mahal seperti kaviar, yang umumnya tidak akan mampu dibayar oleh konsumen mereka. Sesuai nama kafenya, bayarannya juga sesuai kemampuan. Ada juga yang membayar dengan imbalan seperti membersihkan jendela atau menyediakan boks-boks bunga.

Label yang membingungkan

Salah satu penyebab berlimpahnya sampah makanan adalah label yang membingungkan.

“Konsumen memandang tanggal kadaluarsa dari segi kesehatan, dan bukan segi pemasaran, dan akhirnya membuang makanan,” kata Ed Colbert.

Sekeranjang apel, misalnya, masih akan terasa enak hingga tanggal tertentu. Dan meskipun rasanya sedikit berkurang sejak tanggal itu, mereka masih bisa disantap hingga berminggu-minggu kemudian.

Menteri Pertanian Belanda Sharon Dijksma sudah mendesak Uni Eropa untuk bertindak dan mengurangi pelabelan semacam ini untuk mengurangi sampah makanan.

“Saya mendukung pendekatan bersama Eropa untuk menjamin kesehatan pangan, namun aturan seperti ini seharusnya tidak berkontribusi bagi sampah makanan,” tulis Dijksma.

Ia menambahkan bahwa produk-produk dengan masa berlaku lama, seperti pasta dan nasi, lebih baik tidak diberi label tanggal kadaluarsa.

Para pengunjung kafe Pay As You Like mengaku tidak keberatan dengan fakta bahwa makanan mereka seharusnya menjadi sampah.

“Menakjubkan, saya suka – setiap hari saya mendapat sesuatu yang berbeda,” tutur Catherine Kidson. “Menurut saya ironis ketika ada orang kelaparan dan supermarket membuang-buang makanan.”

Konsumen lain menilai penyelamatan makanan dari tempat pembuangan sampah sebagai menguntungkan. “Ini menciptakan lingkungan yang lebih ramah secara ekologis,” papar Benjamin Sykes. “Makanan diberi kesempatan kedua ketimbang ditaruh di tempat pembuangan sampah dan menciptakan metana.”[]

Sumber: dw.de

read more
Green Style

Piala Dunia Wariskan Aksi Hijau

Piala Dunia 2014 berakhir dengan mewariskan berbagai aksi ramah lingkungan yang berkelanjutan.

Piala Dunia telah berakhir. Jerman menjadi juara mengalahkan Argentina 1-0 dalam pertandingan ketat yang diwarnai oleh perpanjangan waktu. Tak ada lagi laga tersisa. Namun warisan aksi ramah lingkungan akan terus ada di Brasil. Program Lingkungan Perserikatan Bangsa-Bangsa (UNEP) menggandeng pemerintah Brasil menggelar berbagai aksi hijau selama Piala Dunia berlangsung.

Berbagai aksi ramah lingkungan ini meliputi sertifikasi stadion guna mengurangi emisi gas rumah kaca, upaya mendaur ulang sampah, mengurangi polusi hingga aksi pertanian organik. Pemerintah juga mengembangkan industri pariwisata yang berkelanjutan (sustainable tourism) dan pertanian keluarga (family farming).

Satu lagi program yang unik adalah upaya meningkatkan kesejahteraan para pemungut sampah (waste pickers) dengan melibatkan masyarakay di enam kota yang menyelenggarakan pertandingan Piala Dunia. Para pemungut sampah adalah mereka yang memungut, memilah dan mendaur ulang sampah selama Piala Dunia berlangsung.

Pemerintah pusat memberikan dana $1,36 juta guna membantu 1400 pemungut sampah di Belo Horizonte, Curitiba, Fortaleza, Manaus, Natal dan São Paulo. Program ini juga berlangsung di kota-kota yang lain dengan bantuan dana dari pemerintah lokal.

Sampah yang dikumpulkan dikirim ke pusat daur ulang seperti di kota Fortaleza misalnya, yang berhasil mengumpulkan 37 ton bahan daur ulang hingga 4 Juli, 2014. Untuk menjamin keberlangsungan program ini Bank Pembangunan Sosial Nasional Brasil memberikan pembiayaan untuk mendanai upaya pengumpulan sampah kolektif ini. Berbagai proyek di Brasilia, Curitiba, Porto Alegre dan Rio de Janeiro telah mendapat persetujuan dengan jumlah pembiayaan mencapai $35,5 juta.

Semua stadion yang digunakan dalam Piala Dunia 2014 dibangun dengan konsep ramah lingkungan dan mendapat sertifikasi internasional. Dari 12 arena, enam stadion mendapatkan sertifikat LEED (Leadership in Energy and Environmental Design) yaitu Castelão (Fortaleza), Fonte Nova (Salvador), Arena Pernambuco (Recife), Arena Amazonia (Manaus), Maracanã (Rio de Janeiro) dan Mineirão (Belo Horizonte).

Stadion Belo Horizonte menjadi stadion pertama yang mendapatkan sertifikat platinum, yang merupakan standar ramah lingkungan tertinggi dari LEED. Tiga arena lain sudah mengirimkan permohonan yang sama dan sisanya tengah dalam tahap penyelesaian.

Guna menghemat energi, pembangkit listrik dipasang di tiga stadion dan akan dibangun di Stadion Utama Brasilia pada akhir tahun ini. Arena das Dunas di Natal juga tengah dalam proses mendapatkan Sertifikasi Efisiensi Energi INMETRO, yang menilai penghematan energi dan efisiensi.

Pertanian organik dan ramah lingkungan juga menjadi salah satu aksi hijau Piala Dunia 2014. Pemerintah memromosikan pola konsumsi sadar lingkungan dimana 18,000 relawan Piala Dunia hanya mengonsumsi makanan dan minuman organik yang dibeli dari koperasi dan asosiasi petani organik lokal.

Sebanyak 60 koperasi dan asosiasi petani organik – yang beranggotakan 25.000 keluarga – juga bekerja sama memasok kios-kios organik dan ramah lingkungan. Kios ini didirikan di daerah wisata dengan tujuan membangun pola pasokan pangan organik yang berkelanjutan.

Inisiatif lain adalah karbon kredit yang diikuti oleh 16 perusahaan dan kampanye Green Passport yang bertujuan memromosikan perilaku ramah lingkungan bagi wisatawan yang berkunjung ke Brasil. Dengan bantuan informasi online, wisatawan bisa mendapatkan berbagai tips wisata yang ramah lingkungan yang menyediakan lebih dari 60 pilihan wisata yang berkelanjutan.

Sumber: Hijauku.com

read more
Ragam

Serangan Zionis Israel Perparah Krisis Lingkungan Palestina

Penduduk di Palestina, terus menderita krisis lingkungan dan perubahan iklim seiring agresi militer Israel.

Jalur Gaza kembali diserang, ratusan jiwa tercabut dari raganya. Serangan Israel yang membabi buta – 77% dari korban jiwa adalah warga sipil – tidak hanya menghancurkan infrastruktur Gaza namun juga menambah parah krisis lingkungan dan perubahan iklim di wilayah Palestina yang telah berlangsung selama bertahun-tahun.

Kondisi lingkungan ini terungkap dalam laporan resmi Palestinian Central Bureau of Statistics (PCBS) yang diterbitkan seiring dengan perayaan Hari Lingkungan Hidup Dunia yang berlangsung 5 Juni lalu. Menurut PCBS, lingkungan Palestina saat ini menghadapi berbagai ancaman. Kelangkaan sumber daya alam, kekeringan, pencemaran air, kerusakan lahan, hilangnya keanekaragaman hayati dan polusi udara menjadi masalah utama.

Menurut laporan Palestinian Water Authority (PWA) bulan Oktober 2013, air hujan, menjadi sumber air tanah dan air permukaan utama di Palestina. Curah hujan tahunan di wilayah ini hanya mencapai 450 mm/tahun di Tepi Barat dan 327 mm/tahun di Jalur Gaza. Bandingkan dengan curah hujan di Bogor yang mencapai 3500-4000 mm/tahun.

Israel menguasai seluruh akses air bersih terutama Sungai Yordan sehingga ketersediaan air permukaan di wilayah Palestina sangat bergantung pada luberan (runoff) air sungai yang saat ini tidak banyak bisa digunakan. Sementara 95% air tanah yang dipompa di Jalur Gaza adalah air payau, air yang memiliki kandungan garam lebih tinggi dari air tawar.

Kondisi ini diperburuk oleh perampasan akses air oleh Israel. Warga Palestina hanya bisa menggunakan 15% air yang ada di wilayah ini sementara Israel menyedot 85% sumber air yang ada di sana. Ekspolitasi dan pembangunan sumber air yang dilakukan oleh Israel, menurut PCBS, juga dilakukan tanpa memerhitungkan hak-hak rakyat Palestina.

Israel melarang pengeboran sumber air untuk pertanian dan menghancurkan fasilitas air dan irigasi yang ada. Akibatnya, konsumsi air per kapita warga di wilayah pendudukan untuk kebutuhan rumah tangga tak lebih dari 76,4 liter/penduduk/hari pada 2012 di Tepi Barat dan 90 liter/penduduk/hari di Jalur Gaza.

Serangan militer Israel dipastikan memerparah kondisi kekurangan air di wilayah Palestina. Pasca serangan militer Israel 11 Juli, UN Office for the Coordination of Humanitarian Affairs (OCHA) melaporkan telah terjadi kerusakan di pipa penyaluran air sehingga akses air bersih untuk 800 penduduk Gaza terputus. Laporan ini memerkuat data PCBS yang menyatakan sekitar 40% pasokan air hilang akibat masalah teknis seperti rusaknya fasilitas instalasi air.

Menurut PCBS, krisis perubahan iklim juga melanda Palestina, mengubah karakteristik cuaca dan musim di wilayah tersebut. Pada musim dingin dan musim semi, kekeringan selalu melanda. Sementara pada musim panas suhu terus meningkat dan curah hujan turun. Fenomena ini menimbulkan dampak ekonomi, sosial, kesehatan dan lingkungan yang memengaruhi kualitas pembangunan di wilayah pendudukan.

Pelanggaran dan agresi militer Israel menurut PCBS menjadi sumber utama kerusakan keanekagaraman hayati yang menjadi sumber kestabilan ekosistem ini. Tepi Barat dan Jalur Gaza tercatat memiliki 2.076 spesies tanaman dimana 90 spesies saat ini terancam punah dan 636 spesies masuk dalam kategori yang sangat langka.

Sumber resmi dari pemerintah Palestina menyebutkan, selama 2013, lebih dari 800 hektar lahan milik warga Palestina telah dirampas oleh pemerintah Zionis Israel dan lebih dari 15.000 tanaman pertanian dihancurkan. Hingga akhir 2013, sebanyak 482 pemukiman dan markas militer telah dibangun di wilayah pendudukan di Tepi Barat. Kekejaman ini menurut PCBS semakin memerparah kerusakan lingkungan dan keanekaragaman hayati di wilayah Palestina.

Sumber: Hijauku.com

read more
Sains

Pakar Tumpahan Minyak Indonesia terima Penghargaan Internasional

Ilmuwan Indonesia Bayu Setya, MSc terpilih sebagai penerima “International Award Chartage”, karena kontribusinya yang luar biasa menyelamatkan lingkungan dari pencemaran minyak tumpah di Indonesia maupun di negara lain.

Koordinator Fungsi Pensosbud KBRI Roma, Nindarsari Utomo, Jumat menyebutkan Bayu Setya, MSc merupakan orang Indonesia pertama menerima penghargaan International Award Carthage edisi ke-13 pada Kamis, bertempat di Campidoglio, Roma, Italia.

Penghargaan bergengsi tersebut diberikan hanya kepada orang-orang terpilih yang telah memberikan kontribusi kepada masyarakat di lingkungannya serta kepada masyarakat internasional. Beberapa tokoh lain yang pernah menerima penghargaan tersebut yakni Dr. Kofi Annan mantan Sekretaris Jenderal PBB dan Presiden Republik Italia Giorgio Napolitano.

Sementara Bayu Setya adalah seorang Direktur pada Oil Spill Response Centre Indonesia (OSCTI). Sesuai dengan Keputusan Presiden No.109, 2006 OSCTI memiliki tugas untuk melindungi lingkungan Indonesia dengan cara menangani polusi minyak tumpah secara cepat dan efektif.

Bayu Setya dinilai telah berhasil dalam menyelamatkan lingkungan dari pencemaran minyak tumpah (oil spill) yang terjadi di darat maupun di laut, baik itu yang terjadi di Indonesia maupun di berbagai negara lainnya.

Ilmu pengetahuan mengenai penanggulangan minyak tumpah tersebut baru berkembang sejak tahun 1960-an dan Bayu Setya merupakan pioner utama Indonesia yang memiliki keahlian tersebut.

Keahliannya sudah diakui secara internasional. Berkat keahliannya tersebut ia diundang untuk ikut serta dalam menanggulangi permasalahan minyak tumpah yang terjadi di Denmark, Inggris, Jepang, Amerika Serikat dan Thailand.

Selain itu, ia juga pernah terpilih sebagai satu dari tiga pembicara dari seluruh dunia pada International Symposium yang membahas mengenai penanggulangan minyak tumpah di Tokyo, Jepang pada tahun 2007.

Penghargaan International Award Carthage merupakan penghargaan yang diberikan oleh Accademia Premio Internazionale alla Cultura Cartagine di Italia yang dimulai sejak tahun 2001.

Pada edisi ke-13 tahun ini terasa sangat istimewa karena salah satu penerima penghargaan tersebut adalah orang Indonesia bernama Bayu Setya, MSc.

Mengingat bergengsinya pemberian penghargaan tersebut Dubes RI Roma menghadiri acara pemberian penghargaan dan sekaligus memberikan ucapan selamat dan bangga atas prestasi anak bangsa yang telah diakui secara internasional.

Sumber: antaranews.com

read more
1 2
Page 1 of 2