close

July 2014

Hutan

Masyarakat Bener Meriah Resahkan Perambahan Massal Hutan Lindung

Forum Masyarakat Peduli Lingkungan Bener Meriah (FMPLBM), menerima laporan dari masyarakat bahwa telah terjadi perambahan secara massal di kawasan hutan lindung Kabupaten Bener Meriah.

FMPLBM menuding, praktek ini mulai berlangsung sejak satu tahun terakhir yang melibatkan oknum pejabat daerah, pihak keamanan dan pengusaha holtikultura. Perambahan ini berhubungan dengan program penanaman kentang dan palawija.

Juga disebutkan ada wacana investor dari Malaysia yang menjalin kerjasama dengan pihak pemerintah Bener Meriah sebagai  pasar kentang dan palawija. Komitmen inilah yang menjadi dasar pembukaan lahan secara masif ini. Luas lahan yang rusak diperkirakan mencapai ribuan hektar meliputi Kecamatan Permata, Bener Kelipah, Bukit dan Weh Pesam.

Kegiatan pembalakan hutan juga terjadi di wilayah lain, seperti di Kecamatan Mesidah, Syiah Utama, Pintu Rime Gayo, Gajah Putih dan Timang Gajah. Kegiatan ini disebabkan oleh beberapa hal seperti pembukaan lahan baru dan illegal loging.

Menurut informasi yang diperoleh dari pengakuan masyarakat setempat, berbagai pihak terlibat dalam kegiatan ilegal ini, diantaranya oknum anggota DPRK Bener Meriah, oknum Dinas Kehutanan, Camat, pihak keamanan, mantan pejabat teras KIP Bener Meriah, aparat kampung dan pengusaha kayu dan pengusaha palawija dengan mengatasnamakan koperasi.

Berdasarkan latar belakang di atas, FMPLBM melihat bahwa apa yang terjadi selama ini merupakan kealpaan dan pembiaran pemerintah Kabupaten Bener Meriah dan merupakan tindakan keserakahan dari oknum pejabat di Bener Meriah. Penegakan hukum juga sangat lemah dan terkesan dibiarkan sehingga kerusakan hutan menjadi sangat parah.
Seharusnya dalam situasi seperti ini, pihak kepolisian dan pihak terkait lainnya bertindak tegas dan melakukan pencegahan sebelum kerusakan terjadi. FMPLBM menilai ini merupakan tindakan kejahatan terstruktur, sistematis dan massif,  yang ikut melemahkan sekaligus mengangkangi supremasi hukum yang berlaku.

Masyarakat di Kecamatan Permata, Bandar, Bener Kelipah, Bukit dan Weh Pesam mulai resah dengan kegiatan ini, karena mereka sudah mengalami masalah terutama dengan menurunnya debit air secara signifikan. Misalnya di Desa Gelampang Weh Tenang Uken, Bener Pepanyi, Sepakat dan beberapa desa lainnya sudah kehilangan sumber air. Pipa air yang dipasang ke sumber mata air di wilayah Rebol Linung Bulen sudah tidak lagi dialiri air.

Masyarakat juga mengkhawatirkan akan terjadi banjir bandang dan tanah longsor seperti yang pernah terjadi di Kampung Pondok Keresek (sekarang Sedie Jadi), Kampung Owak Pondok Sayur, Burni Pase dan Kampung Seni Antara yang berbatasan dengan Aceh Utara tahun 2006 silam.

Hal diatas tidak mustahil terjadi karena ribuan hektar hutan di kawasan tersebut sudah luluh lantak meninggalkan bongkahan kayu dan jalan-jalan baru. Kerusakan ini pasti akan berakibat buruk bagi warga apabila musim penghujan tiba. Mengingat kawasan ini merupakan kawasan tangkapan air (chactmen area) dan memiliki curah hujan yang tinggi. Wilayah ini juga merupakan sumber bagi berbagai DAS di Aceh seperti DAS Krueng Peusangan dan DAS Krueng Jambo Aye yang menjadi sumber perairan dan air bersih bagi tujuh kabupaten di Provinsi Aceh.

Kerusakan hutan lindung di Kabupaten Bener Meriah juga akan berdampak pada kerusakan keanekaragaman hayati seperti terputusnya koridor satwa. Salah satunya mengganggu habitat harimau sumatra dan gajah. Kondisi ini juga berefek pada peningkatan suhu dan penurunan cadangan air tanah pada dua Cekungan Pedada dan Lampahan. Kehancuran hutan lindung juga telah sampai ke kaki Burni Telong yang merupakan wilayah gunung merapi aktif.
Ditemukan juga penggunaan pestisida, herbisida, fungisida berlebih yang dapat dilihat dari menurunnya kualitas air karena tercemar oleh zat kimia tersebut. Hal ini dimasa yang akan datang akan berpengaruh pada kesehatan masyarakat misalnya gangguan kulit akut, kangker dan penyakit lainnya.

Sumber: atjehlink.com

read more
Kebijakan Lingkungan

Jokowi: Lingkungan Rusak Karena Terlalu Kejar Ekonomi

Calon presiden Joko Widodo (Jokowi) menilai, bangsa Indonesia terlalu mengejar pertumbuhan ekonomi sampai-sampai melupakan kelestarian lingkungan. Jokowi menyebut, saat ini banyak hutan, daerah aliran sungai, dan terumbu karang yang rusak.

“Kita terlalu mengejar pertumbuhan ekonomi, tapi lingkungan tidak diperhatikan,” kata Jokowi dalam debat kandidat putaran terakhir yang diselenggarakan Komisi Pemilihan Umum (KPU), Sabtu (5/7).

Capres dengan nomor urut dua itu menilai, bangsa ini harus menyeimbangkan antara mengejar pertumbuhan ekonomi, memenuhi hajat hidup masyarakat, dan melestarikan lingkungan.

“Ketiganya ini harus berjalan beriringan supaya memperoleh kemanfaatan,” ujar Jokowi.

Dalam kesempatan yang sama, calon wakil presiden Jusuf Kalla berjanji, apabila ia dan Jokowi terpilih menjadi presiden dan wakil presiden, ia akan memperbaiki dua juta lahan hutan, menormalisasi sungai-sungai, serta menciptakan kota yang bersih dan lingkungan hidup yang nyaman.

Sumber: republika.co.id

 

read more
Ragam

Gadis Aceh ini Belajar Greenlife di Negeri Paman Sam

Saya mengikuti Young Southeast Asian Leaders Initiative (YSEALI)- U.S Department State on Global Environmental Issues, yang merupakan bagian dari program Study in United States Instiute (SUSI) selama 5 minggu di Amerika Serikat. Program ini diluncurkan oleh Presiden Barack Obama dan diikuti oleh 19 pemuda mewakili 5 negara ASEAN: Brunei, Indonesia, Singapore, Philipphine, dan Malaysia.

Saya sendiri, Cut Ervida Diana dari Banda Aceh, bergabung bersama empat perwakilan lain dari Indonesia yang lolos program bergengsi ini. Empat teman yang lain yaitu Mohammad Yusuf (Univ. Padjajaran Bandung), Ranitya Nurlita (IPB, Bogor), Mussawir Muchtar (UNHAS, Makassar) dan Sri Mulyati (UPI, Bandung).

Program diselenggarakan sejak tanggal 11 Mei – 15 Juni 2014 yang berlokasi selama 3 minggu di Honolulu- Hawaii, 1 minggu di Boulder, Colorado dan 1 minggu di Washington DC. Program yang fokus pada penyelesaian isu lingkungan dan penguatan kapasitas pemimpin muda ini telah memberikan saya kesempatan belajar mengenai isu global lingkungan, mempelajari budaya Negeri Paman Sam serta saling mempelajari budaya peserta dari negara-negara Asia yang ikut berpartisipasi dalam kegiatan ini.

Inilah sepenggal kisah saya selama mengikuti program di Hawaii, Colorado dan Washington DC.

Hawaii!
Tanggal 11 Mei 2014, saya dan 4 teman dari Indonesia lainnya tiba di Hawaii. Kami akan tinggal selama 3 minggu di Hale Manoa Hawaii University. Satu minggu pertama adalah proses orientasi dan pengenalan institute untuk program belajar yang akan kami jalani selama 5 minggu. Program belajar yang saya ikuti diantaranya LDC ( Leadership Development Class), LITE ( Leadership Immersion Training Experience), CELL (Cultural Exchange Learning Lab) dan (Learning Journey). Banyak aktifitas belajar outdoor yang sangat menyenangkan.

Hari pertama di Hawaii kami melakukan hiking ke Diamond Head dan mengeksplorasi Waikiki Beach. Jetlag dan rasa lelah terbayar dengan keindahan Hawaii yang saya nikmati dari puncak Diamond Head. Penyambutan dan opening ceremony pada hari kedua yang di selenggarakan oleh East-West Center di Imin International Conference center dan disitu saya sangat bangga karena bisa menggunakan pakaian tradisional Aceh serta memperkenalkan budaya Aceh. Selain itu kami diajarkan Hawaiian Dance.

Hari ketiga,  Leadership Development Class memasuki institute dimana kami menjalani proses team building leadership challenge di Camp Erdman, North Shore Oahu dengan dipandu oleh Christina Monroe selaku Leadership Education Specialist. Proses belajar  kepemimpinan yang sangat menarik dan aktifitas outbond yang sangat menantang.

Di kantor salah seorang senator Amerika Serikat | Foto: Dok Pribadi
Di kantor salah seorang senator Amerika Serikat | Foto: Dok Pribadi

Selanjutnya adalah tahapan belajar LITE (Leadership Immersion Training Experience) bersama Lance Boyd, dimana kami belajar tentang Hawaii melalui Leaning Journey dan bacaan dari buku American Report Card mengenai bagaimana Hawaii mengelola sumberdaya alam dan lingkungannya. Dalam LITE saya bekerja sama dengan peserta dari Negara lain membentuk team work dan membuat sebuah project kemudian mempresentasikan project kepada client, seperti; HARC (Hawaii Agricultural Research Center), dan direktur dari Kualoa Ranch. Di samping itu untuk Learning Journey selama di Hawaii saya juga mengunjungi H-Power Waste-to-Energy Plant, Hawaiian Electric Company Energy Plant, dan saya berkesempatan ke USS Missouri ship di Pearl Harbour yaitu kapal sejarah perang dunia ke-2.

Ini  merupakan proses belajar yang sangat menarik ketika saya berkunjung langsung ke H-Power dan mengamati bagaimana Hawaii memanfaatkan limbah menjadi sumber energy listrik. Bagian dari program yang juga sangat menari adalah Homestay, saya berkesempatan tinggal selama 2 hari bersama keluarga Hawaii, yang tinggal di Kanua dan kami diberi tugas untuk membuat eco typing point untuk keluarga homestay. Kami menawarkan metode eco lifestyle, seperti pengelolaan sampah, penggunaan energi terbarukan dan juga mencari inovasi hidup yang ramah lingkungan.

Boulder, Colorado!
Tanggal 2 Juni adalah hari pertama team YSEALI berada di Colorado. Saya belajar di Universitas Colorado dan juga melakukan Learning Journey. Selama satu minggu kami melewati proses belajar yang sama seperti di Hawaii, menjalani proses LITE, membuat project dan mempresentasikan project mengenai urban planning kepada Mr. George Watt, salah seorang arsitek ternama yang merancang Urban Planning Boulder County.

Pengalaman dan atmosfer yang sangat berbeda saya rasakan semenjak berada di Boulder, Colorado, dimana Boulder merupakan Green City dan ruang terbuka sangat banyak disana. Sangatlah berbeda dengan Hawaii, Colorado cuacanya sangat dingin dan kita bisa melihat pemandangan Rocky mountain yang ditutupi salju. Boulder menerapkan Green Principles, seperti; bike-ability, green building certification, dan waste recycling development.

Yang paling menarik adalah Boulder menerapkan konsep Zero Waste, dan saya sangat senang berada di The Greenest City of United States ini.

Washington DC

Graduation day, di Capitol Hill, Amerika Serikat | Foto: dok. pribadi
Graduation day, di Capitol Hill, Amerika Serikat | Foto: dok. pribadi

Ini adalah minggu terakhir dari program YSEALI, kebanggaan bagi saya karena bisa berkunjung ke ibukota Amerika dan mengeksplorasi segala hal disana. Di Washington DC saya mengunjungi setiap landmark Washington DC seperti, Washington Monument, Memorial Lincholn Statue, Capitol Building United State dan White House. Di sana seluruh team YSEALI fokus terhadap project akhir, yaitu home project, untuk mengembangkan ide project yang dijalankan saat kembali ke Negara masing-masing dan mempersiapkan presentasi yang akan di lakukan di department state. Ini lah tahap akhir dari institute hingga saya mendapatkan sertifikat YSEALI 2014 dan graduation day di Washington DC.

Semoga cerita perjalanan saya bermanfaat dan dapat menginspirasi pemuda-pemudi Aceh untuk terus berprestasi terutama di bidang lingkungan. []

read more
Kebijakan Lingkungan

Media Asing Soroti Hilangnya Ratusan Ribu Hektar Hutan di Indonesia

Data terbaru yang dirilis oleh peneliti asal RI, Belinda Arunarwati Margono, di jurnal Perubahan Iklim Alam mengenai situasi hutan di Indonesia mencengangkan. Betapa tidak, dalam data yang dirilis oleh perempuan yang bekerja di Kementerian Kehutanan itu menyebut RI telah kehilangan 6,02 juta hektar hutan.

Jumlah itu dilansir antara tahun 2000 dan 2012 silam. Maka tak heran, bila dua media asing, The Guardian dan Sydney Morning Heraldmenurunkan pemberitaan dari sumber serupa.

Harian The Guardian, Minggu 29 Juni 2014 melansir jumlah kehilangan hutan yang diderita RI bahkan kian bertambah yakni sekitar 47.600 hektar setiap tahunnya. Padahal di tahun 2012 lalu, Belinda memprediksi, RI telah kehilangan 840 ribu hektar hutan primernya.

Dengan jumlah hutan yang begitu besar dibabat habis, maka RI sukses mengambil alih predikat yang sebelumnya disematkan kepada Brasil, sebagai negara yang paling cepat menggunduli hutan. Negeri Samba itu, berdasarkan data Belinda, kehilangan 460 ribu hektar hutan hujan tropisnya.

SMH bahkan menjuluki RI dalam laporannya sebagai negara dengan tingkat pembalakkan liar terparah.
Padahal menurut The Guardian, area hutan di Indonesia mencapai seperempat hutan hujan tropis di Amazon, Brasil.
Dunia, ujar Belinda, jelas khawatir dengan fakta ini, karena Indonesia merupakan penghasil gas emisi rumah kaca terbesar ketiga setelah China dan Amerika Serikat. Sebanyak 85 persen emisi tersebut bersumber dari penghancuran dan berkurangnya lahan hutan.

Sementara hutan primer justru menjadi penyimpan karbon dalam jumlah paling besar di dunia.

Angka kehilangan hutan yang sedemikian besar, tulis The Guardian, justru tidak sejalan dengan komitmen RI yang tertuang dalam moratorium tahun 2009 silam. Sebab, Pemerintah RI justru terus memberikan izin untuk pembalakkan hutan primer dan lahan gambut. Kedua hal tersebut menjadi pemicu deforestasi hutan.

Padahal dalam moratorium itu, Pemerintah RI berniat akan mengurangi emisi gas rumah kaca hingga 26 persen di tahun 2020 atau 41 persen dengan bantuan global. Pemerintah Norwegia kemudian mengucurkan dana senilai US$1 miliar atau Rp12 triliun. Namun, RI mengklaim membutuhkan dana US$5 miliar atau Rp60 triliun untuk mengatasi kerusakan hutan saat ini.

Dari hasil studi Belinda, sebanyak 40 persen pembalakkan hutan dilakukan secara ilegal di hutan produksi, konservasi dan lindung.

“Tingkat kehancuran hutan di Sumatera masih lebih cepat. Di belakangnya ada Kalimantan dan Papua,” ungkap Belinda.

Namun, imbuh Belinda, jika Pemerintah RI tidak segera berbuat sesuatu, dikhawatirkan satu hari ini, situasi serupa juga akan ditemui di hutan di Kalimantan dan Papua.

Studi itu juga seolah menyimpulkan bahwa kebijakan terkait perubahan iklim yang digagas Presiden SBY telah gagal. Kian meningkatnya populasi di Indonesia dan permintaan yang tinggi untuk kayu, karet untuk kertas dan minyak kelapa sawit, justru memicu pembalakkan hutan.

Hal itu diperburuk dengan korupsi di tingkat pemerintah pusat dan lokal serta tidak adanya penegakkan hukum.
“Hilangnya lahan gambut dalam jumlah besar, kemungkinan tidak disebabkan oleh pemangku skala kecil, tetapi pengembang lahan agro-industri skala besar,” tulis kesimpulan dalam studi tersebut.

Belinda mengaku telah memperoleh data mentah untuk proyeksi jumlah hutan yang ditebang di 2014, namun belum dirilis. Oleh sebab itu, dia enggan berspekulasi apakah trend penggundulan hutan kian meningkat atau tidak di tahun ini. [005-Vivanews]

 

read more
Hutan

Bertemu Pujangga ‘Penjaga Hutan’ Laman Satong

Namanya Yohanes Terang, berusia sekitar 60 tahun dengan perawakan yang tambun namun cukup kekar. Ia merupakan tokoh desa setempat, berasal dari suku Dayak namun beristrikan seorang putri Ambarawa, Jawa Tengah. Maklum saja, sejak usia muda ia telah merantau ke tanah Jawa menempuh Sekolah Pertanian hingga akhirnya ditugaskan kembali ke tanah kelahirannya hingga kini.

Yohanes sudah sejak tahun 1987 memegang jabatan Kepala Desa Laman Satong, Kabupaten Ketapang Propinsi Kalimantan Barat. Namun sejak tahun 2004 lalu ia mengundurkan diri dari jabatan tersebut. Ia merupakan alumni Kursus Pengembangan Masyarakat Desa di  Bogor, yang oleh Frans Seda, tokoh nasional, ditugaskan kembali ke kampung halaman membangun desanya.

Suatu hari di bulan Juni yang panas, kami berkesempatan bertemu dengannya di lokasi wisata ziarah Gua Maria yang terletak di Dusun Manjau, masih di desanya. Kami bertiga merupakan pemenang lomba menulis dengan tema “Menyelamatkan Biodiversity, Menyelamatkan Hutan,” yang diselenggarakan oleh Society of Indonesian Environmental Journalist (SIEJ), organisasi jurnalis lingkungan berkedudukan di Jakarta. Sebagai hadiahnya, panitia membawa kami mengunjungi Taman Nasional Gunung Palung (TNGP) yang memiliki luas 90.000 hektar dan bersinggungan dengan dua kabupaten yaitu Kabupaten Ketapang dan Kabupaten Kayong Utara.

Ikut juga bersama kami Sapto HP yang mewakili SIEJ, Daeng Rizal jurnalis Mongabay yang berdomisili di Pontianak serta paniita dari USAID. Obrolan berlangsung hangat setelah sebelumnya makan siang bersama.

Gua Maria ini merupakan lokasi wisata yang dialiri oleh alur kecil berair jernih, terletak di pinggiran hutan yang bersisian dengan kawasan TNGP. Objek wisata ini lumayan ramai dikunjungi bahkan terdapat areal seluas lapangan volley untuk melakukan misa bagi umat kristen.  Kami duduk-duduk di bawah rimbunnya pohon, beralaskan terpal atau duduk di atas batu.

TNGP merupakan salah satu kawasan pelestarian alam yang memiliki keaneka-ragaman hayati bernilai tinggi, dan berbagai tipe ekosistem antara lain hutan mangrove, hutan rawa, rawa gambut, hutan rawa air tawar, hutan pamah tropika, dan hutan pegunungan yang selalu ditutupi kabut.

Taman nasional ini merupakan satu-satunya kawasan hutan tropika Dipterocarpus yang terbaik dan terluas di Kalimantan. Sekitar 65 persen kawasan, masih berupa hutan primer yang tidak terganggu aktivitas manusia dan memiliki banyak komunitas tumbuhan dan satwa liar.

Kawasan ini ditumbuhi oleh jelutung (Dyera costulata), ramin (Gonystylus bancanus), damar (Agathis borneensis), pulai (Alstonia scholaris), rengas (Gluta renghas), kayu ulin (Eusideroxylon zwageri), Bruguiera sp., Lumnitzera sp., Rhizophora sp., Sonneratia sp., ara si pencekik, dan tumbuhan obat.

Tumbuhan yang tergolong unik di taman nasional ini adalah anggrek hitam (Coelogyne pandurata), yang mudah dilihat di Sungai Matan terutama pada bulan Februari-April. Daya tarik anggrek hitam terlihat pada bentuk bunga yang bertanda dengan warna hijau dengan kombinasi bercak hitam pada bagian tengah bunga, dan lama mekar antara 5-6 hari.

Tercatat ada 190 jenis burung dan 35 jenis mamalia yang berperan sebagai pemencar biji tumbuhan di hutan. Semua keluarga burung dan kemungkinan besar dari seluruh jenis burung yang ada di Kalimantan, terdapat di dalam hutan taman nasional ini.

Satwa yang sering terlihat di TNGP yaitu bekantan (Nasalis larvatus), orangutan (Pongo satyrus), bajing tanah bergaris empat (Lariscus hosei), kijang (Muntiacus muntjak pleiharicus), beruang madu (Helarctos malayanus euryspilus), beruk (Macaca nemestrina nemestrina), klampiau (Hylobates muelleri), kukang (Nyticebus coucang borneanus), rangkong badak (Buceros rhinoceros borneoensis), kancil (Tragulus napu borneanus), ayam hutan (Gallus gallus), enggang gading (Rhinoplax vigil), buaya siam (Crocodylus siamensis), kura-kura gading (Orlitia borneensis), dan penyu tempayan (Caretta caretta). Tidak kalah menariknya keberadaan tupai kenari (Rheithrosciurus macrotis) yang sangat langka, dan sulit untuk dilihat (Dishut.go.id).

Perjalanan menuju TNGP kami tempuh dari Pontianak, Ibu kota Propinsi Kalimantan Barat dengan menggunakan pesawat berukuran sedang dan mendarat di Bandara Rahadi Usman, di Ketapang. Ada yang menarik melihat pemandangan di Bandara Supadio Pontianak, penumpang berjejalan di pintu masuk, bagaikan suasana di terminal bus saja layaknya. Ragam penampilan penumpang sangat bervariasi, dari model penampilan orang desa hingga tampang pengusaha. Rupanya menurut Daeng Rizal, transportasi darat di Kalimantan sangat buruk sehingga banyak masyarakat memilih pesawat untuk bepergian antar satu daerah.

Mungkin karena terpengaruh masih dalam suasana kampanye calon presiden Indonesia, Yohanes membuka percakapan dengan mengutip sebuah pernyataan yang sangat relevan dengan pembangunan. Ia berkata seorang pemimpin adalah orang yang dapat membuat “jembatan”, baik secara fisik maupun sosial. Secara fisik berarti pemimpin harus dapat membuat infrastruktur seperti jalan, jembatan dan sebagainya. Sedangkan secara sosial berarti pemimpin harus mampu menjembatani berbagai kepentingan masyarakat yang sangat beragam. Kami tersenyum mendengarnya.

Desa tempatnya tinggal kini boleh dikatakan satu-satunya daerah yang masih selamat dari pembukaan kebun sawit. Selain itu desa ini dikepung oleh kegiatan ilegal logging namun syukurnya hutan desanya masih selamat. Masyarakat berhasil menghalau para logger liar tersebut.

Selain dikelilingi oleh perkebunan sawit, ada juga pertambangan Bauksit dalam daerah Laman Satong. Banyak juga warga desa yang bekerja di perusahaan tambang tersebut, selain bekerja di kebun sawit, sesuatu yang bertentangan dengan prinsip Yohanes Terang. Lahan sawit dan lahan pertambangan pun tumpang tindih satu sama lain.

Akibat ketidaksetujuannya dengan tambang, Yohanes sempat beberapa kali didatangi perwakilan perusahaan dan ditawarkan sejumlah duit. “Alasan mereka kasih duit karena saya orang tua di kampung. Tapi saya tolak,” kata Yohanes.

Dampak pembukaan kebun sawit dan tambang mulai terasa. Dulu saat mereka membuka daerah ini secara manual, tidak pernah terjadi banjir dan hujan debu. Sekarang banjir sudah menjadi langganan dan debu menjadi ‘santapan’ sehari-hari.

Ketika Yohanes ditempatkan ke desa Laman Satong, ia menerima pesan singkat saja. “ Tolong bawa perubahan di Dusun Manjau,” ujarnya menirukan pesan tersebut.

Yohanes bersama warga terus bekerja keras melestarikan hutan yang tersisa. Masih ada sedikit hutan lagi yang kini sedang diusahakan statusnya menjadi Hutan Desa. Hutan Desa sangat dibutuhkan untuk menyimpan air sehingga dimusim kemarau persediaan air masih ada.

Di hutan desa ini masyarakat menanam kopi, durian, pohon gaharu dan berbagai tanaman lainnya. Ada sekitar 1.070 Hektar Hutan Desa yang diusulkan. Sekitar 25 persennya akan dijadikan lokasi pembibitan pohon hutan.

Bagaimana pembagian lahan hutan desa? Lahan dibagi-bagi kepada masyarakat untuk dikelola. Ada dibentuk Lembaga Pengelola Hutan Desa berdasarkan peraturan desa nantinya. Organisasi ini akan mengatur pengelolaan hutan desa termasuk memberikan sanksi yang memakai hukum adat. Sanksi adat misalnya tidak boleh membuka ladang. Atau dengan kata lain boleh mengambil apa yang bisa dimanfaatkan asal tidak merusak hutan.

Ada cerita menarik dari Yohanes tentang tanaman hutan. Bagi masyarakat Dayak, pohon durian adalah salah satu pohon yang dikeramatkan. Menebang pohon durian sama saja dengan membunuh Demong (tokoh adat). Pohon durian hanya boleh ditebang untuk dibuat keranda jika ada yang meninggal.

Namun proses penetapan Hutan Desa oleh Kementerian Kehutanan penuh liku. Masyarakat dibantu oleh berbagai lembaga konservasi sudah mengusulkan Hutan Desa ke Gubernur Kalimantan Barat agar diberikan rekomendasi.
Yohanes adalah seorang yang sangat humoris. Beberapa kali ia menceritakan humor dari berbagai daerah. Dan ternyata Yohanes Terang juga adalah seorang pujangga yang telah menciptakan puluhan puisi. DI tengah ketenangan Desa Laman Satong, dari jemarinya telah lahir berbagai puisi, terutama bertemakan alam. Akibatnya, ia pun sering diminta membacakan puisinya di berbagai acara yang dihadirinya, bahkan di acara tingkat desa sekalipun. Inilah salah satu puisinya:

Kata Uang

Aku uang
Aku raja di atas segala raja
Aku kuasa di atas segala penguasa
Aku segalanya bagi manusia
Aku hadir disetiap bentuk dan rupa
Aku tinggi, panjang, dalam dan seluas alam raya
Aku racun, obat, hina juga mulia  
Aku gagah, megah, indah, luka, duka, merana

Lihat karena akulah,  pejabat agung mulia jatuh ke lembah duka dan hina
Karena akulah bumi dilobang, gunung terpangkas, hutan terpanggang, asap mendera
Karena akulah sumber bencana yang tidak berujung sampai berakhirnya cerita

Jangan lupa pada saatnya menghadap Sang Pencipta aku tidak ada disana
Karena bagi-Nya aku tidak punya guna []

read more
Sains

Pestisida Rusak Ekosistem Alami

Penggunaan pestisida terbukti secara sistemis meracuni ekosistem, menghancurkan keanekaragaman hayati. Hal ini terungkap dari hasil penelitian selama empat tahun yang dilakukan oleh komunitas ilmiah, Task Force On Systemic Pesticides.

Penggunaan pestisida sistemis berjenis neonicotinoids dan fipronil (neonics) menyebabkan kerusakan yang parah pada spesies invertebrata yang bermanfaat bagi lingkungan dan menjadi penyebab utama menurunnya populasi lebah di alam.

Perhatian terhadap pemakaian pestisida sistemis ini sudah berlangsung selama 20 tahun terakhir namun belum ada kesimpulan ilmiah tentang bahaya pestisida ini hingga hasil penelitian ini diterbitkan.

Tim peneliti yang melakukan analisis penuh terhadap 800 penelitian dari seluruh dunia telah menemukan bukti nyata dari bahaya pemakaian pestisida ini dan menyeru diciptakannya aksi dan kebijakan untuk mencegah pemakaiannya.

Hasil kajian yang dikenal dengan nama Worldwide Integrated Assessment (WIA) ini akan diterbitkan dalam Journal Environment Science and Pollution Research. Tim peneliti menyimpulkan, pestisida berjenis neonics membawa ancaman kerusakan serius terhadap populasi lebah madu dan serangga penyerbuk lainnya seperti kupu-kupu, spesies invertebrata seperti cacing tanah dan berbagai spesies invertebrata yaitu berbagai jenis burung.

Pestisida jenis neonics adalah racun syaraf yang mematikan baik secara langsung maupun tidak langsung. Paparan jangka panjang pestisida jenis ini – walau dalam takaran yang tidak mematikan – akan merusak sensor serangga dan hewan lainnya, termasuk indra penciuman, memori yang akan mengganggu kemampuan mereka bereproduksi, mencari dan mengolah makanan.

Pada lebah, racun ini akan mengganggu kemampuan mereka melakukan penyerbukan. Pada cacing tanah, racun ini akan merusak kemampuan mereka membuat lubang. Pada burung dan serangga pestisida ini meracuni makanan mereka, mengganggu sistem sensor dan kemampuan terbang sehingga mereka semakin rentan terhadap predator dan penyakit.

Dr Jean-Marc Bonmatin dari National Centre for Scientific Research di Perancis yang merupakan salah satu penyusun laporan ini menyatakan, “Bukti-bukti yang ada sudah sangat jelas. Kami menemukan ancaman yang nyata (dari penggunaan pestisida sistemis ini) pada lingkungan, baik yang alami maupun lingkungan hasil olahan manusia.”

Penggunaan pestisida ini menurut Jean-Marc tidak melindungi produksi pangan, tapi malah sebaliknya, merusak infrastruktur penting dalam sistem produksi pangan. “Pestisida ini juga merusak sistem penyerbukan alami, habitat mereka, termasuk sistem pengontrol hama alami yang menjadi ciri sebuah ekosistem yang sehat,” tuturnya.[]

Sumber: hijauku.com

read more
Ragam

Kambing Janda di Taman Nasional Gunung Palung

Pada tanggal 20 – 24 Juni 2014 lalu, saya dari Aceh dan dua teman dari Riau berkesempatan mengunjungi Taman Nasional Gunung Palung (TNGP) di Propinsi Kalimantan Barat. Kami bertiga merupakan pemenang lomba menulis dengan tema “Menyelamatkan Biodiversity, Menyelamatkan Hutan,” yang diselenggarakan oleh Society of Indonesian Environmental Journalist (SIEJ), organisasi jurnalis lingkungan berkedudukan di Jakarta. Sebagai hadiahnya, panitia membawa kami mengunjungi TNGP yang memiliki luas 90.000 hektar dan bersinggungan dengan dua kabupaten yaitu Kabupaten Ketapang dan Kabupaten Kayong Utara.

TNGP merupakan salah satu kawasan pelestarian alam yang memiliki keaneka-ragaman hayati bernilai tinggi, dan berbagai tipe ekosistem antara lain hutan mangrove, hutan rawa, rawa gambut, hutan rawa air tawar, hutan pamah tropika, dan hutan pegunungan yang selalu ditutupi kabut.

Taman nasional ini merupakan satu-satunya kawasan hutan tropika Dipterocarpus yang terbaik dan terluas di Kalimantan. Sekitar 65 persen kawasan, masih berupa hutan primer yang tidak terganggu aktivitas manusia dan memiliki banyak komunitas tumbuhan dan satwa liar.

Kawasan ini ditumbuhi oleh jelutung (Dyera costulata), ramin (Gonystylus bancanus), damar (Agathis borneensis), pulai (Alstonia scholaris), rengas (Gluta renghas), kayu ulin (Eusideroxylon zwageri), Bruguiera sp., Lumnitzera sp., Rhizophora sp., Sonneratia sp., ara si pencekik, dan tumbuhan obat.

Tumbuhan yang tergolong unik di taman nasional ini adalah anggrek hitam (Coelogyne pandurata), yang mudah dilihat di Sungai Matan terutama pada bulan Februari-April. Daya tarik anggrek hitam terlihat pada bentuk bunga yang bertanda dengan warna hijau dengan kombinasi bercak hitam pada bagian tengah bunga, dan lama mekar antara 5-6 hari.

Tercatat ada 190 jenis burung dan 35 jenis mamalia yang berperan sebagai pemencar biji tumbuhan di hutan. Semua keluarga burung dan kemungkinan besar dari seluruh jenis burung yang ada di Kalimantan, terdapat di dalam hutan taman nasional ini.

Satwa yang sering terlihat di TNGP yaitu bekantan (Nasalis larvatus), orangutan (Pongo satyrus), bajing tanah bergaris empat (Lariscus hosei), kijang (Muntiacus muntjak pleiharicus), beruang madu (Helarctos malayanus euryspilus), beruk (Macaca nemestrina nemestrina), klampiau (Hylobates muelleri), kukang (Nyticebus coucang borneanus), rangkong badak (Buceros rhinoceros borneoensis), kancil (Tragulus napu borneanus), ayam hutan (Gallus gallus), enggang gading (Rhinoplax vigil), buaya siam (Crocodylus siamensis), kura-kura gading (Orlitia borneensis), dan penyu tempayan (Caretta caretta). Tidak kalah menariknya keberadaan tupai kenari (Rheithrosciurus macrotis) yang sangat langka, dan sulit untuk dilihat (Dishut.go.id).

Perjalanan menuju TNGP kami tempuh dari Pontianak, Ibu kota Propinsi ini dengan menggunakan pesawat berukuran sedang dan mendarat di Bandara Rahadi Usman, di Ketapang. Ada yang menarik melihat pemandangan di Bandara Supadio Pontianak, penumpang berjejalan di pintu masuk, bagaikan suasana di terminal bus saja layaknya. Ragam penampilan penumpang sangat bervariasi, dari model penampilan orang desa hingga tampang pengusaha. Rupanya menurut cerita teman, seorang jurnalis lingkungan asal Pontianak, Daeng Rizal, transportasi darat di Kalimantan sangat buruk sehingga banyak masyarakat memilih pesawat untuk bepergian antar satu daerah.

Dari Ketapang untuk menuju TNGP masih dibutuhkan dua jam perjalanan darat lagi. Tapi ini sebenarnya belum masuk zona inti atau kawasan hutan lebat TNGP tetapi hanya kawasan pinggiran yang banyak pemukiman. Hari pertama ini kami langsung menjumpai masyarakat yang bermukim di pinggiran hutan TNGP untuk bersilaturahmi dan wawancara tentang program konservasi hutan.

Desa yang kami kunjungi pertama adalah Desa Sedahan, Kecamatan Sukadana, Kabupaten Kayong Utara. Warga yang didukung oleh organisasi lokal bernama Yayasan Asri menjalankan program penyelamatan hutan sambil memberdayakan kehidupan masyarakat. Segudang problematika khas penduduk sekitar hutan ada di desa ini mulai dari batas hutan yang tidak jelas, tanah dan kebun mereka masuk ke dalam wilayah TNGP dan pembukaan hutan menjadi kebun sawit. Namun kini banyak masyarakat desa yang dulunya merupakan penebang liar kini telah beralih menjadi petani atau menjalankan usaha lainnya.

Seperti yang kami temui hari itu, satu kelompok tani yang dulunya merupakan penebang liar. Pak Jono, bekas penebang liar berkisah kepada kami tentang pekerjaannya dulu. “ Kalau dipikir-pikir duit yang kami dapat dulu tidak banyak. Memang totalnya banyak tetapi setelah potong hutang sana-sini paling bisa kami bawa pulang 1 juta. Sekarang dengan bertani kami bisa mendapat lebih,”katanya.

Yayasan Asri membantu masyarakat dengan berbagai program uniknya di bidang kesehatan dan pemberdayaan masyarakat. Mereka mendirikan klinik dan menyediakan obat-obat berkualitas bagi warga sekitar hutan. Program kesehatan ini menjadi menarik karena menerapkan sistem “reward and punishment” bagi warga yang menjaga hutan. Sebagai contoh, desa-desa di sekitar hutan diberi label zona merah dan zona hijau. Bagi warga desa yang tinggal di zona merah, jika berobat ke klinik hanya mendapat diskon 30 persen. Sedangkan bagi penduduk yang tinggal di zona hijau mendapat potongan harga jauh lebih besar yaitu 70 persen.

Zona merah berarti di desa tersebut ditemukan tumpukan kayu ilegal, kegiatan penebangan liar dan gergaji mesin. Sebaliknya jika zona hijau berarti desa tersebut telah aman dari kegiatan yang merusak hutan. Jadi masyarakat akan menjaga desanya agar tidak masuk dalam zona merah atau menjaga desanya tetap zona hijau mengingat pelayanan kesehatan yang diberikan sangat berkualitas walaupun sebenarnya ada Puskesmas yang memberikan obat gratis di sekitar mereka. Warga lebih percaya kepada dokter-dokter klinik Yayasan Asri yang berasal dari berbagai daerah bahkan ada dokter dari luar negeri.

Program pemberdayaan yang dilakukan antara lain memberikan pelatihan pertanian organik bagi masyarakat seperti membuat pestisida alami, kompos dan sebagainya.  Selain itu masyarakat juga melakukan penanaman pohon-pohon untuk rehabilitasi hutan baik pohon yang menghasilkan kayu maupun pohon yang memiliki buah. Pohon yang berbuah ini sangat penting sebagai makanan satwa agar hewan-hewan ini tidak mengganggu pertanian penduduk.

Selain itu pohon-pohon yang berbuah dapat menjadi koridor satwa antara satu wilayah dengan wilayah lainnya.
Bagi saya program pemberdayaan Yayasan Asri yang paling menarik adalah “ Kambing untuk Janda”. Ketika pertama mendengar kata “kambing janda”, saya pikir ini hanya becandaan orang setempat saja. Ternyata ini adalah program pemberian kambing kepada janda kurang mampu untuk dipelihara dan hasilnya nanti digulirkan (revolving) kepada janda lain. Konsultan Teknis Pemeliharaan kambing, Muhammad Yusuf menceritakan awalnya program Kambing untuk Janda ini idenya dari seorang janda warga negara Amerika Serikat yang berkunjung ke daerah TNGP. Janda ini kemudian berinisiatif mengumpulkan dana dari rekan-rekannya sesama janda dan dana ini dibelikan kambing yang diserahkan kepada janda miskin yang bermukim sekitar hutan.

“Syarat penerima bantuan adalah janda miskin berumur 50 tahun keatas, miskin, tidak punya anak atau cucu berkecukupan atau PNS. Kami mensurvey janda calon penerima yang nama-namanya diberikan oleh kepala desa. Saat ini ada sekitar 180 janda penerima kambing dari 9 desa, setiap janda mendapatkan sepasang kambing. Namun kambing jantannya digilirkan antara betina-betina lain. Kalau kambing sudah beranak maka anaknya diberikan kepada janda lain,” jelas Muhammad Yusuf. Program ini sudah dimulai sejak tahun 2008 lalu dan sampai saat ini pelaksanaannya terus dimonitor oleh yayasan.

Salah seorang janda penerima kambing, Fatimah, 64 tahun, sempat kami jumpai saat sedang menggembalakan kambingnya di daerah berumput pinggir pantai. Ia mendapat bantuan kambing tahun 2012 dan kini telah mempunyai enam ekor kambing. Janda dengan 6 anak ini seharian menjaga kambingnya agar tidak dimakan anjing atau predator lainnya. Harga kambing sangat tinggi di daerah ini, harganya dihitung perkilogram berat tubuh kambing yang masih hidup.

“Kalau kambing jantan harganya 70.000 per kilo, kalau kambing betina 40.000 per kilo,” kata Fatimah. Kambingnya sendiri saat ini masih kecil-kecil selain induknya, jadi Fatimah belum bisa menaksir berapa harga total peliharaannya tersebut.

Fatimah menjaga kambingnya sepenuh hati dan jiwanya. Sehari bisa 4-5 jam ia menggembalkan kambing yang dimulai dari pagi hari. Sorenya ia masih mencari umpan untuk dimakan kambingnya di dalam kandang. Ini sangat berbeda dengan yang saya lihat di Aceh, dimana pemilik kambing seenaknya saja melepaskan hewan bertanduk ini sehingga merusak tanaman orang lain.

Unik, ini sepertinya baru saya mendengar ada program khusus untuk janda yang tinggal sekitar hutan.  Program pelestarian hutan yang disatukan dengan program pemberdayaan masyarakat memang sangat penting. Apa artinya hutan lestari jika masyarkat tidak sejahtera, ungkapan seorang tokoh masyarakat setempat. Ini seperti motto Yayasan Asri, Hutan Lestari Masyarakat Sejahtera.

Memang tiga hari yang melelahkan melakukan perjalanan sambung menyambung antara pesawat terbang dan jalan darat. Tetapi Insya Allah perjalanan ini memberikan banyak inspirasi bagi saya.[]

read more
1 2
Page 2 of 2