close

October 2014

Kebijakan Lingkungan

Menteri LH & Kehutanan: Isu lingkungan hidup setara politik

Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Siti Nurbaya Bakar berpendapat, isu lingkungan hidup setara dengan politik dan pertumbuhan ekonomi.

“Sejak 2001 saya memikirkan isu lingkungan hidup seolah hanya dikaitkan dengan pencemaran dan perizinan, padahal isunya evolutif. Jadi, setara dengan isu politik dan pertumbuhan ekonomi,” ujarnya di Jakarta, Rabu kemarin.

Siti menyatakan, isu lingkungan meliputi banyak dimensi, tidak hanya soal pencemaran atau perizinan lahan.

Dia menyebut, beberapa contoh yang termasuk dalam isu lingkungan, seperti kenyamanan masyarakat terhadap lingkungan sekitarnya, ketersediaan sumber daya alam, dan mobilitas penduduk.

“Dalam beberapa hari ini saya mendapat 4.000 SMS. Banyak yang isinya laporan tentang lingkungan,” ujarnya.

Ia pun menyimpulkan bahwa perspektif lingkungan telah meluas di masyaraat.

Dia pun menambahkan, ada tiga hal besar yang akan ditingkatkan oleh Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, yaitu menggiatkan kampanye informasi publik, memudahkan dan menyederhanakan perizinan agar jelas pembayarannya, serta membuat regulasi efektif. []

Sumber: antara

read more
Galeri

Foto: Saat-saat Terakhir AGAM

Dokter di Pusat Latihan Gajah (PLG) Saree, Aceh Besar sedang melakukan perawatan rutin pada Agam, gajah jantan berusia 2 tahun. Sebelumnya Agam mengalami cidera berat atau dislokasi tulang panggul kaki belakang saat bermain pada pertengahan Mei 2014 lalu. Agam, anak gajah yatim piatu berumur dua tahun itu akhirnya meninggal Minggu (26/10/2014). Kondisi Agam memburuk setelah sebulan lalu dia tidak bisa bangun sama sekali. Selama sakit, Agam dirawat oleh dokter PLG Saree dan dokter dari Vesswic dengan dibantu mahout.

read more
Sains

Nasib Lingkungan Hidup Pasca Merger KLH-Kemenhut

Pengumuman susunan kabinet, Minggu (26/10/2014), disambut tanya sekaligus kekhawatiran aktivis lingkungan, khususnya terkait penggabungan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kementerian Kehutanan. Untuk jangka pendek, kementerian itu diprediksi tak bisa langsung bekerja. Jangka panjangnya, isu lingkungan terpinggirkan.

Penggabungan kementerian jelas membutuhkan penyesuaian restrukturisasi birokrasi, belum lagi sosok menteri Siti Nurbaya yang merupakan orang baru di isu lingkungan dan kehutanan. Kami melihat akan terjadi pelambatan signifikan isu lingkungan dan kehutanan. Padahal, pekerjaan rumah kementerian ini menumpuk,” kata Abetnego Tarigan, Direktur Eksekutif Walhi, di Jakarta, beberapa waktu lalu.

Contohnya, penanganan kebakaran hutan dan lahan, penyusunan belasan peraturan pemerintah yang diamanatkan UU Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, serta pembuatan RUU Perubahan Iklim.

Pada sektor kehutanan, pengukuhan dan penetapan tata batas kawasan hutan, deforestasi di kawasan konservasi, dan pemberian izin pinjam pakai (umumnya bagi pertambangan) masih menyisakan berbagai masalah.

Sebelumnya, pengajar Hukum Lingkungan di Universitas Tarumanagara, Jakarta, Deni Bram, mengatakan, semangat konservasi pada Kementerian Lingkungan Hidup (KLH) dan semangat membuka kesempatan pemanfaatan hutan pada Kementerian Kehutanan (Kemenhut) akan membuat penggabungan itu rumit. Bahkan, ada kecenderungan berisiko.

Kondisi kritis
Menurut Siti Maemunah, penggiat Civil Society Forum dan Badan Pengurus Jaringan Tambang, persoalan lingkungan hidup Indonesia saat ini sesungguhnya dalam kondisi kritis.

“Seharusnya, Kementerian LH diperkuat, bukan digabung dengan sektor kehutanan yang penekanannya lebih ke eksploitasi. Pada kabinet sebelumnya saja belum mampu mengatasinya, apalagi sekarang,” katanya.

Pada dua sektor itu, kata Maemunah, sebenarnya banyak terdapat profesional dengan kapasitas dan reputasi baik. “Menteri baru jauh di luar ekspektasi kami karena tidak memiliki rekam jejak perlindungan lingkungan juga sektor kehutanan. Sangat mengejutkan,” ungkapnya.

Di sisi lain, DPR justru semakin menunjukkan oligarkinya. Secara terpisah, Direktur Eksekutif Lembaga Pengembangan Hukum Lingkungan Henry Subagyo menyatakan, sebenarnya kalangan aktivis lingkungan berharap Presiden Joko Widodo memilih menteri yang bukan dari partai politik atau korporasi. Kini, ia hanya berharap sosok Siti Nurbaya berani mengambil risiko karena banyak agenda penegakan hukum serta penyelesaian masalah lingkungan hidup dan kehutanan yang membutuhkan stamina tinggi.

Terkait kesejahteraan
Sementara itu Direktur Eksekutif Greenomics Indonesia Elfian Effendi mengatakan, pengalaman Siti Nurbaya sebagai birokrat Kementerian Dalam Negeri yang pernah berkarier di daerah merupakan modal utama memperkuat relasi pusat dan daerah, khususnya untuk membangun sektor kehutanan dan lingkungan hidup.

Siti Nurbaya, kata Elfian, harus mampu menempatkan sektor kehutanan sebagai salah satu motor ekonomi nasional memenuhi janji kampanye Joko Widodo-Jusuf Kalla menciptakan 10 juta lapangan kerja dalam lima tahun dengan pertumbuhan 7 persen per tahun.

Tugas pemerintah adalah memajukan perekonomian sehingga sudah seharusnya sejalan dengan dunia usaha, kata Sekretaris Jenderal Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia Joko Supriyono.

Siti Maemunah menambahkan, dengan melihat dinamika terakhir, masyarakat sipil mau tak mau harus semakin intens melakukan pengawalan.

Beberapa pekerjaan rumah yang mendesak dibenahi, antara lain, adalah perubahan paradigma pemerintah yang selama ini memberlakukan ruang hidup masyarakat sebagai komoditas semata. Hal itulah yang, menurut Maemunah, menjadi akar terjadinya konflik dengan masyarakat dan perusakan kawasan yang dilindungi.[]

Sumber: NGI/Kompas/ICH/AIK/HAM

read more
Hutan

Apa Arti “Hijau” dalam Istilah Ekonomi Hijau?

Konferensi Tingkat Tinggi Perserikatan Bangsa Bangsa dan Pawai Iklim Masyarakat di New York adalah pendahuluan UNFCCC COP di Lima (2014_ dan Paris (2015) – salah satu dari banyak acara yang menyoroti pembatasan perubahan iklim dan pencapaian pembangunan berkelanjutan. Walaupun semua ini bukan tantangan baru, tekanan untuk mengatasinya menjadi penting menghadapi pemanasan global dan krisis ekonomi. Dalam konteks ini, gagasan ekonomi hijau, dengan janji mendorong pertumbuhan ekonomi tanpa mengganggu integritas ekologi Bumi, sangat menggoda. Tetapi dapatkan ekonomi hijau memenuhi janjinya? Sebuan kajian ringkas hubungan ekonomi-lingkungan sebelumnya telah terangkai sebelum ilmuwan dan masyarakat dapat menilai pertanyaan tersebut.

Apakah model ‘ekonomi hijau’ dan ‘pertumbuhan hijau’ berbeda dari model pembangunan sebelumnya?

Masalah ekonomi dan lingkungan terkait pertama kali dengan agenda pembangunan internasional pada Konferensi Lingkungan Hidup Manusia PBB di Stockholm 1972. Kaitan awal ini terfokus pada “isu abu-abu,” seperti limbah industri, polusi udara dan air, serta dampak ekologis pertumbuhan ekonomi. Perhatian mengenai kelangkaan sumber daya dan dampaknya pada pertumbuhan ekonomi masa datang juga mulai muncul saat itu. Dalam dunia yang membangun serta tropis, kaitan antara aktivitas ekonomi dan lingkungan tampak pada kekhawatiran terhadap deforestasi dan degradasi lahan.

Bagaimanapun, pada akhir 1980, ilmuwan dan pembuat kebijakan mulai berbicara ekonomi dan masalah lingkungan sebagai dua sisi mata uang. Salah satu formulasi terkenal kaitan ini tampil pada laporan 1987, Masa Depan Bersama. Dipublikasikan Komisi Lingkungan dan Pembangunan Dunia (WCED) di bawah kepemimpinan direktur Gro Harlem Brundtland (kemudian menjadi Perdana Meneri Norwegia), laporan WCED ini mengadvokasi perlunya “pembangunan berkelanjutan,” yang didefinisikan sebagai:

. . . pembangunan yang memenuhi kebutuhan hari ini tanpa menggangu kemampuan generasi masa depan untuk memenuhi kebutuhannya. Hal ini mencakup dua konsep kunci: konsep ‘kebutuhan’, khususnya kebutuhan mendasar dunia miskin, di mana prioritas utama seharusnya diberikan; dan ide keterbatasan dalam tekanan teknologi dan organisasi sosial terhadap kemampuan lingkungan untuk memenuhi kebutuhan masa kini dan masa depan.

Konferensi PBB 1992 mengenai Lingkungan dan Pembangunan di Rio de Janeiro, yang dikenal sebagai KTT Bumi, mengkonsolidasikan kaitan ini dan memaparkan rencana aksi abad 21 (Agenda 21). Komisi Pembangunan Berkelanjutan didirikan di Rio dan ditugasi menindaklanjuti Agenda 21 dan beragam kesepakatan yang ditandatangi pada KTT Bumi. Dua puluh tahun kemudian, seruan pembangunan berkelanjutan dan penghapusan kemiskinan diperbarui pada Konferensi Pembangunan Berkelanjutan PBB 2012. Ide ekonomi hijau muncul sebagai rintisan Konferensi 2012 dan didefinisikan sebagai

. . . sesuatu yang menghasilkan peningkatan kualitas kehidupan manusia dan kesetaraan sosial, seraya secara signifikan mengurangi risikio lingkungan dan kelangkaan ekologis. Dalam ungkapan paling sederhana, ekonomi hijau dapat dipandang sebagai rendah karbon, efisiensi sumber daya dan inklusivitas sosial.

Hal ini jelas menjejakkan warisan pada definisi pembangunan berkelanjutan WCED.

Tetapi apakah model “ekonomi hijau” dan “pertumbuhan hijau benar-benar berbeda dari model pembangunan sebelumnya, yaitu yang dalam tingkat makro bertanggungjawab terhadap kebuntuan saat ini? Apakah ekonomi hijau – yang seolah-olah tidak bisa mengkompromikan ekologi atau ekonomi – juga kondusif bagi pembangunan berkeadilan dan damai? Para pendukungnya menyuarakan jawaban ya; para kritikus menjawab dengan  sebuah kategorisasi tidak .

Menghadapi seriusnya perubahan iklim, ilmuwan (dan masyarakat) harus terlihat menjawab keduanya secara analitis dan kritis untuk menilai. Hal ini membutuhkan kesabaran dan kepenasaran intelektual untuk memahami sejarah pembangunan internasional, dan hubungannya dengan ilmu pengetahuan (bagi yang berminat, tulisan Maggie Black berjudul “Panduan Bukan Omong Kosong mengenai Pembangunan Internasional” adalah titik berangkat yang sangat bagus). Menjauhkan upaya tersebut dengan respon menerapkan kemanfaatan kebijakan pragmatis sama saja dengan menjauhkan masa depan kita.

Sumber: cifor.org

read more
Green Style

Pemko Kendari Wujudkan “Green City”

Pemerintah Kota Kendari, Sulawesi Tenggara, terus menerapkan konsep pembangunan “green building” atau bangunan hijau sebagai salah satu upaya mewujudkan Kendari Green City.

Kepala Badan Perencanaan Pembangunan Daerah (Bappeda) Kendari, Askar mengatakan, dalam konsep green building atau bangunan hijau diperlukan suatu acuan yang pengembangannya menuju konsep bangunan yang hijau terukur dan kondusif.

“Bangunan hijau mengarah pada struktur dan pemakaian proses yang bertanggungjawab terhadap lingkungan dan hemat sumber daya sepanjang siklus hidup bangunan tersebut. Mulai dari pemilihan tempat, desain, konstruksi, operasi, perawatan renovasi dan peruntuhan,” katanya di Kendari, Rabu (22/10/2014).

Tujuan utama dari konsep itu, katanya, bangunan hijau dirancang untuk mengurangi dampak lingkungan, terhadap kesehatan manusia dan lingkungan alami dengan menggunakan energi, air, dan sumber daya lain secara efisien.

“Kemudian melindungi kesehatan penghuni dan mengurangi limbah, polusi dan degradasi lingkungan,” katanya.

Pemerintah Kendari, kata Askar, merangsang para pengembang yang ikut mendukung program atau konsep bangunan hijau tersebut dengan cara memberikan insentif bagi pengembang yang menerapkan konsep green building.

“Aksi yang dilakukan pemerintah terkait konsep itu adalah mewujudkan kota hijau, sekolah hijau, bangunan hemat energi, penataan dan pengembangan rumah susun sewa sederhana,” katanya.

Aksi lain, kata dia, berupa penataan dan pengembangan pasar dan PKL, revitalisasi pemukiman pemulung menjadi kampung mandiri energi serta bedah rumah kumuh.

Sumber: beritasatu/Antara

read more
Tajuk Lingkungan

Nestapa Arun

Batu Phat, perkampungan dengan latar liuk lidah api ladang gas, barisan kedai kelontong diseberang jalan dan beberapa warga gampong mantan satpam PT Arun yang kini sudah tua, mungkin setua ladang gas itu.

Di sini, pengapalan gas alam cair Arun, yang berlangsung  lebih 200 kali setahun – selama tiga dekade  dan mencapai puncaknya di tahun 1980-an, akan tutup karena sudah kehabisan sumber gasnya. Pemerintah Indonesia segera memulai proyek baru alih fungsi sumur tua dari kilang pencairan gas alam menjadi pabrik regasifikasi dan terminal penampungan untuk mensuplai kebutuhan pembangkit listrik bagi kebutuhan industri di Aceh dan Sumatera Utara. Seluruh pekerjaan diserahkan kepada PT Pertamina, yang nantinya akan menjadi operasional tunggal sekaligus pemilik pabrik.

Dan di sini pula mungkin kita akan hidup sebagai sebuah masyarakat yang kecapekan oleh dusta. Ya, dari janji-janji baru untuk menjawab sebesar apa pengaruh dari regasifikasi itu kepada pertumbuhan ekonomi lokal.

Masa lalu ladang gas itu adalah masa-masa paling brutal terhadap kehidupan sosial masyarakat sekitar – sepanjang sejarahnya. Bagai istana khayal yang sulit disentuh. Kemewahannya hanya berlangsung antara para komprador, korporasi asing dan para pejabat pemerintah yang korup. Kini ada janji baru, lewat regasifikasi – uang “akan” banyak berputar di sini.

Hampir setiap saat kita mendengar “kemakmuran”, disaat itu pula kita menyaksikan keringkihan. Semua diputarbalikkan. Melahirkan kebencian dan ketidakpercayaan.

Bagaimanapun juga regasifikasi adalah sebuah “maksud”. Tetapi bila sebuah maksud dimasuki bunyi lain yang saling berdesak-desakan, ia akan menguap seperti gas, seperti Hydrogen Sulfide yang berbau telur busuk; menyebabkan mual, muntah, kejang, hingga kematian.

Ya, mual dan muntah itu juga bisa datang dari kecapekan oleh dusta. Antara negara dan rakyatnya.

Biasanya dialog berhenti, bahasa kehabisan kata-kata di “sumur tua”. Pada akhirnya, rakyat hanya bisa melihat para aktor bergerak dengan arah yang mantap, tidak lagi menyapa.

Sumur tua, besi tua Arun. Meskipun di isi dengan yang lain, ia adalah lambang mental, politik dan ekonomi dari sebuah negeri yang gampang ditakut-takuti oleh asing. Juga lambang ketidakberdayaan dan kemencretan mental dari negara yang tidak punya keberanian menuntut renegosiasi kontrak karya yang merugikan rakyat. Dimana selama puluhan tahun negara menempatkan diri sebagai pembela kepentingan asing. Bukan kepentingan rakyat.

Dan selama puluhan tahun sumur-sumur gas itu dijarah tanpa audit investasi, tidak ada kejelasan pajak dan jumlah royalti yang minim. Migas begitu mudah dicuri lewat mekanisme ekspor tanpa memperhatikan kebutuhan domestik dalam negeri.

Negera justru menjadi pengemis, dimana para pemimpinnya tanpa rasa malu berkeliling mencari utang luar negeri lewat dalih investasi baru. Sementara kekayaan alam sendiri dipersilahkan untuk dijarah pihak asing.

Begitulah…

Sumber: hutan-tersisa.blogspot.com

read more
Perubahan Iklim

Resolusi Konflik Dalam Implementasi REDD+

Informasi Geospasial adalah informasi ruang kebumian, yang menyangkut aspek lokasi, letak suatu objek atau peristiwa dipermukaan bumi. Peta merupakan hasil informasi geospasial, pada dasarnya peta merupakan alat untuk merencanakan pembangunan di segala sektor.

Dewasa ini, pembuatan peta dan informasi geospatial ibarat sebuah pasar, di dalamnya terpampang berbagai jenis produk makanan, pakaian, peralatan dan lain-lain. Pembeli bebas memilih dan menentukan produk apa yang ia kehendaki. Bila pembeli menghendaki informasi tentang satu jenis produk bisa ditanyakan kepada ahlinya yang ada di tempat itu. Semua tinggal pesan, pilih dan bayar, seperti inilah kondisi perpetaan dan geospatial di Indonesia.

Ini terjadi disektor kehutananan dan perkebunan, sektor ini  dibutuhkan banyak peta, seperti peta hutan primer, hutan produksi, hutan gambut  hingga perkebunan sawit. Peta dapat dipesan sesuai selera pembeli, pesan, pilih dan bayar.
Saat ini, peta bisa dioplos dari pusat hingga kabupaten dan bermuara pada  izin penggunaan lahan, tentu ini berimbas sistem perizinan, sering terjadi tumpang tindih peraturan dan lahan, kemudian hari akan memicu terjadinya konflik horizontal dan vertikal

Transaksi Lahan
Permasalahan lainnya adalah Negara ini memiliki jumlah desa dalam kawasan hutan berkisar di 2.805 desa dikawasan hutan dan 16.605 desa disekitar kawasan hutan dan umumnya miskin serta rentan konlik (DKN, 2011). Dua kawasan ini menjadi bom waktu konflik lahan, ini  disebabkan oleh batas kawasan yang belum disepakati bersama baik oleh Pemerintah maupun masyarakat, dan perencanaan pembangunan kehutanan belum mengakomodir keberadaan masyarakat yang telah ada di dalam kawasan hutan, tidak adanya kesepakatan“Satu Peta” menjadi biang kerok permasalahan ini, hingga konflik pun berkepanjangan.

Akibatnya adalah tingkat konflik lahan masih tinggi per-sektor, untuk sektor perkebunan berkisar  180 kasus dengan luas areal 527.939,27 hektar, pertambangan 38 kasus dengan 197.365,90 ha, sector kehutanan 31 kasus dengan luas 545.258 hektar, perkebunan merupakan sektor tertinggi dalam hal kuantitas kasus (Konsorsium Pembaruan Agraria, 2103). Ini salah satu bukti tidak jelasnya batas kawasan dan terjadi sengkata lahan,  peta oplosan masih berlaku di level tapak.

Secara nyata, perkebunan kelapa sawit memberikan sumbangan siginifikan bagi perluasan lahan secara besar-besaran di Indonesia. Kebun sawit seluas 9 juta hektar memproduksi 23 juta ton CPO dengan perluasan kebun sawit per tahun rata-rata 400.000 hektar (Sawit Watch, 2012). Banyak di antaranya menggunakan tanah-tanah masyarakat adat, kawasan hutan konservasi dan kawasan bergambut. Dikawasan ini selisih dan sengketa lahan tak pernah padam,beragam peta odong – odong diterbitkan oleh pihak terkait dan menjadi punca permasalahan.

Akibat dari yang disebutkan di atas, maka laju deforestasi dan degradasi hutan masih cukup tinggi, 480.000/tahun (Statistik Kehutanan, 2012). Merujuk pada data FAO 2010, angka 480.000 hektar/tahun ini disebabkan oleh sejumlah faktor antara lain tingginya permintaan pasar terhadap produk-produk yang membutuhkan lahan luas. Implikasi dari hal ini adalah konflik tanah, ancaman terhadap kelestarian lingkungan dan peningkatan emisi dari konversi lahan.

Ironis memang, tumpang tindih peta masih berlaku dan masih terus digunakan di Indonesia. Faktanya adalah ada 15 lembaga pemberi izin penggunaan lahan.  Analoginya adalah Pemerintah Pusat ada lima lembaga seperti Kementrian Kehutanan, Kementrian ESDM, Kementrian BUMN, Kementrian Pertanian dan Badan Pertanahan Nasional (BPN). Lalu hal sama terjadi di tingkat  propinsi dan seterusnya hingga kabupaten. Hal ini disebabkan karena sejumlah instansi memiliki peta berdasarkan sektoral dan kepentingan masing – masing, sehingga dapat menimbulkan masalah antara pemerintah, pengusaha dan masyarakat(Mubariq Ahmad, Banda Aceh, Januari 2014).

Pertanyaan mendasar pada kasus ini, Kenapa Kementrian dan LembagaNegara tidak memakai peta yang dikeluarkan oleh lembaga resmi seperti Badan Informasi Geospasial (BIG). Mungkin jawabannya adalah masih tingginya konflik kepentingan dan ego –sektoral antar lembaga pemerintahan serta konsolidasi informasi pada satu lembaga Negara yang tidak transparan dan akuntabel.  Hal ini dipersulit dengan adanya kepentingan Politik dan Ekonomi, mungkin saja ada yang akan terganggu dengan penggunaan“One Map Policy.
Memitigasi Multi Tafsir Peta dan Resolusi Konflik
MenurutMubariq Ahmad, mantan Ketua Kelompok Kerja Strategi Nasional REDD+ dalam lokakarya “Peliputan Perubahan Iklim” yang diadakan Lembaga Pers Dr. Soetomo (LPDS) di Banda Aceh, Selasa 28 Januari 2014, setidaknya

ada tujuh Undang-Undang yang memuat dasar informasi menjadi dasar penguasaan lahan, yaitu Kementerian Kehutanan berpedoman pada UU No 41 Tahun 1999, Kementrian Pertanian mengacu pada UU No 18 tahun 2014, Kementerian ESDM dengan mengacupada UU No 4 Tahun 2009, BPN mengacu pada UU No 2 Tahun 2012, Pemerintah Daerah dengan mengacupada UU No 32 Tahun 2004, lalu juga ada UU Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang dan UU No 41 Tahun 2009 tentang Perlindungan Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan. Benturan peraturan ini harus segara diharmonisasikan dan diintegrasikan dalam satu peta.

Perlu ditegaskan, bahwa Indonesia harus segera melaksanakan implementasi REDD Plus, Negara ini, sedang disorot oleh dunia Internasional terhadap keseriusannya mengurangi emisi karbon sebesar 26% – 41%, dibawah perkiraan emisi tahun 2020. Pemerintah harus menyempurnakan tata kelola hutan alam primer dan lahan gambut. Upaya tersebut tertuang dalam Inpres No 6/2013 tentang Inisiasi Kebijakan Penurunan Emisi Karbon (REDD+). Disisi lain, Negara ini harus memulai transisi perekonomiannya menuju Energi Rendah Karbon dan secara jangka panjang pada tahun 2030 sektor kehutanan ditargetkan menjadi penyerap netto karbon.

Hal lain dari subtansi REDD plus adalah pertama, mengamanatkan penggunaan satu peta referensi pemberian izin. Kedua, Pemerintah selayaknya memperbaiki sistem tata kelola baru pemberian izin pemanfaatan lahan. Ketiga, upaya untuk perpanjangan moratorium izin perkebunan baru. Jika perlu, Pemerintah memperpanjang moratorium izin perkebunan baru sampai peta satu (one map) siap dan dilaksanakan oleh Kementrian dan Lembaga Negara.

Saat ini telah Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2011 tentang Informasi Geospasial yang   bertujuan untuk menjamin ketersediaan dan akses Infomasi geospasial yang dapat dipertanggung jawabkan. Disamping itu adanya lembaga BIG (Badan Informasi geospasial) yang mengintegrasikan berbagai peta yang dimiliki sejumlah instansi pemerintah ke dalam satu peta dasar.

Penggunaan informasi geospasial “SatuPeta” harus dengan satu tafsir yang akuntanbel, transparansi dan kredibel. Dimasa yang akan datang, diharapkan tidak ada lagi“Multi tafsir Peta”. Kebijakan“Peta Satu” diharapkan akan dipatuhi dan ditaati oleh semua pihak dan menjadi satu-satunya peta yang digunakan oleh seluruh kementerian dan lembaga pemerintah sebagai dasar pengambilan keputusan. Kebijakan “Satu Peta” menjadi resolusi konflik lahan disektor kehutanan,  perkebunan dan masyarakat. Usaha ini tentu akan berdampak besar dalam aksi REDD  Plus di Indonesia.

Penulis adalah Alumni Sekolah Tinggi Ilmu Kehutanan Tgk. Chik Pantee Kulu, Darusalam, Banda Aceh dan Pengamar satwa liar Indonesia.

read more
Energi

Hutan untuk Listrik Mikrohidro

Keberadaaan hutan Indonesia dengan beragam fungi seperti fungsi lindung, hidrologis,  membentuk iklim mikro dan penyerap karbon, namun hutan tersebut belum begitu penting bagi masyarakatyang tinggal di tepi hutan. Pentingnya hutan hanya bagi beberapa pihak saja, seperti pengusaha sawit, hutan tanaman, sektor tambang serta sektor industri lainnya.

Hutan di Indonesia belum mampu mendongkrak tingkat kemiskinan di wilayah terpencil (remote area), masyarakat yang tinggal di dalam kawasan hutan tersebar di 2.805 desa,  di sekitar kawasan hutan tersebar di 16.605 desa, umumnya tergolong miskin (Dr Hady Daryanto, 2011).

Kemiskinan di wilayah ini juga erat dengan ketiadaan listrik, rasio elektrifikasi Indonesia mencapai 66% di tahun 2009. Apabila dikaitkan dengan angka kemiskinan di Indonesia, maka rasio elektrifikasi dapat dikatakan berbanding terbalik dengan angka kemiskinan,  artinya saat rasio elektrifikasi meningkat, angka kemiskinan menurun (Direktorat Jenderal Ketenagalistrikan, ESDM, 2009)

Energi Listrik Untuk Desa
Saat ini masih ada 10.211 desa yang gelap gulita saat malam hari, yang sampai hari ini belum mendapatkan pasokan listrik dari PLN. Jumlah itu kurang lebih 13% dari total seluruh desa di Indonesia yang mencapai 72.944 desa/kelurahan hingga akhir 2012 dimana sebanyak 401 desa berada di Jawa -Bali. Ada dua faktor penyebab belum masuknya listrik , pertama karena lokasi desanya yang terpencar-pencar hingga ke pelosok, dan kurangnya dana PLN untuk menambah infrastruktur (PLN, 2013).

Salah satu manfaat hutan yang berdampak langsung adalah sungai, dimana dengan memanfaatkan arus yang deras dan  melalui sentuhan khusus,  arus tersebut menimbulkan daya untuk energi untuk listrik. Mungkin ini dapat menjadi jawaban terhadap pentingnya fungsi secara langsung dalam skala kecil disebut dengan Pembangkit listrik tenaga mikro hidro/PLTMH.

Jika di seluruh 10.211  desa di Indonesia dikembangkanlistrik, maka ini seluruh desa Indonesia akan terang dan tentu akan  memajukan ekonomi pedesaan dan akan muncul pemerataan ekonomi serta peningkatan kesejahteraan rakyat Indonesia dan tentu akan memajukan pendidikan di pedesaan. Masyarakat dan anak-anak dapat belajar dimalam hari serta mendapatkan informasi yang layak.

Sisi Lain Mikrohidro
Pembangkit Listrik Tenaga Mikrohidro   (PLTMH) adalah pembangkit listrik berskala kecil  (kurang dari  200  kW), yang  memanfaatkan tenaga  (aliran) air   sebagai sumber penghasil energi.  PLTMH termasuk sumber energi terbarukan dan layak disebut Clean   Energy  (energi bersih) karena ramah lingkungan. Dari sisi teknis, PLTMH konstruksinya lebih sederhana, mudah dioperasikan, serta mudah dalam perawatan dan penyediaan sukucadang serta pengelolaannya lebih ekonomis.

Secara sosial,  PLTMH mudah diterima masyarakat luas. PLTMH  biasanya dibuat dalam skala desa di daerah-daerah terpencil yang belum mendapatkan listrik dari  PLN.  Tenaga  air  yang digunakan dapat berupa aliran  air  pada sistem irigasi, sungai yang dibendung atau air terjun (Anya P. Damastuti, 1997).

Walau Indonesia memiliki potensi besar cadangan energi baru dan terbarukan tetapi pemanfaatannya dan realisasinya masih belum maksimal. Berdasarkan data Kementerian ESDM, kapasitas terpasang pembangkit listrik tenaga air baik skala besar/kecil baru mencapai 4200 MW atau sekitar 5,5% dari total potensi yang ada. Sementara untuk yang skala mini/mikro mencapai 215 MW atau sekitar 37,5% dari total potensi.

Mikrohidro merupakan satu mekanisme dari pengembangan Skema Jasa Lingkungan air (PES). Mikrohidro disini tidak hanya dilihat dari sisi pembangunan energi, tetapi juga bisa dilihat dari sisi skema PES tersebut dan bagaimana mikrohidro dapat memberikan nilai tambah bagi kegiatan konservasi. Pengembangan mikrohidro dapat mengurangi nilai emisi CO2.

Program listrik pedesaan melalui pengembangan PLTMH dapat menjadi jawaban dari krisis listrik di Indonesia, keuntungan lain dari pengembangan PLTMH adalah keberlangsungan hutan dengan kegiatan konservasi. Masyarakat yang menggunakan PLTMH diharapkan dapat memahami manfaat keberadaan hutan sebagai daerah tangkapan air (catchment area). Dengan demikian, masyarakat juga akan tergerak untuk menjaga kelestarian hutan dan berbagai usaha konservasi lainya tanpa merusak keanekaragaman hayati yang terdapat di sekitar hutan.

PLTMH adalah sarana untuk mengembangkan kemampuan masyarakat dalam memperbaiki kualitas sosial budaya desa. Sisi lain dari PLTMH, bukan hanya sebuah pembangkit energi listrik, tapi lebih pada gerakan sosial budaya dimana pembangunan PLTMH lebih bersifat gotong royong di desa. PLTMH merupakan jawaban atas pemanfaatan hutan dan kebutuhan listrik, kegiatan ini akan berdampak langsung bagi kemajuan masyarakat di pedalaman Indonesia. Dengan kata lain, pengembangan mikrohidro merupakan pemerataan pembangunan di pedesaan  dan merupakan suatu alat manajemen pengelolaan hutan yang tepat sasaran.(Az)

Penulis adalah pegiat lingkungan di Aceh.

read more
1 2
Page 1 of 2