close

November 2014

Kebijakan Lingkungan

Menanti Kebijakan Pengelolaan Wilayah Pesisir Aceh

Polemik yang mengemuka selama ini masih mengenai kepemilikan Pulau Savelak oleh Menteri Kelautan & Perikanan, Susi Pujiastuti dan RPP Pertanahan serta RPP Kewenangan yang sedang dibahas oleh Pemerintah Aceh dan Pemerintah Pusat. Bagaimana pengelolaan wilayah pesisir, perairan, laut dan pulau-pulau kecil di Aceh perlu adanya kebijakan dari Pemerintah Aceh untuk menata kembali wilayah tersebut. Hal ini diungkapkan oleh Marzuki, Sekjen Jaringan KuALA, di Kota Banda Aceh.

Berdasarkan laporan dari anggota Jaringan KuALA di 18 Kab/Kota di pesisir Aceh, banyak kasus-kasus yang belum terungkap,  tentang kepemilikan pulau-pulau di Aceh terutama di sekitar kepulauan terluar di Pulau Simeulue dan Kepulauan Banyak. Jadi bukan hanya kasus Pulau Savelak saja yang perlu diusut, tetapi keseluruhan pulau-pulau di Aceh baik kecil atau besar harus di cros check kembali keberadaannya. Pemerintah Aceh harus segera menurunkan Tim untuk menginventarisasi pulau-pulau yang ada di Aceh, baik kecil atau besar.

Pemerintah Aceh jangan hanya menprioritaskan tentang pengelolaan migas di wilayah kewenangan 12 mil sampai ke 200 mil laut Aceh dengan pembagian hasil 70 : 30. Seharusnya Pemerintah Aceh harus menomorsatukan Program perikanan di wilayah kewenangan laut tersebut. Marzuki menambahkan, bahwa di wilayah kewenangan laut tersebut merupakan  fishing ground nelayan Aceh, khususnya di sekitar wilayah Limbo atau gugusan karang melati. Sekarang hampir dua per tiga jumlah nelayan Aceh mencari rezeki di sana dengan berbagai armada tangkap dari ukuran 5GT sampai ke 40 GT.

Perikanan Aceh sekarang sangat semraut, pencurian ikan sangat merajalela di sekitar fishing ground tersebut, terutama pencurian ikan oleh nelayan Thailand dengan berkedok sebagai nelayan Indonesia yang menggantikan bendera mereka dengan bendera Indonesia, bahkan nama kapal diubah dengan nama kapal Indonesia.

Selain itu, Marzuki menambahkan penangkapan ikan dengan cara yang tidak ramah lingkungan dengan menggunakan pukat trawl juga dilakukan oleh nelayan Sibolga, bahkan yang sangat parah praktek tersebut dibackingi oleh orang Aceh sendiri, yang rela harta kekayaan lautnya di ambil oleh orang lain dengan cara yang tidak ramah lingkungan. Akhirnya nelayan Aceh tidak memperoleh apa-apa dari lautnya sendiri.

Pemerintah Aceh seharusnya harus bisa mengkaji tentang pengelolaan laut Aceh. Menurut Marzuki, di Aceh sekarang sudah sangat kurang orang cerdik pandai, yang banyak adalah orang pandai. Kalau kita melihat ke belakang, endatu-endatu kita di Aceh sangat-sangat cerdik dan pandai, bahkan mereka tidak mengeyam pendidikan seperti kita sekarang. Indikator itu bisa kita lihat dari Hukum Adat Laut yang ada di Kelembagaan Panglima Laut Aceh yang terus dijaga secara turun temurun oleh seluruh Panglima Laot Lhok di Propinsi Aceh.

Contoh nyata bisa kita lihat dari Hari Pantang Melaut yang disusun dan dijadikan aturan adat oleh endatu kita dulu di Kelembagaan Adat Panglima Laot Aceh. Ada 6 (enam) hari Pantang Melaut di Propinsi Aceh, antara lain (1) Hari Jum’at, (2) Hari Raya Idul Fitri, (3) Hari Raya Idul Adha, (4) Hari  Kenduri Laut, (5) Hari Kemerdekaan RI (6) Hari peringatan tsunami Aceh.

Apabila dikaji lebih mendalam, nelayan Aceh dengan aturan adat dan kondisi wilayah perairannya, nelayan Aceh sudah dari tempo dulu menganut nilai-nilai konservasi dalam pengelolaan wilayah lautnya, nelayan Aceh lebih kurang selama 6 bulan tidak melaut dan membiarkan ikan beranak pinak untuk memijah, sehingga stok ikan di Aceh terus ada.

Dilihat dari aturan adatnya,  (1) Hari Jum’at bila di akumulasi dalam 1 tahun adalah berjumlah sebanyak 52 hari (2) Hari Raya Idul Fitri sebanyak 3 hari (3) Hari Raya Idul Adha sebanyak 3 hari, (4) Hari  Kenduri Laut sebanyak 3 hari (5) Hari Kemerdekaan RI sebanyak 1 hari, dan (6) Hari peringatan tsunami Aceh sebanyak 1 hari. Jadi total akumulasi aturan adat tersebut adalah sebanyak 63 hari. Maka dari aturan adat, nelayan Aceh sudah 2 bulan tidak melaut dan membiarkan ikan beranak pinak. Dikaji dari sisi wiayahnya, Aceh didera oleh 2 musim, yaitu musim barat dan musim timur.

Rata-rata musim barat dan musim timur di Aceh adalah sekitar 4 sampai 6 bulan, dan bahkan di zaman perubahan iklim ini, pergantian musim tidak bisa ditebak lagi. Di saat musim barat, nelayan Aceh mencari ikan di sekitar perairan utara dan timur Aceh (Selat Benggala sampai ke Selat Malaka), dan di saat musim timur, nelayan Aceh mencari ikan di perairan barat selatan Aceh (Selat Benggala sampai ke Samudera Hindia). Jadi bila diakumulasi dari segi aturan adat dan geografis wilayahnya, nelayan Aceh hampir 6 bulan tidak melaut, dan disaat itulah ikan bisa beranak pinak, dan stok ikan di Aceh terus ada.

Dilihat dari semua persoalan tersebut, seharusnya dewan-dewan terhormat yang sekarang duduk di DPR Aceh, harus ada inisiasi untuk menggodok Qanun Pengelolaan Wilayah Pesisir, Perairan, Laut dan Pulau-Pulau Kecil di Aceh, memang sebelumnya sudah ditetapkan Qanun No. 7 Tahun 2010 tentang perikanan, tapi Qanun tersebut belum cukup untuk menjawab persoalan pengelolaan Wilayah Pesisir, Perairan, Laut dan Pulau-Pulau Kecil di Aceh, maka dalam waktu dekat DPR Aceh sudah harus menggodok Qanun tersebut, bukan hal-hal yang tidak prioritas lain di programkan.[]

read more
Ragam

Ajakan Blusukan Asap dari Sungai Tohor

Kapal penumpang yang akan mengantar kami ke Sungai Tohor siang itu lumayan dipenuhi penumpang. Kami sengaja memilih tempat duduk paling belakang yang langsung berbatasan dengan dek bagian luar kapal, demi mengejar sejuknya tiupan angin di siang yang terik itu. Matahari di atas langit Riau  menambah pengap udara dalam ruang penumpang.  Setelah menunggu beberapa saat, kapal akhirnya bergerak, mula-mula pelan lalu raungannya terdengar kencang membelah perairan Selat Air Hitam.

Sudah hampir satu bulan ini nama Pak Abdul Manan hilir mudik di media online karena petisi yang digagasnya dan tak tanggung-tanggung, petisi ini ditujukan langsung ke Presiden Indonesia, Bapak Joko Widodo. Sebagai seorang warga negara Indonesia yang sejak lahir tinggal di desa Sungai Tohor, Kepulauan Meranti, Pak Abdul Manan menyampaikan kegelisahannya tentang asap yang berasal dari kebakaran hutan. 17 tahun seperti warga Riau lainnya, Pak Manan dipaksa hidup bersama asap setiap tahunnya. Asap dari kebakaran hutan seperti sudah menjadi rutinitas yang harus diakrabi masyarakat Riau. Di bulan-bulan saat musim kemarau datang, biasanya asap juga akan tiba bersama teriknya sinar matahari.

Akhirnya setelah hampir dua jam menyeberang dari Buton, dan sepuluh menit naik ojek dari dermaga, kami tiba juga. Rumah bercat coklat dengan pohon sagu di halaman itu terlihat teduh. Walaupun sibuk, Pak Manan menyempatkan menyambut kami dengan senyumannya yang khas. Ada yang berbeda hari itu, Pak Manan menjelaskan kesibukannya bertambah. “Mempersiapkan kedatangan Bapak Jokowi”, katanya dengan wajah berseri.

Rupanya, petisi yang telah menghasilkan lebih dari 25.000 dukungan mendapatkan perhatian khusus Presiden Indonesia. Dengan bahasa sederhana, dalam petisi itu Pak Manan mengundang Pak Jokowi untuk langsung merasakan dampak kebakaran hutan yang mereka derita bertahun-tahun, Pak Manan mengajak Pak Jokowi blusukan asap ke desanya. “Saya buat petisi ini atas nama warga Riau, kami sudah lelah diasapi setiap tahunnya.”, kata Pak Manan.

Khusus untuk desanya, menurut Pak Manan kebakaran berasal dari  pembangunan kanal. Kanal-kanal yang dibangun perusahaan membuat lahan gambut  mengering. Saat musim kemarau datang, gambut yang kering akan dengan mudah terbakar.  Desa Kepo Baru adalah salah satu desa dengan kerugian terbesar. Awal tahun 2014 ini, api melahap hampir 2.000 hektar lahan di desa tersebut. “Banyak kebun sagu warga ikut terbakar saat itu”, tutur Pak Manan.  Sagu sudah ditanam warga di Kepulauan Meranti sejak tahun 1940an. “Dari sebelum Indonesia merdeka, kami sudah budi daya sagu di sini.”, Pak Manan menambahkan.

Seperti halnya warga desa lain, Pak Manan sangat menantikan kunjungan blusukan asap Presiden Jokowi minggu ini. “Saya berharap Pak Jokowi bisa memberikan solusi kebakaran hutan dan lahan gambut yang sudah berkepanjangan di Riau dan Sumatera.” kata Pak Manan.

Tak perlu malaikat yang cemerlang dan rupawan untuk menjawab harapan Pak Abdul Manan, cukup sebuah kunjungan blusukan dari Presiden Indonesia dilanjutkan dengan kemauan dan langkah nyata pemerintah untuk menguatkan perlindungan hutan dan lahan gambut di Indonesia.  Perwujudan harapan Pak Manan dan warga Riau tinggal beberapa langkah lagi, tinggal beberapa hari menuju blusukan asap Presiden Jokowi.

Sambil kembali ke aktifitas persiapan bersama warga lainnya, Pak Abdul Manan menyempatkan berterima kasih kepada 28.000 penandatangan petisi #blusukanasap. Minggu ini kita akan melihat hasil kekuatan bersuara bersama bagi penyelamatan hutan Indonesia.

Sumber:greenpeace.org

read more
Kebijakan Lingkungan

Melihat Kualitas Bangunan di Aceh Pasca 10 Tahun Tsunami

Lebih kurang satu bulan lagi, masyarakat Aceh akan memperingati peristiwa 10 tahun bencana dahsyat dalam sejarah manusia yaitu gempa bumi dan tsunami, tanggal 26 Desember. Bencana dahsyat ini merenggut sekitar 200 ribu jiwa manusia dan meluluhlantakan berbagai bangunan di Aceh dan Nias. Banyak hikmah yang bisa dipetik dari bencana ini sehingga bisa dijadikan pelajaran untuk masa depan. Salah satu pelajaran penting adalah bagaimana mendirikan bangunan yang tahan gempa sehingga andal dalam meredam resiko kehilangan harta benda.

Saya adalah seorang penduduk Banda Aceh, pernah mengalami dahsyatnya bencana tersebut dan kini tinggal di rumah bantuan. Rumah bantuan itu kecil tapi cukup nyaman untuk ditinggali bersama keluarga. Saat berjalan-jalan di kota, saya sulit membayangkan bahwa Banda Aceh dulu merupakan kawasan terparah kerusakannya akibat bencana tsunami karena jarang ditemukan sisa-sisanya. Hanya di beberapa tempat pemerintah dan masyarakat mendirikan monumen untuk mengenang bencana ie Beuna (bahasa Aceh untuk tsunami) pernah terjadi di Aceh.

Bangunan-bangunan kini tegak kokoh dan nampak indah dipandang mata. Sebagian besar wilayah dalam Banda Aceh kini sudah ditata lebih rapi, teratur dan dilengkapi dengan berbagai petunjuk jalan. Namun dalam benak masih menggelayut pertanyaan besar, apakah jika bencana serupa terulang, akankah kota ini mampu bertahan dari ayunan gempa dan terjangan tsunami. Sudah cukup kuatkah bangunan-bangunan di Banda Aceh atau Aceh secara umum?

Saat bencana gempa dan tsunami lalu, banyak infrastruktur yang hancur seperti jembatan, pelabuhan, gedung serta bangunan perumahan. Bangunan-bangunan yang roboh saat terjadi gempa didominasi oleh bangunan modern atau semi modern yang menggunakan beton. Hal ini bisa disebabkan oleh berbagai hal. Seorang peneliti ITB Bandung yang sempat turun ke lokasi gempa, Biemo W. Soemardi, menyimpulkan bahwa secara umum penyebab kegagalan bangunan menahan gempa bersumber pada kesalahan atau kecerobohan dalam perancangan, material konstruksi, pelaksanaan konstruksi ataupun kesalahan dalam pemanfaatan bangunan.

Ezri Hayat, putra Aceh, yang sedang menempuh pendidikan doktoral bidang Disaster Resilience Centre, university of Salford, ketika ditanya apakah kondisi bangunan di Aceh pasca 10 tahun tsunami sudah memenuhi syarat, sulit menjawab.

“Wah.. sulit dijawab bang. Yang pertama karena kaidah rumah tahan gempa itu sulit buat dilihat sepintas lalu. Yang kedua sulit juga untuk me-generalisir nya,” ucapnya. Yang jelas permasalahan utama di pekerjaan bangunan adalah kualitas pengerjaan, sambungnya.

Seorang ahli teknik sipil dan juga berkecimpung dalam pembangunan perumahan, Ir. Faisal Ali, mengatakan di Aceh bangunan sebelum dan sesudah tsunami tidak banyak mengalami perubahan dalam hal konstruksi dan material. Faisal yang merupakan alumni Universitas Syiah Kuala menyebutkan bangunan di Aceh sebelum tsunami pun sudah dibangun tahan gempa.

“Lihat saja kemarin waktu gempa 2004, tidak banyak rumah yang roboh kan. Kebanyakan rumah sudah tahan gempa saat itu,” ujarnya.

Memang apa dikatakannya ada benarnya. Bangunan yang banyak runtuh saat gempa berkekuatan 9 SR mengguncang Aceh adalah pertokoan, termasuk pusat perbelanjaan terbesar di Banda Aceh saat itu. Bangunan kemudian baru hancur lebur karena disapu gelombang tsunami yang datang kemudian.

Ezri Hayat mengomentari pemahaman masyarakat tentang besaran gempa yang biasa diukur dengan Skala Richter atau SR. Menurutnya ini kurang tepat karena SR mengukur kekuatan gempa di pusatnya. “Sering dalam diskusi dengan masyarakat awam timbul percakapan yang kira kira ‘bangunan ini tahan buat sekian skala richter’, atau ‘di pusat nya gempa tadi sekitar 7 SR, tapi disini mungkin cuma 5 atau 6 SR,” ujarnya.

Yang lebih tepat adalah pengukuran memakai skala yang menunjukkan goncangan di suatu lokasi tertentu namanya Modified Mercalli Intensity atau MMI. “ Jadi suatu gempa mempunyai satu nilai SR yang tetap, tapi nilai MMI nya berbeda beda tergantung lokasi. Pasti SR di pusat sama namun MMI berbeda tergantung lokasinya,” jelas Ezri.

“Tsunami yang banyak membuat hancur bangunan karena gelombangnya turut membawa puing-puing reruntuhan. Puing-puing ini kemudian menghantam lagi bangunan yang lama kelamaan energinya makin besar karena makin banyak puing dibawanya,” ujar Faisal Ali.

Kualitas bangunan perumahan yang dibangunnya sejak sebelum dan sesudah tsunami tidak banyak berubah selain perubahan yang mengikuti trend. “ Kami masih menggunakan material yang sama kualitasnya, tidak ada material yang khusus. Paling modelnya yang disesuaikan dengan trend,” ucapnya.

Filosofi bangunan tahan gempa yaitu bila terjadi gempa ringan, bangunan tidak boleh mengalami kerusakan baik pada komponen non-struktural. Misalnya dinding retak, genting dan langit-langit jatuh, kaca pecah dan sebagainya. Begitu juga komponen strukturalnya tidak boleh rusak seperti kolom dan balok retak, pondasi amblas, dan lainnya.

Namun bila terjadi gempa sedang, bangunan bisa saja mengalami kerusakan pada komponen non-strukturalnya akan tetapi komponen struktural tidak boleh rusak. Sedangkan filosofi terakhir bila gempa besar, bangunan boleh mengalami kerusakan baik pada komponen non-struktural maupun komponen strukturalnya, akan tetapi jiwa penghuni bangunan tetap selamat. Artinya sebelum bangunan runtuh masih cukup waktu bagi penghuni bangunan untuk keluar dan mengungsi ke tempat aman.

Kualitas material merupakan unsur terpenting dalam konstruksi. Jika kualitas material yang digunakan jelek, maka hasilnya tidak bisa menjamin bangunan tahan gempa. Kualitas material ini dipengaruhi oleh berbagai hal pada berbagai tahapan. Kualitas material ditentukan sejak pengadaan, pengangkutan, penyimpanan sampai pengolahannya. Jangan sampai material yang sudah bagus kemudian tercampur dengan material buruk. Ini seperti mencampur pertamax dengan minyak tanah, bisa hancur jadinya.

Waktu telah membuktikan ucapan Faisal tersebut. Pasca gempa 2004, gempa-gempa susulan tak terhitung banyaknya terjadi di Aceh. Bahkan ada dua gempa kembar, karena terjadi dalam selang waktu berdekatan dengan kekuatan yang nyaris sama. Gempa terjadi hari Rabu 11 April 2012 sore, dimana gempa pertama terjadi pada pukul 15.38 WIB dengan kekuatan 8,5 skala Richter. Adapun gempa kedua terjadi pada pukul 17.43 WIB dengan kekuatan 8,1 skala Richter. Penulis yang saat itu berada di Banda Aceh, tidak menjumpai kerusakan yang signifikan akibat dua gempa tersebut. Ini paling tidak menandakan apa yang disampaikan Faisal ada benarnya.

Pasca gempa 2004 memang ada sebagian warga menjadi lebih “cerewet” alias mengajukan berbagai kriteria memilih rumah dan bangunan. Mereka terutama memprioritaskan lokasi bangunan tidak berada di wilayah bekas dampak tsunami. Namun hal ini tidak sepenuhnya dipegang erat masyarakat. Menurut Faisal, para calon pembeli rumah tetap berpegangan sesuai dengan kepentingannya masing-masing.

“Lokasi, kualitas bangunan dan harga menjadi pertimbangan utama menempati rumah. Ada yang pilih lokasi jauh dari bekas daerah tsunami, ada yang ingin dekat tempat kerja, dekat sama tempat saudara dan sebagainya,” katanya. Sedangkan bagi yang ingin investasi maka pertimbangannya lain pula. Investor memilih lokasi yang paling cepat naik harganya dan menguntungkan.

Pasca bencana tsunami, bantuan mengalir ke Aceh bagaikan air bah. Rumah, jembatan, gedung dan berbagai infrastruktur dibangun baik oleh pemerintah maupun pihak yang populer di sebut NGO (Non Govermental Organization). Lantas apakah dengan uang yang melimpah tersebut kualitas bangunan menjadi lebih baik?

Seorang warga Banda Aceh yang kini menempati rumah bantuan yang dekat pantai, Zakia Najdi, mengatakan bawah rumah yang mereka tempati kualitas betonnya lumayan baik. “ Ga ada retak-retak dindingnya kayak bantuan lain. Padahal sudah beberapa kali gempa umurnya hampir sepuluh tahun juga,” ucapnya. Zakia tidak merasa khawatir ketika ia berada dalam rumah jika gempa melanda Aceh karena yakin dengan kualitasnya. Ia menerima bantuan dari sebuah NGO asing yang sangat teliti mengawasi pembangunan rumah bantuan. Zakia menyampaikan jika ada rumah yang tidak sesuai spesifikasi maka akan dibongkar kembali oleh pengawas bangunan NGO tersebut. Namun sayangnya tidak semua rumah bantuan seperti itu.

Zakia melihat ada juga rumah bantuan milik tetangga disekitar rumahnya di daerah Peukan Bada Aceh Besar, yang berasal dari lembaga lain mempunyai kualitas buruk. Dindingnya retak, kayunya melengkung bahkan ada yang atapnya copot dihempas angin kencang. Namun Zakia juga mengakui bahwa rumahnya juga masih jauh dari sempurna. Bagian rumahnya yang terbuat dari kayu kini banyak yang rusak.

“ Kayunya bisa dibilang kayu nomor 3, udah dimakan rayap, kusen jendela pun melengkung,” tambahnya. Rumah yang ditempatinya berukuran 36 meter persegi, tidak memiliki ruang dapur dan kamar mandinya di luar.

Penataan kampung tempat tinggalnya pun sudah lumayan bagus dibanding sebelum tsunami. Kini banyak rambu-rambu petunjuk arah evakuasi jika terjadi bencana. “ Kalau dulu, pas ada kejadian kita tidak tahu lari kemana. Sekarang sudah ada penunjuk arah jadi bisa cepat larinya,” ucapnya.

Pemerintah pasca kejadian gempa dan tsunami tahun 2004 lalu menetapkan banyak persyaratan dalam mendirikan bangunan. Mulai dari persyaratan lokasi hingga material bangunan yang tercantum dalam cetak biru pembangunan (blue print) Aceh-Nias. Salah satu syarat yang menonjol adalah larangan mendirikan rumah dalam jarak 200 meter dari bibir pantai. Hal ini untuk mencegah rumah tersebut dari hantaman gelombang laut yang pada waktu-waktu tertentu sangat ganas menghantam daratan.

Sayangnya masih banyak masyarakat tak mematuhinya. Mereka mendirikan bangunan dalam radius larangan tersebut malah disebagian daerah, pemerintah setempat juga ikut-ikutan mendirikan bangunan dalam kawasan berbahaya. Ini menjadi PR pemerintah untuk terus mengawasi pembangunan pasca tsunami agar korban yang ditimbulkan akibat bencana bisa diminimalkan.[]

read more
Flora Fauna

Warga Aceh Utara Bunuh Phyton Delapan Meter

Warga Gampong Alue Drien, Kecamatan Cot Girek, Kabupaten Aceh Utara menemukan ular Phyton sepanjang delapan meter, Kamis kemarin (20/11/2014), pukul 18:00 WIB. Ular yang ditemukan kali ini lebih besar dibandingkan ular yang pernah ditemukan sebelumnya tahun 2013 yaitu sepanjang tujuh meter.

Awalnya, ular Phyton ini ditemukan oleh penduduk Alue Drien, Marlina (38) dan Fatimah (32), ketika mereka mencari sapinya yang sudah dua hari tidak pulang ke kandang. Ular tersebut ditemukan Marlina sedang memangsa anak sapi miliknya yang masih berusia satu hari dikebun sawit warga yang dipenuhi dengan semak belukar. Karena takut, ia pun memanggil warga untuk meminta pertolongan.

“Warga berbondong-bondong datang ke lokasi penemuan ular. Sesampai disana, kami pun berusaha untuk menangkap ular tersebut secara hidup-hidup. Namun karena si ular ini terlihat buas dan melawan, maka kami pun terpaksa membunuhnya dengan mencincang-cincang bagian kepala, badan, dan ekor pakai parang,” jelas tokoh pemuda setempat, Mahdi, Jum’at (21/11/2014).

Warga menduga, hewan peliharaan yang selama ini kerap hilang karena dimangsa ular tersebut. Karena itu, warga pun sepakat mengantisipasi kemungkinan ada ular lainnya  yang seukuran berkeliaran di hutan.

“Kuat dugaan bahwa hewan peliharaan warga yang selama ini kerap hilang pasti di mangsa ular. Tahun lalu, kami juga menangkap ular semacam itu saat hendak memangsa kambing warga setempat. Ular kali ini juga lebih besar dibandingkan ular yang kami temukan tahun lalu,” tambah Mahdi.[]

read more
Sains

Tiru Tokek, Ilmuwan Kembangkan Alat Pemanjat

Perilaku tokek saat memanjat telah menginspirasi sejumlah ilmuwan untuk membuat sebuah alat yang memungkinkan seorang pria berbobot 70 kilogram memanjati dinding kaca. Alat yang diciptakan tim peneliti Universitas Stanford, Amerika Serikat, terbuat dari silikon dan ditempelkan di tangan.

Petak-petak kecil yang terdapat pada permukaan alat kemudian menghasilkan daya tarik-ulur antara molekul atau daya Van Der Waal yang digunakan tokek saat memanjat.

Alhasil, ketika diletakkan pada dinding kaca, alat itu menempel kuat.
Alat tersebut terbuat dari …Alat tersebut terbuat dari silikon dan diletakkan pada kedua telapak tangan pemanjat. (Foto via BBC Indonesia)

Sebagai percobaan, seorang pria berbobot 70 kilogram mampu layaknya Spiderman “merayapi” dinding kaca setinggi 3,6 meter dengan menggunakan peranti silikon seluas 140 sentimeter persegi di kedua telapak tangannya.

Dia menguji alat tersebut sebanyak ratusan kali tanpa gagal sekali pun.

Alat memanjat lain pernah diuji Badan Proyek Riset Pertahanan AS (Darpa) awal tahun ini. Namun, rincian mengenai alat tersebut masih dirahasiakan.

Sumber: NGI/BBC Indonesia

read more
Ragam

Wak Yun “Mengganggu” Pengganggu Lingkungan

Mengganggu lazimnya adalah perbuatan yang menyenangkan bagi banyak orang. Namun “mengganggu” yang satu ini ternyata bermanfaat bagi lingkungan dan memberikan berkah. Itu lah yang dilakukan Wak Yun, salah satu tokoh konservasi di daerah Tangkahan, Kabupaten Langkat Sumatera Utara.

Hari Sabtu (15/11/2014) kami berangkat menuju Tangkahan menggunakan mobil dari kota Medan. Saat memasuki jalan perkebunan sawit, mobil melintasi jalan khas perkebunan, berlumpur dan berlubang. Perjalanan jauh yang memakan waktu sekitar 4 jam tersebut akhirnya terbayar lunas ketika tiba di lokasi, menyaksikan rimbunnya alam Tangkahan. Udara Tangkahan tidak terlalu sejuk, berkisar 25 derajat celcius namun suasana adem tetap terasa.

Keesokan harinya kami bertemu dengan Wak Yun. Perawakannya kurus tapi padat, dengan tinggi sekitar 170 cm dan kulit kehitaman. Yang tak kalah unik adalah rambutnya panjang sedada dan diikat ke belakang. Gaya bicaranya pun cukup ekspresif, tangan, mimik wajah dan tubuhnya selalu bergerak seirama dengan kata-kata yang keluar dari mulutnya. Kami sengaja menjumpainya dengan harapan ia akan bercerita banyak tentang konservasi Tangkahan yang telah dilakukannya sejak tahun 1997.

Penulis bersama Wak Yun (kiri)
Penulis bersama Wak Yun (kiri)

Nama Wak Yun sebenarnya adalah Raniun namun karena Ia merupakan anak tertua dan menurut silsilah keluarga juga ia dituakan maka sedari kecil panggilan Wak Yun sudah melekat dengan dirinya. Selain nama Wak Yun, teman-temannya bule memanggilnya “ Black Tiger” atau Harimau hitam. Wak Yun yang hanya mengecap pendidikan hingga kelas 3 SD memiliki banyak teman dari manca negara karena ia belasan tahun hidup di Eropa dan keliling dunia sebagai relawan kemanusiaan. Jalan hidupnya berliku sebelum akhirnya ia memutuskan kembali ke Indonesia menyelamatkan hutan Tangkahan yang nyaris habis dibabat penebang liar.

Mulanya ia menemukan daerah yang kemudian diberi nama Tangkahan secara tidak sengaja. Saat itu di tahun 1990-an, ia yang berprofesi sebagai pemandu hutan tersesat dan keluar dari daerah Tangkahan. Ia langsung jatuh cinta dengan daerah tersebut dan memutuskan untuk tinggal disana. Sekitar tahun 1997 Wak Yun kembali ke Tangkahan yang sungainya dipenuhi dengan ribuan kubik kayu hasil tebangan liar. Hutan sekitar gundul, tanah dikapling-kapling oleh masyarakat bahkan oleh pejabat setempat.

Wak Yun langsung bertindak nyata, ia membeli lahan sepetak disana dan mendirikan bangunan di atasnya. Ia memulai gerakan konservasi dengan mengajak masyarakat sekitar Tangkahan untuk melakukan kegiatan non menebang hutan. Wak Yun mendirikan Lembaga Pariwisata Tangkahan (LPT) sehingga kegiatan wisata pun jadi ramai. Warga diajak bercocok tanam kembali di kebun-kebun yang terlantar ataupun kegiatan lain yang tidak merusak hutan. Kegiatan ekonomi rakyat pun bermunculan berjualan makanan, menyewakan ban mandi dan sebagainya. Bukan cuma itu, Wak Yun membuat berbagai even dengan mengundang pejabat hingga menteri turun ke Tangkahan. Alhasil para penebang liar pun jeri dan perlahan-lahan surut. Tahun 2001 dapat dikatakan sebagai tahun Tangkahan terbebas dari penebangan liar.

Perjuangan Wak Yun membebaskan Tangkahan dari penebangan liar bukan tanpa hambatan. Ancaman bunuh, culik dan sejenisnya sudah sering dia terima walaupun belum ada satupun yang benar-benar dirasakannya. Ia punya tips sendiri untuk mengatasi ancaman yaitu dengan “mob”. Ini adalah istilah orang Medan yang berarti “gertak”. Black Tiger sering me-ngemob orang-orang dengan perkataan bahwa ia kenal pejabat-pejabat tinggi baik sipil dan militer. Ini seperti perang urat syaraf yang bikin lawan-lawannya keder dan mundur.

Perlahan tapi pasti daerah Tangkahan yang dikelolanya berkembang. Banyak orang yang membantunya termasuk anak-anak mahasiswa. Istilah Wak Yun, mahasiswa-mahasiswa ini adalah mahasiswa yang “tidak terpakai di kampusnya” atau “Udah delapan tahun ga pernah masuk kuliah”. Pemerintah setempat menurutnya tidak ada andil sama sekali membantu pengembangan Tangkahan. Semua fasilitas yang ada sekarang merupakan buatan mereka sendiri tanpa campur tangan pemerintah.

Wak Yun berusaha gencar melakukan promosi wisata Tangkahan ke rekan-rekannya yang berada di luar negeri. Hasilnya tampak nyata. Kamar di resortnya yang berjumlah 11 selalu penuh di bulan Juni – Agustus, bulan dimana liburan musim panas di Eropa berlangsung. Paling sedikit tamu akan menginap selama dua malam dan biasanya mereka memesan kamar jauh-jauh hari. Jadi, jangan harap anda mendapat kamar jika tidak pesan jauh-jauh hari di bulan-bulan tersebut. Tamu-tamu dari luar negeri menurutnya sangat suka dengan keadaan alam di Tangkahan. Mereka menikmati sekali suara-suara alami dari hutan yang tidak bisa mereka dapatkan di kota.

Bila diamati kondisi daerah wisata Tangkahan relatif bersih dan tenang. Jumlah wisatawan lokal yang berkunjung pun tidak terlalu ramai, tidak seperti tempat wisata alam lain yang sejenis, sebut saja Bukit Lawang, yang pengunjungnya berjubel jika hari libur. Wak Yun menyukai situasi seperti ini karena menurutnya tempat wisata ini berkelas dan lebih mudah dikelola.

Mengenai konsep ekowisata apa yang dikembangkannya, Wak Yun hanya menjawab singkat. Ia tidak terlalu paham apa itu ekowisata namun yang pasti ia melaksanakan apa yang baik bagi lingkungan. Memang tidak ada program khusus seperti daur ulang sampah atau energi terbarukan. Sampah dipungut oleh petugas yang berasal dari penduduk setempat. Sumber energi diperoleh dari PLN sedangkan air bersih diambil dari sungai Buluh Tangkahan yang airnya sangat jernih. Yang terpenting baginya adalah lingkungan Tangkahan kembali asri. Sungai yang dulu airnya keruh dan nyaris tanpa ikan, kini kembali dihuni ribuan ikan. Masyarakat pun mengambil manfaat dengan keberadaan ikan tersebut.

Wak Yun juga menginisiasi kehadiran Conservation Response Unit (CRU) yang merupakan sebuah unit yang mengelola sejumlah gajah jinak untuk patroli hutan dan pertunjukan wisata. Kini CRU tersebut dikelola oleh Balai Besar Taman Nasional Gunung Leuser dan Wak Yun terlibat dalam pengelolaan gajah. Begitu juga dengan LPT, Wak Yun tidak mau ikut campur dalam pengelolaannya. Baginya yang terpenting, lembaga-lembaga tersebut bisa mengembalikan keuntungan yang diperolehnya kepada alam sekitar.

Itulah Wak Yun. Cita-citanya sederhana saja saat mulai bertempat tinggal di Tangkahan. Ia cuma “mengganggu”, para pengganggu hutan. Caranya tidak muluk-muluk dengan konsep yang rumit. Ia berpikir jika hutan tersebut bakal habis selama 5 tahun karena penebangan liar, maka ia akan mengganggunya sehingga hutan tersebut dapat selamat paling tidak selama 50 tahun lagi. Wak Yun belum pernah mendapatkan penghargaan lingkungan karena ia pun tidak tertarik dengan penghargaan. Kini ia merasa bangga karena Tangkahan telah menjadi salah satu daerah terdepan untuk konservasi di Indonesia.[]

read more
Kebijakan Lingkungan

Pemerintah Aceh Teken MoU dengan BP REDD+

Provinsi Aceh menjadi provinsi ke-8 yang menandatangani nota kesepahaman dengan Badan Pengelola REDD+ (Reducing Emissions from Deforestation and Forest and Peatland Degradation/Reduksi Emisi dari Deforestasi dan Degradasi Hutan dan Lahan Gambut). Propinsi lain yang sudah meneken adalah Jambi, Kalimantan Tengah, Kalimantan Timur, Sumatera Barat, Sulawesi Tengah, Sumatera Selatan, dan Riau.

Gubernur Aceh Dr. H. Zaini Abdullah, mengatakan, Pemerintah Aceh sangat mendukung komitmen yang disampaikan oleh Pemerintah Indonesia melalui Badan Pengelola REDD+ untuk mencapai target penurunan emisi. Bahkan jauh dari sebelum komitmen ini, Aceh telah terlebih dahulu memberlakukan kebijakan moratorium logging sebagai upaya mengatasi deforestasi dan degradasi hutan dan lahan gambut. Bentuk keseriusan Pemerintah Aceh dalam mendukung REDD+ ditunjukkan dengan terbentuknya tim satuan tugas (task force) REDD+ di Aceh, yang pasca penandatanganan ini bisa segera melakukan koordinasi dan langkah-langkah implementasi dengan melibatkan berbagai komponen yang ada, seperti lembaga swadaya masyarakat, masyarakat adat, akademisi, dan para pihak lainnya di Aceh.

Dalam rangka mempercepat langkah-langkah persiapan, pelaksanaan, dan pengawasan implementasi program REDD+ di Aceh, beberapa kegiatan yang akan dilakukan oleh Pemerintah Aceh adalah pengembangan dan penyempurnaan data dasar dan peta kadastral, pembentukan dan penguatan kelembagaan di Aceh untuk mengkoordinasikan dan melaksanakan program REDD+, pengarusutamaan Strategi dan Rencana Aksi Provinsi (SRAP) REDD+ Aceh dalam pembangunan, pengembangan, dan penyempurnaan berbagai kebijakan dan peraturan di tingkat daerah yang dibutuhkan dalam rangka memberikan kerangka hukum bagi pelaksanaan REDD+ di Aceh, dan pengembangan berbagai program, proyek, dan/atau kegiatan strategis untuk implementasi REDD+ secara penuh dalam rangka penyempurnaan tata kelola hutan dan lahan gambut.

Sementara Kepala Badan Pengelola REDD+ Heru Prasetyo, mengungkapkan pelaksanaan REDD+ di Provinsi Acehsecara langsung mendukung pelaksanaan REDD+ di Indonesia. Ada dua hal yang menjadi kunci utama bagi pelaksanaan REDD+ di Indonesia, yaitu Strategi Nasional REDD+ (Stranas REDD+) dan Strategi dan Rencana Aksi Provinsi (SRAP) di masing-masing provinsi. Strategi ini tidak disusun dan terpusat di tingkat nasional saja, tetapi lahir dari keterlibatan dan peran serta yang dapat berjalan dengan baik apabila dilakukan dalam bentuk kerja sama multi-pihak yang melibatkan pemerintah, sektor swasta, lembaga swadaya masyarakat, akademisi, masyarakat adat, dan yang lainnya.

Heru Prasetyo menambahkan lagi, “Bapak Presiden Joko Widodo mengatakan bahwa saat ini yang ditekankan adalah budaya masyarakat bekerja. Tidak ada lagi visi dan misi sektoral, tetapi visi misi negara yang akan didukung dan diimplementasikan di masing-masing daerah. Kami berharap nota kesepahaman yang ditandatangani hari ini dapat menjadi pembelajaran bagi provinsi-provinsi lain.”

Pelaksanaan REDD+ di lapangan terpusat kepada tiga sumbu. Sumbu yang pertama adalah penurunan emisi yang juga memperhatikan kesejahteraan masyarakat; yaitu melalui sumbu kedua. Sumbu kedua adalah pembangunan ekonomi yang berkeadilan dan berkelanjutan. Dan, yang ketiga adalah mempertahankan keanerakagaman hayati dan jasa lingkungan.[rel]

read more
GaleriRagam

Gajah Tangkahan

Gajah-gajah yang berada di bawah pengawasan Conservation Response Unit (CRU) Tangkahan, Langkat Sumatera Utara. Gajah-gajah yang juga digunakan untuk patroli hutan ini awalnya berasal gajah Aceh yang dipindahkan ke CRU Tangkahan karena saat itu Aceh dilanda konflik. Saat ini ada 7 ekor gajah CRU dikelola oleh Balai Besar Taman Nasional Gunung Leuser, satu ekor jantan dan dua betina dalam keadaan hamil. Gambar diambil saat gajah dimandikan di Sungai, Minggu (16/11/2014).

read more
1 2
Page 1 of 2