close

18/11/2014

Ragam

Wak Yun “Mengganggu” Pengganggu Lingkungan

Mengganggu lazimnya adalah perbuatan yang menyenangkan bagi banyak orang. Namun “mengganggu” yang satu ini ternyata bermanfaat bagi lingkungan dan memberikan berkah. Itu lah yang dilakukan Wak Yun, salah satu tokoh konservasi di daerah Tangkahan, Kabupaten Langkat Sumatera Utara.

Hari Sabtu (15/11/2014) kami berangkat menuju Tangkahan menggunakan mobil dari kota Medan. Saat memasuki jalan perkebunan sawit, mobil melintasi jalan khas perkebunan, berlumpur dan berlubang. Perjalanan jauh yang memakan waktu sekitar 4 jam tersebut akhirnya terbayar lunas ketika tiba di lokasi, menyaksikan rimbunnya alam Tangkahan. Udara Tangkahan tidak terlalu sejuk, berkisar 25 derajat celcius namun suasana adem tetap terasa.

Keesokan harinya kami bertemu dengan Wak Yun. Perawakannya kurus tapi padat, dengan tinggi sekitar 170 cm dan kulit kehitaman. Yang tak kalah unik adalah rambutnya panjang sedada dan diikat ke belakang. Gaya bicaranya pun cukup ekspresif, tangan, mimik wajah dan tubuhnya selalu bergerak seirama dengan kata-kata yang keluar dari mulutnya. Kami sengaja menjumpainya dengan harapan ia akan bercerita banyak tentang konservasi Tangkahan yang telah dilakukannya sejak tahun 1997.

Penulis bersama Wak Yun (kiri)
Penulis bersama Wak Yun (kiri)

Nama Wak Yun sebenarnya adalah Raniun namun karena Ia merupakan anak tertua dan menurut silsilah keluarga juga ia dituakan maka sedari kecil panggilan Wak Yun sudah melekat dengan dirinya. Selain nama Wak Yun, teman-temannya bule memanggilnya “ Black Tiger” atau Harimau hitam. Wak Yun yang hanya mengecap pendidikan hingga kelas 3 SD memiliki banyak teman dari manca negara karena ia belasan tahun hidup di Eropa dan keliling dunia sebagai relawan kemanusiaan. Jalan hidupnya berliku sebelum akhirnya ia memutuskan kembali ke Indonesia menyelamatkan hutan Tangkahan yang nyaris habis dibabat penebang liar.

Mulanya ia menemukan daerah yang kemudian diberi nama Tangkahan secara tidak sengaja. Saat itu di tahun 1990-an, ia yang berprofesi sebagai pemandu hutan tersesat dan keluar dari daerah Tangkahan. Ia langsung jatuh cinta dengan daerah tersebut dan memutuskan untuk tinggal disana. Sekitar tahun 1997 Wak Yun kembali ke Tangkahan yang sungainya dipenuhi dengan ribuan kubik kayu hasil tebangan liar. Hutan sekitar gundul, tanah dikapling-kapling oleh masyarakat bahkan oleh pejabat setempat.

Wak Yun langsung bertindak nyata, ia membeli lahan sepetak disana dan mendirikan bangunan di atasnya. Ia memulai gerakan konservasi dengan mengajak masyarakat sekitar Tangkahan untuk melakukan kegiatan non menebang hutan. Wak Yun mendirikan Lembaga Pariwisata Tangkahan (LPT) sehingga kegiatan wisata pun jadi ramai. Warga diajak bercocok tanam kembali di kebun-kebun yang terlantar ataupun kegiatan lain yang tidak merusak hutan. Kegiatan ekonomi rakyat pun bermunculan berjualan makanan, menyewakan ban mandi dan sebagainya. Bukan cuma itu, Wak Yun membuat berbagai even dengan mengundang pejabat hingga menteri turun ke Tangkahan. Alhasil para penebang liar pun jeri dan perlahan-lahan surut. Tahun 2001 dapat dikatakan sebagai tahun Tangkahan terbebas dari penebangan liar.

Perjuangan Wak Yun membebaskan Tangkahan dari penebangan liar bukan tanpa hambatan. Ancaman bunuh, culik dan sejenisnya sudah sering dia terima walaupun belum ada satupun yang benar-benar dirasakannya. Ia punya tips sendiri untuk mengatasi ancaman yaitu dengan “mob”. Ini adalah istilah orang Medan yang berarti “gertak”. Black Tiger sering me-ngemob orang-orang dengan perkataan bahwa ia kenal pejabat-pejabat tinggi baik sipil dan militer. Ini seperti perang urat syaraf yang bikin lawan-lawannya keder dan mundur.

Perlahan tapi pasti daerah Tangkahan yang dikelolanya berkembang. Banyak orang yang membantunya termasuk anak-anak mahasiswa. Istilah Wak Yun, mahasiswa-mahasiswa ini adalah mahasiswa yang “tidak terpakai di kampusnya” atau “Udah delapan tahun ga pernah masuk kuliah”. Pemerintah setempat menurutnya tidak ada andil sama sekali membantu pengembangan Tangkahan. Semua fasilitas yang ada sekarang merupakan buatan mereka sendiri tanpa campur tangan pemerintah.

Wak Yun berusaha gencar melakukan promosi wisata Tangkahan ke rekan-rekannya yang berada di luar negeri. Hasilnya tampak nyata. Kamar di resortnya yang berjumlah 11 selalu penuh di bulan Juni – Agustus, bulan dimana liburan musim panas di Eropa berlangsung. Paling sedikit tamu akan menginap selama dua malam dan biasanya mereka memesan kamar jauh-jauh hari. Jadi, jangan harap anda mendapat kamar jika tidak pesan jauh-jauh hari di bulan-bulan tersebut. Tamu-tamu dari luar negeri menurutnya sangat suka dengan keadaan alam di Tangkahan. Mereka menikmati sekali suara-suara alami dari hutan yang tidak bisa mereka dapatkan di kota.

Bila diamati kondisi daerah wisata Tangkahan relatif bersih dan tenang. Jumlah wisatawan lokal yang berkunjung pun tidak terlalu ramai, tidak seperti tempat wisata alam lain yang sejenis, sebut saja Bukit Lawang, yang pengunjungnya berjubel jika hari libur. Wak Yun menyukai situasi seperti ini karena menurutnya tempat wisata ini berkelas dan lebih mudah dikelola.

Mengenai konsep ekowisata apa yang dikembangkannya, Wak Yun hanya menjawab singkat. Ia tidak terlalu paham apa itu ekowisata namun yang pasti ia melaksanakan apa yang baik bagi lingkungan. Memang tidak ada program khusus seperti daur ulang sampah atau energi terbarukan. Sampah dipungut oleh petugas yang berasal dari penduduk setempat. Sumber energi diperoleh dari PLN sedangkan air bersih diambil dari sungai Buluh Tangkahan yang airnya sangat jernih. Yang terpenting baginya adalah lingkungan Tangkahan kembali asri. Sungai yang dulu airnya keruh dan nyaris tanpa ikan, kini kembali dihuni ribuan ikan. Masyarakat pun mengambil manfaat dengan keberadaan ikan tersebut.

Wak Yun juga menginisiasi kehadiran Conservation Response Unit (CRU) yang merupakan sebuah unit yang mengelola sejumlah gajah jinak untuk patroli hutan dan pertunjukan wisata. Kini CRU tersebut dikelola oleh Balai Besar Taman Nasional Gunung Leuser dan Wak Yun terlibat dalam pengelolaan gajah. Begitu juga dengan LPT, Wak Yun tidak mau ikut campur dalam pengelolaannya. Baginya yang terpenting, lembaga-lembaga tersebut bisa mengembalikan keuntungan yang diperolehnya kepada alam sekitar.

Itulah Wak Yun. Cita-citanya sederhana saja saat mulai bertempat tinggal di Tangkahan. Ia cuma “mengganggu”, para pengganggu hutan. Caranya tidak muluk-muluk dengan konsep yang rumit. Ia berpikir jika hutan tersebut bakal habis selama 5 tahun karena penebangan liar, maka ia akan mengganggunya sehingga hutan tersebut dapat selamat paling tidak selama 50 tahun lagi. Wak Yun belum pernah mendapatkan penghargaan lingkungan karena ia pun tidak tertarik dengan penghargaan. Kini ia merasa bangga karena Tangkahan telah menjadi salah satu daerah terdepan untuk konservasi di Indonesia.[]

read more