close

November 2014

Perubahan Iklim

Ilmuan: Kelak, Global Warming Bisa Selamatkan Umat Manusia

Global warming atau pemanasan global telah menjadi bencana internasional. Tetapi siapa sangka bila nantinya global warming lah yang akan menyelamatkan nasib umat manusia.

Sebuah letusan gunung berapi maha dahsyat diprediksi akan kembali terjadi di masa depan. Saking hebatnya, letusan tersebut disamakan dengan letusan gunung Tambora yang terjadi 200 tahun yang lalu.

Saat Tambora meletus, berton-ton abu vulkanik terbang menutupi hampir seluruh daerah di bumi. Imbas dari erupsi terbesar selama 10.000 tahun terakhir tersebut sangat mematikan. Hampir satu tahun penuh bumi tidak mengalami musim panas. Suhu bumi pun terus menurun drastis hingga berujung pada salah atu musim dingin terparah yang pernah terjadi.

Tidak mau hal itu terjadi kembali, ilmuwan dari Universitas Reading mengajukan cara ampuh untuk menangkal bencana ‘musim dingin nuklir’ yang akan terjadi di masa depan. Caranya cukup unik dan radikal, saat bencana erupsi terjadi manusia akan menyemprotkan gas rumah kaca secara masif untuk membantu menghangatkan permukaan bumi.

Seperti yang kita tahu, zat rumah kaca seperti karbondioksida akan memperangkap panas yang masuk bumi. Metode ini dipandang efektif untuk mengontrol perubahan suhu bumi yang menurun secara ekstrem.

Ilmuwan Universitas Reading telah memilih gas hydrofluorocarbon (HFC) sebagai gas rumah kaca yang dapat mencegah panas dari dalam atau luar bumi meninggalkan planet kita.

Masyarakat pun tidak perlu khawatir dengan efek jangka panjang dari gas ini. Sebab, berbeda dengan gas rumah kaca CFC yang telah dilarang penggunaannya akibat dampak merusaknya pada lapisan ozon, gas HFC akan menghilang dengan sendirinya dari atmosfer bumi dalam beberapa tahun saja tanpa meninggalkan lubang pada ozon bumi.

Manusia pun dapat dengan mudah menemukan gas HFC karena zat ini sudah diproduksi secara masal, terutama untuk bahan baku plastik. Oleh ilmuwan lain, cara ini pun diakui dapat bekerja dan menyelamatkan umat manusia saat dibutuhkan nantinya.

“Ini adalah sebuah penelitian yang sangat menarik di mana proses pendinginan bumi akibat pengaruh letusan gunung berapi dahsyat bisa dilawan dengan melepaskan gas rumah kaca ke atmosfer,” ujar profesor Peter Cox dari Universitas Exeter, Daily Mail (07/11).

Sumber: merdeka.com

read more
Energi

Wow, Petai Cina Pun Bisa Jadi Bahan Bakar

Sore itu kami bertemu di sebuah warung kopi sederhana di seputaran kota Banda Aceh. Ia adalah pembimbing mahasiswa yang baru saja kembali dari sebuah pulau yang tertinggal di wilayah Kabupaten Aceh Besar. Mereka bersama warga mencoba membuat bahan bakar alternatif dengan memanfaatkan sumber daya alam sekitar.

Saisa A. Rani, demikian namanya, seorang dosen di Universitas Serambi Mekkah yang sangat akitf bergelut di bidang lingkungan. Dia bersama sejumlah mahasiswanya mengunjungi Pulau Nasi, Kabupaten Aceh Besar dari tanggal 15 – 22 Oktober 2014 lalu.

“Kami bersama masyarakat membuat briket arang dengan bahan baku batang pohon Lamtoro. Masyarakat antusias melaksanakan kegiatan ini,” ujar Saisa, demikian Ia biasa disapa.

Proses pembuatan briket dari pohon Lamtoro sangat mudah menurutnya. Apalagi selama ini warga setempat juga sering membakar kayu dari Lamtoro tapi mereka belum sadar bahwa batang kayu itu bisa diolah lebih lanjut menjadi sumber energi.

Pulau Nasi merupakan salah satu pulau di Kecamatan Pulo Aceh, yang terletak di sebelah Utara dari Kota Banda Aceh. Transportasi untuk mencapai pulau tersebut menggunakan kapal nelayan yang muatannya terbatas serta sangat bergantung kepada cuaca. Saat cuaca cerah perjalanan hanya memakan waktu sekitar 60 menit, namun apabila cuaca kurang bersahabat dapat memakan waktu hingga 90-120 menit. Dampaknya warga terpaksa membeli barang-barang dengan harga mahal termasuk BBM dikarenakan kondisi geografisnya tersebut.

Pulau Nasi adalah wilayah dalam gugusan pulau-pulau yang dikenal oleh masyarakat lokal dengan nama Pulo Breuh (Bahasa Aceh yang berarti Pulau Beras). Alkisah, masyarakat menamakan pulau tersebut berdasarkan jaraknya dari daratan sehingga menentukan bekal apa yang mesti dibawa saat mengunjunginya. Dinamakan Pulau Nasi karena masyarakat harus membawa bekal nasi jika mendatanginya. Sedangkan dinamakan Pulau Breuh berarti masyarakat harus membawa beras jika mengunjungi sebagai bekal karena jaraknya yang lumayan jauh dan mesti menginap di pulau tersebut.

Selama ini warga memasak dengan menggunakan minyak tanah atau gas. Harga gas per tabung 3 kg mencapai Rp. 35 ribu, padahal di daratan paling mahal Rp.22 ribu. Masyarakatnya banyak yang masih tergolong pra sejahtera bertambah pengeluarannya untuk membeli bahan bakar. Ada juga yang memasak menggunakan kayu bakar dengan memanfaatkan ranting-ranting kayu yang banyak terdapat disana.

Saisa menjelaskan, sumber biomasa sangat banyak terdapat di Pulau Nasi sehingga sangat potensial dijadikan bahan bakar alternatif seperti halnya briket. Seandainya masyarakat mampu membuat briket arang dari biomasa, walaupun dalam skala kecil setidaknya bisa dimanfaatkan sendiri. Briket lebih ramah lingkungan sebab tidak menghasilkan asap, tidak berbau jadi lebih aman buat kesehatan dan mengurangi pencemaran. Saisa dan timnya memilih limbah kayu atau bahan baku dari pohon Lamtoro (pohon petai Cina). Pohon ini dipilih sebagai bahan baku pembuatan briket karena mudah diperoleh di Pulau Nasi dan tanamannya tumbuh cepat sehingga regenerasi pohon bisa berlangsung cepat juga.

 

Mahasiswa USM Banda Aceh bersama warga Pulau Nasi membuat briket | Foto: Ist
Mahasiswa USM Banda Aceh bersama warga Pulau Nasi membuat briket | Foto: Ist

Salah seorang mahasiswa yang mengikuti kegiatan ini, M. Yasin mengatakan sebelum mereka membuat briket arang, mereka melakukan sosialisasi kegiatan dengan mengunjungi kepala desa dan tokoh masyarakat. Hal ini agar program mendapat dukungan luas dari masyarakat. “ Kami juga membuat gotong royong di kampung sebagai selingan kegiatan,” katanya.

Pembuatan briket dari pohon Lamtoro relatif mudah dan lebih kurang hanya membutuhkan waktu setengah hari atau sekitar 10-12 jam. Ada dua tahap proses yaitu pertama proses pengarangan (karbonisasi). Limbah kayu pohon Lamtoro dimasukkan dalam drum hingga hampir penuh kemudian drum ditutup rapat dan api dinyalakan melalui lubang ventilasi drum. Pembakaran dilakukan hingga semua bahan habis terbakar dan setelah dingin dilakukan pembongkaran dimana arang yang dihasilkan dipisahkan dari abu.

Sedangkan proses tahap kedua adalah proses pembuatan briket. Arang yang dihasilkan dari pembakaran dalam drum tadi digiling sampai halus dan diayak agar ukurannya seragam. Agar serbuk arang ini menyatu ditambahkan perekat dari lem  kanji dengan perbandingan 1 bagian lem kanji untuk  10 bagian arang dan diaduk sehingga tercampur sempurna. Adonan dimasukkan kedalam cetakan kubus atau silinder berukuran panjang 15 cm dengan diameter 3 cm kemudian dipress. Briket yang telah selesai dicetak  kemudian dijemur dibawah sinar matahari 2 – 8 jam, tergantung keadaan cuaca. Jika dirasa briket telah benar-benar kering maka briket dapat langsung digunakan sebagai bahan bakar tanpa perlu ada modifikasi peralatan dapur.

Saisa mengatakan nilai kalor arang bisa mencapai 5000 kalori, dibandingkan nilai kalor jika kayu dibakar begitu saja yang hanya sekitar 3000 kalori. Panas yang tinggi menyebabkan masakan cepat matang sehingga dengan sendirinya menghemat bahan bakar.

Menurut literatur, kayu Lamtoro memiliki nilai kalori sebesar 19.250 kJ/kg, terbakar dengan lambat serta menghasilkan sedikit asap dan abu. Arang kayu lamtoro berkualitas sangat baik, dengan nilai kalori 48.400 kJ/kg. Kayunya termasuk padat untuk ukuran pohon yang lekas tumbuh (kepadatan 500-600 kg/m³) dan kadar air kayu basah antara 30-50%, bergantung pada umurnya. Lamtoro cukup mudah dikeringkan dengan hasil yang baik, dan mudah dikerjakan.

Briket yang mereka buat telah diuji coba langsung usai pembuatannya. Menurut M. Yasin, masih ada kelemahan produk briket mereka yaitu api yang timbul masih kurang merata. “ Ini mungkin karena briket kurang padat dan ayakannya mesti lebih halus lagi,” analisis M. Yasin.  Ia menjelaskan jika lubang pada ayakan halus lagi maka akan dihasilkan butiran arang yang homogen dan mudah dipadatkan.

Namun menurutnya warga setempat tetap antusias membuat briket arang tersebut. “ Saya yakin warga akan mampu membuat briket nantinya, apalagi bahan baku melimpah disini,” ujar M. Yasin. Tim pun menyumbangkan peralatan membuat briket kepada masyarakat.

Briket dapat menjadi bahan bakar alternatif untuk mengatasi kelangkaan BBM. Jika masyarakat mampu memproduksi briket dalam skala besar maka hal ini bisa memberikan efek meningkatkan perekonomian masyarakat dengan menjual briket ke pedagang butuh bahan bakar seperti pedagang mie goreng, ayam bakar, ikan bakar dan lain sebagainya.

Indonesia memang sangat kaya dengan bahan bakar alternatif pengganti BBM fosil. Jika pemanfaatan biomasa dapat dimaksimalkan terutama di daerah-daerah terpencil maka beban negara dalam menyediakan bahan bakar semakin berkurang. Insya Allah masyarakat pun bisa lebih sejahtera.[]

read more
Energi

Keren, Belanda Bikin Jalur Sepeda dari Panel Tenaga Matahari

Sebagai salah satu ibukota bersepeda dunia, Amsterdam, Belanda, terus menjadi pemimpin dalam gerakan hijau. Kota terus melakukan inovasi mencari cara-cara yang ramah lingkungan. Sekarang, jalur bersepeda di sekitar Amsterdam bahkan lebih ramah lingkungan dari jalur bebas mobil (Car Free). Jalur bersepeda dibikin menjadi sumber tenaga cahaya matahari (solar cell).

Trek yang menghubungkan kota kecil Wormerveer dan Krommenie, merupakan rute yang digunakan sekitar 2.000 pesepeda lokal setiap hari. Pemerintah setempat mengganti sekitar 70 meter aspal dengan panel surya untuk menghasilkan energi terbarukan. Pada tahun 2016, para ahli berencana daya yang dihasilkan panel surya ini mampu mencukupi kebutuhan tiga rumah.

Meskipun bersepeda pasti akan membuat kotoran menempel di atas permukaan panel tenaga surya ini sehingga menghalangi sinar matahari, panel dirancang untuk mampu membersihkan diri sendiri. Panel diletakkan dengan kemiringan yang cukup, sehingga memungkinkan air hujan membersihkan kotoran dari panel jalan.

Panel ini awalnya diletakkan tanpa mempertimbangkan posisi optimal untuk memiliki paling akses ke sinar matahari, hingga panel hanya akan mampu menghasilkan sekitar 70 persen dari energi yang biasa diperoleh jika panel surya di pasang di atas atap. Pemerintah berharap untuk terus memperluas kapasitas panel surya di jalan untuk membuatnya lebih efektif.

Sebelumnya ada pihak lain juga yang pernah merancang hal serupa. Mungkin Anda sudah membaca tentang Solar Roadways, sebuah proyek yang dirancang oleh Scott dan Julie Brusaw. Mereka melakukan advokasi mengubah jalan dan tempat parkir menjadi panel surya. Mereka mengklaim bahwa jika semua jalan di Amerika Serikat beralih ke panel surya, negara akan mampu mengurangi emisi karbon sebesar 75 persen.

Meskipun jalur panel surya terbungkus kaca yang dapat menahan berat, kritikus khawatir bahwa permukaan jalan tidak akan bertahan dalam jangka panjang dan akan pecah. Secara teoritis, jalan akan mampu menahan beban namun teori ini masih harus dibuktikan kebenarannya lagi. Syukurlah bahwa Belanda bersedia mengeluarkan dana hampir $ 4 juta untuk proyek ambisius ini untuk menguji kelayakannya. []

Sumber: enn.com

read more
Ragam

Pemerintah Aceh Lamban Tangani Bencana Longsor

Beberapa daerah di Aceh dilanda bencana banjir, bahkan ada juga yang terkena banjir bandang. Banjir menggenangi ribuan rumah dan fasilitas umum lainnya di dua kecamatan Kabupaten Nagan Raya, yaitu kecamatan kecamatan Tripa Makmur dan Kuala hingga membuat akses tranportasi lumpuh total di kawasan itu. Sementara di Kecamatan Lhoong, Kabupaten Aceh Besar ratusan rumah terendam banjir dan bahkan jalur transportasi putus akibat jalan amblas.

Sayangnya respon pemerintah Aceh untuk mengatasi dampak banjir ini kurang memadai. Salah seorang staf Wahana Lingkungan Hidup (Walhi) Aceh, Yusriadi yang terjun langsung ke lokasi bencana mengatakan, Pemerintah Aceh dan juga pemerintah kabupaten lamban menangani bencana longsor dan banjir.

“Pemerintah saya nilai belum siap menghadapi bencana, lamban dalam bertindak untuk mengatasi dan mengevakuasi setiap  bencana yang datang,” kata Yusriadi pada wartawan, Senin (3/10/2014).

Menurut pantauannya, sejak hari pertama terjadi longsor di Gunung Kulu dan Paro, Aceh Besar, tidak ada penanganan yang maksimal paska kejadian. Hanya warga sekitar yang bergotong royong membersihkan tumpukan longsor setinggi pinggang orang dewasa.

Padahal kecamatan Lhoong, telah terisolir dikarenakan longsor yang mengakibatkan jalan amblas. Paling tidak, ada 12 titik longsor di gunung Paro yang membuat jalur transportasi Banda Aceh-Meulaboh putus total.

Kendati demikian, Yusriadi memberikan apresiasi juga kepada Pamerintah Aceh kemudian menetapkan bencana longsor dan banjir di sejumlah daerah menjadi bencana provinsi oleh Gubernur Aceh. “Sudah tepat Pemerintah Aceh tetapkan bencana provinsi, meskipun sedikit terlambat,” tutupnya.[]

read more
1 2
Page 2 of 2