close

January 2015

Green Style

Enam Pahlawan Lingkungan Indonesia Raih KEHATI Award

Enam pahlawan lingkungan dari berbagai daerah di Indonesia meraih KEHATI Award VIII. Penghargaan tersebut diberikan oleh Yayasan Keanekaragaman Hayati Indonesia (KEHATI) di Gedung Pusat Perfilman Haji Usmar Ismail, Jakarta, 28 Januari 2015.

“Pada mereka hormat saya,” tegas Emil Salim, tokoh lingkungan Indonesia yang juga menjadi pembina Yayasan KEHATI. Menurutnya apa yang telah dilakukan oleh para peraih KEHATI Award patut dihargai setinggi-tingginya, karena meskipun yang mereka lakukan belum tentu besar, tetapi jalan mereka sudah benar. “Mereka melestarikan keanekaragaman hayati,” tambahnya.

Para pemenang tersebut adalah, Aziil Anwar dari Majene, Sulawesi Barat pada kategori Prakarsa Lestari Kehati karena upayanya menumbuhkan mangrove di karang-karang mati, kemudian Ir. Januminro dari Palangkaraya, Kalimantan Tengah pada kategori Pendorong Lestari Kehati karena usahanya mengelola hutan gambut hak milik. Dari kategori Peduli Lestari Kehati, pemenangnya adalah CV Arum Ayu dari Tangerang Selatan, Banten karena upayanya mengolah sumber pangan lokal dan mengajarkannya pada banyak orang.

Lalu, pada kategori Cipta Lestari Kehati, pemenangnya adalah Prof. Achmad Subagio dari Jember, Jawa Timur, seorang peneliti yang mendorong pangan lokal di lahan-lahan marjinal. Kemudian Agustinus Sasundu dari Kepulauan Sangihe, Sulawesi Utara, pemenang di kategori Citra Lestari Kehati karena upayanya mempopulerkan musik bambu. Kemudian, di kalangan generasi muda, terdapat KeSEMaT (Kelompok Studi Ekosistem Mangrove Teluk Awur) dari Universitas Diponegoro, Semarang yang menjadi pemenang kategori Tunas Lestari Kehati karena upayanya menjadikan mangrove sebagai gaya hidup.

Para pemenang ini dipilih dengan penjurian yang ketat dari 88 aplikasi yang terdaftar. Juri yang berjumlah lima orang, yaitu Prof Eko Baroto, Ir Yusni Emilia Harahap, Agus HS Reksoprodjo, Dr Asclepias RS Indriyanto, dan Gesit Ariyanto berusaha keras memilih para pemenang dari kriteria-kriteria ketat yang telah ditentukan sebelumnya. “Kriteria itu diantaranya adalah dampak positif pada masyarakat, keberlanjutan kegiatan, dan besarnya upaya yang dilakukan diluar tugas dan kewajiban yang diembannya,” kata Ketua Dewan Juri, Eko Baroto. Enam peraih KEHATI Award VIII ini berhasil muncul dari 12 nominasi yang terpilih sebelumnya.

Sementara itu, Ketua Pembina Yayasan KEHATI, Ismid Hadad, mengatakan bahwa para pemenang merupakan champion karena berani melawan arus untuk mau menyelamtkan lingkungan. “Tanpa instruksi atau uluran tangan pemerintah,” ujarnya. Pemberian KEHATI Award ini adalah cara Yayasan KEHATI untuk mengembangkan upaya-upaya pelestarian lingkungan untuk tumbuh lebih besar. “Sejak pelaksanaan KEHATI Award di tahun 2000, saya selalu gembira bertemu dengan wajah-wajah baru yang bisa menjadi harapan pelestarian keanekaragaman hayati,” tambahnya.

Di lokasi yang sama, Ketua Panitia KEHATI Award VIII sekaligus Direktur Eksekutif Yayasan KEHATI, MS Sembiring mengatakan bahwa pesan kuat yang ingin disampaikan KEHATI pada pelaksanaan acara ini adalah untuk membangkitkan kepedulian masyarakat terhadap keanekaragaman hayati terutama pada isu pangan, energi, kesehatan, dan air (PEKA). “PEKA ini telah menjadi fokus rencana strategis KEHATI selam lima tahun ini,” katanya.

KEHATI Award adalah penghargaan tertinggi yang diberikan oleh Yayasan KEHATI kepada perorangan atau kelompok yang telah mampu melakukan pelestarian lingkungan dan keanekaragaman hayati. Penghargaan ini telah dimulai sejak tahun 2000, dan di tahun ini adalah pelaksanaannya yang kedelapan kali. Hingga tahun 2015, peraih KEHATI Award sudah mencapai 35 orang atau kelompok.

Terselanggaranya KEHATI Award VIII ini tidak lepas dari dukungan Chevron Indonesia, Bank Negara Indonesia, Bank Rakyat Indonesia, PT Gadjah Tunggal, The Bodyshop, PT Pembangunan Jaya Ancol, Semen Indonesia, Marthina Berto (Martha Tilaar), Ny. Meneer, dan PT Chandra Asri. Dari sisi media, dukungan datang dari SWA Media, Society of Indonesian Environmental Journalist (SIEJ), ANTARA, Radio KBR, Mongabay, MP Pro dan Alilansi Jurnalis Independen (AJI).  [rel]

read more
Flora Fauna

Masyarakat Minta Pemerintah Tuntaskan Masalah Gajah

Beberapa hari lalu, Sabtu (24/1/2015), seekor gajah mengamuk mengakibatkan tewasnya seorang perempuan,  Husna ( 38 thn) tahun di kampung Gedok, kecamatan Timang Gajah, Kabupaten Bener Meriah. Masyarkat sangat menyesalkan kejadian ini dan berharap pemerintah mengambil tindakan agar kejadian serupa tidak terulang dimasa mendatang.

Forum Masyarakat Peduli Lingkungan (Formalin), melalui  Koordinatornya, Sri Wahyuni, SH.I,
menyatakan sangat menyesalkan kejadian ini, dan turut berduka atas jatuhnya korban.  Mereka berharap agar semua pihak yang berwenang menangani kasus untuk melakukan sosialisasi, preventif (pencegahan) dan kuratif (penanganan), serta segera melakukan tindakan agar tidak terjadi kasus yang sama dikemudian hari.

Formalin berpendapat, gangguan gajah ini terjadi akibat perluasan kebun sawit yang mempersempit kawasan alamiah gajah. Dimana berakibat pada makin sempitnya ruang gerak gajah untuk bertahan hidup.

Secara alamiah, wilayah kecamatan Timang Gajah yang saat ini terbagi menjadi 3 kecamatan merupakan habitat alami gajah di wilayah kabupaten Bener Meriah.

” Kami meminta Pemerintah Aceh, Pemkab Bener  Meriah, Pemkab Aceh Tengah, Pemkab Bireun, BKSDA, dan pihak lainnya yang berhubungan dengan sektor ini kami berharap untuk dapat segera menetapkan kawasan habitat gajah, mencabut ijin perkebunan yang mengganggu kawasan alamiah gajah, segera menghentikan alih fungsi lahan, melakukan penegakan hukum tegas atas segala tindakan pengrusakan kawasan lindung, penangkapan hewan yang dilindungi, termasuk anak gajah dan gading gajah, mensosialisasikan persoalan konflik gajah dan manusia serta mitigasinya kepada masyarakat dan mencari solusi lainnya yang tetap mempertimbangkan keamanan masyarakat, keberlangsungan kehidupan gajah dan penyelamatan ekosistem gajah dikawasan tersebut, dengan melakukan gerakan inklusif antara pemerintah, lembaga peduli lingkungan hidup, dan masyarakat luas,” urai Sri Wahyuni.

Sementara itu Koalisi Peduli Hutan Aceh (KPHA) melalui Juru Bicara (Jubir), Efendi Isma S Hut, mengatakan peristiwa ini bukan yang pertama sekali terjadi di Kabupaten Bener Meriah. Konflik dengan satwa yang dilindungi telah menelan korban manusia dan menimbulkan kerugian terus menerus bagi masyarakat Bener Meriah. Namun tak ada penyelesaian komprehensif dari pemerintah, baik pemerintah daerah, provinsi maupun pemerintah pusat, sesalnya.

Bila ditarik sumber persoalannya akan bermuara pada Tata Ruang Wilayah Aceh, ketika ruang tidak lagi di atur berdasarkan daya dukungnya maka akan muncul konflik, dan konflik yang timbul akan memerlukan biaya cukup besar baik untuk membangun infrastruktur maupun untuk biaya penanganan (rehabilitasi).

KPHA meminta pemerintah untuk melakukan analisis biofisik ruang dan analisis home range satwa (gajah) untuk kemudian dijadikan batas daya dukung ruang, agar ditemukan ukuran optimum bagi pembangunan kawasan dan kebijakan ekonomi masyarakat sekitar.[]

read more
Ragam

KEHATI Award Pendorong Pelestarian Keanekaragaman Hayati

Di salah satu sudut rumahnya di Tangerang Selatan, Sancaya Rini berkutat dengan kesukaannya, membatik. Hobi yang dia seriusi pada tahun 2005 ini dimulai dengan belajar membatik di Museum Batik Indonesia. Ilmu yang dia dapatkan itu kemudian ditularkan pada anak-anak muda di sekeliling rumahnya. Bukan usaha yang mudah untuk menarik minat anak muda belajar membatik.

Meskipun hanya berhasil membimbing segelintir anak-anak muda di lingkungannya, Sancaya Rini tetap serius menggeluti kegiatan membatiknya. Dia bahkan semakin serius menggunakan pewarna alam sebagai sumber warna utama dari batik-batik yang dibuat oleh Creative Kanawida, workshop membatik yang dikelolanya.

Batik yang ramah lingkungan ini kemudian menjadi semakin mendapatkan perhatian setelah wanita berkerudung ini mendapatkan KEHATI Award di tahun 2009 pada kategori Citra Lestari KEHATI. Menurutnya, dari hanya sebuah workshop kecil di sudut kota Tangerang Selatan, penghargaan dari Yayasan Keanekaragaman Hayati Indonesia (KEHATI) itu membuat semakin banyak orang mengetahui apa yang dia lakukan dengan pewarna alam dan batiknya.

Penghargaan yang diberikan atas usahanya memanfaatkan keanekaragaman hayati dan memberdayakan masyarakat itu justru memperluas jaringannya. Dari jaringan itu dia berhasil mendapatkan informasi-informasi baru tentang jenis-jenis pewarna alam yang lain. Selain itu, tawaran pameran dan berbagi ilmu semakin banyak datang, sehingga dia merasa, apa yang dia lakukan mampu memberikan dampak yang lebih besar setelah orang-orang mengenalnya dari penghargaan KEHATI Award.

Hal yang sama juga terjadi dengan Maria Loretha di Adonara, Nusa Tenggara Timur. Upayanya mendorong pangan lokal asli Adonara sejak tahun 2007 mendapatkan perhatian yang semakin besar setelah wanita Dayak ini memenangkan penghargaan KEHATI Award 2012. Maria menjadi semakin bersemangat mendorong petani di daerahnya untuk membudidayakan pangan lokal seperti ubi, padi hitam, sorgum, kacang, dan sebagainya. Penghargaan itu juga mengantarkannya pada banyak forum nasional maupun internasional untuk berbagi pengalaman.

Dari potret dua penerima penghargaan KEHATI Award tersebut, apresiasi dalam bentuk award masih memiliki peranan penting untuk mendorong gerakan perbaikan lingkungan. “Pemberian penghargaan mampu memberikan akses pada masyarakat di daerah-daerah yang tidak tertangkap mata banyak orang untuk menjadi terlihat dan mendapatkan pengakuan,” ujar Direktur Eksekutif Yayasan KEHATI, MS Sembiring, Selasa 20 Januari 2015. Seperti yang terjadi pada Maria Loretha yang berada di desa Adonara. Sebuah desa yang jauh dari pusat pemerintahan dan kurang memiliki akses terhadap informasi. Berada jauh dari mata pengambil keputusan, Maria tetap berusaha untuk memberdayakan pangan lokal sehingga pada akhirnya nanti masyarakat di desanya tidak tergantung pada beras dan mampu menghadapi perubahan iklim.

“Kerja keras para pahlawan lingkungan itu mampu memberikan inspirasi”, ungkap Sembiring. Melalui inspirasi ini diharapkan akan muncul replikasi terhadap pemberdayaan pangan lokal di daerah lain. Ajang penghargaan juga memberikan contoh nyata bagi masyarakat bahwa sebuah upaya perbaikan lingkungan mampu dilakukan diberbagi tempat di Indonesia ini.

Tahun 2015, Yayasan KEHATI kembali dengan KEHATI Award VIII. Kali ini tema yang diangkat adalah keanekaragaman hayati untuk kesejahteraan bangsa. Seperti yang diketahui, keanekaragaman hayati memiliki peranan penting dalam kehidupan manusia. Kekayaan yang menjadi potensi besar Indonesia tersebut menyimpan beragam sumber pangan, sumber energi alternatif, sumber obatan-obatan alami, dan jika dijaga dengan baik maka akan ikut menjaga ketersediaan air.

Melalui KEHATI Award VIII, Yayasan KEHATI ingin kembali mengingatkan setiap elemen masyarakat untuk memberikan perhatian pada keberlanjutan keanekaragaman hayati di Indonesia. Hilangnya keanekaragaman hayati karena kesalahaan pengelolaan justru akan merugikan masyarakat di sekitarnya. “Semoga dengan adanya KEHATI Award, masyarakat bisa menjadi bagian dalam pelestarian keanekaragama hayati,” tegas Sembiring.[rel]

read more
Ragam

Warga Aceh Dihebohkan dengan Munculnya Sungai Baru

Sebuah sebuah fenomena alam yang unik membuat warga Kecamatan Lhoksukon, Baktiya, dan Cot Girek Kabupaten Aceh Utara tercengang dan heboh. Kabar ini menjadi topik hangat perbincangan warga semenjak munculnya fenomena sebuah sungai baru pada 26 Desember 2014 lalu. Sebelumnya di sungai baru yang belum bernama ini adalah daerah rawa-rawa gambut.

Isu unik ini terus menyebar hingga membuat banyak warga yang berkunjung untuk melihat langsung fenomena yang langka tersebut. Chairul Sya’ban, wartawan greenjournalist.net, Sabtu (16/0/2015) turun ke lokasi untuk menyaksikan lfenomena ini.

Perjalanan menuju sungai baru di Lhoksukon | Foto: Chairul Sya'ban
Perjalanan menuju sungai baru di Lhoksukon | Foto: Chairul Sya’ban

Jalan perbukitan berbatu membuat saya nyaris terperosok berkali-kali ke lubang yang bertaburan. Rawa yang diperkirakan dengan luas sepuluh hektare itu terletak di sebelah perbukitan dan jauh dari pemukiman penduduk. Untuk sampai dilokasi, butuh waktu dua jam. Sungai baru ini masuk wilayah Gampong Cinta Makmur Unit Enam, Buket Hagu Lhoksukon, Aceh Utara.

Beberapa warga mendampingi perjalanan saya menuju lokasi rawa yang jadi sungai. Jalan berbatu, licin, dan perbukitan harus dilalui dengan ekstra hati-hati demi sampai ke tujuan dengan selamat.

Setelah memakan waktu hingga satu jam perjalanan, lokasi itupun sudah mulai terlihat jelas. Salah satu warga yang juga tokoh masyarakat setempat menginstruksikan agar berhati-hati menginjak areal lahan gambut.

“Nah, kita sudah sampai di lokasi. Untuk sampai ke pinggir rawa itu, kita harus melewati lahan gambut sejauh 500 meter. Hati-hati, jangan terlalu kuat menginjak gambut,” saran Radikum (45), tokoh masyarakat.

Sungai baru yang terbentuk di atas lahan gambut | Foto: Chairul Sya'ban
Sungai baru yang terbentuk di atas lahan gambut | Foto: Chairul Sya’ban

Mau tak mau, instruksi sang tokoh ini harus dipatuhi demi keselamatan. Perjalanan pun terus dilanjutkan. Areal lahan gambut nyaris membuat kami terjerumus. Beruntung masih ada ranting-ranting kayu yang bisa dijadikan pegangan di jalan setapak.

Kami pun sampai di tujuan. Luar biasa, genangan air tenang yang warnanya agak kehitaman sudah menenggelamkan areal perkebunan sawit yang diketahui milik Yayasan Malikussaleh Panton Labu.

Lebar sungai ini diperkirakan sekitar dua puluh meter, dengan kedalaman rata-rata lima meter. Sementara panjang sungai ini tidak diketahui, sebab belum ada satupun warga yang mengarungi sungai baru tersebut.

Beredar cerita di dalam masyarakat, konon munculnya fenomena rawa yang berubah jadi sungai ini akibat ditiduri ular yang telah lama bersemadi. Benar atau tidaknya, namun warga meyakini mitos ini.

Dari cerita warga, awalnya pada 26 Desember 2014 lalu, pada saat bencana banjir menerjang Lhoksukon, terdengar suara gemuruh pada malam hari. Keesokan paginya, genangan airpun mulai merendam areal lahan gambut tersebut.

Warga ramai-ramai melihat sungai yang baru terbentuk | Foto: Chairul Sya'ban
Warga ramai-ramai melihat sungai yang baru terbentuk | Foto: Chairul Sya’ban

Namun setelah sepekan lamanya, debit air terus bertambah. Tanaman sawit seluas sepuluh hektare milik yayasan Malikussaleh yang masih berumur sekitar tiga tahun dan tinggi sekitar tiga meter tenggelam tidak kelihatan lagi. Sebagian tanaman sawit malah terseret ke pinggiran sungai yang baru jadi ini.

“Tempat ini sering dilalui warga untuk mencari rumput hewan peliharaan, memancing dan pergi ke kebun. Saat itu masih bisa dilalui karena lahannya sama sekali kering tanpa air,” cerita salah satu warga, Abdullah Ali (50).

Dari informasi lain, sebelumnya areal rawa dan perkebunan yang berubah menjadi sungai ini dulunya memang sungai besar. Bahkan, ada mitos yang tersebar bahwa ada salah satu kapal yang tenggelam di sungai ini dulunya.

Nama kampung inipun sebelumnya dinamakan “Kota Gantung”. Julukan ini menunjukkan adanya salah satu jembatan gantung untuk melintas menuju ke seberang sungai.

“Dulunya memang ada sungai disini, sungai besar yang sempat dilintasi kapal. Bahkan ada kapal yang tenggelam disitu. Ada pula jembatan gantung untuk menuju akses ke sungai ini. Jadi bisa saja sungai ini kembali muncul menjadi seperti semula,”kata warga.

Sejak munculnya sungai ini, warga masih dibuat heboh dan penasaran. Masih banyak yang belum tahu secara detail tentang asal mula munculnya sungai yang menenggelamkan areal perkebunan sawit dan rawa-rawa ini.

Saat ini warga hanya yakin dengan mitos yang bercerita ada ular meniduri areal tersebut sebelum muncul sungai besar.

Sungai baru ini dari pusat kota Lhoksukon, berjarak sekitar 30 km dan terletak di perbatasan Lhoksukon, Baktiya, dan Cot Girek. Jalur menuju lokasi dipenuhi banyak semak belukar, sehingga tak jarang pengunjung yang jatuh ke lumpur. []

read more
Ragam

Lagi-lagi Banjir Menerjang Bumi Pasee Aceh

Dua unit mobil double cabin Search and Rescue (SAR) Aceh Utara dan Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Aceh Utara melaju kencang menuju Kecamatan Matangkuli dan Pirak Timu, Rabu (14/01/2015).

Masing-masing mengangkut perahu karet bermesin. Petugas SAR dan BPBD juga tampak siaga duduk dibelakang mobil memegang erat perahu karet itu. Sirene juga dinyalakan, lampu kiri kanan juga demikian.

Tiba di Matangkuli dan Pirak Timu, tim penyelamat langsung menurunkan dua unit perahu tersebut. Ternyata, banjir sedang merendam dua kecamatan itu. Ketinggian air berkisar antara 30 CM hingga 70 CM.

Satu persatu warga disana dievakuasi. Tim Muspika menyarankan agar warga segera meninggalkan rumah mereka guna antisipasi jika banjir terus naik. Ada juga warga yang enggan dievakuasi karena mereka pastikan kalau banjir pasti segera surut.

Warga lelah, warga trauma, semua itu belum pulih pasca banjir besar menerjang di akhir tahun 2014 lalu. Banjir kali ini yang terjadi di bulan januari pun merupakan banjir yang ketiga kalinya. Tidak begitu parah, akan tetapi warga semakin lelah.

“Bukan hal yang baru bencana banjir yang singgah di kecamatan ini. Bulan ini aja sudah tiga kali banjir menerjang. Kami lelah dengan semua ini,” ucap Suryadi (38), warga Matangkuli.

Seraya berharap agar banjir segera surut, Suryadi bersama warga lainnya terus sibuk memindahkan seluruh isi rumah ketempat yang lebih tinggi. Kesibukan semacam itu berlanjut sampai sore hari. Banjirpun belum surut.

Dari catatan Tim Muspika setempat, banjir merendam 651 rumah di 19 Desa Kecamatan Matangkuli. Sekitar 745 KK juga sempat mengungsi karena debit air terus naik.

Masing-masing desa Tanjung Tgk Kari, Meunasah Teungoh, Alue Euntok, Teumpok Barat, Parang Sikureung, Meuria, Hagu, Alue Thoe, Siren, Lawang, Cibrek, Punti, Tanjung Babah Krueng. Tanjung Tgk Ali, Pante Pirak, Mee, Baroe, Beuringen, dan Teungoh Seulemak.

Sedangkan titik terparah banjir yaitu di Desa Alue Tho, Hagu, Teumpok Barat, Tanjong Haji Muda, dan Lawang. Namun hingga saat ini belum ada yang mengungsi.

“Warga sudah mulai mengungsi sejak naik air pagi tadi, dan sebagian ada yang nekat pulang ke rumah. Bantuan pun untuk saat ini belum ada,” kata Camat Matangkuli, T. Azwar SE, kepada greenjournalist.net.

Menurutnya, banjir yang terjadi hari ini (Rabu-red) masih terbilang dalam kategori biasa, sebab desa-desa ini memang sudah menjadi langganan banjir bila musim penghujan tiba baik hujan local maupun banjir kiriman. Banjir terjadi akibat sungai kreuto meluap setelah hujan lebat mengguyur Bener Meriah dan Pante Bahagia.

Kepala Dinas Sosial Aceh Utara, Drs Jailani, juga bergerak cepat soal banjir ini. Dia mengatakan bahwa pihaknya telah menurunkan tim ke lokasi banjir untuk memantau kondisi masyarakat setempat. Pihaknya mengaku akan menyalurkan bantuan bila nantinya masih ada warga yang mengungsi bila debit air bertambah.

Greenjournalist.net terus menunggu perkembangan banjir Matangkuli, hingga akhirnya banjir dilaporkan mulai surut sejak pukul 20:00 WIB malam. Sebagian warga ada yang sudah pulang kerumahnya masing-masing, dan sebagian lagi enggan pulang karena masih lelah.

Sebelumnya, banjir yang sama juga sempat menerjang Kecamatan Nisam, Aceh Utara sehari sebelum banjir melanda Matangkuli dan Pirak Timu. Banjir yang datang secara tiba-tiba pukul 03:00 dinihari Selasa (13/01/2015) justeru membangunkan penghuni rumah untuk bekerja keras menyelamatkan barang-barang rumah.[]

read more
Green Style

Mari Selamatkan Keanekaragaman Pangan Lokal

Selama ini kita lebih mengenal beras sebagai bahan pangan pokok kita. Akibatnya, negara kita menjadi salah satu negara dengan konsumen beras terbesar di dunia. Padahal sejak dahulu kita mengenal keberagaman sumber pangan lokal.

“Dahulu kita mengenal beragam sumber karbohidrat, seperti : sagu,talas dan ubi (Papua dan Maluku), umbi-umbian (Papua dan Jawa), gebang, sorghum/cantel (NTT), sukun dan lainnya. Demikian juga sumber kacang-kacangan, buah dan sayuran local,” papar MS. Sembiring, Direktur Eksekutif Yayasan KEHATI.

Data SEAMEO BIOTROP di tahun 2009 memaparkan bahwa lebih dari 800 spesies tumbuhan tumbuh di Indonesia, dengan  77 jenis karbohidrat, 75 jenis lemak/minyak, 26 kacang-kacangan, 389 buah banyak ditemukan di Indonesia.

“Jumlah ini akan berkurang jika kita tidak memiliki kepedulian untuk melestarikan keanekaragaman hayati kita. Ini yang melandasi Yayasan Keanekaragaman Hayati (KEHATI) terus berupaya melestarikannya dengan memberikan apresiasi kepada masyarakat yang berupaya melestarikan dan memanfaatkan keanekaragaman hayati, termasuk pangan lokal,” sambung Sembiring.

Maria Loretta, seorang petani dari Way Otan Farm, Adonara Barat, Flores Timur, Nusa Tenggara Timur telah melestarikan tanaman pangan lokal seperti sorgum, jelai, beras hitam, jewawut dan bahan pangan lain yang sudah mulai susah ditemui di kampungnya. Padahal, bahan makanan tersebutlah yang dikenalkan dari kecil oleh orang tua mereka. Bahan pangan tersebut juga tahan terhadap perubahan cuaca di wilayah Nusa Tenggara Timur yang merupakan gugusan pulau-pulau kecil. Atas upaya kerja keras Maria Loretta, Yayasan KEHATI menganugerahinya dengan Prakarsa Lestari KEHATI di tahun 2012.

Mbah Suko, petani dari Dusun Kenteng, Desa Mangunsari, Kecamatan Sawangan, Kabupaten Magelang, Jawa Tengah juga mendapat penghargaan Prakarsa Lestari KEHATI di tahun 2001. Yayasan KEHATI sangat menghargai upaya-upaya almarhum Mbak Suko dalam melestarikan bibit padi lokal yang sudah jarang ditemui. Tak kurang dari 35 jenis bibit padi lokal telah dikembangbiakkan, seperti rojo lele, ketan kuthuk, kenongo, rening, menthik wangi, menthik susu, gethok, leri, papah aren, berlian, tri pandung sari, dan si buyung.

Sementara itu, di tahun 2002 Yayasan KEHATI memberikan penghargaan kepada Nicholas Maniagasi, Ketua Yayasan Sagu Suaka Alam, Yapen Waropen, Papua yang telah melakukan upaya pengembangan pengolahan sagu di kampung-kampung di Papua.

“Banyak sekali upaya-upaya dari masyarakat untuk terus melestarikan keanekaragaman hayati terutama pangan lokal. Mereka adalah salah satu dari banyak masyarakat yang telah kami temukan. Masih banyak sekali pahlawan-pahlawan di kampung yang telah berupaya melestarikan pangan yang mungkin belum  kami temukan. Kami hanya ingin berbagi, agar upaya mereka dapat terus menjadi inspirasi dalam melestarikan dan memanfaatkan keanekaragaman hayati kita, terutama pangan lokal,” tutup Sembiring.

Yayasan KEHATI akan kembali memberikan penghargaan terhadap usaha-usaha pelestarian ataupun pemanfaatan keanekaragaman hayati secara berkelanjutan yang dilakukan oleh masyarakat, lembaga swadaya masyarakat, pemerintah, seniman, generasi muda, hingga perusahaan di seluruh Indonesia. Penghargaan KEHATI Award VIII akan dilaksanakan pada 28 Januari 2015 di Gedung Usmar Ismail, Jakarta. [rel ]

read more
Kebijakan Lingkungan

Forum Mukim Aceh Barat Serahkan Draft Qanun Kekayaan Mukim

Forum Mukim Aceh Barat didampingi oleh Jaringan Komunitas Masyarakat Adat (JKMA) Aceh dan JKMA Bumo Teuku Umar menyerahkan draft Peraturan Bupati tentang Tata Batas Wilayah Mukim dan tentang Identifikasi Harta Kekayaan Mukim Lango Kecamatan Pante Ceuremen kepada Pemkab Aceh Barat yang diterima oleh Wakil Bupati  Aceh Barat Drs.H. Rachmad Fitri. HD, MPA.

Ketua Forum Mukim Aceh Barat T A Hadi didampingi oleh Chalid HK dari JKMA Aceh dan Syahrul YA dari JKMA Bumo Teuku Umar menyampaikan progress penyusunan Draft regulasi yang berlangsung partisipatif bersama masyarakat.

Dalam sambutannya Rachmat Fitri menginginkan penyerahan draft regulasi tersebut diikuti dengan pembahasan bersama para pihak (biro pemerintahan dan biro hukum Pemkab Aceh Barat) dapat mencermati substansi yang ada dalam peraturan tersebut agar segera ditindaklanjuti menjadi peraturan daerah atau peraturan bupati.

Budaya masyarakat adat Aceh lebih kuat dari beberapa daerah yang lain yang ada di Indonesia. Ketika persoalan adat menjadi suatu landasan dalam peraturan dan kegiatan di masyarakat maka dalam konteks Aceh dipastikan akan berhubungan erat dengan implementasi syariat Islam, kata Rachmat Fitri.

Hal yang serupa ketika dibandingkan dengan Provinsi Sumatera Barat (Padang) dimana aparatur pemerintah sangat menghormati produk hukum yang dihasilkan oleh masyarakat adatnya, dan waktu sudah membuktikan bahwa bila adat dalam suatu masyarakat itu kuat maka  segala kegiatan kehidupan akan berjalan dengan lancar dan nyaman ujar wakil bupati Aceh Barat.

Drs.H. Rachmad Fitri. HD, MPA juga menyinggung masalah reusam (aturan adat Aceh) sebagai sebuah aturan di provinsi Aceh harus kembali menjadi dasar sebuah kehidupan masyarakat. Sudah terbukti oleh sejarah dimana setiap gampong di Aceh memiliki reusam sendiri-sendiri yang berbeda antara satu gampong dengan gampong lainnya, karena reusam ini memang dibangun dengan karakteristik dan kondisi sosial politik setempat.

Wakil Bupati berharap dengan konstribusi aktif para pihak seperti Forum Mukim Aceh Barat, JKMA Aceh, JKMA BTU dan pihak MAA beserta masyarakat mendorong perubahan maka akan timbullah tatanan masyarakat yang berdaulat dan sejahtera.

Perwakilan dari mukim Lango Idrus menyerahkan qanun Mukim Lango tentang  Tata Cara Pengelolaan Hutan dan Mekanisme Pengambilan Keputusan sebagai salah satu bentuk keseriusan Mukim Lango dalam menjaga dan merawat hutan  demi  kemaslahatan masyarakat Lango khususnya dan masyarakat Aceh Barat umumnya.

JKMA Bumo Teuku Umar akan terus mendampingi masyarakat adat di kabupaten Aceh Barat agar berdaulat secara politik, mandiri secara ekonomi dan bermartabat secara budaya terus memelihara hubungan baik dengan para pihak seperti yang telah dicapai selama ini tutup Syahrul YA.

Turut hadir tokoh masyarakat dari mukim Lango dan perwakilan perempuan juga turut hadir dalam acara tersebut. [rel]

read more
Kebijakan Lingkungan

Sampah Menggunung, Warga Tak Bekerja Sama, Pejabat Marah

Aroma tak sedap tercium di sudut kota pertokoan Lhoksukon, Aceh Utara. Lalat hijau beterbangan, bahkan terdengar nyaring suara sayapnya. Para pejalan kaki tak tahan dengan aroma itu, mereka menutup hidung dan mengibaskan tangan mengusir lalat.

Jelas, semua itu berasal dari sampah sisa banjir di Lhoksukon yang sudah sepekan ini tak pernah berkurang meskipun pihak Dinas Kebersihan, Pasar dan Pertamanan (DKPP) Aceh Utara setiap harinya mengangkut sampah-sampah itu.

Hingga akhirnya pada Rabu (07/01/2015) pukul 08:30 WIB, satu unit mobil kijang warna hitam mendadak berhenti tepat didepan tumpukan sampah yang menggunung setinggi tiga meter berbau busuk.

Salah satu penumpang mobil keluar, sementara sang supir tetap menunggu di dalam. Pria tinggi besar berkulit putih ini langsung mengarahkan jari telunjuk kanannya ke arah sampah yang menggunung.

Ternyata, dia adalah M. Dahlan SE, Kepala DKPP Aceh Utara. Dia memerintahkan empat unit truck pengangkut sampah untuk berhenti dan mengangkut sampah-sampah yang menggunung di pinggiran pertokoan jalan Pang Lateh dan Pang Nanggroe Lhoksukon.

Mendengar perintah sang komandan, masing-masing supir truk berhenti. Mereka berbagi tugas. Dua armada mengangkut di jalan Pang Lateh dan Pang Nanggroe, sedangkan duanya lagi mengangkut di jalan Tgk Chik Ditiro dan Tgk Chik Ditunong.

Turunlah kemudian petugas sapu bersih. Berbagai alat di siapkan. Petugas berbaju kuning tanpa pengaman mulut atau hidung bekerja memuat sampah yang menggunung.

Sang Kadis marah, wajahnya terlihat asam, matanya memerah. Belakangan diketahui bahwa dirinya marah karena warga yang miliki pertokoan sama sekali tidak punya kesadaran untuk saling menjaga lingkungan.

Wartawan greenjournalist.net, Chairul Sya’ban, mengajaknya berbincang sejenak. Sambil memimpin anak buahnya mengangkut sampah, sang Kadis inipun tetap melayani pertanyaan yang diajukan greenjournalist.net.

“Saya emosi karena para pemilik toko sama sekali tidak punya rasa kesadaran untuk sama-sama menjaga lingkungan. Kami cuma minta untuk membersihkan masing-masing saluran drainase,” ucap M Dahlan.

Sejak banjir surut pada Sabtu (27/12/2014) lalu, saluran drainase sudah pada bersih dikerjakan oleh pekerja pengangkut sampah DKPP. Malah belakangan, drainase kembali dipenuhi sampah-sampah baru.

Padahal, pihaknya sudah membagikan 200 unit tong sampah kepada masing-masing pemilik toko khususnya di Lhoksukon. Namun, sama sekali tak di indahkan.

Pihaknya juga sempat memberlakukan pengutipan biaya pekerja pengangkut sampah. Masing-masing toko wajib membayar iuran bulanan sekitar 50 ribu perbulannya. Lantas, aturan ini juga tidak di indahkan.

“Ramai yang tidak mau bayar. Okey saya bilang, tapi sampahnya tolong dibuang ketempat yang sudah disediakan. Tapi apa yang terjadi, malah sampah yang kian menumpuk dan berserakan. Sedangkan tong yang sebelumnya sudah kita bagikan malah hilang,” kesal M Dahlan.

Suasana pusat Kota Lhoksukon tentunya menjadi pemandangan yang menjijikan untuk saat ini akibat sampah yang membludak. Empat unit armada angkutan sampah disertai belasan pekerja sapu bersih kualahan setiap harinya mengangkut sampah-sampah sisa banjir ini.

Siapa sangka, sejak banjir surut dalam sepekan ini saja sampah yang sudah diangkut nyaris mencapai seribu ton. Bukannya malah berkurang, sampah yang berupa puing-puing barang toko dilempar begitu saja ke halaman.

“Nyaris mencapai seribu ton sampah sisa banjir di 26 kecamatan yang terkena banjir. Paling banyak sampah yang menumpuk hanya Lhoksukon,” kata Dahlan dengan blak-blakan.

Dahlan menjelaskan sebab musabab bencana banjir yang terjadi pada akhir tahun 2014 di kabupaten Aceh Utara. Tentunya kita sudah tau apa sebab banjir selain takdir. Saluran yang tersumbat dan pembalakan liar menjadi faktor utamanya.

Tak terasa, perbincangan wartawan greenjournalist.net dengan Kadis DKPP ini berlangsung sudah satu jam. Sang kadis juga mengakhiri perbincangannya.

Sampah-sampah yang diangkut kemudian dibawa ke lokasi Tempat Penampungan Akhir (TPA). Berjarak sekitar 10 kilometer dari Pusat Kota Lhoksukon, tepatnya di Desa Teupin Keube Lhoksukon.

Orang-orang DKPP kemudian pergi usai membereskan sampah yang menggunung. Maka, munculah sebagian pemilik toko yang juga emosi dengan Dahlan.

Seakan tak sadar dengan apa yang disampaikan pihak DKPP. Sebagian pemilik toko tetap saja ngotot tak akan membantu pihak DKPP untuk membersihkan saluran drainase yang dipenuhi sampah.

“Biarkan saja, mereka kan ada gaji tiap bulan. Sedangkan tong yang sebelumnya diberikan, sebagian sudah hanyut dan sebagian ada yang dibawa pulang ke rumah,” ucap seorang warga, Azhar. []

read more
1 2
Page 1 of 2