close

February 2015

Kebijakan Lingkungan

Memberikan Insentif untuk Penjaga Hutan

Membaca berita di Jambi Ekspres tanggal 11 april 2015, halaman 8, yang berjudul Gubernur HBA perjuangkan insentif “Penjaga” hutan, yang disampaikan secara khusus (face to face) kepada Ibu Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Ibu Siti Nurbaya, saat kunjungan beliau ke Jambi dalam rangka Rapat Koordinasi  kesiapan pencegahan kebakaran hutan dan lahan di Propinsi Jambi di Ruang Rapat Kantor Gubernur Jambi tanggal 10 Februari 2015.

Jika kita cermati apa yang disampaikan oleh Gubernur Jambi tersebut kepada Ibu Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan, tentang Insentif penjaga hutan, adalah sesuatu yang sangat wajar, karena beberapa Kabupaten/kota dalam Propinsi Jambi merupakan bagian dari kawasan konserasi yang bernama Taman Nasional, antara lain Kabupaten Kerinci/Kota Sungai Penuh/Merangin/Bungo dengan Taman Nasional Kerinci Seblat, Kabupaten Sarolangun/Tebo dan Batanghari dengan Taman Nasional Buit Duabelas, Kabupaten Tebo dengan Taman Nasional Bukit tigapulu, Kabupaten Muara Jambi dan Tanjung Jabung Timur dengan Taman Nasional Berbak.

Untuk Kabupaten Kerinci/Sungai Penuh, lebih dari 50% wilayahnya merupakan kawasan konservasi Taman Nasional Kerinci Seblat, secara hukum, ekologi dan ekonomi merupakan kawasan yang harus dilindungi dan dilestarikan untuk kepentingan ekologi dan ekonomi Lokal, regional, Nasional dan global, begitu juga dengan kawasa konservasi Taman Nasional lainnya di Propinsi Jambi.

Dan dalam upaya pelestarian dan pengamanan kawasan tersebut, peran serta masyarakat yang diamantkan dalam pasal 68 (1,2) UU No 41/1999, tentang Kehutanan, pasal 58 UU No 18/2013, dan pasal 37 UU No 5 tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya merupakan sesuatu yang harus ditumbuh kembangkan dalam memperkuat keberadaan taman nasional tersebut, dan peran tersebut juga harus menjadi tanggung jawab Pemerintah Kabupaten/Kota dan Provinsi.

Dan jika kita cermati Pasal 68 (3,4) UU No 41/1999, tentang Kehutanan, pemerintah memiliki tanggung jawab dan masyarakat punya hak untuk memperoleh kesejahteraan bagi masyarakat yang berada disekitar Hutan Konservasi tersebut sebagai bentuk “kompensasi” dari sebuah kebijakan penetapan wilayah tersebut sebagai kawasan konservasi, seperti bunyi pasal 68 (3) Masyarakat di dalam dan di sekitar hutan berhak memperoleh kompensasi karena hilangnya akses dengan hutan sekitarnya sebagai lapangan kerja untuk memenuhi kebutuhan hidupnya akibat penetapan kawasan hutan, sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku, tentunya peran serta mereka baik partisipatif maupun melalui organisasi yang difasilitasi berjalan dengan baik sebagaimana dimaksud pasal 69.

Sehingga apa yang dibicarakan oleh Gubernur Jambi secara khusus dengan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan, adalah sesuatu yang seharusnya diperjuangkan melalui pemerintah pusat, karena pengelolaan kawasan konservasi disamping secara administrasi berada lintas Propinsi, lintas Kabupaten, dan memang diakui bahwa pengelolaan kawasan tersebut tidak terlalu dalam dimensi wilayah administratif, melainkan lebih mengacu pada wilayah ekologis yang menembus dimensi lintas wilayah administratif.

Sebagaimana Pengelolaan Taman Nasional Kerinci Seblat merupakan pengelolaan lintas propinsi, dan tujuan pengelolaan adalah untuk mendukung eko bioregional management di 3 DAS utama pulau sumatera yaitu DAS Batang Hari, DAS Musi dan DAS Pantai Barat Sumatera, yang merupakan DAS potensial dan kritis.

Difahami bahwa DAS Batanghari sesungguhnya merupakan satu kesatuan ekosistem yang mendukung hidup dan kehidupan masyarakat yang berada disekitarnya baik yang dihulu, tengah maupun di muaranya/hilir. Sehingga peran DAS ini sangat vital dalam mendukung pembangunan ekonomi di Propinsi Jambi, bahkan dalam mendukung pengelolaan DAS berbasis ekobioregion saat ini sistem pengelolaan Taman Nasional di sekitar DAS ini terdapat 4 Taman Nasional yaitu untuk kawasan Hulu DAS Batanghari terdapat kawasan Konservasi Taman Nasional Kerinci Seblat (TNKS), dibagian tengah terdapat Taman Nasional Bukit Duabelas (TNBD) dan Taman Nasional Bukit Tigapuluh (TNBT), dan hilir atau Muara terdapat Taman Nasional Berbak (TNB).

Kesulitan dan keterbatasan untuk akses Sumber Daya Alam sebagai potensi ekonomi di wilayah tersebut tidak dipungkiri merupakan kondisi yang harus di atasasi untuk menghindari disparitas ekonomi antara masyarakat sekitar hutan dengan masyarakat yang berada di wilayah hilir/tengahnya yang memiliki akses ekonomi yang lebih baik.

Keterbatasan akses ekonomi tersebut seyogyanya difahami oleh masyarakat dan pemerintah Kabupaten/Kota/Propinsi yang menjadi acuan bagi pemerintah pusat untuk mengkaji kelayakannya, karena memang bentang alam wilayah tersebut merupakan wilayah lindung yang harus di konservasikan, disamping berusaha mencari peluang yang bersifat non eksploitatif berdimensi ekonomi yang dapat dikembangkan di wilayah tersebut dengan mengoptimalkan jasa-jasa lingkungan.

Bentuk dan bagaimana Insentif atau kompensasi tersebut diimplementasikan dalam memadukan pengelolaan kawasan konservasi yang lestari dan pemberdayaan masyarakat dalam mencapai kesejahteraan yang berkesinambungan menjadi bagian dari kajian Kementerian terkait, sekaligus mendukung pembangunan di wilayah tersebut menjadi lebih baik merupakan bagian dan hak dari masyarakat dan Pemerintah Kabupaten/Kota tersebut untuk bersamaan dalam kedudukan sebagai sebuah daerah otonomi yang baik dan sejahtera secara fisik infrastruktur dan ekonomi secara daya beli masyarakatnya.[]

read more
Energi

Pabrik Ini Ubah Tahi Sapi Jadi Etanol

Tulare County, California, baru-baru ini melampaui kota tetangganya Fresno County sebagai produsen terbesar penghasil susu di Amerika Serikat. Melimpahnya produksi ini membuat pertumbuhan ekonomi dan investasi meningkat serta menghidupi 450.000 orang.

Tapi tunggu dulu. Selain industri susu lokal terus gelombang, daerah San Joaquin Valley menderita polusi udara terburuk di Amerika Serikat, dan limbah sapi menjadi ancaman bagi daerah aliran sungai di kawasan tersebut.

Baru-baru ini, diresmikan Calgren Ethanol Biogester, pabrik pengolah pupuk kandang menjadi ethanol di Pixley, sekitar 60 km sebelah selatan dari Fresno. Ini adalah langkah ke arah mengurangi emisi dan ketergantungan pada bahan bakar fosil sambil membantu California memenuhi tujuan energi yang bersih. Menurut perusahaan yang bekerja sama dalam proyek ini, pabrik ini merupakan digester pertama di California yang mengubah limbah pertanian menjadi gas alam bersih untuk fasilitas energi terbarukan lain. Alih-alih mengandalkan jaringan lokal, pabrik etanol dinyatakan intensif energi karena menggunakan sistem loop tertutup dan sistem zerowaste.

Koalisi beberapa perusahaan, mendanai sebagian pabrik ini dengan dana hibah Komisi Energi California sebesar $ 4.600.000. Pabrik dirancang oleh DVO of Wisconsin, merupakan digester anaerobik inti dari pabrik ini dan pembangunannya diserahkan kepada Regenis, kontraktor asal negara bagian Washington. Calgren Renewable Fuels akan memproduksi hingga 58 juta galon etanol per tahun, cukup untuk bahan bakar 145.000 mobil per tahun. []

Sumber: enn.com

read more
Green Style

Pengelolaan Hutan Gambut Hak Milik ‘Jumpun Pambelom’

Dalam sejarah kebakaran hutan di Indonesia, peristiwa di tahun 1997 – 1998 termasuk yang terbesar. Kebakaran yang melanda berbagai wilayah, termasuk pulau Kalimantan tersebut telah menghancurkan berhektar-hektar hutan gambut. Di Palangkaraya, kebakaran tersebut merusak hutan gambut di sisi Jalan Lintas Kalimantan (jalan yang menghubungkan Palangkaraya dan Banjarmasin). Kerusakan tidak hanya menghancurkan secara fisik hutannya saja, tetapi juga perekonomian masyarakat sekitar.

Kejadian memilukan inilah yang kemudian mendorong Ir. Januminro, seorang pegawai negeri sipil untuk menumbuhkan kembali hutan di lahan gambut. Berawal dari beberapa hektar saja, hutan di Jl. Lintas Kalimantan antara Palangkaraya – Banjarmasin Km. 30.5 Desa Tumbang Nusa, Kec. Jabiren Raya, Kab. Pulau Pisau, Prop. Kalimantan Tengah mulai dibentuk. Saat ini, hutan gambut yang dibuat oleh lulusan Manajemen Hutan, Universitas Lambung Mangkurat itu sudah seluas 10 hektar. “Penambahan luas lahan itu adalah hasil dari membeli lahan masyarakat sekitar ataupun dari hibah,” ujarnya.

Agar berbeda dengan hutan gambut lainnya, penulis buku Rotan Indonesia itu memberinya nama Jumpun Pambelom. Selayaknya seorang bayi, nama hutan gambut itu juga mengandung doa dan harapan. Jumpun diambil dari bahasa Dayak Ma’anyan yang berarti hutan dan Pambelom berasal dari bahasa Dayak Ngaju yang berarti kehidupan. Jika disatukan maka Jumpun Pambelom berarti hutan yang memberikan kehidupan atau sebagai sumber kehidupan. Sebuah harapan besar yang ingin diwujudkan oleh Januminro.

Keunikan lain dari hutan gambut yang dikelola Januminro tidak hanya dari namanya saja, akan tetapi statusnya juga.  “Hutan ini statusnya hak milik,” katanya. Sebanyak 10 hektar luasan hutan itu telah memiliki sertifikat hak milik. Hal ini memudahkannya untuk mengelola hutan yang telah menjadi sumber kehidupan masyarakat sekitar dengan pembibitannya. Karena statusnya inilah, Jumpun Pambelom menjadi pelopor pengelolaan hutan gambut berstatus hak milik di Indonesia.

Bukan hal yang mudah untuk membangun sebuah hutan dari lahan gambut yang sempat terbakar. Namun, berbekal pengetahuan dan semangat, Kepala Badan Kesatuan Bangsa, Politik dan Perlindungan Masyarakat Kota Palangkaraya itu sedikit demi sedikit merawat pohon-pohon yang diantaranya termasuk langka dan endemis. Ketekuannya mengelola hutan semakin berkembang sejak pria kelahiran
Buntok, 13 Juli 1962 ini menduduki posisi sebagai Kepala Dinas Kehutanan dan Perkebunan di Kabupaten Pulang Pisau di tahun 2000 dan di Kota Palangkaraya pada tahun 2009. Posisinya itu membuatnya semakin serius menciptkan model pengelolaan hutan gambut yang memberikan manfaat pada masyarakat.

Sejak berdiri pada tahun 1998, Jumpun Pambelom tidak melupakan kontribusi masyarakat sekitar. Oleh Januminro, masyarakat diajak untuk menanam pohon-pohon langka dan memiliki manfaat ekonomi seperti Pasak Bumi (Eurycoma longifolia), Ramin (Gonystylus bancanus), Ulin (Euderoxylon zwagery), Balangeran (Shorea balangeran), Galam (Malaleuca leucadendron), Gaharu (Aquilaria malacencis), Tanggaring, tangkuhis, dan jenis lainnya. Tidak berhenti disitu, dia juga membuat ladang-ladang pembibitan yang melibatkan warga sekitar. Para warga, baik ibu-ibu maupun bapak-bapaknya diajarkan melakukan pembibitan.

Hasilnya, bibit tersebut dapat dijual. Kebun bibit tersebut setidaknya dapat menjual 3000 bibit setiap tahunnya. Bahkan pada Hari Menanam Pohon Indonesia (HMPI) dan Bulan Menanam Pohon (BMP) Tahun 2014, telah dibagikan sebanyak lebih dari 10.000 bibit tanaman berbagai jenis. Masyarakat juga di dorong untuk membentuk kelompok-kelompok tani agar dapat mengelola atau mengembangkan lahan gambut di wilayahnya masing-masing.

Keterlibatan masyarakat, tidak hanya dalam pembibitan saja, Januminro juga membentuk satuan pemadam kebakaran hutan yang anggotanya adalah masyarakat. Bahkan Jumpun Pambelom menjadi lokasi Pos Siaga kebakaran Hutan dan lahan untuk mengatasi titik api di sepanjang tepi jalan lintas Kalimantan, terutama yang terletak di Desa Tumbang Nusa dan Desa Taruna, Kecamatan Jabiren
Raya, Kabupaten Pulang Pisau. Satuan ini memiliki peran yang sangat penting, karena pada musim kemarau, hutan gambut menjadi mudah sekali terbakar. Sekali terbakar, akan sulit untuk memadamkannya, karena api menjalar di bawah permukaan tanah.

Memadamkan api di permukaan belum tentu menyelesaikan masalah. Oleh karena itu, satuan tersebut menjadi penting karena telah mengetahui teknik penangannya. Sebagai penunjang, di Jumpun Pambelom telah dibangun sarana penunjangnya berupa sumur bor, mesin pompa dan beberapa tenaga personil pengendali yang terlatih dari masyarakat setempat.

Agar pengelolaan Jumpun Pambelom menjadi semakin baik, Januminro mendirikan lembaga Tane Ranu Dayak yang misinya melakukan pendampingan kepada masyarakat dalam upaya melestarikan sumberdaya alam lingkungan, mengembangkan kaerifan local suku Dayak, terutama dalam kerangka memperjuangkan hak tenurial dalam kepemilikan hutan dan lahan. Kemudian, di masa depan, pria yang mempunyai hobi berkebun itu ingin menjadikan hutan gambut ini menjadi rest area, ruang terbuka hijau, kawasan ekoWisata, tempat pendidikan lingkungan, pelestarian aneka tanaman langka. demplot penyuluhan swadaya, dan perpustakaan.[rel]

read more
Tajuk Lingkungan

Sepinya Energi Terbarukan

Hiruk pikuk politik di bawah kepemimpinan Presiden Joko Widodo terus saja menghiasi media massa. Masyarakat banyak pun terbawa arus besar, terpecah dua antara tetap mendukung, mendukung dengan memberikan saran dan menghujat habis-habisan kebijakan pemerintah. Semua hingar bingar ini seperti tiada habisnya. Tapi dibalik itu semua sebenarnya banyak hal yang perlu diperhatikan kembali.

Misalnya saja isu energi terutama energi baru dan terbarukan yang kembang kempis. Isu ini naik turun sesuai dengan harga BBM. Jikalau harga BBM naik maka masyarakat ramai-ramai bicara tentang pentingnya energi alternatif (rekan saya menolak istilah ini-red) sebagai pengganti bahan bakar fosil. Tetapi ketika harga minyak dunia turun, pembicaraan energi terbarukan kembali silent. Bahkan di sebuah grup yang menyatakan dirinya sebagai grup Energiawan, pun menjadi hening. Masih ada satu-dua orang yang “mengetest” forum dengan melempar sebuah isu. Baik itu dari sisi teknologi maupun kebijakan. Tetapi responnya sangat minim.

Harus diakui negara dan masyarakat kita adalah masyarakat “keramaian”. Dimana ada suatu isu yang sedang ramai dibicarakan maka berbondong-bondong pun orang ikut menimpali. Ntah ahli, ntah tahu sedikit, ntah sok tau, semua pada nimbrung ikut ngoceh. Sayangnya masalah energi kini tidak seksi lagi, apalagi kalau bukan karena harga BBM cenderung turun. Buat apa ngomongin energi terbarukan lha wong energi fosil aja masih banyak dan murah. Mungkin ini yang terbenam dalam alam bawah sadar khalayak banyak walaupun tidak terucapkan.

Padahal Indonesia telah mempunyai road map pengembangan energi terbarukan yang telah disusun sejak tahun 2005. Pada tahun 2025 nanti diharapkan bauran (komposisi energi terbarukan) energi menjadi minyak bumi 20 persen, batu bara 35 persen, gas bumi 30 persen, panas bumi 5 persen, Bahan Bakar Nabati 5 persen, dan lain-lain 5 persen. Pertanyaannya apakah hal ini bisa tercapai? Perasaan saya, kalau melihat keadaan seperti ini rasanya target ini sulit tercapai.

Pengembangan energi terbarukan belum menjadi mainstreaming banyak pihak. Saya belum pernah mendengar ada pemerintah daerah yang mengalokasikan anggaran untuk pengembangan energi terbarukan di daerahnya. Mungkin ada sih, tetapi karena jarang maka nyaris tak terdengar. Padahal banyak hal yang bisa dilakukan pemerintah bersama masyarakat di daerah, misalnya mendorong munculnya inisiatif-inisiatif pengembangan energi terbarukan. Jenis energi ini tidak susah penerapannya, bahkan di pedalaman sekalipun bisa dipraktekkan. Jika masyarakat sudah familiar dengan energi terbarukan, In Shaa Allah pemerintah dengan sendirinya akan maju dalam membangun energi terbarukan.[]

 

read more