close

May 2015

Tajuk Lingkungan

Energi Terbarukan Belum Tentu Berkelanjutan

Banyak pihak beranggapan bahwa energi terbarukan adalah sesuatu yang mudah dilaksanakan, murah dan berkelanjutan. Siapapun, mulai dari masyarakat awam, orang desa, orang terpelajar, orang kota dapat menjalankan energi terbarukan tanpa ada masalah berarti. Ini yang sering disebut-sebut dalam berbagai tulisan di media populer. Apakah memang seperti halnya? Sebuah kasus pemanfaatan energi terbarukan di Aceh, menjadi pelajaran bagi kita semua.

Samarkilang, sebuah daerah pedalaman yang terletak di Kabupaten Bener Meriah, Propinsi Aceh. Ini adalah wilayah pedalaman yang masih kekurangan fasilitas publik seperti jalan dan akses listrik. Daerah ini berada di dalam area yang pegunungan dan dikelilingi oleh hutan yang relatif masih baik. Ada sejumlah sungai berarus deras yang mengalir di daerah ini. Sangat cocok untuk dibuat pembangkit listrik mikrohidro (PLTMH) pikir para pengambil kebijakan. Maka diluncurkanlah proyek pembangunan listrik tenaga air beberapa waktu lalu.

Untuk selanjutnya warga Samarkilang dapat bernafas lega dan menikmati rasa menjadi penduduk Republik Indonesia yang telah merdeka sejak tahun 1945 namun belum mereka nikmati. Kehidupan berjalan normal dan bersemangat. Sampai sekitar 10 bulan lalu. Generator pembangkit listrik di wilayah ini rusak berat. Salah satu suku cadangnya rusak. Untuk mengganti suku cadang tersebut dibutuhkan biaya sekitar 40 jutaan menurut salah satu sumber. Duit tak dapat diraih, mati lampu pun kembali menerjang.

Masyarakat bersama tokoh-tokoh setempat berusaha meminta pemerintah kabupaten membantu pengadaan suku cadang generator tersebut. Berbulan-bulan upaya meminta bantuan ini tidak membuahkan hasil. Mati lampu kembali menjadi bagian hidup mereka kembali. PLTMH mangkrak, tidak bisa berfungsi. Pemerintah tak mampu memperbaikinya. Bah, padahal katanya PLTMH yang termasuk energi terbarukan sangat mudah pengoperasiannya. Ada beberapa hal yang dilupakan.

Menyuplai arus listrik ke banyak rumah penduduk bukanlah pekerjaan main-main. PLTMH harus ada yang mengorganisasikannya, mengelolanya secara efisien. Lihat saja PT PLN yang mengurusi listrik Indonesia selalu kalang kabut. Stakeholder di Samarkilang mungkin pula bahwa mereka harus punya Perencanaan, Organisasi, Aktivitas dan Pengawasan untuk menjalankan PLTMH.

Bagaimana dengan pembiayaan? Yang namanya mesin dimana-dimana tentu butuh biaya perawatan, makin besar kapasitas mesin makin mahal pula peliharanya. Listrik dari energi alternatif belum tentu murah jika tidak dikelola secara efektif. Mungkin warga Samarkilang alpa untuk menyimpang biaya cadangan yang dibutuhkan sewaktu-sewaktu. Kalau mereka bisa mandiri dalam keuangan, tentu tidak perlu bersusah payah menyodorkan proposal permohonan bantuan.

Kemudian teknologi. Energi terbarukan memang dijalankan dengan teknologi yang relatif lebih mudah dibanding teknologi listrik konvensional. Tapi ingat tetap saja ada penggunaan teknologi yang harus dikuasai pengelola PLTMH agar mereka tahu bagaimana cara merawat mesin-mesin penghasil listrik tersebut. Dibanyak kasus, kotoran-kotoran dari air telah merusaka bagian-bagian mesin karena tidak ada penjagaan yang memadai terhadap air masuk.

Jadi kembali kita pertanyakan, apakah pemanfaatan energi terbarukan bisa berkelanjutan? Samarkilang hanya salah satu kasus saja. Kalau mau seacrh di mbah Google, ada banyak kasus-kasus pengembangan energi terbarukan yang macet. Sudah banyak rupiah yang terbuang sia-sia untuk energi terbarukan yang dilaksanakan tidak komprehensif.

Pada dasarnya pengelolaan energi terbarukan sama juga dengan energi-energi lain. Makin besar skalanya, maka semakin komplek persoalan yang timbul. Jadi sudah saatnya memperlakukan energi terbarukan dengan selayaknya.[]

read more
Hutan

UNDP Luncurkan Indeks Tata Kelola Hutan Indonesia

Program Pembangunan Perserikatan Bangsa – Bangsa (UNDP) dan Pemerintah Indonesia pada hari Kamis (21/5/2015) meluncurkan  Indeks Tatakelola Kehutanan yang secara komperhensif menganalisa kekuatan dan kelemahan tatakelola hutan di negeri ini.

Sebagai Negara yang memiliki area hutan hujan tropis terbesar ketiga di dunia, Indonesia memainkan peranan penting dalam agenda perubahan iklim global. Pemerintahan Presiden Joko Widodo menempatkan tatakelola kehutanan sebagai salah satu prioritasnya dan dengan semakin meningkat dan pentingnya tata kelola ini maka dibutuhkan pula suatu analisis dan penilaian yang berkala.

Laporan tatakelola kehutanan UNDP mengandung rekomendasi kebijakan yang mendetailkan bagaimana memperkuat akuntabilitas dan penyertaan tatakelola kehutanan, yang dipertimbangkan sebagai kunci mencapai hasil yang berkelanjutan untuk perlindungan hutan dan lahan gambut. Memperkuat pengelolaan akan sumber daya alam telah tercantum dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional 2015-2019 dan Negara telah berkomitmen untuk menurunkan secara drastis emisi gas rumah kaca sebanyak 26%.

Direktur UNDP Indonesia Beate Trankmann menyampaikan, “Memperbaiki tata kelola hutan Indonesia dan memperkuat mekanisme penegakan hukum di seluruh tingkatan merupakan hal yang sangat vital dalam memperkuat perlindungan hutan dan konservasi. Tujuan dari dirumuskannya Indeks Tata Kelola Hutan Indonesia2014 ini adalah untuk meningkatkan pemahaman kita akan kekuatan dan kelemahan tata kelola hutan di Indonesia”.

Laporan ini mencakup 12 Provinsi Indonesia beserta dua Kabupaten dari tiap – tiap Provinsi, dimana lebih  dari separuh hutan Indonesia berada. Menggunakan skala dari satu sampai 100, hasil laporan menunjukkan angka 36,yang menunjukkan penguatan tatakelola diperlukan. Laporan tahun 2012 juga menemukan hal yang sama, termasuk menunjukkan sebagian besar kerusakan hutan nasional berhubungan dengan perencanaan tata ruang yang lemah, masalah kepemilikan lahan, penegakan hukum yang lemah, serta kurangnya transparansi dalam pengeluaran perizinan penggunaan hutan.

Terdapat pula beberapa kemajuan, terutama dalam usaha – usaha untuk memberikan perlindungan hukum bagi hutan adat, perlindungan terhadap hak – hak masyarakat adat, dan restrukturisasi proses perizinan di beberapa daerah. Temuan  tersebut menunjukkan arah yang tepat kedalam peningkatan manajemen kehutanan dan lahan gambut.

Kajian Indeks Tata Kelola Hutan juga didukung oleh Un-REDD Global Programmed an FAO .[rel]

read more
Energi

Studi: Biofuel Tanaman yang Tepat Melawan GRK

Jagung, gandum dan lobak dapat untuk membuat biofuel, layaknya bioetanol dan biodiesel. Temuan terbaru para ahli lingkungan di Radboud University-Belanda, menyebutkan bahwa lahan pertanian untuk menanam tanaman biofuel ini memiliki dampak besar pada emisi gas rumah kaca yang dihasilkan. Studi yang sampai pada kesimpulan diterbitkan oleh Jurnal Nature Climate Change tanggal 11 Mei 2015.

Untuk meningkatkan produksi biofuel dari tanaman seperti jagung dan gandum, tanah perlu dipersiapkan menjadi lahan pertanian. Kegiatan awal ini menimbulkan peningkatan emisi gas rumah kaca (greenhouse gas). Menggunakan model global, Pieter Elshout bersama ilmuwan lingkungan di Radboud University memperlihatkan berapa lama keuntungan yang diberikan biofuel dibandingkan bahan bakar fosil agar setara dengan emisi pada masa penyiapan lahan. Pada skala global, waktu pengembalian rata-rata untuk gas rumah kaca adalah sembilan belas tahun.

Dari Eropa Barat untuk daerah tropis
Seorang kandidat PhD di Universitas Radboud, Elshout, menjelaskan,”Sembilan belas tahun terdengar seperti waktu yang lama, tetapi dalam hal pertanian, itu sama sekali tidak lama. Apalagi angka itu adalah rata-rata global. Di Eropa Barat, periodenya jauh lebih singkat, kadang-kadang hanya beberapa tahun. Di daerah tropis, bisa mencapai seratus tahun. Model ini menunjukkan bahwa lokasi tanaman biofuel memiliki dampak yang signifikan terhadap emisi gas rumah kaca. Lebih daripada jenis tanaman atau tata kelola pertanian (yaitu jumlah pupuk dan irigasi yang digunakan)”.

Model-skala global pertama
Elshout menambahkan,”model kami adalah yang pertama yang menawarkan gambaran global, spasial-eksplisit emisi gas biogenik yang dihasilkan dari tanaman yang digunakan untuk memproduksi biofuel. Dalam mengembangkan model ini, perhitungan kami memperhitungkan jangka waktu pengembalian dengan mempertimbangkan rantai produksi seluruh bahan bakar fosil dan biofuel dengan emisi rumah kaca yang menyertainya. Model global ini berlaku untuk generasi pertama biofuel. Ini termasuk bioetanol dari jagung, gandum dan tebu, serta biodiesel dari kedelai dan lobak.

Perdebatan tentang Pangan
Hasil penelitian memberikan kontribusi terhadap nuansa perdebatan biofuel yang terjadi saat ini di Belanda. Dalam sebuah studi tindak lanjut pada pertanian tanaman biofuel, Elshout dan rekan-rekannya berharap untuk menyelidiki masa pengembalian yang terkait dengan dampak terhadap keanekaragaman hayati.[]

Referensi: Title: Greenhouse gas payback times for crop-based biofuels
P. M. F. Elshout, R. van Zelm, J. Balkovic, M. Obersteiner, E. Schmid, R. Skalsky, M. van der Velde and M. A. J. Huijbregts
Nature Climate Change
DOI: 10.1038/nclimate2642

Sumber: www.ru.nl

read more
Green Style

Himasep Unsyiah Tanam 1200 Bibit Mangrove

Himpunan Mahasiswa Sosial Ekonomi Pertanian (Himasep) Universitas Syiah Kuala mengadakan kegiatan Bakti Sosial Di Gampong Lamtengoh Kecamatan Peukan Bada Kabupaten Aceh Besar, 12 Mei 2015.

Adapun rangkaian dalam kegiatan Bakti Sosial ini adalah melakukan penanaman 1200 bibit pohon Mangrove kemudian dilanjutkan dengan melakukan gotong royong membersihkan jalan lintas perkampungan serta melakukan silahturahmi dan transfer wawasan serta keilmuan dengan masyarakat setempat.

Ketua Umum Himasep, Wan Mutiara Fahmi, dalam siaran persnya Selasa (12/5/2015) menjelaskan bahwa kegiatan ini bertujuan untuk menambah wawasan dan cakrawala berfikir mahasiswa dan masyarakat untuk memahami dan memaknai secara sistematis pentingnya nilai-nilai kesatuan dan persaudaraan. Hal ini untuk mewujudkan mahasiswa yang mampu melakukan perubahan serta pemantapan program pembinaan dan bimbingan bagi masyarakat sesuai dengan ilmu keprofesian yang telah kami miliki tambahnya.

Kegiatan bakti sosial ini merupakan rangkaian kegiatan AGRIBISNIS FAIR Ke-IX. Adapun kegiatan sebelumnya adalah Pelatihan Program SPSS pada tanggal 10 April 2015, Lomba Daur Ulang dan Musikalisasi Puisi pada tanggal 19 April 2015, Himasep Futsal Cup 2015 pada tanggal  09-10 Mei 2015 yang pelaksanaannya di lingkungan Fakultas Pertanian Unsyiah.

Kemudian rangkaian kegiatan ini akan ditutup pada malam puncak Agribisnis Fair Ke-IX tanggal 16 Mei 2015 di Gedung ACC Sultan II Selim Jalan STA. Mahmudsyah, Banda Aceh, ujar Rizki Alfadillah Nasution, mahasiswa semester 6 di Jurusan Agribisnis.

Himasep adalah bagian dari integrasi umat, oleh sebab itu aset umat ini harus mendapat pembinaan yang sebaik-baiknya, agar mampu berperan aktif dalam pengembangan umat, baik di lingkungan kampus maupun masyarakat, sesuai dengan Tri Dharma perguruan tinggi. Mahasiswa adalah bagian integral dari potensi masyarakat untuk mendapatkan pembinaan dan bimbingan dengan teratur dan kontinyu. Partisipasi mahasiswa dan pemuda dalam pembangunan Aceh menjadi skala perioritas terutama masyarakat pedesaan yang tergolong masih sangat tetinggal.[rel]

read more
Kebijakan Lingkungan

Berapa Taman Dibutuhkan untuk Suplai Oksigen Banda Aceh?

Setiap kota di belahan dunia selalu menyediakan ruang terbuka hijau bagi kebutuhan warga kota tersebut. Ruang terbuka itu bisa berupa taman ataupun sejenisnya, yang penting dari ruang terbuka adalah adanya sejumlah pohon di dalamnya. Begitu juga dengan kota Banda Aceh yang memiliki sejumlah taman yang berisi pepohonan nan hijau. Sejumlah warga masih bertanya-tanya, untuk kota Banda Aceh berapa sih sebenarnya kebutuhan ruang hijau tersebut? Apa pula manfaatnya?

Seorang mahasiswa jurusan Teknik Lingkungan Universitas Serambi Mekkah Banda Aceh, Azanul Irham mencoba membuat penelitian tentang kebutuhan Ruang Terbuka Hijau (RTH) bagi kota Banda Aceh. Penelitian ini sendiri telah berhasil diujiankan dalam sidang terbuka beberapa waktu lalu dan mendapat nilai cumlaude.

Mahasiswa yang kini telah mengabdi sebagai Pegawai Negeri Sipil di Kabupaten Aceh Barat Daya ini menghitung ketersediaan RTH berdasarkan kebutuhan oksigen di Kota Banda Aceh. Kebutuhan oksigen sendiri sangat bergantung pada kondisi RTH.

Penataan dan alokasi RTH di Kota Banda Aceh ditujukan untuk menjaga keserasian dan keseimbangan ekosistem lingkungan, perlindungan tata air, menciptakan keseimbangan antara lingkungan alam dan lingkungan binaan yang berguna untuk kepentingan masyarakat, meningkatkan keserasian lingkungan perkotaan, serta sebagai sarana pengaman lingkungan perkotaan yang aman, nyaman, segar, indah, dan bersih.

RTH ternyata bukan hanya sebatas taman, bahkan kuburan pun dihitung sebagai RTH. Sekarang ini RTH di Kota Banda Aceh terdapat 80 titik lokasi  taman, 13 titik lokasi hutan kota, 5 lokasi lapangan bola, jalur hijau jalan, 13 titik lokasi makam, dan sejumlah telaga atau waduk. Dengan demikian RTH yang mendominasi yaitu RTH kawasan taman yang meliputi taman kota, taman wisata kuliner, taman tugu, taman simpang/tepi jalan, serta RTH bantaran sungai.

Azanul mengatakan bahwa berdasarkan UU No. 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang mengamanatkan RTH luas minimalnya sebesar 30 persen dari luas kota. RTH ini sendiri dibagi lagi menjadi 20 persen RTH publik dan 10 persen terdiri dari RTH swasta. Pada tahun 2013 persentase luas RTH publik Kota Banda Aceh hanya mencapai 10,94 persen atau baru baru sekitar ± 671,08 Ha.

“Ini masih sangat kurang dibandingkan yang ditetapkan yaitu 20 persen RTH publik. Apalagi RTH Banda Aceh belum tersebar merata,” kata Azanul kembali.

Azanul Irham
Azanul Irham

Penelitian ini menyebutkan RTH publik yang telah tersedia di Kota Banda Aceh meliputi taman kota berfungsi sebagai paru-paru dan jantung kota yang membuat siklus oksigen dan karbondioksida dapat berganti dengan sempurna. Taman kota juga bisa difungsikan sebagai ruang terbuka untuk masyarakat. Ruang terbuka merupakan ruang yang direncanakan karena kebutuhan akan tempat-tempat pertemuan dan aktifitas bersama diudara terbuka.

Hutan kota juga merupakan RTH yang dapat diartikan sebagai suatu kesatuan ekosistem berupa hamparan  yang bertumbuhan pohon-pohon yang kompak dan rapat di dalam wilayah perkotaan, baik pada tanah negara maupun tanah hak, yang ditetapkan sebagi hutan kota oleh  pejabat yang berwenang. Fungsi dan manfaat hutan (hutan kota) antara lain untuk memberikan hasil, pencagaran flora dan fauna, pengendalian air tanah dan erosi, ameliorasi iklim.

Jika hutan tersebut berada di dalam kota maka fungsi dan manfaat hutan antara lain menciptakan iklim mikro, engineering, arsitektural, estetika, modifikasi suhu, peresapan air hujan, perlindungan angin dan udara, pengendalian polusi udara, pengelolaan limbah dan memperkecil pantulan sinar matahari, pengendalian erosi tanah, mengurangi aliran permukaan, mengikat tanah.

Lapangan olahraga merupakan komponen utama ruang terbuka hijau atau “paru-paru” yang membuat Kota Banda Aceh menjadi sehat. Sejalan dengan itu, ketersediaan ruang terbuka hijau berupa lapangan olahraga dan taman kota disekitar lingkungan permukiman merupakan sarana yang efektif bagi anak-anak hingga orang dewasa untuk memasyarakatkan olahraga dan mengolahragakan masyarakat. Namun ironisnya, dalam kecendrungan pengurangan luasan ruang terbuka hijau, lapangan olahragalah yang justru sering digusur pertama kali.

Jalur hijau jalan merupakan daerah hijau termasuk RTH, berada di sekitar lingkungan permukiman atau sekitar kota-kota. Jalur hijau bertujuan mengendalikan pertumbuhan pembangunan, mencegah dua kota atau lebih menyatu, dan mempertahankan daerah hijau, rekreasi, ataupun daerah resapan hujan. UU No. 32 Tahun 2009 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup menyebutkan bahwa jalur hijau diperuntukkan sebagai resirkulasi udara sehat bagi masyarakat guna mendukung kenyamanan lingkungan dan sanitasi yang baik.

Pemakaman memiliki fungsi utama sebagai tempat pelayanan publik untuk penguburan jenasah. Pemakaman juga dapat berfungsi sebagai RTH untuk menambah keindahan kota, daerah resapan air, pelindung, pendukung ekosistem, dan pemersatu ruang kota, sehingga keberadaan RTH yang tertata di komplek pemakaman dapat menghilangkan kesan seram pada wilayah tersebut.

Telaga atau waduk juga sangat berpengaruh dalam penataan ruang terbuka hijau. Selain menjadi tempat penampungan air yang dibutuhkan oleh masyarakat, juga dapat digunakan sebagai tempat rekreasi dan memancing serta memberikan kesejukan kepada pengunjung. Selain itu juga dapat dimanfaatkan sebagai daerah resapan untuk mengantisipasi terjadinya luapan air yang berlebihan.

Berdasarkan data dari Badan Pusat Statistik Kota Banda Aceh Tahun 2003-2012, tahun 2003 jumlah penduduk Kota Banda Aceh sebanyak 223.829 jiwa dan tahun 2012 mencapai 238.784 jiwa dengan rata-rata persentase pertambahan penduduk 1,01 % per tahun. Pertambahan jumlah penduduk yang paling pesat terjadi antara tahun 2005-2006 dengan persentase pertambahan penduduk 1,12%.

Dengan asumsi bahwa kebutuhan oksigen perhari tiap orang adalah sama yaitu sebesar 0.864 kg/hari maka dapat dihitung kebutuhan oksigen penduduk Kota Banda Aceh. Berdasarkan data proyeksi jumlah kebutuhan oksigen yang dibutuhkan penduduk Kota Banda Aceh dari tahun 2013 sampai 2015 seperti terlihat pada tabel 4.3, jumlah penduduk Kota Banda Aceh cenderung mengalami tren peningkatan yang relatif konstan yaitu 1,01 % per tahun sehingga kebutuhan oksigen penduduk Kota Banda Aceh turut mengalami peningkatan dari tahun ke tahun.

Selain untuk manusia, oksigen dibutuhkan bagi kendaraan bermotor dan industri (PLTD) sehingga penting juga untuk diperhitungkan. Besarnya kebutuhan oksigen oleh kendaraan bermotor dan industri (PLTD) per hari dapat ditentukan dari jumlah konsumsi bahan bakar (bensin dan solar) per hari.

Prinsip kerja kendaraan bermotor dan industri (PLTD) adalah pengapian, proses pembakaran bahan bakarnya menggunakan oksigen. Untuk menghitung kebutuhan oksigen oleh kendaraan bermotor maka perlu diketahui jumlah dan jenis kendaraan bermotor yang ada di Kota Banda Aceh. Berdasarkan data dari Badan Pusat Statistik Kota Banda Aceh Tahun 2009-2011, jenis kendaraan bermotor di Kota Banda Aceh dibedakan menjadi empat jenis, yaitu: kendaraan bus, kendaraan beban (truk), kendaraan penumpang (mobil dinas, mobil pribadi, taksi, mikrolet) dan sepeda motor.

Jumlah kendaraan bermotor Kota Banda Aceh mengalami peningkatan dari tahun ke tahun yaitu rata-rata sebesar 0,85 % per tahun. Berdasarkan data proyeksi jumlah kebutuhan oksigen yang dibutuhkan kendaraan bermotor di Kota Banda Aceh dari tahun 2013 sampai 2015 dapat diketahui bahwa pertambahan jumlah kendaraan bermotor yang sangat besar dari tahun ke tahun menyebabkan kebutuhan oksigen yang dibutuhkan juga turut meningkat.

Hasil perhitungan kebutuhan luas RTH berdasarkan kebutuhan oksigen menunjukkan bahwa kebutuhan oksigen oleh manusia, kendaraan bermotor dan industri (PLTD) di Kota Banda Aceh cenderung meningkat setiap tahunnya. Dalam kurun waktu 2 tahun yaitu dari tahun 2013 sampai 2015 kebutuhan oksigen Kota Banda Aceh meningkat dari 26,49 x 105 kg/hari menjadi 28,93 x 105  kg/hari. Sehingga luas RTH yang dibutuhkan untuk memenuhi kebutuhan oksigen kota juga meningkat yaitu pada tahun 2013 sebesar 5.233 Ha (85,28% dari luas Kota Banda Aceh) dan pada tahun 2015 meningkat menjadi 5.715 Ha (93,14% dari luas Kota Banda Aceh).

Namun jumlah luas RTH Kota Banda Aceh yang tersedia saat ini masih sangat kurang untuk dapat memenuhi kebutuhan oksigen Kota Banda Aceh. Perlu dicermati dari hasil prediksi bahwa jumlah oksigen yang dibutuhkan kendaraan bermotor jauh lebih besar dibandingkan yang dibutuhkan manusia maupun industri (PLTD) per hari di Kota Banda Aceh. Besarnya tingkat kebutuhan oksigen kendaraan bermotor disebabkan oleh laju pertambahan jumlah kendaraan bermotor lebih besar dibandingkan laju pertambahan jumlah penduduk maupun industri (PLTD). Jika hal ini tidak diantisipasi sedini mungkin, maka dapat mengurangi kenyamanan penduduk kota dalam melakukan aktivitas sehari-hari dan menganggu keseimbangan ekologi kota.

Azanul memberikan solusi untuk menganggulangi permasalahan tersebut yaitu menekan laju pertambahan jumlah kendaraan bermotor di Kota Banda Aceh. Selain itu, upaya lain yang harus dilakukan adalah mengoptimalkan fungsi ruang terbuka hijau terutama di lokasi-lokasi yang padat kegiatan seperti pusat kota.[]

read more
Energi

Buat Apa Mengkonversi Biomassa menjadi Energi?

Jawaban atas pertanyaan ini telah terungkap dalam buku berjudul “Biomass gasification, pyrolysis and torrefaction practical design and theory”. Buku yang ditulis oleh Prabir Basu, pakar bioenergi asal Kanada itu, mengungkapkan tiga hal yang menjadi motivasi untuk mengkonversi biomassa menjadi bioenergi yaitu pemenuhan energi, pelestarian lingkungan, dan memetik manfaat sosial politik.

Kebutuhan energi sudah sangat mendesak karena kelangkaan sumber dan harga bahan bakar fosil yang semakin meningkat. Keterdesakan ini menjadi bagian dari motivasi dunia untuk mencari alternatif sumber energi baru dan terbarukan. Harapannya adalah sumber energi terbarukan tersebut mampu menggeser dominasi peran energi fosil, dapat diperbarui dan diproduksi secara cepat.

Upaya pelestarian lingkungan juga menjadi bagian motivasi karena biomassa, dalam perhitungan netto, tidak berkontribusi pada emisi karbondioksida ke atmosfer. Emisi karbondioksida akan mengakibatkan perubahan global, termasuk perubahan iklim yang sangat menguatirkan warga dunia.

Memetik manfaat sosial dan politik juga bagian ketiga dari motivasi tersebut. Potensi pembukaan lapangan pekerjaan dan berusaha akan teralisasi dengan baik jika pabrik pengolah biomassa dapat diwujudkan di suatu daerah.  Lapangan usaha dan pekerjaan akan tersalurkan pada bagian budidaya, pengumpulan bahan baku, pengangkutan, serta pengolahan. Bahkan secara tersirat juga membuka peluang bagi dunia penelitian dan perguruan tinggi untuk membuka tirai pengetahuan dan aplikasi biomassa sebagai bahan baku alternatif pengganti energi.

Indonesia berpeluang besar untuk mendayagunakan biomassa jika termotivasi untuk mencapai peran bioenergi atau energi terbarukan yang lebih besar pada tahun 2025. Semoga.

Sumber: bioenerginusantara.com

read more